Loading...
Logo TinLit
Read Story - Do You Believe?
MENU
About Us  

Baju kaus merah muda dengan bordiran hati kecil dibagian dada sebelah kanannya merupakan baju terakhir yang ku masukkan dalam koperku. Hari ini aku akan pergi liburan bersama teman-temanku untuk merayakan kelulusan kami. Kami baru saja menutup lembaran kenangan kami semasa SMA 3 tahun lamanya.  
Sebentar lagi Saga akan menjemputku. Ya dia pacarku. Pacarku yang ketampanannya tak tertandingi. Aku masih tak percaya bisa menjadi pacarnya. Saga adalah siswa yang populer disekolah kami, banyak siswi yang mengejarnya. Rasanya seperti mimpi saja bahwa akulah wanita yang dia pilih. Sudahlah aku tak mau menjelaskannya lebih banyak, nanti kalian malah jatuh cinta padanya, haha.  
Sepuluh menit kemudian, Saga pun tiba didepan rumahku dengan mobil hitamnya. Tentu saja kami harus menggunakan mobil soalnya kami membawa koper. 
"Kau tidak lelah?" tanya Saga begitu turun dari mobilnya. Aku mengernyitkan alisku, "Maksudmu?". "Apakah kau tidak lelah terlihat cantik setiap waktu?" lanjutnya yang tersenyum padaku sembari menarik koperku dan menyimpannya dibagasi mobil. 
Aku tertawa kecil, "Saga, ini masih terlalu pagi untuk menggombal" ujarku dan berjalan menuju sisi lain dari mobil Saga. "Memuji mu itu adalah kewajibanku, Veera" sahut Saga setelah menutup pintu bagasi mobilnya. Ia lalu berjalan kearahku masih dengan senyum diwajahnya dan membukakanku pintu mobil. 
"Makasih" ujarku sambil tersenyum dan lalu memasuki mobil Saga. 
Segera setelah menutup pintu mobil, Saga juga masuk ke mobil, lebih tepatnya menduduki kursi pengemudi.  
***
Ternyata semuanya telah menunggu kami di rumah Alvin. "Kalian dari mana saja? Kenapa lama sekali?" tanya Alvin begitu kami berdua turun dari mobil dengan koper kami. 
"Maaf, Vin. Aku harus menjemput Tuan Putri ini dari istananya" jawab Saga yang melirikku dengan senyum manisnya. 
Alvin memandangi kami dengan bingung, "Apa-apaan ini? Kenapa kau menggodanya?" tanyanya lagi, kali ini pada Saga saja.
"Kenapa? Dia kan pacarku! Tentu saja aku bisa menggodanya" jawab Saga dengan senyuman lebar. "Pacar??" Alvin berkata tak percaya. "Sejak kapan?" lanjutnya. "Aku menyatakan perasaanku di malam prom night sekolah kita. Dan tentu saja dia tidak akan menolakku!" sahut Saga percaya diri yang diakhiri tertawa. 
Ku sikut lengannya dengan senyum malu, "Dih! Kepedean! Sudah, lebih baik kita cepat bergegas biar sampai disana masih bisa main di pantai" ujarku pada mereka berdua. Alvin dan Saga pun mengangguk. 
***
Veera, Saga, Azka, Rava, Eva,  dan Alvin pun memasuki mobil Alvin menuju pelabuhan. Mereka akan pergi ke villa milik keluarga Alvin di Pulau Silmido. Awalnya pulau ini tak berpenghuni, tapi keluarga Alvin membangun villa disana agar setiap waktu libur akhir tahun bisa mereka habiskan disana.

"Bunga?" ujar Saga begitu duduk di kursi penumpang disamping supir. Matanya tertuju pada sebuah buket bunga segar yang tergeletak di dashboard mobil.

"Eh? Itu bunga milik kakak ku, ia pasti lupa untuk mengambilnya" sahut Alvin setelah memasang seat belt pada kursi pengemudinya. "Apa semua sudah naik?" tanya Alvin pada yang lainnya "Sudah!!" sahut Rava ceria, dia sangat semangat dengan liburan kali ini. "Baguslah! Kalau gitu mari kita berangkat!!!" ujar Alvin yang lalu menginjak pedal gas menuju pelabuhan. 
***
Akhirnya kita tiba di Pulau Silmido setelah perjalanan menggunakan Kapal Feri. Alvin pun membuka pintu villanya.
"Selamat datang di villa-ku, Semuanya!" sapa Alvin setelah membuka kedua pintu villanya lebar-lebar, tak lupa ia merenggangkan kedua lengannya menyambut teman-temannya. Semuanya bertepuk tangan kecil. "Silahkan masuk!" lanjut Alvin dan lalu menuntun yang lainnya memasuki villa. 
Semuanya pun memasuki villa dengan pandangan yang menerawang bangunan yang cukup mewah itu untuk sebuah villa. Mereka langsung menuju ruang tengah yang menarik perhatian mereka sebab ada banyak hiasan balon disana.

"Ada apa ini, Vin? Kenapa balon-balon ini ada disini?" tanya Rava sambil memegangi balon merah muda yang tegak berdiri karena berisi gas didalamnya. 
"Itu pasti ulah kakak ku lagi, dia mungkin lupa membereskannya setelah mengadakan pesta disini. Bagaimana kalau kita bereskan saja?" tawar Alvin yang berjalan menuju balon-balon lainnya. 
"Jangan! Lebih baik seperti ini! Kita bisa menggunakannya untuk pesta sebentar malam!" sahut Veera yang juga ikut memegangi sebuah balon berwarna biru. Alvin menghentikan langkahnya dan menoleh kearah Veera, " Baiklah jika itu keinginanmu" pasrahnya. 
Veera memandangi balon ditangannya dengan mata membulat. "Apakah kau sangat menyukai balon?" tanya Saga yang tiba-tiba berada didekat Veera. "Tentu saja! Siapa yang tidak menyukainya?" sahut Veera tersenyum. 
"Jika didunia ini hanya tersisa balon dan aku siapa yang kau pilih?" tanya Saga sambil merenggangkan senyuman diwajahnya. Ia berharap Veera akan menyebut namanya sebagai jawaban. 
"Tentu saja aku pilih balon" jawab Veera polos. Saga mendengar itu menunjukkan ekspresi kecewa. Veera tertawa, "Tentu saja kau, Saga" sahutnya lagi yang membuat Saga tersenyum kembali. "Kalian ini berhentilah pacaran dan bantu kami beres-beres!" gerutu Azka pada Veera dan Saga. 
Veera dan Saga pun saling lempar pandangan sambil tawa kecil dan lalu membantu lainnya untuk beres-beres.  
***
Malam pun tiba, semuanya berkumpul dipinggir pantai, menghangatkan tubuh dengan api unggun setelah puas bermain di pantai.
"Ah! Rasanya aku tidak pernah sebahagia ini dalam hidupku!" kata Rava sambil tersenyum lebar. 
"Jadi pacaran denganku bukan hal yang bahagia untukmu?" tanya Eva kesal pada ucapan Rava barusan. 
Rava menoleh ke arah Eva disampingnya yang sedang ngambek. Ah dia pasti ingin dibujuk. "Tentu saja aku sangat bahagia, Eva! Kau kebahagiaanku yang utama!" ujar Rava sambil mencolek gemas ujung hidung Eva. Eva tersipu malu dengan perlakuan Rava padanya.  
 
"Terlalu banyak perasaan penuh cinta dan bahagia disini. Aku harap aku punya pacar juga" kata Azka sambil tersenyum membayangkan jika ia juga punya pacar dan mengajaknya liburan kesini. 
"Waktunya bercerita!" teriak Alvin yang mendekati teman-temannya di api unggun sambil membawa 2 kantung marshmallow untuk dimakan bersama. 
"Yeay! Marshmallow!!!" teriak Veera yang sangat menyukai makanan kenyal tersebut. Alvin pun membagikan tongkat besi kecil untuk membakar marshmallow di api unggun.  
"Jadi siapa yang akan bercerita?" tanya Azka. "Bagaimana kalau aku bercerita tentang caraku menembak Veera di Prom Night?" tawar Saga sambil tersenyum. "Ah tidak usah, tidak usah. Semuanya sudah mengetahuinya" tolak Rava begitu Saga menyelesaikan ucapannya. 
"Tapi aku tidak" sahut Alvin santai sambil membakar marshmallownya di api unggun. "Itu karena waktu itu kau sudah pulang duluan, Vin. Kau minum terlalu banyak" kata Azka pada Alvin dengan sedikit tersenyum. 
"Kalau begitu aku akan cerita!" sela Eva bersemangat sambil mengangkat tangan kanannya ke udara. Semuanya pun memandangi Eva. "Cerita yang ku ceritakan ini adalah cerita nyata.." raut wajah Eva berubah menjadi serius. "Ini cukup menakutkan jika ku ceritakan.." lanjutnya. 
"Jadi pernah suatu malam, pukul 2 pagi. Semua orang sudah tertidur dirumahku. Begitupun denganku. Tapi aku terbangun karena mendengar sesuatu..." kata Eva mulai bercerita. "Suara ketukan.." ujar Eva makin serius. 
"Awalnya aku tak memperdulikan suara itu. Lagi pula aku sangat mengantuk jadi aku berusaha untuk kembali untuk tidur. Sialnya, suara ketukan itu yang tadinya pelan makin mengeras seiring aku tak memperdulikannya. Aku pikir itu ulah kakakku jadi ku katakan padanya untuk berhenti mengetuk dan kembali tidur. Akhirnya suara ketukan itu berhenti. Aku pun kembali untuk tidur. Namun tak lama suara itu kembali lagi dan membuatku terperanjat diatas kasur. Kali ini aku beranikan diri untuk membuka pintu dan bicara langsung padanya..
'Kakak! Sudah ku katakan berhenti! Eng-?!' Tidak ada siapa-siapa disana. Hawa dinginnya malam mulai menusuk kulitku ketika aku menyadari tidak ada siapa-siapa disana. Ku usap lembut kedua lenganku agar tetap merasa hangat. Ku rasakan sesuatu menyentuh kaki ku. Ku alihkan pandanganku kebawah, ternyata itu kucingku. Ternyata dia yang mengetuk-ngetuk pintu kamarku" cerita Eva yang diakhiri tawa jahilnya. Semua yang tadinya sudah terbawa suasana pun mendecak kesal. 
"Tapi bukannya sebelum tidur kau selalu meletakkan kucingmu di kandangnya? Kenapa ia bisa keluar sendiri tengah malam dan mengetuk pintu kamarmu?" tanya Rava dengan wajah bingung. Eva yang tadinya tertawa kini bingung juga mendengar pertanyaan Rava, "Benar juga, aku baru menyadarinya" sahut Eva dan lalu bergumam, kenapa ia baru menyadarinya? "Jangan-jangan, kucingmu itu-" 
"Aku juga punya cerita!" sela Alvin memotong perkataan Azka. Semua mengalihkan pandangannya kearah Alvin, bersiap mendengar ceritanya. 
"Di pulau ini beredar sebuah rumor dikalangan para pemandu wisata.." ucap Alvin dengan wajah serius. "Konon katanya, ada seorang pembunuh yang tinggal di pulau ini-" 
"Katamu pulau ini tak berpenghuni? Dan hanya keluargamu lah yang mendirikan villa disini?" tanya Saga ditengah-tengah cerita Alvin. 
"Itulah yang dikatakan orang yang meyakinkan ayahku untuk membangun villa disini.." jawab Alvin. "Tunggu dulu, kau bilang dia adalah seorang pembunuh. Maksudku siapa yang dia bunuh di pulau tak berpenghuni ini?" Azka ikut bertanya juga.

"Para turis" jawab Alvin singkat. "Villa kami biasanya disewakan untuk turis-turis yang ingin menghabiskan liburannya di pulau ini" lanjutnya. "Kenapa dia membunuhnya?" Rava penasaran juga. 
"Berdasarkan rumornya, dia ingin melampiaskan dendamnya..". "Dengan membunuh orang-orang yang tak berdosa?" tanya Veera menyela. Alvin pun langsung menoleh ke arah Veera. "Tapi ada acara untuk mencegah ia untuk tidak membunuh.." ujar Alvin datar. 
Semuanya bergerak mencondongkan badannya kedepan, menunggu perkataan Alvin selanjutnya. "Kau cukup jangan percaya dengan keberadaannya". "Maksudnya?" tanya Eva. "Para turis yang tahu tentang rumor ini kebanyakan mereka percaya. Dan karena ketakutan yang sudah menyelimuti mereka, jadinya mereka dibunuh" jelas Alvin. 
"Tapi bagaimana caranya si pembunuh itu tau bahwa ada yang percaya dan takut dengannya?" tanya Azka lagi. 
 
"Berdasarkan rumor, dia memiliki mata-mata diseluruh pulau ini. Ada yang juga mengatakan bahwa ia mengetahuinya dari jin yang ia pelihara" jelas Alvin. 
"Benarkah? Apakah ia sedang melihat kita sekarang??" tanya Rava sambil bergidik ketakutan melihat ke sekelilingnya. "Rava! Jangan seperti itu!" gerutu Eva sambil menyenggol lengan Rava. 
"Alvin kan bilang kalau kita tidak percaya dengan keberadaannya, dia tidak akan mendatangi kita. Jadi kita cukup tidak usah mempercayainya" ceramah Saga yang mencoba menenangkan suasana yang mulai sedikit menegang. 
"Tapi aku percaya..." lirih Alvin datar sambil memandang kosong marshmallownya yang ia bakar di api unggun. "Alvin!" teriak Veera. "Jangan seperti itu! Bagaimana kalau ia datang dan membunuhmu?" ucap Veera khawatir. 
Alvin memandangi Veera dengan sedikit tersenyum, "Apakah kau khawatir jika aku akan dibunuh?". "Tentu saja aku mengkhawatirkanmu! Aku mengkhawatirkan semuanya!" ucap Veera dengan keningnya yang mengerut. 
Alvin tersenyum. "Kenapa kau tersenyum?" tanya Veera sedikit kesal. "Aku hanya senang saja" lirih Alvin. 
"Sudahlah, bagaimana kalau kita kembali ke villa sekarang?" usul Azka. Semuanya setuju dan mereka pun kembali menuju villa. 
*** 
Di villa, mereka tidur di tiga kamar berbeda. Veera dan Eva, Alvin dan Saga, serta Azka dan Rava. 
"Azka, lampunya jangan dimatikan ya?" pinta Rava yang sudah mengganti bajunya menjadi piyama dengan motif bergambar kepala beruang berwarna coklat. "Kenapa memangnya?" tanya Azka yang sedang memainkan ponselnya dikasur. 
 
"Perasaanku jadi aneh gara-gara mendengar cerita Alvin tadi" ujar Rava yang juga duduk dikasur. "Jangan dipikirkan. Tidur dan pikirkan Eva saja" kata Azka sambil tersenyum tanpa melihat ke arah Rava. 
 
"Ngomong-ngomong piyama ini dari Eva loh!" pamer Rava dengan senyum manis andalannya. "Benarkah? Bahkan baju piyama kalian couple?" tanya Azka yang kini melihat ke arah Rava, tepatnya ke piyama yang ia kenakan. "Ini hadiah anniversary 3 tahun kami kemarin. Dia benar-benar manis" Rava berkata sambil memandang langit kamar dengan senyum. Sementara Azka hanya tersenyum melihat Rava yang sangat bahagia dengan hubungannya sama Eva. 
 
Sementara Veera dan Eva, mereka berdua sedang berbaring di kasur bersama. "Eva, menurutmu Sag itu orang seperti apa?" tanya Veera sambil mencengkeram ujung selimut yang mereka berdua pakai.

Eva bergumam. Ia berpikir sebentar. "Dia baik. Perhatian. Jujur. Dan sepertinya dia sangat menyukaimu, Ra". "Kau pikir begitu?" tanya Veera lagi. Eva menoleh kearah Veera, "Tentu saja, memangnya kenapa? Ada yang salah?" 

"Tidak ada yang salah. Hanya saja aku merasa ada yang aneh" ujar Veera memiringkan bibirnya. "Apa itu?" ujar Eva penasaran. Veera tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, "Tidak ada, lupakan saja. Ngomong-ngomong inikah  piyama yang kau bilang itu?" kini Veera mengarahkan matanya pada piyama yang Eva kenakan. Ia mengenakan piyama dengan motif kepala beruang berwarna coklat dengan hiasan pita di telinganya.

"Ah iya! Bagaimana? Bagus??" tanya Eva  memamerkan piyama yang ia pakai. "Bagus! Apakah Rava juga memakai motif dan warna yang sama?" sahut Veera. "Motifnya hampir sama, hanya saja kepala beruang miliknya tidak menggunakan pita. Dan piyama dia berwarna biru dan punyaku merah muda" jelas Eva. 
Veera terkekeh, "Warnanya seperti simbol Man dan Woman di toilet umum" ejeknya disela tawanya. Eva menyenggol iseng lengan Veera, "Enak saja. Daripada kalian? Belum memiliki baju couple!" Eva balik mengejek Rava. "Itu karena aku baru berpacaran dengan Saga" ujar Veera santai. 
Eva hanya tersenyum, kini ia memandangi langit kamar. Senyumnya pudar, "Veera, menurutmu apakah cerita Alvin tadi benar adanya?". Veera bergumam, "Aku tidak tahu..". "Bagaimana jika pembunuh itu benar-benar ada dan akan membunuh kita?" tanya Eva yang mulai ketakutan.

"Jangan berpikir seperti itu, Va" ujar Veera menenangkan Eva. "Bagaimana kalau dia tahu kita lagi liburan di pulau ini dan sekarang berada di villa ini?" kini suara Eva mulai bergetar.

"Itu tidak akan pernah terjadi, Eva" sahut Veera santai sambil menarik selimut untuk tidur. 
Tok...  
Tok...  
Tok... 
Pintu kamar mereka berbunyi membuat Veera dan Eva terperanjat dari kasur. Eva yang mulai ketakutan secara refleks memeluk lengan Veera erat. Keningnya berkerut dan matanya tak lepas dari pintu. "Veera!!" bisik Eva takut. "Tenanglah, Eva!" bisik Veera menenangkan Eva. "Siapa itu??" teriak Veera kepada orang yang mengetuk pintu kamarnya.
Hening. Tak ada suara. Sementara Veera dan Eva menunggu respon dari orang di balik pintu kamar mereka.
Tok... 
Tok... 
Tok...
Ketukan itu menaikkan tensi ketakutan Eva. Ia mengeratkan pelukannya pada lengan Veera. "Jangan bercanda! Siapa itu??!" tanya Veera sedikit kesal. Terdengar suara seseorang yang tertawa dari balik pintu. "Ini aku, Veera. Saga!" sahutnya. 
Veera bernapas lega, begitu juga dengan Eva seiring melemaskan pelukannya dari lengan Veera. Sementara Veera berjalan menuju pintu. Ia mendapati Saga yang tersenyum manis disana. "Kau keterlaluan, Eva ketakutan" ujar Veera.

Saga terkekeh, "Maaf, Va!" maaf Saga yang melihat ke arah Eva sekilas. "Ada apa?" tanya Veera. "Kau belum tidur?" tanya Saga. 
Veera menggeleng. "Bagus! Ini, pakailah ini!" pinta Saga sambil memberikan sebuah tas belanja berwarna coklat. "Ini apa?" tanya Veera sambil mencoba mengintip kedalam tas belanja tersebut. "Piyama couple!" jawab Saga dengan tersenyum lebar.

Veera tertawa kecil dengan sikap manis Saga. Ia mengeluarkan piyama tersebut dan mendapati piyama berwarna merah yang sama dengan yang Saga pakai sekarang. 
"Prince" Saga menunjuk tulisan sablon pada piyama yang ia kenakan. "Princess" Saga menunjuk tulisan sablon pada piyama yang Veera sedang lihat sekarang.  
"Kau manis sekali, Saga" puji Veera dengan senyuman. "Aku tahu. Kalau begitu aku akan kembali ke kamar" pamit Saga. "Siap!!" sahut Veera sambil memberi sikap hormat ala tentara pada Saga. 
"Oh iya, jika kau takut. Aku bisa menemanimu!" ujar Saga sambil tersenyum. Veera terkekeh, "Tidak usah, lagian sebenarnya kau yang lebih penakut dari pada aku, kan?" 
"Tch... Tidurlah, sampai ketemu besok!" pamit Saga lagi, ia mengelus-elus pangkal kepala Veera sambil tersenyum sebelum kembali ke kamarnya. 
*** 
Esok paginya, Veera dan Eva telah selesai memasak sarapan untuk semuanya. Azka dan Rava sudah menunggu di meja makan sementara Veera dan Eva baru saja meletakkan piring makanan terakhir di meja. 
"Saga dan Alvin belum bangun?" tanya Veera yang melemparkan pandangannya pada Azka dan Rava. Mereka menggeleng lalu mengambil makanan. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang berlari cepat ke arah mereka. Ternyata itu Saga. Ia mengatur napasnya begitu sampai di meja makan setelah berlari tergesa-gesa. 
"Kau kenapa, Saga?" tanya Veera pada Saga yang mendatanginya di meja makan. Dengan napas yang tersengal-sengal dan dengan mata yang membulat, Saga mencoba untuk bersuara, "A-Alvin... ALVIN!!" ujarnya terbata. 
"Alvin? Dia kenapa?" tanya Veera yang mulai panik. "A-Alvin!! Dia hilang!!!" kata Saga panik. Semuanya yang mendengar itu kaget. "Sejak kapan dia hilang?" tanya Rava.
Saga menoleh ke Rava, "Aku tidak tahu, tadi malam dia terbangun dan dia bilang padaku bahwa dia mau ke toilet". "Apakah mungkin kalau Alvin ketiduran di toilet?" tanya Azka. 
Veera mengangguk, "Benar, siapa tahu Alvin ketiduran di toilet". "Atau mungkin Alvin dibunuh sama pembunuh itu?" tanya Eva yang langsung membuat semua orang memandanginya.

"Tidak mungkin! Pembunuh itu tidak ada" bantah Veera yang mendapat anggukan dari Azka. "Bagaimana kalau kita mencari Alvin saja?"  usul Azka. Semuanya setuju dan bergegas menelusuri Pulau Silmido untuk mencari Alvin.
***
Setelah mengecek toilet, tidak ada Alvin disana. Mereka pun memutuskan untuk mencarinya di sekitar pulau. "ALVIIN!!" teriak Azka ditengah Pulau. "ALVIIIN!!" teriak Veera juga yang memimpin bersama Azka didepan sementara yang lainnya mengekor dibelakang.

Azka menghentikan langkahnya, "Bagaimana kalau kita berpencar?". "Ide bagus! Saga, ayo!" ajak Veera pada Saga. "Rava, Eva, ikut aku!" ajak Azka pada Rava dan Eva.  
Mereka pun berpencar untuk mencari Alvin. Veera menelusuri Pulau Silmido bagian barat bersama Saga. "Ra, menurutmu Alvin masih hidup?" tanya Saga tiba-tiba. "Tentu saja, kenapa harus mengiranya telah mati?" tanya Veera balik. 
"Apakah kau tidak mencurigai kalau hilangnya Alvin gara-gara si pembunuh itu?" tanya Saga lagi. Veera menghentikan langkahnya, "Saga, apakah kau mempercayai rumor itu?" 
"Bukankah masuk akal? Kemarin Alvin bilang kalau dia percaya dengan rumor itu dan sekarang dia menghilang. Besar kemungkinan dia diculik dan dibunuh oleh pembunuh itu kan??" tanya Saga dengan teorinya. "Apakah kau takut?" tanya Veera. "Aku? Tentu saja tidak!" bantah Saga. "Berhentilah memikirkan yang tidak masuk akal seperti itu dan kembalilah mencari Alvin" ujar Veera dan mulai berjalan lagi meninggalkan Saga yang masih diam berdiri. 
"Veera!" tahan Saga yang berdiri didepan Veera. "Ingatlah yang ku katakan ini, apapun yang akan terjadi aku akan selalu melindungimu. Meski itu harus mengorbankan nyawaku" ucapnya tulus sambil menatap mata Veera dalam. 
Veera berkedip, dia tak tahu harus merespon apa. Entah mengapa Saga malah tersenyum, "Ayo kita cari Alvin lagi!" ajaknya dan lalu menarik tangan Veera menelusuri Pulau Silmido. 
Sementara Azka, Rava dan Eva mencari Alvin di Pulau Silmido bagian timur. "ALVIN!!" teriak Rava yang disusul teriakan Azka juga. "ALVIN!!" teriak Eva juga. 
Ketika masih berjalan, Azka menghentikan langkahnya. "Kau kenapa, Ka?" tanya Rava. Kini Eva dan Rava juga menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Azka. 
Azka diam. Pandangannya lurus ke depan. Tak lama, tangannya bergerak naik menunjuk ke arah dimana matanya memandang. Rava dan Eva mengikuti pergerakan tangan Azka. Jarinya menunjuk ke sebuah rumah kayu tua yang berada didepan mereka. "Itu rumah siapa?" tanya Azka datar. 
Rava mengernyitkan keningnya, "Apakah Alvin ada disana?". "Kita tidak akan tahu kalau tidak mengeceknya" jawab Eva sambil berjalan menuju rumah kayu tua tersebut. "Kau benar" sahut Azka mengikuti Eva. Meninggalkan Rava sendiri, "Hei! Tunggu aku!!" 

Mereka tiba didepan pintu rumah kayu tua tersebut, "Terkunci" ujar Evavsetelah mencoba membuka pintu rumah kayu tua tersebut. "Minggirlah" pinta Azka pada Eva. Azka pun mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu kayu tersebut. 
Setelah menghitung satu sampai tiga dengan suara kecil, Azka berlari dan menghantam pintu kayu tua tersebut. Tak butuh waktu lama untuk membuat pintu itu terbuka, dengan sekali dobrakan pun bisa sebab umurnya sudah tua. Mereka pun memasuki rumah kayu tua tersebut. Bukan seperti rumah kayu tua biasa, rumah ini cukup bersih untuk ukuran rumah kayu yang sudah tua apalagi berada di pulau tak berpenghuni seperti ini. 
"Lantai ini seperti baru dibersihkan. Apakah ada orang yang tinggal disini?" kata Rava setelah melihat lantai rumah kayu tua tersebut. 
"Apakah ini rumah pembunuh itu?" tanya Eva sambil mengedarkan pandangnnya melihat isi rumah kayu tua tersebut. "Sepertinya begitu" lirih Azka yang berjalan mendekati meja makan karena ada sesuatu yang menarik perhatiannya disana. 
"K-kalau begitu.. R-rumornya berarti benar! B-bagaimana kalau pembunuh itu tahu kita memaksa masuk kerumahnya d-dan membunuh kita?" Rava mulai bicara gelagapan. 
"Yaampun!" teriak Eva yang ternyata juga mendekati meja makan bersama Azka. Rava mendekat kearah mereka berdua dengan tergesa, "Kenapa? Kenapa? Kenapa?" tanyanya bertubi-tubi. 
"Bukankah itu sweater yang Alvin pakai semalam?" tanya Eva melihat kearah sweater hitam yang Azka pegang. "Iya, ini adalah sweater kesayangannya. Kenapa ada disini?" ujar Azka bingung. 
Rava menepuk pundak Azka, "Sudah ku duga! Alvin pasti dibunuh sama pembunuh itu!!!" . "Rava! Jangan berkata yang tidak-tidak!" tegur Eva kesal. "Tidak apanya? Bukannya semua sudah jelas?" ujar Rava membela diri. 
"Kita lebih baik kembali ke villa dan memberitahu Saga dan Veera soal ini" usul Azka sambil terus memegang sweater Alvin ditangannya. Eva dan Rava pun saling lempar pandang dan mengangguk. 
***
"Benar ini miliknya" kata Saga setelah melihat sweater yang Azka bawa dengan seksama. "Kalian menemukannya di rumah kayu tua ditengah hutan?" tanya Veera yang memandangi Azka, Eva dan Rava. "Benar, kami menemukannya disana" sahut Azka. 
"Veera, dugaanku benar kan? Alvin dibunuh sama pembunuh itu" tanya Rava. "Rava bisakah kau berhenti menanyakan hal itu? Alvin itu teman kita!" sahut Saga meski pertanyaan itu tidak merujuk padanya. "Justru karena dia teman kita makanya aku khawatir!" Rava membela diri. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Eva. 
Semuanya diam. Terjadi keheningan diantara mereka. "Kita harus memancingnya untuk mendatangi kita" ujar Azka memecah keheningan. "Kau serius, Ka?" tanya Ev yang mulai ketakutan. 
"Itulah satu-satunya cara agar kita bisa menangkapnya. Lagi pula jumlah kita lebih banyak. Kita berlima dan dia seorang diri" jelas Azka yang diakhiri dengan senyum. "Aku tidak bisa mengartikan senyumanmu itu" sahut Rava. 
"Azka benar, kita harus bersatu dan melawan pembunuh itu. Demi Alvin!" kata Veera semangat. Pada akhirnya semuanya setuju dengan ide Azka 
***
Malam telah tiba kembali, semuanya berkumpul di ruang tengah villa milik keluarga Alvin "Jika Alvin benar-benar sudah meninggal karena pembunuh itu, apa yang harus kita katakan pada keluarganya?" tanya Eva sambil mengulum tangannya gelisah. Tak ada jawaban. Semuanya memikirkan hal yang sama. Bagaimana jika keluarga Alvin tahu dan menyalahkan mereka semua? 
"Tenanglah, Eva. Ada aku disini" kata Rava sambil merangkul Eva agar ia bisa tenang. Azka memandangi mereka semua, "Sebentar jangan ada yang tidur ya, jadi kalau pembunuh itu datang kita bisa langsung menangkapnya" 
Semuanya mengangguk dan menenggelamkan dirinya di sofa. Veera menyandarkan kepalanya pada bahu Saga yang cukup berbidang. Matanya memandang langit villa. Ia merasakan seseorang menggengam tangannya, begitu ia sadar ternyata itu adalah Saga. Veerabmenoleh kearahnya, Saga sedang tersenyum manis disana. "Sudahlah jangan terlalu dipikirkan, pikirkan aku saja, oke?" 

Veera terkekeh, bisa-bisanya dia berkata seperti itu disituasi seperti ini. Saga dan Veera duduk di sofa bersama, dihadapan mereka duduk Eva dan Rava di sofa yang berbeda. Sementara Azka duduk di sofa khusus untuk satu orang disebelah kiri Veera, lebih tepatnya diantara sofa Saga-Veera dan Rava-Eva. 
Waktu menunjukkan pukul 00.12 tapi belum ada tanda-tanda dari pemeran utama rumor tersebut. Silih berganti mereka menguap, tentu saja hal itu terjadi karena selain hari sudah larut, badan yang lelah, energi yang terkuras, menguap juga dapat menular. 
Saga menguap dan perlahan memejamkan matanya sambil menyenderkan kepalanya diatas kepala Veera yang masih bersandar di bahunya. Veera yang mulai mengantuk sedikit tersentak, namun begitu ia kembali memejamkan matanya. Sementara Rava dan Eva sudah tidur lebih dulu dari tadi. Azka tak bisa melawan kantuknya sendiri, ia pun memejamkan matanya juga. Ia berencana untuk tidur sebentar saja, setidaknya energinya bisa terisi sedikit sebelum menangkap pembunuh tersebut.

Pukul 02.01
"AARRGGGHHH!!"  teriakan itu membangunkan semuanya. "Eva? Kau kenapa?" tanya Veera, ternyata yang teriak adalah Eva. "Rava! RAVA!!!" jawabnya dengan wajah merah karena menangis. 
Semuanya sadar, Rava sudah tidak ada di ruangan ini. "Dia mati!" sambung Eva yang kini menangis sejadi-jadinya.  "Jangan asal bicara, Eva!" kini Veera memegangi kedua pundak Eva agar ia tenang. 
"Veera! Rava benar-benar sudah mati! Bukalah matamu pada kenyataan! Alvin juga pasti sudah mati! Itulah mengapa Rava mati juga malam ini!" bantah Eva yang meneriaki Veera tepat diwajahnya diselang tangisnya.

Azka mendekat untuk menenangkan Eva dengan memeluknya. "Tenanglah, Eva" lirihnya lembut. "Kau bilang Rava telah mati, darimana kau mengetahuinya?" tanya Saga. "Aku melihat tubuhnya tergeletak didepan kamar. Saat ku cek denyut nadinya sudah tidak ada" jawab Eva setelah ia melepaskan pelukan Azka. 
Tanpa diduga, Veera langsung berjalan menuju kamar Rava untuk memastikan apakah yang Evabkatakan benar atau tidak. Sagavmenyusulnya dibelakang. Sesampainya di depan kamar, tidak ada apa-apa disana. Bahkan tidak ada bekas darah di lantai atau semacamnya. 
"Apakah kau bercanda, Eva?" Veera menyipitkan matanya. Eva menggeleng. "Tidak! Tadi ia ada disini! Sumpah!" bantah Eva dengan wajah sembabnya. Suasana cukup memanas. Sementara Eva belum bisa mengontrol emosi dan perasaannya, Azka pun membawanya untuk istirahat dikamar Eva. 
"Apakah pembunuh itu ada villa ini sekarang?" tanya Saga pada Veera, mereka sekarang sudah kembali ke ruang tengah. Tak lama Azka telah kembali setelah membawa Eva ke kamarnya. "Kita harus mencari bantuan" lirih Veera. "Bantuan? Tapi kita ini dipulau yang jauhnya 30km dari pelabuhan" sahut Azka. 
"Terus kita harus bagaimana?" tanya Saga juga. "Apapun yang akan terjadi, kita harus melawan pembunuh itu dan membuatnya untuk membayar semua perbuatannya" kini Azka berbicara dengan mata yang berapi-api. Ia benar-benar serius jika sudah dihadapkan dengan masalah yang melibatkan temannya. 
"JANGAN!!!!" tiba-tiba terdengar suara teriakan dari kamar Eva. Tak lama setelah teriakan itu, terdengar suara nyaring. Sepertinya sebuah benda yang terjatuh dilantai. 
"EVA!!!" Azka dengan spontan berlari menuju kamar Eva. Sementara Veera dan Saga diam mematung, masih memproses peristiwa yang barusan terjadi dihadapan mereka. Azja berhasil menemukan pembunuh itu. Dia berpakaian serba hitam. Wajahnya ia tutupi dengan masker serta ia memakai topi. Pembunuh itu menoleh ke arah pintu dengan pisau berlumuran darah segar ditangannya. "Keparat kau!" teriak Azka dan langsung menyerang pembunuh itu. Dia melemparkan pukulan kearah tangan pembunuh itu agar pisau yang ia pegang jatuh. Azka berhasil dan pisau berdarah itupun jatuh ke lantai.  
"Dasar gila! Apakah membunuh para turis tidak cukup bagimu sehingga teman-temanku juga kau bunuh?!!" bentak Azka sambil melilit lengan pembunuh itu agar ia tidak bisa bergerak. "Saga!!! Cepatlah kemari!" panggil Azka yang masih berusaha mengunci pergerakan pembunuh itu. 
Tak lama Saga pun datang dengan Veera dibelakangnya. Sialnya, begitu Saga datang pembunuh itu berhasil lolos dari cengkeraman tangan Azka dan segera meraih pisau miliknya yang tergeletak tak jauh darinya. Pembunuh itu pun dengan cepat mengayunkan pisau itu melewati leher Azka dan meninggalkan luka sayatan disana. Kembali darah segar diciptakan dari pisau itu. "AZKAA!!!" teriak Veera. 

Azka mengutuk dirinya sendiri karena berteriak seperti itu sebab pembunuh itu langsung menoleh kearah mereka berdua dan beranjak dari lantai. "VEERA! AYO!!!" Saga menarik tangan Veera untuk berlari meninggalkan villa tersebut.  
Mereka pun berlari. Sayangnya mereka harus berlari melewati hutan agar bisa mencapai bibir pantai. Mereka hanya bisa mendengar suara napas mereka yang terengah-engah dan suara dedaunan yang mereka pijaki karena berlari. Bulu kuduk mereka masih bisa merasakan hawa bahwa pembunuh itu masih mengejar mereka. 
Sialnya, karena mereka lupa membawa senter maupun ponsel, Saga tak melihat batang pohon tumbang dihadapannya. Mereka berdua pun tersungkur ditanah. "Saga!" ucap Veera panik. Saga meringis kesakitan. "Pergilah, Veera" pintanya ditengah-tengah rintihannya. 
Veera menggeleng, ia mulai menangis "Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu!" kini Veera memegangi wajah Saga, matanya mulai berair. Air matanya terbendung dipelupuk matanya, bersiap untuk meluncur bebas di pipi putih miliknya. "Veera, ingatlah selalu kalau aku ini mencintaimu. Lebih dari yang kau bayangkan.." lirih Saga. 
Veera makin menangis, ia mendekap kepala Saga sebab ia tidak bisa berdiri. Kakinya terjepit pada batang pohon tersebut. "Tidak, Saga! Jangan ucapkan selamat tinggal! Aku akan menyelematkanmu dari batang pohon ini!" ujar Veera yang lalu melemaskan dekapannya dan mulai mencoba mengangkat batang pohon itu. 
Veera berusaha keras mengangkat batang pohon itu, namun apalah daya, dia tidak memiliki kekuatan yang besar ditambah lagi kenyataan pahit yang tidak dia inginkan terjadi padanya sekarang. "Veera..." panggil Saga yang menarik lengan Veera untuk duduk kembali. Masih menangis, Veera pun duduk didepan Saga. Dengan mata sembab, ia memandang wajah tampan Saga yang mungkin itu merupakan kesempatan terakhirnya. "Berhentilah menangis, cantikmu hilang kalau menangis" ucap Saga manis sambil menghapus air mata Veera dengan lembut. Veera ingin sekali marah, bisa-bisanya Saga bersikap manis disaat-saat seperti ini. "Kumohon pergilah. Kau harus tetap hidup" pinta Saga. Kini ia menangis namun ia masih bisa mengontrol emosinya. 
Veera menundukkan kepalanya sambil menahan tangisnya yang hampir saja meledak. Badannya bergetar hebat. Mulutnya bahkan tak mampu berkata untuk menjawab perkataan Saga. "Veera..." lirih Saga lagi. Sungguh, suara Saga yang memanggil namanya dengan seperti ini sangat menyakitkan namun entah mengapa juga sangat menenangkan. 
"Veera.." Saga memegangi dagu Veera dan menuntunnya untuk menatap matanya. "Aku akan melakukan apapun untuk melindungimu. Meskipun aku harus meregang nyawa untuk itu..." Saga membasahi bibirnya, napasnya mulai berat seiring air matanya yang terus berjatuhan.  
"Veera... I Lov--" belum sempat Saga menyelesaikan ucapannya, sebuah pisau muncul tiba-tiba, keluar dari dadanya. Pembunuh itu menusuk Saga dengan pisau dari belakang. Mata Veera membulat, kaget. Ia tak mengantisipasi kejadian itu. Matanya bergerak naik seiring runtuhnya badan Saga ketanah. Ia kini melihat wajah pembunuh itu yang ditutupi masker. 
Dengan sekuat tenaga, Veera pun berlari dari pembunuh itu. Dan tentu saja, predator tidak akan melepaskan mangsanya begitu saja. Pembunuh itu mengejar Veera hingga ke pantai. Veera menghentikan langkahnya begitu ia hampir mendekati bibir pantai. Tanpa diduga pembunuh itu juga ikut berhenti berlari. Dengan badan gemetar, Veera berbalik. "Kau! Apa yang kau inginkan?!" bentaknya pada pembunuh itu. Namun ia hanya diam sambil mengatur napasnya. "Mengapa kau membunuh orang-orang yang tak bersalah? Kau membunuh mereka yang bahkan tak mengenalmu!!" bentak Veera lagi ditengah tangisnya. 
Pembunuh itu berjalan mendekati Veera, dengan refleks Veera berjalan mundur. Pembunuh itupun menurukan maskernya hingga ke leher. "R-Rava?!!" ucap Veera tak percaya. 
Pembunuh itu adalah Rava??? Veera tak mengerti dengan apa yang dihadapinya sekarang. "K-kau?? Pembunuh itu?!" tanya Veera tak percaya. "T-tapi.. Kenapa?!!" Veera membentak Rava dan kini ia menangis lagi. "Kita semua ini teman, Rava!" sambung Veera. 
Rava masih tak berbicara, ia menghela napasnya dan berbalik arah meninggalkan Veera. "RAVA!!!" panggil Veera. 
***
3 hari berlalu. Berita meninggalnya empat remaja di Pulau Silmido pun beredar. Namun kasusnya telah ditutup sebab pelakunya, Rava telah menyerahkan diri ke kepolisian. Veera masih belum bisa memahami semuanya. Setelah menemui Rava di penjara pun ia masih belum mengerti. 
*** 
"Eva?" Ravavberdecak, "Beberapa bulan lalu aku memergokinya sedang bermesraan dengan Azka. Aku merasa dikhianati" ujar Rava ketika ditemui Veera dipenjara. 
"Lalu, Alvin? Kenapa kau membunuhnya?" tanya Veera. "Dia terlalu pamer. Aku tidak suka orang seperti dia" jawabnya datar. Mata Veera berkaca-kaca, badannya gemetar. "Bagaimana dengan Saga?" 
"Saga? Awalnya aku tidak berniat untuk membunuhnya. Tapi ku pikir dia akan melaporkanku ke polisi, jadi aku tak punya pilihan lain selain membunuhnya" jelas Rava. Veera mengangkat kepalanya. "Berarti kau juga berniat untuk membunuhku juga, kan?" tanyanya. 
Rava menatap mata Veera sendu, "A-awalnya seperti itu. Tapi begitu aku melihatmu. Aku tidak tega. Kau selalu baik padaku, Ra. Karenamu juga aku menyerahkan diri" kata Rava, ia menyesali perbuatannya. Veera beranjak dari kursi, "Terima kasih karena sudah mengakui perbuatanmu dan membayar semuanya" ujar Veera disela tangisnya dan lalu berjalan pergi meninggalkan penjara tersebut. 
***
Rava pun harus dipenjara seumur hidup atas perbuatannya. Itu lebih baik daripada dihukum mati. Mati secara perlahan adalah hukuman yang pantas baginya. Sementara Veera, dia berusaha untuk menata hidupnya kembali. Meski harus hidup tanpa teman-teman kesayangan disisinya. Ia percaya bahwa ia selalu bisa merasakan kehadiran mereka semua karena Alvin, Azka, Saga dan juga Eva mendapatkan tempat istimewa di hati Veera. Dan itu tidak akan tergantikan sampai kapanpun.  

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
An Angel of Death
369      239     1     
Short Story
Apa kau pernah merasa terjebak dalam mimpi? Aku pernah. Dan jika kau membaca ini, itu artinya kau ikut terjebak bersamaku.
THE DARK EYES
720      406     9     
Short Story
Mata gelapnya mampu melihat mereka yang tak kasat mata. sampai suatu hari berkat kemampuan mata gelap itu sosok hantu mendatanginya membawa misteri kematian yang menimpa sosok tersebut.
THE STORY OF THE RAIN, IT’S YOU
853      505     7     
Short Story
Setelah sepuluh tahun Mia pulang ke kampung halamannya untuk mengunjungi makam neneknya yang tidak dia hadiri beberapa waktu yang lalu, namun saat dia datang ke kampung halamannya beberapa kejadian aneh membuatnya bernostalgia dan menyadari bahwa dia mempunyai kelebihan untuk melihat kematian orang-orang.
Vandersil : Pembalasan Yang Tertunda
393      289     1     
Short Story
Ketika cinta telah membutakan seseorang hingga hatinya telah tertutup oleh kegelapan dan kebencian. Hanya karena ia tidak bisa mengikhlaskan seseorang yang amat ia sayangi, tetapi orang itu tidak membalas seperti yang diharapkannya, dan menganggapnya sebatas sahabat. Kehadiran orang baru di pertemanan mereka membuat dirinya berubah. Hingga mautlah yang memutuskan, akan seperti apa akhirnya. Ap...
Gadis dalam Mimpi
440      294     0     
Short Story
Aku terlonjak kaget hingga membentur bangku saat mengetahui tiba-tiba seseorang sudah berdiri disampingku. Sekujur tubuhku serasa kaku. Jantungku berpacu cepat, tidak karuan. Aku mundur, menjauh darinya sambil menutup kedua mataku, mengambil nafas dengan susah payah.
Ruman Tengah Jalan
745      445     3     
Horror
Crashing Dreams
264      222     1     
Short Story
Terdengar suara ranting patah di dekat mereka. Seseorang muncul dari balik pohon besar di seberang mereka. Sosok itu mengenakan kimono dan menyembunyikan wajahnya dengan topeng kitsune. Tiba-tiba sosok itu mengeluarkan tantou dari balik jubahnya. Tanpa pasangan itu sadari, sosok itu berlari kearah mereka dengan cepat. Dengan berani, laki-laki itu melindungi gadinya dibelakangnya. Namun sosok itu...
What If I Die Tomorrow?
424      270     2     
Short Story
Aku tak suka hidup di dunia ini. Semua penuh basa-basi. Mereka selalu menganggap aku kasat mata, merasa aku adalah hal termenakutkan di semesta ini yang harus dijauhi. Rasa tertekan itu, sungguh membuatku ingin cepat-cepat mati. Hingga suatu hari, bayangan hitam dan kemunculan seorang pria tak dikenal yang bisa masuk begitu saja ke apartemenku membuatku pingsan, mengetahui bahwa dia adalah han...
Misteri D
471      265     2     
Short Story
Martin kedatangan seorang teman baru yang merupakan seorang gadis cantik bernama Dina. Martin menyukai Dina tanpa mengetahui satu rahasia tersembunyi darinya.
They Who Cannot Be Seen
398      291     1     
Short Story
Ainsley and her family went for a trip, but "they" that we used to call as ghost or spirit came to disturb their family. Will they survive?