"Dendam adalah sebuah ilusi yang hidup dan berkembang dengan sendirinya.." Fukaboshi, Anime Episode 564 (One Piece-Eiichiro Oda)
1. Bima Sakti
Pukul 14.30
"Si Egi beneran nggak dateng?"
Namanya Mandala Sam Pratama. Ketua koordinasi bagian kepramukaan. Mungkin kalau bukan buk Neni -- wali kelas XI 1 IPA yang mencak-mencak di depan wajahnya untuk merekrut Egi si petakilan yang menjadi rivalnya itu, mungkin Mandala nggak mau repot-repot untuk memikirkan keberadaan Egi.
"Kan tadi dia udah bilang ijin." Sahutan Dendi berhasil menciptakan suasana hening. Lebih tepatnya mereka berlima menghela nafas jengah karena menunggu Egi nyaris setengah jam lebih. Lewat dari jadwal yang telah ditentukan.
"Ya udah nanti gue laporin sama buk Neni." Mandala terdengar mengancam. Itu senjata andalan Mandala dalam bertugas. Sedikit-sedikit melapor dan mengadu.
Memang harus diakui beberapa murid kalau Mandala itu sosok yang perfect. Wajah, tubuh dan kepintarannya dalam pelajaran dan kepemimpinannya juga tidak bisa diragukan lagi. Namun sejak menjadi bagian inti OSIS dan berhasil mengalahkan Egi yang dulu juga sempat menjadi sorotan teratas sebagai murid teladan , sosok Mandala digadang menjadi yang paling dielukan sekaligus mendapat cibiran karena tingkahnya. Keangkuhannya terkadang menjadi cacat bagi diri Mandala sendiri. maka tak heran, sosok Mandala memiliki musuh terutama Egi.
Entah apa penyebabnya, yang jelas semua menganggap dua siswa populer SMA Negri 69 itu terbelah menjadi dua sosok yang saling bersebrangan. Mandala dicap malaikat bersayap putih bagi sebagian murid dan Egi sebagai setannya karena sekarang lebih suka berulah disekolah.
"Ini Nana, dia bakal bantuin kita dibagian dapur. Jadi bareng sama lo Den , bagian nyiapin makanan anak-anak."
Dendi jelas mau-mau saja, karena menolak perintah Mandala resikonya pemotongan poin. Tapi, ia sedikit berjengit juga melihat sosok Nana yang menjadi pendampingnya di dapur nanti. Nana menaikkan sedikit wajahnya yang tertutup poni lebat. Salamnya yang seperti itu tetap tak menampakkan wajahnya utuh hingga membuat seisi rapat dadakan itu menggeleng bercampur ngeri. Jika dilihat sekilas, penampilan Nana mirip sadako versi Indonesia. Kulitnya putih dan lebih mirip mayat hidup. Menambah predikat aneh dan gadis si 'Muka Pucet' padanya tertambat jelas.
"Hai.." sapanya pelan. Semunya membalas sapaan itu sungkan, mesti sebagian yang lain juga merasa asing dengan keberadaan Nana.
Gadis itu hanya tertunduk. Dendi bergidik.
"Yang lain lihat barang-barang yang mau dibawa sesuai yang tertulis disana. Gue mau koor tempat. Kalo gitu Pia sama Heri buruan ambil tiker sama tenda biar cepat dipasang. Entar gue bantuin juga sama anak-anak kelas sepuluh."
"Oke."
***
2. Andromeda
Pukul 16.40 WIB
"Na ?" tegur Dendi disela-sela aktifitasnya menggiling cabai. Dengan rambut kribo, kulit mulai cokelat seperti ubi bakar, tenda yang panas, bau ketek , bau keringat semua bercampur menjadi satu. Cowok cungkring yang tabiatnya memang suka masak itu mulai menderita melihat Nana yang sejak tadi tak lepas dari buku. Diminta memotong daun bawang , panjangnya sampai setengah jari. Diminta untuk menggoreng kerupuk , hampir setengahnya telat untuk diangkat. Dua sampai tiga kali kesalahan , Dendi masih bisa sabar, tapi saat bawang merah itu menjadi gosong, hilang sudah ke-girly-an Dendi.
"Naaannnaaa !! isshhh sebel deh. Lo kan cewek, nggak pernah masak yah dirumah? bawang merah lagi mahal taauuuuu, kan mubazir kalo gosong gitu isshh."
Nana bersidekap, terkejut dengan suara Dendi yang tadinya melengking lembut nan ramah kini terdengar menggeram jantan seperti singa, "Anni...aaaku emang nggak pinter masak."
"Makannya diperhatiin. Nih rambut iket dulu deh, risih gue liat poni lo panjang nutupin mata !"
Dengan asal Dendi mengikat poni Nana yang terurai, mengikatnya dengan karet gelang. Egi dan Heri tak lama muncul membawa beberapa kayu dan snack yang telah dipesan untuk para peserta pramuka. Mereka pun cukup tercengang melihat seberapa berantakannya dapur dadakan ini.
"Nah gini kan cakep !"
"Hayooo ngapain lo berdua??" celetuk Heri sembari mencomot timun.
"Bibibi..dadari broh?"
Dendi bingung, ia pun menarik lurus pandangan Heri kesatu sosok yang berdiri terdiam layaknya boneka dengan baskom ditangannya.
Nana dengan poninya yang terikat , membuat wajahnya kini terlihat jelas. Mata bulat dengan kornea keabu-abuan memberi kesan gadis asia dari negeri ginseng padanya. Ditambah bulu matanya yang juga lentik dengan make up tipis diwajahnya , menjadi nilai plus. Sayang Nana tidak terlalu pede untuk tampil didepan umum. Entah apa sebabnya.
"Biasa aja ah, masih lentikkan bulu mata gue" celetuk Dendi sadis, membuat Heri menghadiahkan mulut pedas Dendi dengan timun.
"Ya iyalah, lo kan doyan pedang ! Lo naksir Egi diem-diem kan?"
Egi menunjukkan tampang jijik, sedangkan Dendi menggeliat seperti kucing kebelet kawin, "Kok gue dibawa-bawa sih."
Sadar jika Nana tengah dibicarakan, gadis itu membalikkan badan melanjutkan pekerjaannya yang tertunda, mengiris tomat.
"Gue bantu-bantu disini aja yah" rengek Heri mencoba merayu.
"Modus lu, balik sono bantuin Mandala. Entar dia ngamuk loh."
"Cih..takut amat sih sama dia, eh Her..gue mau ngerokok dulu dibelakang" timpal Egi yang diam-diam juga memperhatikan Nana yang belum pernah dilihatnya itu.
"Wei..nih kerjaan gimana??" teriak Heri sambil mengejar Egi yang melenggang ke kantin belakang.
"Na !! Udah kelar belom?? Ntar lo buat es buah aja deh, potong buahnya kecil-kecil. Kalo itu tau kan?" sindir Dendi sesekali menaikkan pupil matanya keatas dengan dagu yang juga naik 45° , mendikte Nana agar kali ini bisa sedikit membantunya.
Nana nyengir sambil mengangguk ragu-ragu, "Iya."
"Nih, kalo mau motong buah pake pisau yang ini."
"Itu pisau one set yah?"
"Huum."
Dendi memamerkan koleksi pisaunya yang ia bawa dari rumah. Meski semuanya bisa dipakai untuk memasak, tapi Dendi yang memang bercita-cita ingin menjadi koki itu, lebih suka memakai pisau berbeda untuk digunakan saat beraktifitas didapur.
"Nah, pake yang ini kalau mau pakai motong buah."
Nana mengangguk lalu memperhatikan pisau yang memiliki ukuran berbeda-beda. Untuk pisau memotong buah, Dendi menunjuk pisau parring knife dengan mata pisau pendek dan melengkung untuk dipakai. Karena pisau itu sangat pas untuk membentuk buah dan sayur.
"Yang kosong ini pisau buat motong apa?" tanya Nana penasaran.
"Tuh...lagi gue pake buat ngiris bawang yang lo buat gosong tadi."
Sekali lagi Nana hanya bisa nyengir kuda mendengar omelan Dendi yang melebihi cabenya mulut para cewek.
Group chat : Panca 69 dilihat pada pukul 17.10 WIB
Jones > wooii Monik !! Lo dimana?? Buruan ke kelas belkng !!
Dendi mengeryit melihat pesan Heri di group. Jari lentiknya yang tengah merangkai selada di nasi goreng dalam styrofoam pun berpindah pada layar ponselnya.
"Kenapa sih nih bocah?"
Nana pun ikut mengecheck pesan diponselnya yang tak lama berbunyi tanda pesan balasan dari Dendi.
KetcupBasah > Nape lo nyari Monik? Tadi gue liat dia mandu anak-anak disawah.
Jones > Panggilin gih, Egi sm Mandala berantem lg.
Dendi memekik. Tangannya langsung ia bersihkan kemudian beranjak menuju TKP.
"Egi sama Mandala berantem? Emang ada masalah apa?" tanya Nana setengah tak mengerti. Yah, secara Nana juga murid pindahan, ia pun tidak begitu tau insiden sengit perebutan gelar antara Egi dan Mandala dulu.
"Duuhh kepo lo ditahan dulu deh, buruan kesana. Bahaya kalo mereka udah tegang urat."
Nana menurut dan ia pun ikut serta ke kelas belakang yang bersebelahan dengan kantin dan gudang buku. Beberapa anak kelas X berkumpul menyaksikan adu tonjok antara kedua panitia pramuka hari ini. Heri yang badannya lumayan besar pun tak sanggup melerai keduanya.
Alhasil teriakan dari buk Neni lah yang menghentikan keduanya. Buk Neni yang tengah hamil tua itupun tak kuasa untuk tidak menampar Egi dan Mandala yang sering membuat kegaduhan.
"Kalian ini kenapa lagi sih??? sampai kapan kalian begini terus? berkelahi terus-terusan? huh?"
Egi bergumam, "Sampai diantara kita ada yang mati buk."
Syock, buk Neni kembali memukul lengan pemuda itu dengan tenaganya yang tidak seberapa . Monik dan Pia datang menghampiri buk Neni yang sepertinya sudah terlihat lelah. Khawatir , mereka pun membawa buk Neni menjauh.
"Mulut lo harimau lo, Egi !!" komentar Pia yang seolah bosan melihat tingkah Egi yang berhati sempit tidak bisa menerima kekalahan. Itu bagi mereka, bahkan persoalan sebenarnya bukan karena itu.
"Lo nggak tau apa-apa Pia ! nggak usah sok nasehatin gue !"
Pukul 18.15 WIB
"Ketemu nggak Na??"
"Enggak.."
Semua persiapan makan malam telah selesai. Namun ada beberapa yang mengusik Dendi hingga membuat Nana cukup kualahan.
Heri datang dengan wajah kusut. Entah apa yang membuatnya sedemikian rupa, duduk bersandar di salah satu kursi sambil meneguk dua botol air mineral yang salah satu botolnya tinggal setengah bagian.
"Lo berdua ngapain sih? grasak grusuk kayak kucing nyari ikan asin?" celetuk Heri dengan nada tak bersemangat. Namun begitu Nana menoleh dan memasang wajah innocent, Heri seperti mendapat tenaga. Ia bahkan tersenyum lebar.
"Lagi nyari pisaunya Dendi."
"Duuh, Mandala kemana sih? Pisau one set gue ilang satu. Cuka juga ada yang hilang sebotol , dibelakang gue ada orang yang lagi ngerujak ye? isshh." Desis Dendi kesal.
"Emang lo bawa pisau berapa sih?" tanya Heri kemudian. Ia pun segera bangkit membantu untuk mencari.
"Ada lima. Yang hilang tuh pisau iris kesayangan gue."
Heri mengeryit bingung, "Serem juga lo, doyanannya main pisau."
Dendi mengangguk sambil bertolak pinggang mengancam , "Makannya jangan suka nyari gara-gara. Gini-gini permainan pisau gue nggak bisa dianggep remeh."
Heri tertawa hingga terpingkal-pingkal, "Iyee daahh tapi keahlian lo jangan buat bunuh orang, pamali. Eh tapi yah..." Heri berpikir sejenak lalu menjentikkan jarinya berhasil mengingat sesuatu, " Waktu gue disuruh buk neni buat nyamperin Egi , gue liat dia abis dari dapur. Nyembunyiin sesuatu deh tapi nggak gue tanya apaan."
"Serius lo?"
***
3. Bode
Pukul 18.30 WIB
"Na, tolong jaga bentar yah. Gue mau shalat maghrib dulu. Abis itu bantuin gue nyari pisau." Titah Dendi yang kali ini terlihat kalem. Mungkin efek air wudhu.
"Gue balik ke tenda kalo gitu." Dendi mengangguk lalu bergegas menuju musholah untuk menghadap sang Ilahi dipetang hari ini.
"Lo nggak solat Na?" tegur Pia yang juga bersiap untuk shalat. "Nggak, gue lagi free nih." Pia mengangguk.
Dibelakang Pia , muncul Monik yang sedikit tergesah-gesah dengan mukena yang tengah ia tandang. Bahkan kecerobohannya membuat kainnya terjatuh. Nana mencoba membantu mengutipnya, namun siapa sangka perlakuan Nana itu membuat Monik gelagapan hingga menepis tangan Nana kasar.
"Eh sorry, gue nggak maksud" ujar Monik semakin bertingkah aneh, Nana hanya mengangguk lalu mempersilahkan keduanya masuk.
Suasana cukup hening. Disekolah yang cukup besar ini , Nana terpaksa harus berjalan memutar jika ingin kembali ke tenda. Jarak Musholah dengan camp anak-anak pramuka terhalangi oleh gedung laboraturium dan perpus. Untuk lebih cepat sampai menuju dapur dadakan, Nana mengambil arah memutar lewat gedung kedua yang letaknya berada diseberang lapangan badminton. Karena dari arah tengah kini ditutup agar para peserta pramuka tidak petakilan keluar sekolah tanpa pengawasan.
Brak.
Nana mendengar benda terjatuh dari kelas XI 1 IPA. Penasaran ia pun segera menuju sumber suara yang sedikit mencurigakan. Bayangan seseorang tengah berdiri didepan pintu kelas. Memegang pisau yang berlumuran darah.
Sang siluet nyaris saja ingin berteriak karena terkejut, tapi berhasil dicegah Nana yang dengan cepat menutup mulut sang siswa.
"Egi ?" tegur Nana sekaligus memberi tatapan yang membuat Egi berdiri gemetar. Nana melepas dekapannya lalu mulai memperhatikan Egi dan pisau yang dia lempar kesembarang arah.
"Na !! lo..jangan salah paham. Bu..bukan gue. I..tuu..Man..ddala.." ujarnya terbata-bata ketakutan.
Tubuh Egi gemetaran sangat hebat menunjuk sosok Mandala yang kini telah terbuju kaku. Nana menoleh dan hanya meneguk salivanya. Sedetik kemudian, ia menutup pintu kayu, mendekati tubuh Mandala yang penuh dengan luka tusukan.
Darah merembes keseluruh seragamnya. Mandala meninggal dengan posisi terlentang dengan tangan kanan berada didada dan tangan kiri disisi tubuhnya. Sekelebat bayangan bagaimana Mandala terbunuh muncul begitu saja di benak Nana. Mungkin karena efek suka membaca buku karya misteri. Melihat mayat nyata di hadapannya seperti mendapat kue tart di ulang tahun. Sugoi, gumamnya.
"Guuee.."
"Lo ngapain disini?" tanya Nana dingin. Egi menyapu keringat jagung yang terus meluncur dikeningnya.
"Gue mau ngambil tas Pia karena kunci motor gue ditahan sama dia."
Nana memutar badan lalu memberikan beberapa lembar tisu kepada Egi. Sikap tenang Nana yang tidak berteriak apalagi bersungut-sungut menuduh Egi pelakunya, sedikit memberi kekuatan pada Egi yang masih syock. Hingga ia setidaknya sedikit bisa bernafas lega.
"Jadi lo mau nyolong dong?"
Egi berkelit, jelas bukan seperti itu, "Enggak ! gue bukan mau nyolong sumpah Na, lo jangan bikin gue bingung. Lo percaya kalau bukan gue yang ngebuat Mandala mati?"
Nana menggendikkan bahu seolah tak mau tau, "Siapa yang bakal percaya kalo bukan lo pembunuhnya?"
Egi tertohok. Ia kembali merasa sesuatu menghujam tubuhnya. Membuat Egi diam , lemah tak berdaya.
"Sore tadi lo berantem sama Mandala, terus sekarang alat pembunuhnya baru aja lo sentuh pake tangan lo sendiri. Kalo lo berkelit, polisi dengan mudah nangkep sidik jari lo yang ada disana. Iya kan?"
Sekali lagi , tatapan Nana semakin membuat lidah Egi kelu. Nafasnya bahkan kembali tersendat-sendat mendengar fakta yang ia dengar sekarang. Bagi Egi, ini waktu yang tepat untuk memaki kebodohannya, mengapa ia menyentuh benda laknat itu.
"Sumpah Na..bukan gue. Beneran...sebenci-bencinya gue sama Mandala, gue nggak mau ngotorin tangan gue buat ngebunuh dia."
Nana terkekeh, melihat Egi seperti bocah ingusan yang takut dipukul oleh ayahnya. Tak tega melihat ekspressi Egi yang semakin tersudut, Nana berhenti mengancam Egi dan memulai introgasinya sesuai yang ia tau.
"Oke, emang kenyataannya kalo bukan lo pembunuhnya."
Egi melongok, ia mulai bangkit bersemangat dengan mata bulatnya yang mulai berkaca-kaca , terharu.
"Gimana bisa lo setenang ini sih? serius lo bisa jadi saksi gue kan Na?? gue sumpah akan balas kebaikan lo kalau.." Nana menginterupsi dengan kembali membungkam mulut Egi dengan jari telunjuknya, "Terima kasihnya ntar aja, sekarang selesaikan masalah ini dulu."
===
Pukul 18.40 WIB
"Ini kasus pembunuhan nyata yang pernah gue lihat."
"Lo nggak takut Na?"
Nana tersenyum tipis, "Takut sama orang mati? beberapa tahun kedepan kita juga bakal mati kayak dia kok. Yang harus lo pikirin sekarang adalah cari siapa pelakunya. Lo mau bantuin gue mecahin kasus ini dalam waktu satu jam kan?"
"Hah?? Emangnya bisa? lo apalagi gue itu bukan polisi ! lo kira ini cerita khayalan detektif conan apa?"
"Gue buktiin ke elo, kalo kita bisa nyelesaikan ini."
Egi jelas meneguk ludah, ia berada disituasi genting sekarang. Sebelum anak-anak mulai ke acara tumpuk tenda , mereka berdua harus menyelesaikan kasus ini. Kalau tidak, ia akan jadi satu-satunya terduga pelaku pembunuhan.
"Didepan pintu ada percikan darah. Di meja ini (meja murid dekat pintu) dan lantai juga banyak percikan darah, gue bisa nebak Mandala dibunuh dari arah depan. Didorong hingga Mandala menggelepar kesini (meja guru)"
Egi mengangguk mengerti membayangkan kronologis kejadian. Nana melanjutkan, "Tapi yang gue heran, seperti nggak ada tanda-tanda perlawanan dari Mandala, hanya bekas luka tonjokkan lo yang udah diobati pake obat merah."
"Bibir Mandala kok bisa biru gitu yah?" Egi mengajukan pertanyaan, membuat Nana tersenyum tipis lega , "Lo mulai tertarik kayaknya."
Egi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tersipu dengan ucapan Nana yang seolah meledeknya yang tadi ogah-ogahan untuk ikut sok menjadi detektif-detektif seperti di televisi.
"Itu racun. Mandala diracun sebelum dibunuh. Bibir yang biru, ujung jari yang agak memutih dan pupil yang mengecil, itu tanda-tanda keracunan. Suhu tubuhnya masih hangat, jadi Mandala mungkin meninggal sekitar 20 - 30 menit yang lalu. Jadi.... kalau dilihat sekarang pukul 18.40 menit, Mandala tewas ditikam sekitar 18.20 menit dan racunnya..."
Egi kembali melongo mendengarkan, antara terkesima dan menyerap penjelasan Nana. Batinnya mengatakan entah kenapa gadis ini terlihat berbeda saat pertama kali ia temui ditenda dapur, dan ternyata memang beneran beda , "... dikasih ke Mandala sekitar jam 6 setelah pertikaian kalian. Lo dimana waktu abis kelahi ama Mandala?"
"Huh?" Egi mencoba kembali fokus, setelah sebelumnya malah terpana, "Gue ketenda belakang ngambil es buah terus ke kantor di ceramahin buk Neni nyaris sejaman. Eh..iya !! gue punya alibi kan? kalo Egi emang meninggal 20 menit yang lalu?"
Nana mengangguk ikut semangat dengan Egi yang juga tersenyum puas dengan pembelaan untuk dirinya sendiri.
"Yap, lagi pula..." Nana mengambil ponselnya lalu mengambil foto Egi dengan tiba-tiba, "...seragam lo bersih nggak ada percikan darah sama sekali. Lo bayangin kalo lo nikam seseorang tanpa pelindung, itu darah semua muncrat keseluruh tubuh lo."
Dengan kamera seadanya, Nana mengambil beberapa titik TKP yang dianggapnya penting. Sebelum terhapus ataupun tidak bisa diambil sama sekali bukti tentang hipotesanya.
"Jadi maksud lo, pelakunya make sesuatu ngelindungi badannya?"
"Yap. Mungkin sejenis jas hujan? dan juga sepatu murid."
Egi memiringkan kepala bingung. Nana melanjutkan maksudnya, "Kalau dia pake sepatu yang beda, jelas akan ketahuan. Ini kan hari minggu , nggak ada belajar mengajar . Selain penghuni kelas , orang lain bisa ketengkep dengan mudah. Polisi bisa aja bilang Mandala korban perampokan, tapi itu nggak mungkin, karena gampang ketahuan kalo ada orang yang keluar masuk sekolah. Kan pak Husni satpam kita terus didepan mantau gerbang sama lapangan dari kamera."
"Kalo gitu kita liat aja dari kamera pak Husni??" seru Egi terlalu bersemangat. Namun kebalikan dari Nana, gadis itu malah menggeleng lemah.
"Kan tadi gue udah bilang, kamera cuma ada di lapangan, parkir , tembok belakang sama gerbang. Terus kelas ini nggak tersentuh sama kamera."
"Shit !!" maki Egi mulai kesal. "Trus jatuhnya ini pembunuhan berencana dong??" tanya Egi mulai mendapatkan titik terang dari kasus yang sempat membuatnya bingung.
Pelajaran sosiologi dan juga berita yang sekarang tengah ngetrend tentang pembunuhan berencana, sempat diikuti oleh Egi. Ia mulai bergidik kalau benar ini pembunuhan berencana yang memang sudah dirancang jauh-jauh hari , sungguh pelaku memiliki dendam melebihi rasa nggak sukanya Egi pada Mandala. Dan hukuman mati bukan hal main-main didunia hukum.
"Yeeh, jadi apa kabarnya elo kalo sempet lo yang ditangkep?"
"Terus, kita mesti gimana Na? kita kudu cepat, 40 menit lagi mereka bakal balik ke tenda" ujar Egi mulai gelisah. Setidaknya Egi mulai menyadari sekarang, posisinya nggak menguntungkan.
"Pertama-tama lo bersihin diri dulu. Baju lo gue yang simpen. Setelahnya, kita kudu nyari dulu sesuatu yang hilang dari Mandala."
Egi mengerjap-kerjapkan matanya kembali bingung, "Yang ilang? apaan?"
***
4. Cartwheel
Pukul 19.00 WIB
"Yang ilang?" Egi menatap manik mata keabu-abuan itu lagi. Meneliti setiap gerak gerik Nana yang berubah menjadi slow motion dimatanya.
"Apaan yang ilang?" tanya Egi sekali lagi penasaran.
Nana berdiri setelah menutupi tubuh Mandala dengan taplak meja. Dilihat bagaimanapun , keadaan Mandala bersimbah darah dengan beberapa luka yang menganga di dada dan beberapa pankreasnya , mulai memberi suasana horor di kelas yang sepi. Juga terlihat mengenaskan jika menatapnya lebih lama lagi.
"Ponsel lah..apalagi?"
"Bukannya lo bilang Mandala nggak mungkin dirampok?"
Nana menunjuk lantai yang terdapat bercak darah . Disamping tubuh Mandala ada jejak ukuran benda persegi panjang mirip bentuk sebuah ponsel. Tempat itu juga yang menandakan kalau noda darah tak jatuh ke lantai karena terhalangi sebuah benda yang semestinya ada kini menghilang meninggalkan jejak yang tak sinkron.
"Ini keliatan jelas kan kayak ponsel? diambil setelah Mandala tewas. Dompetnya masih ada, pan isinya lumayan, makannya gue bilang nggak mungkin dirampok."
Egi akhirnya mengangguk, paham. Nana berjalan menuju mejanya, mengambil sesuatu dari dalam tas lalu melemparnya pada Egi. Meski bukan cipratan darah, Egi cukup ceroboh membersihkan tangannya yang memegang pisau berdarah pada seragam putihnya. Agar seseorang itu bersih, dia harus membersihkan diri dulu kan?
"Itu baju olahraga gue. Lo ke kamar mandi gih, gue tunggu di kelas." Egi tercenung sebentar hingga akhirnya ia pun mengangguk mengikuti arahan Nana. "Oh oke."
===
Pukul 19.10 WIB
"Na...gue udah kelar nih."
Tubuhnya kembali mematung kala melihat Nana mengikat rambutnya seperti ekor kuda. Bahkan saat mengenakan kacamata baca, ia tetap terlihat....sexy dan cute.
"Ehhmm..terus gimana nih?" tanya Egi kaku.
Nana menunjuk whiteboard yang biasa digunakan untuk mencatat jadwal piket. Beberapa keterangan waktu dan nama menarik perhatian Egi yang mulai duduk di meja terdepan.
"Gue mau diskusi sama lo. Karena waktu kita nggak banyak, jadi lo mesti nangkep apa yang gue bilang." Egi protes, "Terus kenapa kita mesti buang waktu buat diskusi?"
"Karena ada beberapa hal yang masih mengganjal di otak gue. Lo kan pinter juga, jadi kita bisa berbagi pikiran." Tak sadar Egi malah tersenyum setelah dipuji. Membuatnya semakin salah tingkah, "Okeh."
"Kita semua kumpul jam 16.40 WIB. Masih normal sampai jam 17.10 WIB" terang Nana yang diikuti oleh anggukan Egi.
"Karena pelaku orang dalam, kita mulai mempersempit pelaku. Murid-murid kelas sepuluh? nggak mungkin ada niatan senekat itu buat ngebunuh seniornya. Dari yang lo pantau gimana ?"
"Bener, lagian Mandala itu punya topeng malaikat yang bagus, didepan anak kelas sepuluh dia kayaknya nggak punya musuh."
Nana menarik sudut bibirnya, geli mendengar sarkastik Egi, "Okeh, jadi dari kelas sebelas? disini cuma ada panitia. Kalau gitu ada 6 orang plus guru pembina."
"Gue coba bedah beberapa kegiatan kita dari jam 14.30 sampai dengan waktu kematian, 18.20 wib"
"Dendi terus sama gue sampai maghrib, jadi Dendi pure punya alibi. Heri muncul jam 18.30 disaat yang sama pisau Dendi ilang dan juga sebotol cuka..." Nana mengeryit , gadis itu mengecek sesuatu dilayar ponselnya, "...Mandala juga diruang BP sama lo nggak sih?"
Egi mengangguk sekali, "Ehm..tapi cuma sebentar. Dia dijemput sama Monik malah."
"Itu jam berapa?"
"Gue nggak yakin, kayaknya dia cuma setengah jam diruang BP."
"Gue nggak punya keterangan waktu soal Monika sama Pia, tapi..." tutur Nana terlihat kecewa.
"Lo sebenarnya yakin nggak sih sama apa yang kita lakukan ini Na?" potong Egi sedikit ragu melihat Nana yang kini beralih ke ponselnya dengan wajah serius.
Bukannya menjawab, Nana malah tersenyum tipis bergerak menuju meja Egi. Ia sedikit membungkukkan badan lalu menikam Egi dengan pandangannya.
"Gue mau tanya juga sama lo. Sebenarnya masalah apa yang lo berdua sering tikaikan itu?"
Egi kembali gugup. Sungguh, jika terus diperhatikan dekat seperti ini oleh Nana, rasa malu , takut dan terpana benar-benar menjadi drum yang membuat ketidak normalan kerja jantungnya. Egi terus memaki kecantikan Nana. Otaknya mulai tidak beres.
"Itu gegara MOS. Gue terpilih sebagai kandidat sekbid inti OSIS. Mungkin gue yang dulu nggak kayak gue yang lo liat sekarang." Nana menggeleng sesekali mendengus jengah , "Gue lagi nggak mood dengerin melow drama Gi" ujarnya malas.
Egi menekuk wajah kesal, " Ehh..gue bukan mau narsis Na, kan gue mau cerita sama lo" Egi ikut sewot.
"Ya udah , lanjut gih." Nana duduk disalah satu meja sambil tersenyum geli melihat kepolosan Egi yang selalu kena semprot dengan pernyataan dinginnya. Lucu juga, batinnya.
"Selain gue, kandidat lainnya itu Mandala. Semasa kampaye berjalan, nama gue selalu dielukan hingga poin gue diatas jauh dari Mandala. Sampai kesalah pahaman terjadi. Anak-anak dapat gosip murahan yang bilang gue sama buk Neni punya hubungan. Gue punya bekingan yang bisa ngebuat nama gue naik, begitu lah kira-kira media play tercipta untuk ngejatuhin posisi gue. Hanya karena sebuah foto yang tersebar di grup LINE , tanpa sempat gue klarifikasi , gue langsung gagal jadi kandidat. Okeh kalo gue nggak kepilih , tapi yang buat gue gondok ternyata yang nyebarin sama buat berita palsu itu ya Mandala , yang udah gue anggap sahabat."
Nana menegakkan tubuhnya tertarik. Ia bahkan bisa melihat raut wajah Egi yang seolah tengah terbakar emosi, "Darimana lo tau kalo itu ulah almarhum?"
Egi menghela nafas panjang, "Jelas, karena dia yang ngomong secara nggak langsung setelah gue benar-benar di jeblosin sama gosip murahan."
Nana berdiri kembali menuju whiteboard, ia menulis nama buk Neni setelah diposisi pertama tertulis nama Egi yang telah di silang, "Menurut lo, bisa aja yang ngebunuh Mandala itu buk Neni?"
Egi terperanjat, ia kaget hingga tak sadar menggebrak meja kesal, "Nggak mungkin lah !! buk Neni kan lagi hamil gede. Mukul gue aja nggak ada tenaga sama sekali."
"Kalo yang ngeberi racun masih mungkin kan?"
Egi kembali gemetar, mulutnya tiba-tiba terkunci. Entah kenapa kini nyala matanya lebih kesebuah kemarahan. Tapi Nana tetap santai seolah ia terus menantang kepercayaan Egi untuk membela gurunya itu.
"Lo mau bilang apa sih? jelasin ke gue?" ancam Egi. Nana kembali menulis, namun ditengah gerakannya untuk menulis, gadis berambut lurus hitam itu berbalik kearah tubuh Mandala. Memeriksa beberapa bagian mulut, mata dan atas dada.
Egi melirik bingung, "Kenapa Na?"
"Jangan-jangan, Mandala kena Asidosis?" gumam Nana pelan.
Asidosis adalah suatu keadaan pada saat darah terlalu banyak mengandung asam (atau terlalu sedikit mengandung basa) dan sering menyebabkan menurunnya pH darah
===
Pukul 19.20 pm
"Den..!!"
"Astagfirullah, Nana !! Lo maghrib gini dah kayak kuntilanak keliaran !! Lo liat Mandala gak? Pisau gue ketemu nggak?"
Nana diam sejenak, memperhatikan halaman sekitar. Monika yang terlihat mengatur barisan, Heri yang selesai memberi beberapa bungkus nasi dan Pia yang bergegas ke halaman belakang. Dendi ikut celingukan dan dia menatap gemas Nana yang mengabaikannya.
"Helloo..." Nana menarik lengan pemuda itu, kaget Dendi hanya pasrah mengikuti langkah Nana yang menariknya menjauh dari beberapa kerumunan, "...lo liat tadi Mandala terakhir sama siapa nggak?" tanya Nana sedikit memelankan nada suaranya.
"Meneketehek! Gue juga lagi nyari dia. Emang kenapa?"
"Gue baru inget..lo bawa cuka berapa botol?
Dendi mengeryit, pemuda cungkring itu diam berdiri melihat sudut bibir Nana yang tersenyum aneh, "Kayaknya gue bawa 2 deh, kenapa emangnya?"
"Itu cuka padat kan?"
Dendi mengangguk, masih mengeryit heran melihat kelakuan Nana yang kadang berubah serius, kadang nyengir tak beralasan. "Yang ngambil cuka gue si Mandala sama Monik. Mereka enak-enaknya makan rujak dibelakang, ishh sebel. Sekarang tuh bocah malah ngilang."
"Pisau lo juga mereka yang ambil?"
"Enggak tau deh."
"Oh ya satu lagi Den.." Dendi manyun mulai merasa ada yang aneh dengan Nana, ia pun memotong ucapan Nana dengan jari telunjuknya yang mendarat dibibir mungil Nana, "Gue kok kayak diinterogasi gitu sih?"
"Ini penting Den."
"Pentingnya sama gue?" tanya Dendi semakin sewot. "Seperti hidup dan mati" jawab Nana dramatis. Lantas cowok kribo itu semakin membulatkan matanya semakin bingung.
"Harusnya jam 18.00 - 18.30 yang udah selesai tugas itu siapa yah?"
"Gue, elo sama Pia. Harusnya..emang kenapa sih?"
"Oh...udah itu aja."
Egi kini duduk disalah satu bangku taman. Menunggu Heri yang muncul sambil celingukan melihat Egi yang terlihat muram dengan sebatang rokoknya. Heri menepuk bahu Egi perlahan lalu mulai bangkit tanpa bicara apapun.
"Kenapa muka lo kusut gitu Gi?" tanya Heri ikut bangkit. "Her...ada yang mau gue omongin. Buka sepatu lo dong Her" pinta Egi yang langsung membringsuk ke kaki Egi untuk melepas sepatu.
Heri terlonjak kaget. Tentu, ia mulai aneh melihat Egi yang tidak seperti biasanya, "Apaan sih lo, aneh deh." Walau dengan ogah-ogahan, Heri tetap melepasnya meski ia sudah mewanti-wanti mungkin wanginya bisa membuat Egi pingsan.
Suara langkah kaki seseorang menarik perhatian keduanya. Gadis berkacamata rayban itu muncul dari balik lorong yang gelap sambil membenahi posisi framenya yang turun ke hidung.
"Ngapain lo disini nyuk?" tanya Heri tambah bingung. Pia sedikit salah tingkah dan ia pun tak sengaja terjatuh karena menabrak pot yang tak ia lihat ada didepannya. Heri menepuk jidat heran sedangkan Egi diam-diam memungut sepatu yang juga terlepas dari kaki Pia.
Egi terdiam melihat sesuatu yang ia takutkan. Sesuatu yang sebenarnya masih menjadi tanda tanya besar di benaknya.
Harusnya masih ada satu jejak lagi yang masih menempel di tubuh pelaku " ujar Nana gamblang. Gadis itu memutar tubuh lalu menepuk bahu Egi dengan senyum malaikatnya.
"Jejak itu disini" Nana menunjuk sepatu. "Harusnya noda itu masih ada disitu."
Egi mendongak. Menatap wajah keduanya dengan ekspressi yang tak bisa lagi digambarkan. Matanya masih menilik heran , kenapa dia bisa melakukan hal sekeji itu. Kenapa?
"Kenapa lo lakuin ini? ........"
***
5. Messier 82
"Kenapa lo ngelakuin ini, Pia?"
Pia terbelalak. Beberapa kali gadis berkacamata itu berusaha mengalihkan pandangannya pada Heri lalu kembali lagi pada Egi yang tiba-tiba diam ditempat. "Ma..maksud lo apaan sih Gi?"
Egi menghela nafas panjang , "Balikin kunci motor gue, cepetan."
Keduanya melongok. Terutama Heri yang mengerutkan dahi tak mengerti, "Kan udah gue bilang, ambil aja di kelas. Lo takut makannya ngajak Heri nemenin lo gitu?" balas Pia mulai mengejek.
Egi tersenyum tipis berdiri setelah mengembalikan sepatu Pia yang terlepas. "Rempong amat sih. Lo yang nyamber kunci motor gue, lo juga yang nyuruh gue ambil sendiri. Motor gue nggak lo apa-apain kan?" seru Egi tak mau kalah.
"Ya enggaklah, ngapain juga gue nyuri motor lo" tutur Pia menimpali. "Gue nggak bilang nyuri sih, tapi mungkin ngeletakkin apa gitu..." Egi melirik Pia dan Heri bergantian, "...bom mungkin."
Pia tergelak. Mengibaskan tangannya ke udara , "Ngaco lo ah."
"Eh..beneran. Sekarang balikin gih kunci motor gue. Mau cabut nih bareng Heri." Cowok gempal itu menimpuk kepala Egi dengan santainya, "Gila lo. Acara dah mau mulai juga. Ntar Mandala ngamuk loh."
Egi mendengus lagi, "Dari tadi keknya gue juga nggak ngeliat tuh bocah." Pia menggeleng, "Lo tuh yah, nggak capek berantem sama Mandala mulu?"
"Kan gue nggak berantem lagi sama dia."
"Yah..kalo lo cabut sekarang bukannya makin tambah bikin dia ngamuk-ngamuk."
Egi tersenyum miring, "Atau maksudnya kalau gue pergi sekarang rencana lo berdua bakal gagal kan?"
Pia mengeryit menarik sudut alisnya yang terlihat menyatu, "Maksud lo?"
"Kaus kaki lo kenapa ada darahnya?"
"Apa hubungannya?" timpal Pia yang mulai mengantisipasi dengan nada bicaranya yang mulai merendah. Heri diam mengamati.
"Jawab aja.." Pia mendorong tungkai kacamatanya yang turun hingga ke hidung. Ditatapnya beberapa kali Heri lalu beralih lagi pada Egi yang kini bersandar disalah satu tiang koridor, "Kaki gue kena paku "
"Oh...kena paku kok bisa lari-lari tadi yah? hemm.." Pia menggeram, "Lo mau bilang apaan sih? nggak ngerti gue "
"Kunci motor gue sebenarnya ada ditangan lo kan? lo cuma mancing gue buat ke kelas.." Egi menahan diri untuk melanjutkan. Sebenarnya sejak tadi Egi terus gemetaran. Menahan gejolak yang coba ia buat setenang mungkin agar rencananya dengan Nana tetap berjalan. Yaitu memancing ikan tanpa memberi umpan, "...dimana tempat itu yang bakal buat gue masuk ke semua perangkap."
"Lo ngemeng apa sih Gi, mabok lo yah?" Heri mulai mendekat. Mencoba merangkul cowok yang biasanya bertempramen layaknya preman, justru terihat menghindar dari kedua teman yang ia kenal seperti murid yang biasa-biasa saja dan memiliki aura yang hangat.
"Kenapa lo juga ikut-ikutan Her.." tanya Egi mulai melangkah mundur, Heri semakin maju sesuai langkah kaki Egi yang perlahan menghindar, "...kenapa lo sama Pia ngerencanain ini?"
Heri menggeleng, "Ngerencanain apaan? gue nggak ngerti Gi."
Egi merogoh saku celana belakangnya. Mengeluarkan sebungkus rokok kosong yang ada di dalam plastik. Heri berhenti, mengamati.
"Gue kira lo ngerti maksud gue kan? terakhir kali Mandala emang sama Monik. Tapi bungkus rokok ini cuma lo yang punya. Sebelum itu lo yang racunin Mandala kan?"
Suasana malah semakin mencekam. Heri berdecih lalu bertolak pinggang menertawakan omongan Egi yang ia kira hanya lelucon belaka, "Egi...Egi. Lo ini lagi nggak waras yah? emang Mandala kenapa? diracun? sama gue? Mandala baik-baik aja kok."
Egi terbelalak. Merasa salah langkah. Egi sekali lagi membatu, diam ditempatnya. "Egiiiiii !!! ketemu !! smartphone Mandala ada ditangan gue !!"
Nana berlari dari balik lorong. Ketiganya terperanjat, terlebih Pia yang sejak tadi ikut merasakan ketegangan. Gadis itu berlari mencari suara Nana. Egi mendongak, kali ini ia berhadapan dengan Heri yang juga merasakan kepanikan.
"Pia !! ngapain lo kejer !! ponselnya kan udah gue buang !" Skakmat. Heri tanpa sadar telah terpancing. Nana keluar dari ujung lorong perpustakaan. Pia berhenti melangkah, menyusuri semua mata yang menatapnya. Gadis itu berbalik kearah Heri yang kini mengulum bibir karena keceplosan.
Egi menggeram. Cowok itu menerkan kerah baju Heri, mengukung Heri dengan pandangan kekecewaan, "Ngaku juga kan lo !! disana ! Tega lo berdua mau ngejebak gue ! Lo berdua sadis !"
Bruukk !
Satu pukulan keras tepat mengenai pelipis Egi. Nana mencoba mendekat namun kali ini mereka justru terlihat berduel. Pia menghalangi langkah Nana mencoba ikut memberi serangan.
"Lo yang bantuin Egi?"
Nana menyeringai, "Terlalu banyak bukti yang lo berdua tinggalkan. "
Pia mengeryit, "Maksud lo?"
"Ponsel yang hilang , pisau yang lo tinggalkan di TKP itu bukan alat pembunuhnya, melainkan buat pengalihan antara Egi atau Dendi yang bakal kejebak. Jas hujan yang berlumuran darah, lo masukin ke jok motor Egi. Ada sehelai rambut lo disana, bisa jadi barang bukti itu milik siapa. Dan yang terakhir..." Pia meneguk ludah, keringat semakin banyak mengalir dari kepala dan tangannya yang terkepal kencang, "...Egi udah tanya sama lo tadi, kenapa kaus kaki lo berdarah. Itu darah Mandala bukan kaki lo."
Pia menyerang. Gadis itu menerjang Nana dengan pukulan tepat di pinggang. Nana tersungkur dan langsung mendapat pukulan-pukulan dari Pia yang mulai tersulut emosi. Egi bangkit, melirik Nana yang merasa terpojok karena dipukul serta disepak oleh Pia. Cowok itu nyaris berlari untuk menolong tapi lawannya tak ingin melepaskannya. Heri kembali memberi pukulan telak ke kepala. Membuat Egi kembali tersungkur.
"LO NGGAK TAU APA-APA !! APA YANG MANDALA BUAT UDAH NGEHANCURIN HIDUP GUE !!" Pia terus memberi Nana pukulan pelampiasan. Nana menggeliat menarik tangan Pia lalu mendorongnya keras hingga pemilik Rayban itu terjungkal. "Apapun yang lo katakan , membunuh tetap bukan sebuah balasan setimpal buat Mandala."
Nana lantas berdiri. Menunjukkan ponsel miliknya kehadapan Pia , "Mandala sms gue sebelum dia meninggal. Ngajak buat lo semua mau ngerayain ulang tahun dia sekaligus salam perpisahan karena Mandala..." Semuanya berhenti mendengarkan. Terlebih Heri dan Pia yang jelas terlihat terpukul, "...bakal pergi keluar negeri untuk berobat."
Pia mematung, gadis itu mulai bercucuran airmata menyesali. "Lo manfaatin Asidosis Mandala. Dia mau nolak tapi karena hari ini spesial buat dia, Mandala nurut."
"Bohong !! jangan dengerin Pia !" teriak Heri masih mencekik Egi.
"Gue nggak bohong Pia !" Nana melirik Pia yang masih belum bangkit dari tempatnya. Mendengar ringisan dari Egi, Nana berlari mendekat. Tapi cowok itu bisa bertahan, Egi menyerang selangkangan Heri hingga ia bisa terlepas dari cengkaraman Heri. Tak habis tenaga , Heri kembali mengejar. Hingga sebuah benda melayang tepat mengenai kepala Heri.
Egi menoleh. Tercengang dengan langkah spontan Nana yang melemparkan sesuatu seperti crown stick. "Apaan tuh?"
Langkah-langkah kaki terdengar semakin mendekat. Buk Neni dan pak Ardi yang lebih dulu terbengong. Melihat kekacauan keempat muridnya. Tak lama suara teriakan nyaring Dendi menggema diseluruh lorong.
Nana mencoba mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. Gadis itu melirik jam tangan hello kitty miliknya dan tersenyum.
"19.30 WIB , Case Close."
Suara Nana..
"Alasan mengapa lebih baik kita memaafkan adalah agar tak menciptakan dendam. Pia dan Heri mendapat hukuman atas kecerobohan masa muda mereka sendiri. Ego yang besar menjadikan mereka buta . Hal yang sepatutnya salah mereka pikir harus mendapat pembenaran. Dan yang benar justru disalahkan."
***
Kantor Polisi
Baju oranye. Mata sembab. Bibir mengering . Gadis yang selalu tertawa dengan kekonyolannya itu, kini menekuk disudut kamar jeruji besinya. Bersembunyi seolah mata-mata halusinasi terus menekannya baik secara lahir dan bathin.
Lintasan perbuatannya malam itu sungguh diluar ekspentasinya. Diluar dari sisi kejiwaannya yang selalu tampil unggul dengan senyum renyah yang selalu ia umbarkan. Kini pepatah - penyesalan selalu datang belakangan - memang menjadi hukuman menohok dihatinya. Memukulnya keras bahkan menusuknya berkali-kali seperti yang ia lakukan pada Mandala malam itu. Yah, malam terakhir untuk ia bisa tertawa bersama rekan-rekannya.
Flashback
"Wah..wah wah..nggak nyangka gue."
Mandala bersiul. Mengitari Pia yang menggeram hingga buku-buku jemari gadis berkacamata rayban itu tampak jelas. Matanya layas mengikuti gerak-gerik Mandala yang mulai berlagak angkuh dan congkak dihadapannya.
Pia gemetar karena sebuah ponsel.
Ponsel yang akan segera menghancurkan hidupnya.
"Mau buka layanan bokep online yah ? Jadi lo sama Heri..." Gadis itu bergerak. Hentakkannya pada meja tak menciutkan senyum lebar Mandala yang coba menggertak.
Bukan. Itu bahkan bukan sebuah gertakan, melainkan penghinaan dan bullyan atas perbuatan ceroboh Pia. Toh harusnya Pia tidak bisa marah. Karena dia yang salah hingga rekaman yang begitu pribadi dan konvesional itu tidak berpindah tangan pada Mandala. Pemuda bermata sipit itu hanya memanfaatkan kelemahan orang lain. Ia sangat suka hal seperti ini. Pembullyan dan memanfaatkan keadaan.
"....mau lo apa ! gue bakal bunuh lo Dal kalo video itu bocor kemana-mana !!"
Mandala menyeringai, "Lo malu? cih." Mandala berdecih, "Sampah masyarakat kayak lo berdua itu harusnya nggak ada di bawah kendali gue, paham."
Tumpah sudah.
Pertahanan demi pertahanan yang coba Pia bangun akhirnya tetap roboh. Ucapan Mandala lebih menusuknya daripada video itu berada di tangan Mandala.
Sejak hari itu, makian demi makian menjadi sebuah sulutan dendam. Cemooh-an Mandala semakin membesarkan gundukan rasa malu yang tak terbendung, termasuk rasa dendamnya. Yang awalnya hanya sebuah titik hitam , kini menjadi sebesar blackhole yang ada di galaksi. Semuanya tersedot tak bersisa.
Tawa nyaringnya hanya sebagai topeng. Keramahannya hanya sebuah pereda nyeri. Hidup tak lagi dapat senyenyak biasanya. Semua itu palsu. Sama seperti kebaikan Mandala disekolahan. Pia muak selalu dimanfaatkan. Menjadi tempat untuk disalahkan.
Pia hanya ingin bebas. Hanya itu...
Tapi sekali lagi, menghilangkan nyawa orang lain , bukanlah hukuman yang pantas. Jika sudah begini, lubang yang harusnya tertutupi, justru semakin meluas. Hingga tanpa kau sadari , kaulah yang tersedot masuk kedalamnya dan takkan pernah bisa keluar lagi.
SMA PANCA 69
"Hei guys,,!" sapa Egi yang bersimbah keringat. Dendi mengeryit. Disambut Monik yang mulai menggeleng melihat kelakuan Egi yang seperti....
"Kayak kucing kebelet aja lo Gi. Pasti nyariin Nana lagi , ye kan?"
Egi nyengir. Lebih tepatnya pemuda pemilik tinggi 175cm dan sekarang menjadi ketua tim basket itu tersenyum malu-malu sambil mendongak ke kelas XII IPA 1 yang mulai lengang. Susah payah kali ini Egi menyamakan ritme kegiatannya yang tiba-tiba menumpuk sepeninggal Mandala demi seorang gadis. Yah, gadis yang berhasil membuatnya selalu nyengir kuda dan menjadi bahan ledekkan Dendi yang cemburu.
Beberapa kali Egi bolak-balik hanya untuk pedekate. Tapi tetap saja , miss Nana sang gadis misterius, selalu enggan terbuka didepan umum. Bahkan pada Egi , Dendi ataupun Monik.
"Nana diperpus." Dendi sewot, padahal niatnya hari ini ingin membuat Egi kembali gagal menemui pujaan hati, "Ishh..kok dikasih tau sih Nik."
Monik tertawa miring, dicentilnya jidat Dendi yang merengut tak beralasan. Kekanakan sekali harus mengusik kesenangan orang lain, apalagi yang tengah kasmaran. "Rese' lo."
"Thanks Nik. Oh yah, catatan tentang..." Monik mencebik lagi, "...iya bawel. Buruan ! ntar Nana keburu kabur naik bajaj lagi loh."
Senyum Egi semakin terkembang. Ia seolah mendapat restu dari teman-temannya, yah walaupun itu nggak perlu sama sekali sih, ck.
Egi sampai didepan pintu perpus. Tepat saat gadis beriris kelabu itu keluar dari sana. Egi segera merapikan diri walau sebenarnya ia tidak perlu sampai sedemikian. Memakai kaos basket dengan celana pendek selutut. Berkeringat pula..ah Egi harusnya mandi lalu bergegas menemuia seseorang, bodoh.
"Baru kelar main basket?"
"I..iya. Udah kelar pinjem bukunya?"
Nana mengangguk pelan. Hening cipta selalu terjadi saat mereka bersama. Egi nyaris tidak tau harus memulai topik apa. Dan Nana, gadis itu terlalu asyik dengan dunianya. Bukan ia tidak menyadari gerak-gerik Egi yang selalu susah payah meluangkan waktu. Tapi Nana hanya mencoba sewajar mungkin agar tak menarik perhatian. Apalagi dikalangan fans Egi yang mulai menggila sejak tim Panca 69 menang telak di liga basket antar SMA.
"Oh ya, gue punya sesuatu buat lo."
Egi mengeluarkan sesuatu dari balik Air Bag Tarpaulin Nike-nya. Menggeledah seluruh isi didalamnya hingga membuat Nana menunggu. Setelahnya Nana mengerling. Cukup lama mengamati dan mencerna benda yang ada dihadapannya ini. Sebuah tabung kecil hitam dengan tulisan yang langsung membuat Nana mencetak senyum lebar.
"Buat lo.." Gadis itu nyaris tak berkedip setelah membuka tutup tabungnya. Dan benar saja, itu crown stick simbol kebanggaan salah satu fandom besar sebuah boyband yang memiliki nama teori penciptaan alam itu, Bigbang.
"Lo dapat darimana benda beginian?" Nana tak bisa menyembunyikan senyum. Dan lagi, berhasil membuat Egi serasa tersengat listrik. Kagum.
"Yah beli lah. Gue nyari-nyari dulu di google sih. Gara-gara ini gue selamat dari terkaman Heri kan? Gue nggak nyangka lo doyan yang ke korea-an gitu."
Nana kembali menggeleng. Ia bahkan tak berhenti terkikik melihat hadiah yang cukup ia sukai. Tentu bagi seorang fans pastinya, "Iya, emang gue suka bawa kemana-mana sih nih crown stick. Buat mentungin orang juga lumayan sakit loh."
Egi tergelak. Hingga wajahnya memerah malu mendengar ucapan klasik dari pemilik bibir soft pink itu. "Gue jadi suka juga sama idol lo itu."
"Haha biasa aja kali Gi, kenapa lo mesti repot-repot sih?"
Egi mengulum senyum. Baginya juga sudah terlambat untuk berbalik. Cowok harus maju terus dan pantang untuk menarik lagi ucapan yang sudah ia mulai. "Yah... sebagai modal juga sih , biar gue punya obrolan sama lo. Weekend jangan baca buku dong, mending jalan kemana gitu..."
"Sama lo?" Nana langsung memotong.
"Kalo lo nggak keberatan sih."
"Gue orangnya agak ngebosenin loh."
"Tergantung. Kalo gitu gue yang bakal bikin lo nggak bosen dan membosankan, gimana?"
Nana memicingkan mata. Gadis itu berani mendekati manik hitam Egi yang terus menatapnya berbeda. Spontan Egi memilih tertunduk tak berani beradu mata, "Lo nggak lagi minta sesuatu ke gue sebagai imbalan kan?"
Selidik Nana curiga. Well, mungkin Egi terlalu bertele-tele. Kalau ia katakan yang sebenarnya, apa Nana akan terima?
Oh ayolah Egi. Jadilah pria yang bisa menikam balik mata tajam itu agar tak membuatmu terlalu tunduk pada seorang wanita. Yah, paling tidak ada tarik ulur antara dirimu dan dia.
"Hem..."Egi tersenyum tipis membiarkan sudut bibirnya terangkat, "...yah lo cewek yang paling peka yang pernah gue liat sih. Harusnya lo bisa nangkep maksudnya.."
"Sekali-sekali gue malah pengen kayak cewek lain yang pura-pura innocent ."
Egi menghela nafas panjang. Diluar dari rencana, gadis ini membuatnya selalu tak berkutik. Sebaiknya jangan bermodus, itu tidak akan berjalan lancar Egi.
"Hoo gitu. Kalau gue ngajak lo ngedate sambil ngebahas idol atau dunia misteri yang lo sukai itu ke gue, perlu basa basi dulu nggak ?"
Sudah lega?
Harusnya sejak awal kau tidak perlu ragu Egi. Gadis itu jelas menerima dengan senyum manisnya.
Finish