Loading...
Logo TinLit
Read Story - Good Art of Playing Feeling
MENU
About Us  

Berhubungan dengan pria dari kalangan konglomerat bukan hal istimewa bagi York. Dia sudah sering melakukannya di berbagai belahan dunia. Gadis yang telah mendalami farmasi di Universitas Johns Hopskins  itu bertemu dengan putra mahkota dari Perusahaan Hong—perusahaan lintas benua yang berbasis di Hongkong—di sebuah pentas opera yang diselenggarakan di Sydney. Meski terjun dalam dunia yang serba menguras otak—York di dunia farmasi, dan Darren di dunia bisnis—, keduanya mempunyai ketertarikan pada seni.

Duduk di deretan kursi VVIP membuat mereka lebih nyaman mengobrol sebelum pentas dimulai. Pendapat York tentang seni yang dapat menyatukan segala elemen di dunia, memberikan impresi baik terhadap Darren.

“Seni tidak pernah menyortir baik pelaku dan penikmatnya, terserah mereka dari kalangan mana pun. Ada unsur universal yang dihadirkan dalam sebuah seni,” jelas York ketika ditanya tentang seni oleh Darren, lalu menambahkan, “Itu sekadar pendapat saya. Jika ada yang menilai seni itu eksklusif, saya tidak akan memaksa mengubah pendapat tersebut.”

Darren menyimak setiap kata yang keluar dari bibir yang dipoles lipstik merah muda yang terlihat natural diaplikasikan. York baginya adalah gadis yang berprinsip kuat, tetapi dia tidak kaku terhadap pendapat orang lain. Open minded.

Obrolan itu berjeda ketika orkestra musik mulai membahana, dan berlanjut ketika tirai pentas menutup panggung. “Kamu punya bakat dalam seni?” tanya Darren mencegah York untuk segera beranjak dari kursi.

“Setiap manusia mempunyai jiwa seni masing-masing, hanya saja tergantung seberapa besar porsinya.” York menanggapi pertanyaan Darren dengan cerdik.

Kedua tangan Darren diusap-usap ke celana dengan kualitas super. Dia merasa malu karena salah melontarkan pertanyaan.

“How about you?” Terkesan sekadar basa-basi, tetapi kalimat York mampu meluruhkan kecanggungan.

“I haven't knew yet. Aku kira selama ini aku hanya manusia yang hanya mampu bergelut dengan angka, something like it. Aku hanya penikmat seni yang tidak bisa menjadi pelaku seni.” Tatapan Darren menghindar dari York.

“Don't depend on my opinion!” York mengakhiri kalimatnya dengan senyuman yang elegan. Senyuman yang tidak menggoda, merendahkan, apalagi murahan. Senyuman yang membuat yang menerimanya merasa dihargai.

Sebelum berpisah, Darren mengajak York untuk makan malam pada malam berikutnya. Ajakan ini diterima oleh York.

Malam itu mereka bertemu lagi di sebuah kafe yang tidak mewah, tetapi cukup bagus. Darren menebak karakter York tidak menyukai sesuatu yang glamour. Lagian, tempat yang biasa membuat arah obrolan mereka lebih santai. Inilah yang diinginkan Darren. Obrolan santai yang berujung relasi yang lebih akrab. He must get this girl.

Keakraban itu muncul karena keduanya yang mempunyai bakat komunikasi yang baik. York memperkenalkan diri bahwa dia sebenarnya orang yang bekerja di bidang farmasi.

Kedua alis Darren bertaut. Dia melihat pribadi York yang santai, tetapi tidak disangka, dunia yang dikecimpungi gadis berambut hitam lurus itu lebih serius daripada dirinya. Farmasi ini berkaitan dengan mati hidupnya orang, menurutnya.

“Tidak begitu bagiku. Bisnis juga bisa menjadi taruhan nyawa manusia.” Lagi-lagi York menunjukkan kerendahan hatinya.

“Kamu tahu saya manusia dari dunia bisnis?” tanya Darren.

York mengangguk disertai senyum simpul. Siapa yang tidak mengenal calon pemegang estafet kekuasaan atas Perusahaan Hong yang kini sudah merambah ke benua Eropa dan Amerika.

Darren tidak menemukan celah untuk menyanggah. Nyatanya dunia bisnis itu lebih kejam dari dunia mana pun. Ia bisa mengendalikan politik, sosial, dan ekonomi secara berbarengan.

“Apa bisnis itu kotor bagimu?” Pertanyaan ini sebenarnya ditujukan pada dirinya sendiri. Suatu kegundahan yang dipendam selama ini.

“What do you mean of dirty?” Kalimat itu langsung meluncur dari lidah York.

“Benar, ada patokan sendiri untuk menyebut sesuatu itu kotor atau bukan. Patokan yang berbeda-beda bagi setiap individu,” ujar Darren mengoreksi perkataannya sendiri. “Are you Australian?”

“My accent answered.” Dialek Australia milik  York memang tidak bisa menutupi asalnya. Meskipun, dia tidak tulen orang Australia, karena darah Indonesia dari Ibu mengalir dalam tubuhnya.

“Kamu tipe orang yang baik untuk dijadikan teman,” ucap Darren dengan pandangan yang tidak lepas pada York.

“Pardon me?”

“Boleh kita bertukar nomor?”

Mereka pun memberikan kartu nama satu sama lain. Ini menjadi titik awal sebuah perjalanan cinta dua insan dimulai. Mungkin. York akan mendapatkan pasangan baru untuk bermain di dunianya yang sepi karena ditinggal kedua orang tua.

***

Asmara Darren yang selama ini buruk mendapatkan angin segar dengan kehadiran York. Perempuan berdarah Australia ini memang piawai dalam memperlakukannya dengan baik. Meskipun hubungan di antara mereka masih tidak lebih sekadar kenalan yang mencoba mengakrabkan diri satu sama lain.

Kejenuhan dunia bisnis yang penuh tekanan sering membawa ketidaknyamanan dalam kehidupan Darren. Yang lebih menjengkelkan, mengelola perusahaan sekelas Hong seperti sudah digariskan oleh kedua orang tuanya sejak kecil. Harapan menjadi penerima estafet kepemimpinan Jack, ayahnya, menambah kerutan pada kening secara cepat, bahkan pada usia muda. Namun, sekarang dia mendapatkan arah hidup yang lebih rileks setiap dia berkomunikasi dengan York selepas bekerja—baik melalui telepon, chat, maupun video call.

“Tidak, aku tidak mengatakan bahwa pasti semua perempuan menginginkanmu. Maaf, mengatakan ini, tapi bukankah begitu kenyataannya?” ujar York melalui sambungan telepon ketika ditanya Darren tentang stigma orang mengenai pewaris Hong yang mendekati kriteria lelaki sempurna.

Darren menanggapi dengan tawa. “Kamu benar. Itu terbukti dengan kelajanganku sampai sekarang.” Ada kegetiran yang tersangkut di pangkal kerongkongannya.

“Itu bukan berarti kamu tidak pantas dicintai dan mencintai seseorang. Bukankah kamu percaya adanya jodoh yang akan dipertemukan oleh tangan takdir?”

Darren terenyak dalam beberapa menit meresapi setiap kata York.

“Halo, are you fine?” tanya York khawatir karena tidak mendapati suara Darren dari seberang.

“Yeah, sure. Emmm, minggu lusa sibuk?”

York terdiam beberapa saat mengingat kembali agendanya. “No. Mulai minggu lusa aku diberi waktu istirahat tiga hari setelah merampungkan penelitian. Memang ada apa?”

Darren memberikan rekomendasi York untuk menghabiskan waktu luangnya dengan berlibur ke Bali, salah satu tempat di mana kesenian berkembang pesat dan juga surga wisata kelas dunia dipersembahkan. Mereka bisa melepas penat di pulau Dewata tersebut bersama-sama.

York tidak keberatan mengikuti rekomendasi liburan itu. Lagian, sudah lama dia tidak berlibur. Selain penelitian yang seperti tidak berujung—terus-menerus sambung-menyambung—, dia juga memiliki tugas khusus. Tugas yang terlanjur dia ikrarkan di hadapan mendiang ayahnya semasa masih hidup.

Seminggu kemudian, pada tengah hari, tiba di Bali sehari lebih awal menjemput York di Bandara Ngurai Rai. Penampilan kasual York sama sekali tidak mengurangi pesonanya, tetap elegan. Kedua mata Darren tidak lengah mendeteksi setiap inci perempuan yang berhasil memikatnya itu.

Kaos ungu polos dipadankan dengan blazer merah muda terlihat pas di tubuh ramping York. Celana jeans biru tua cocok menutupi kaki jenjang York, dan sneaker Nike warna abu-abu tampak menawan setiap diayunkan oleh langkah gemulainya.

“Hi, nice to meet you,” sapa York dengan memamerkan senyum lebar yang memperlihatkan deretan giginya.

Bagai terhipnotis, Darren masih bergeming di tempat menatap York.

Merasa terus ditatap, York bertanya, “Ada yang salah?” Dia memeriksa pada penampilannya sendiri.

Darren segera memulihkan kesadaran yang tenggelam ke dalam pesona York. Kepalanya menoleh ke sembarang arah untuk mengalihkan kegugupan bercampur rasa malu. Ini ketiga kalinya dia bertemu langsung dengan York, dan perempuan itu selalu membawa serta tampilan elegan yang sama sekali tidak menyusut.

Darren mengajak ke sebuah villa tempat mereka menginap, tentu dengan kamar yang berbeda. Dia membiarkan York untuk mengistirahatkan tubuhnya selepas menahan keletihan jet-lag. Dia memang harus memperlakukan York lebih baik dari seorang tamu biasa. Bukankah seharusnya begitu yang dilakukan bagi pihak yang menjadi pengajak?

Senja hari, baru mereka memulai liburan mereka dengan berkunjung ke Pantai Kuta—York yang meminta ke sana, karena Kuta memiliki banyak kenangan bersama ayahnya. Sudah pasti, sunset menjadi perburuan wajib bagi turis lokal maupun luar. Jingga yang tumpah di laut membentuk beberapa kurva akibat gelombang.

York yang rindu dengan tempat itu langsung membaur dengan suasana. Berkejaran dengan gelombang laut yang tidak tinggi. Mencipratkan air laut ke udara, sesekali ke arah Darren yang terima saja diperlakukan seperti itu karena melihat tawa bahagia York sudah impas sebagai bayaran. Baru ketika dia merasa lelah dan matahari semakin turun rendah di ufuk barat, dia menepi ke pantai dengan mengubur kedua kaki dengan pasir putih. Matanya menatap lingkaran jingga raksasa yang mengundang ketenteraman palung jiwa.

Sedangkan bagi Darren jingga senja masih kalah istimewa dibanding kehadiran York di sampingnya. “How are you so beautiful!” Lirih suaranya sambil menggeser tubuhnya agar menghadap pada York.

Pergerakan Darren disadari oleh York, mengalihkan perhatian perempuan itu dari pemandangan sunset ke wajah Darren yang semakin tampak keren. Tulang rahangnya terlihat jelas dengan pancaran jingga dari barat. York menyadari bahwa Darren mempunyai poin good looking. Dia sempat mengumpat dalam hati, betapa bodohnya perempuan yang mengacuhkan pria seperti Darren—dari segi tampang.

“Aku telah terjatuh, dan kukira itu terjadi sejak jumpa pertama.” Entah keberanian yang didapat dari mana, Darren meraih tangan kanan York, mengecupnya sekilas. “Sinar matahari sebentar lagi akan menyingsing dari langit, dan aku sudah menemukan pengantinya yang lebih terang dan hangat. It's you.”

Sengatan hangat yang berpusat pada tangan kanannya menjalar ke seluruh tubuh. Jantungnya bergejolak seketika. Ombak setinggi tsunami menghantam ketenangan di hati. Bibirnya terbuka, hendak mengucapkan setidaknya sepatah kata. Namun, otaknya tersendat untuk menemukan sepatah kata itu. Dan, semua berakhir dengan membisu segala kata.

Darren telah jatuh ke dalam perangkap York, seorang perempuan yang memiliki sebuah tujuan hidup yang sangat kaku. York adalah perempuan yang telah berikrar untuk setia pada salah satu majikan. Apakah Darren akan ikut terseret pada arus hidup York? Pria itu sudah terlanjur cinta buta pada York, tanpa mau melihat lebih dahulu tentang siapa York sebenarnya.

“Ms. York, would you be always next to me?” Kalimat itu berputar-putar di atas kepala York. Momen yang mampu menenggelamkan kecerdasan York ke dasar yang paling dasar. Fool. Namun, pembawaan tenang yang sudah dilatih sejak belia dengan cepat menarik York agar kembali menjadi sosok dirinya yang penuh kesadaran dan kecerdasan.

“Itu terlalu serius.” York menarik tangan kanan dari genggaman Darren. Melindungi harga diri tentu menjadi laku yang harus dijaga.

“Okay. Bagaimana kalau pacaran dulu? Maksudku, tidak ada salahnya kita memulai saling mengenal satu sama lain perlahan, tidak perlu terburu,” ujar Darren.

“Jadi?” tanya York menganalisis arah pembicaraan Darren.

“Biar aku koreksi pernyataanku, would you be my girlfriend?” Kedua mata Darren goyah, tidak setangguh sebelumnya. Ada ketakutan yang bergelantungan di benak. Dia takut jika York tidak memberikan kesempatan, dan mengempaskan harapan untuk mencicipi kehidupan yang berwarna bersama perempuan itu.

Sedangkan bagi York, sejujurnya dia sudah menanti momen ini terjadi sejak awal. Hanya pacar, jangan dulu lebih jauh dari itu. Hubungan yang dirasa masih aman untuk dijalin dengan putra konglomerat Hongkong. Segala sesuatu butuh pertimbangan, bukan? Baginya menjalin hubungan dengan Darren tidak boleh asal gegabah.

“I would,” jawab York disusul dengan senyuman lega dari bibir Darren.

Matahari hanya tampak segaris tipis di ufuk. Darren mengambil momen itu untuk meraih bibir ranum York yang terasa sangat legit.

Hari berikutnya, mereka mengisi liburan dengan peran yang berbeda dari bayangan awal. Mereka tidak hanya dua orang teman, tetapi sudah menjadi sepasang kekasih. Kemesraan turut mengikuti pada setiap destinasi wisata di sana. Liburan yang sangat manis bagi sepasang kekasih baru.

Sebelum terbang ke rumah masing-masing, Darren sempat menawari York untuk menetap di Hongkong. Dia akan menjamin segala keperluan York, bahkan dia siap membangun laboratorium untuk karier York. Namun, York langsung menolak dengan halus. Dia tidak ingin tiba-tiba melangkah jauh dari kehidupan normalnya hanya karena menjadi kekasih Darren.

York lebih memilih menjadikan Bukittinggi sebagai rumahnya. Fakta ini belum diketahui oleh Darren. Pria itu mengira York tinggal di Sydney, karena alasan kewarganegaraan. Namun, lagi-lagi York bukan perempuan biasa. Dia bisa memilih kampung halaman Ibu sebagai arah pulangnya, sekaligus menjadi tempat dia bertemu kerabat—kesibukan dirinya maupun kerabat yang selalu berpelancongan ke luar negeri menjadikan mereka jarang bertemu.

Namun, Baltimore yang masuk ke dalam bagian Maryland tetap menjadi tempat di mana dia menghabiskan waktu untuk terus melakukan penelitian demi menemukan berbagai racikan farmasi yang berkualitas. Sebenarnya ada hal khusus yang ingin dia teliti, dan karena hal ini dia sering menggunakan laboratorium di luar jam tugas. Perempuan pemilik ambisi yang kuat.

Meskipun jarak memisahkannya dengan Darren, tetapi komunikasi tetap terjalin. Kecanggihan teknologi informasi mampu mengatasi bentangan jarak itu. Secara bergantian, mereka mengalah untuk mengurangi jam tidur hanya untuk melewati malam dengan berbicara dengan kekasih. Perbedaan waktu tidak bisa diakali oleh apa pun. Begitulah hukum alam, secanggih apa pun teknologi manusia tidak mampu menandingi.

***

Siang itu, pada jam makan siang, mata York membeliak setelah mendapati puluhan panggilan dan pesan dari Darren di layar ponselnya. Selama di laboratorium dia memang tidak pernah menyentuh ponselnya, dan membiarkan mode mute pada ponsel tersebut selama dia masih sibuk.

Dia mencium sesuatu yang tidak beres. Darren adalah orang yang paling bertoleransi dengan kesibukannya. Tidak mau terus-menerus bermain spekulasi, jempol York menyentuh bagian tanda telepon di sebelah kanan nama Darren.

Suara panik terdengar dari seberang. Darren mengatakan dengan tergagap bahwa dia sedang sangat membutuhkan bantuan York. Kondisi kesehatan Jack menurun drastis, dan dirawat di rumah sakit milik Keluarga Hong. Orang nomor satu di Perusahaan Hong tersebut terserang kanker hati, begitu menurut informasi yang disampaikan kepada York.

Dia memohon kepada York untuk menemukan obat manjur agar kondisi Jack bisa membaik. Dia tidak bisa meminta ke sembarang orang karena kondisi ayahnya yang buruk tidak boleh diketahui oleh khalayak. Ini akan berpengaruh pada saham perusahaan jika terjadi. Darren tahu York mempunyai kemampuan tinggi dan akurat untuk meracik obat.

“Aku pernah memberikan obat itu pada pasien pengidap kanker. Itu berhasil, bahkan sel kanker di dalam tubuhnya bisa dimatikan. Hanya saja itu bukan kanker hati, tapi kanker payudara stadium awal.”

“Lakukan juga pada Ayah!” Darren terus mendesak.

York tidak bisa mengambil keputusan secepat kilat. Segalanya butuh pertimbangan yang matang. Dia meminta waktu untuk berpikir, tetapi Darren terus mendesak. Telinga York rasanya pecak gara-gara nada dering panggilan dari Darren yang terus menginterupsi. Bahkan, jika dia me-reset ke dalam mode mute matanya yang akan terganggu dengan deretan panjang notifikasi panggilan dan pesan dari Darren.

“Bukankah di sana ada tenaga ahli? Mereka jauh lebih berpengalaman daripada perempuan yang baru beberapa tahun lalu lulus dari universitas, dan sekarang masih belajar juga.”

“Jadi, kamu tidak mau membantu?” Kekecewaan tersirat pada nada bicara Darren yang rendah.

“Bukan begitu,” sangkal York gelagapan.

“Baiklah, maaf mengganggu.” Ucapan itu menjadi akhir pembicaraan mereka. York yang khawatir dengan kesalahpahaman Darren menelepon balik, tetapi diabaikan.

Bukannya York tidak mau mengulurkan tangan untuk Jack, tetapi menangani pasien kanker stadium akhir tentu berbeda dengan yang pernah dilakukan pada pasien kanker stadium awal. Salah sedikit saja, dia bisa saja terlempar pada masalah besar. Iya, kesalahan kecil yang dilakukan pada keluarga se-terkenal dan se-terhormat Hong akan mengakibatkan masalah besar. Efek domino yang berakhir pada nasib perusahaan.

Ketika komunikasi terputus karena Darren yang sedang bertemperamen tidak baik—banyak tekanan yang menghantam dirinya, Darren bersama ibunya, Jessy, terbang ke Baltimore untuk membujuk York secara langsung. Wanita paruh baya itu bahkan berlutut di lobi demi membujuk York agar bersedia membantu. Dia tidak enggan melakukannya, padahal itulah pertemuan pertama kali mereka.

York menarik tubuh Jessy agar bangkit. Da tidak ingin nama baiknya agar tergusur hanya dengan membiarkan istri pimpinan perusahaan Hong berlutut di hadapannya. “Baiklah, Bibi, baiklah. Saya akan membantu, tetapi sekadar kemampuan saya.”

Mendengar pernyataan York, seulas senyuman tergurat pada bibir Jessy dan Darren. Mereka berulang kali mengucapkan terima kasih yang terkesan berlebihan—dia belum melakukan apa pun. Mereka pun tidak mempermasalahkan kemampuan York yang belum seahli para profesor, meski gelar cumlaude diraihnya, tetapi ini terkesan janggal. Kenapa mereka sampai jauh kemari hanya untuk membujuknya agar mau meracik obat untuk Jack? Segenting itu? Begitu percaya mereka pada dirinya?

“Tapi, saya butuh waktu tiga hari untuk meraciknya. Kecuali jika ada orang lain yang membantu, mungkin sehari cukup,” pinta York.

“Jangan, jangan ada orang lain yang mencampuri kinerjamu! Kami tidak bisa percaya pada sembarang orang,” tanggap Jessy cepat dengan khawatir.

Lalu, apakah berarti York sudah menjadi kepercayaan keluarga Hong?

“Meski kalian pertama kali bertemu, tetapi sebelumnya Ibu sudah banyak mendengar tentang dirimu. Ibulah yang tahu tentang prestasimu yang pernah menyembuhkan pasien kanker,” jelas Darren sambil menyembunyikan rasa malu yang kadung mencuat pada wajah.

Tangan York menangkup, menyimpulkan sesuatu dari penjelasan Darren. Jessy selama ini berusaha mencari kehidupannya secara diam-diam. Ada ketakutan yang merongrong di dalam hati. Apakah perempuan paruh baya itu mengetahui rahasia sebuah misi yang diucapkan di depan mendiang ayahnya?

“Bagaimana? Kamu bisa bekerja sendiri, kan? Tidak masalah tiga hari. Itu lebih baik daripada sama sekali. Record akademikmu sangat menawan. Kamu pasti bisa melakukan yang terbaik.” Jessy menepuk pundak York pelan, membuat York terpaksa memasang senyuman kaku.

Malam ini York harus terbang ke Indonesia. Dia membutuhkan bahan dan ketenangan di Bukittinggi untuk meracik obat. Sebelum pesawat take off, dia mengirim sebuah pesan kepada Kunt, pamannya, agar menemaninya di Bukittinggi.

***

Pria berkulit putih yang mengenakan kaos hitam tanpa lengan berdiri di dekat jendela. Pandangannya menerobos ke arah perkebunan kelapa sawit jauh dari pemukiman. Gelap dan sunyi. Akan tetapi inilah tempat yang menjadi pilihan bagi dirinya dan York untuk kembali.

“Seharusnya Jack tidak mengkhawatirkan harta dan takhta saat kondisinya seperti itu. Kehancuran malah akan cepat merenggutnya.” Kunt membuka pembicaraan di antara suara jangkrik yang riuh dari semak di halaman.

York mengangguk, menyetujui pernyataan pamannya. “Mereka begitu percaya padaku. Apakah itu berlebihan?” Kakinya mendekati jendela, berdiri di sebelah pamannya, dan melakukan apa yang dilakukan oleh pamannya.

Napas kasar terembus dari hidung Kunt. “Kamu memang berbakat dalam urusan seperti ini. Tenanglah, semua akan berjalan dengan baik! Raciklah!” Tepukan keras di pundak York diberikan olehnya agar keponakan perempuannya itu tidak goyah. Senyuman lebar yang memperlihatkan deretan gigi penuh plat  kopi dan rokok dia berikan pada York.

Apa yang dilakukan oleh Kunt tidak sesuai harapan. Pandangan York luruh ke bawah. Ingatan tentang kedua orang tua menebas-nebas benak, membuat rasa nyeri tidak tertandingkan. Kehilangan mereka menyisakan kehidupan yang hampa baginya.

Orang tuanya meninggalkannya dengan tanpa pamit. Mereka hanya berkata akan menemui orang penting kolega Tuan Stalin, majikan mereka yang mempunyai perusahaan senjata asal Rusia. Namun, hingga beberapa tahun penantian mencengkeramnya, mereka tidak kunjung kembali. Bahkan, jasad mereka tidak pernah kembali.

Sejak kecil York diajari sebuah loyalitas yang kuat oleh orang tuanya, dalam hal ini pada majikan mereka; Tuan Stalin. Ikrar kesetiaan itu diucapkan oleh bibir York di depan orang tuanya dan Tuan Stalin ketika usianya baru berusia empat belas tahun, dua tahun sebelum orang tuanya mati dengan cara misterius.

“Aku benci kehilangan! Aku tidak mau rasa itu tercipta lagi!” berontak York dengan jeritan jiwanya.

“Maka lakukan yang terbaik!” ucap Kunt memotivasi. “Aku harus kembali segera kembali lagi ke Moscow malam ini. Good luck, Girl!”

Sepeninggal Kunt, York langsung bergegas memulai meracik obat. Bahan baku yang dibutuhkan bukanlah jenis bahan kimia yang sulit ditemukan. Dia hanya membutuhkan biji dari tanaman ricinus communis yang banyak tumbuh di pekarangan belakang rumah. Sebenarnya waktu tiga hari yang dia minta bukanlah untuk berlama-lama meracik obat, tetapi lebih ke pemantapan hati bahwa dia akan memberikan obat itu pada Jack.

Dia hanya perlu mengambil bagian dalam dari biji tanaman itu, lalu mengekstraksinya hingga menjadi bubuk atau tablet. Meskipun rumah yang menyerupai pondok itu terletak di pedalaman, tetapi di dalamnya terdapat beberapa peralatan layaknya sebuah laboratorium. Tidak ada yang tahu fakta ini, karena pembangunan tempat itu dilakukan dengan cara tertutup oleh mendiang ayah York.

***

Sehari lebih cepat dari rencana, York terbang ke Hongkong. Jessy dan Darren yang menyambutnya langsung di Hong Kong International Airport.

Darren mencemaskan kondisi York. Gadis itu tampak sangat layu. Kantung matanya hitam dan bibirnya pucat.

Apa yang dicemaskan Darren terjadi. Dalam perjalanan menuju ke tempat mobil terparkir, keringat dingin keluar dari dahi dan tangannya. Kakinya tidak bisa lagi dipaksa untuk bergerak. Seluruh daya habis, dan pertahanannya hilang. Tubuh York limbung di samping Darren.

Jessy menyuruh Darren untuk membawa York ke rumah sakit. Kesehatan suaminya bergantung pada kesehatan York. Dia tidak mau terjadi hal buruk pada kekasih anaknya tersebut. Pun, dia merasa iba karena pasti York begitu setelah bekerja keras meracik obat untuk suaminya.

Selama di rumah sakit, York ditemani oleh Darren. Pria itu terus menggenggam tangan York yang dingin selama York pingsan. Dilema antara berada di sisi ayahnya atau kekasihnya menyergapnya. Namun, Jessy memberi solusi membiarkan Darren menjaga York, sedangkan dia yang akan menjaga Jack.

“Darren,” panggil York lirih ketika pertama kali membuka mata, “mari kita ke ruang Tuan Jack!”

Darren melepas genggaman tangannya, lalu berdiri dengan tangan bersedekap. “Bagaimana kamu bisa mengobati orang dengan kondisimu seperti ini?”

Mata York berkaca-kaca.

Darren mengempaskan tangannya ke bawah sambil mendengkus. “Maksudku, kamu seharusnya tidak mengabaikan kesehatanmu demi Ayah. Sejak kapan kamu tidak makan?”

Berdasarkan pemeriksaan dokter, York terkena tipes. Hal itu diperparah dengan kondisi perutnya yang kosong.

“Hanya sejak kemarin,” jawab York enteng, karena baginya melalaikan makan sampai sehari semalam adalah hal biasa dilakukan saat dia larut dalam pekerjaan.

Napas Darren tertahan, matanya membelalak. “Hanya? Berapa lama lagi kamu berencana tidak makan? Ahh, begini, sementara kamu harus memulihkan kesehatanmu, setelah itu baru kita beralih ke pengobatan Ayah.”

York terdiam, tidak berkutik atas perkataan Darren. Sedangkan, Darren setia menunggui perempuan elegan yang sedang tidak berdaya akibat kecerobohannya dalam menjaga kesehatan.

Namun, ketika malam beranjak menuju inti kesunyian, kabar buruk tiba-tiba mengusik waktu istirahat mereka. Seorang laki-laki dengan setelan jas rapi menerobos pintu ruang inap York. Dia membisikkan sesuatu kepada Darren dengan serius.

“Aku pergi dulu,” pamit Darren terburu dengan guratan kepanikan pada wajahnya.

“Apa yang terjadi?” tanya York kepada lelaki tadi yang sekarang menggantikan Darren untuk menemaninya.

Lelaki itu terdiam, berpikir.

“Katakanlah, aku ini bukan orang asing bagi Keluarga Hong.”

Dari lelaki itu kabar buruk mererobos ke dalam telinga York. Tuan Jack sudah tutup usia disebabkan serangan jantung. York bahkan belum sempat berkenalan dengan Tuan Jack, ayah kekasihnya itu malah sudah tiada.

Dini hari, Darren kembali ke ruang inap York. Dia mencoba tampil bak prajurit yang tegar. Namun, kabut kesedihan tidak bisa ditutupi dari kedua mata. Pundak yang sedikit menurun, karena bebannya sekarang bertambah.

Seulas senyum dia berikan kepada York, demi menunjukkan dia baik-baik saja.

York merengkuh tubuh Darren, menyalurkan kekuatan bagi kekasihnya itu. Dia lebih tahu bagaimana kengerian atas rasa kehilangan. Begitu perih, meski seratus kali diabaikan. “Menangislah jika itu bisa membuatmu lebih baik!”

Cairan hangat pun perlahan dirasakan York merembes ke pundaknya. Isak lirih terdengar. Punggung Darren bergerak naik-turun.

Darren memang sedang membutuhkan sandaran, dan York adalah sandaran terbaik yang memberinya kenyamanan. Dia menumpahkan beban itu dalam rengkuhan York, meski tidak seluruh beban, karena terlalu banyak beban yang dia pikul.

Namun, naluri perempuan yang lebih mudah meloloskan air mata juga dilakukan York. Air mata membelah pipi pucatnya. “Maaf, seharusnya aku tidak sakit, sehingga bisa lebih cepat memberikan obat untuk Tuan Jack.”

“Bukan, itu bukan salahmu. Dia pergi bukan sebab penyakit yang seharusnya kamu obati,” sanggah Darren, sambil melepas rengkuhan York.

York membuka mulut hendak berbicara lagi, tetapi Darren mencegahnya, “Tolong, jangan bahas itu saat ini!”

Selanjutnya, hanya keheningan yang mengaum di ruangan. Masing-masing terlempar pada lamunan. York bersandar pada bantal di atas dengan menatap selimut yang menutupi kedua kakinya. Sedangkan, Darren duduk menunduk di kursi samping York.

Ketika Darren melakukan pergerakan, menggeser kursi agar lebih leluasa berdiri, York meminta ijin untuk menengok Tuan Jack. Dia ingin memberikan penghormatan terakhir.

Darren mengiyakan permintaan York. Dia memapah kekasihnya ke atas kursi roda—bagaimana pun kondisi York masih lemah. Lalu, dia mendorong kursi itu menuju lantai VVIP di mana jasad ayahnya disemayamkan.

Penjagaan ketat dilakukan di lantai tersebut. Hanya orang tertentu yang bisa melewati barikade penjagaan. Semua orang yang berlalu-lalang tidak bisa menyembunyikan  ekspresi kepanikan mereka.

Darren terus mendorong kursi roda York hingga dia menemui seorang wanita yang tidak berdaya terduduk di samping jasad tidak bernyawa. Jessy dia terlihat sangat kacau. Kelopak matanya memerah seperti melepuh. Hidungnya merah menyala. Tidak ada isak tangis yang lolos dari bibirnya. Sepasang bibirnya malah tertutup rapat, tetapi air mata terus mengalir dari kedua mata sambil menatap nanar ke arah jasad suaminya.

York menggenggam tangan Jessy tetapi tidak ada respons. Kemudian, York beranjak melihat jasad Tuan Jack. Bagi York yang tidak asing menangani penyebab kematian pasien, terenyak melihat bibir biru Tuan Jack. Dia segera memberikan isyarat pada Darren untuk kembali ke ruang inapnya.

“Itu bukan serangan jantung,” karena inilah yang dia dengar dari lelaki berjas tadi dan berita yang tersebar di beberapa berita televisi, “rekam medis palsu?”

“Kematian Ayah yang misterius tidak boleh bocor ke publik. Dia keracunan, ada yang memberikan risin padanya.”

“Risin?” York segera memeriksa tas miliknya. “Kenapa tidak ada? Obat itu dan... ponselku juga tidak ada.”

“Hilang?” Darren ikut memeriksa tas York.

“Risin itulah obat yang akan aku berikan pada Tuan Jack. Namun, penggunaan yang tidak tepat bisa menyebabkan kematian.” York membeku menatap Darren, lalu bersuara lirih, “Ada yang mencurinya.”

***

Darren mengerahkan agen sewaan untuk menyelidiki kasus kematian ayahnya. Hasil temuan mencengangkan diterima olehnya. Ada nomor yang memberikan instruksi kepada salah satu tim dokter yang merawat ayahnya, menyuruh memberikan obat yang tersimpan pada salah satu kotak yang ternyata berisi risin. Dokter itu menuruti setiap instruksi yang diberikan padanya, karena nomor tersebut adalah milik York. Semua tim dokter sudah mengetahui bahwa York akan memberikan obat untuk Jack. Namun, kenyataan bahwa seharian itu York berada di ruang inap dan Darren sendiri yang menungguinya, lalu York yang kehilangan racikan obat dan ponselnya, membuat kepala Darren hendak meledak.

York menyuruh Darren untuk merelakskan diri. Dia mengajak Darren ke Narusawa, lereng Gunung Fuji, Jepang. Suasana yang tenang akan menjernihkan pikiran Darren.

“All will be alright,” hibur York sambil menggandeng tangan Darren menyusuri jalan setapak yang dikelilingi pepohonan yang lebat.

Udara segar dihirup dalam-dalam oleh Darren. Membiarkan aroma hutan memenuhi paru-parunya. Kemudian, mereka melanjutkan langkah kaki hingga ke sebuah tempat yang tidak ada jalan—tidak ada jejak pernah dilewati, biasanya tanah hutan yang sering dilewati akan mengakibatkan permukaannya tidak ditumbuhi tumbuhan tinggi. Mereka menerobos ke sisi hutan yang semakin lama semakin sunyi. Gelap.

“Aku belum pernah kemari. Apakah kita tidak terlalu jauh berjalan?” tanya Darren yang mulai bergidik mendapati tulang manusia teronggok di bawah pohon. “Ini seperti hutan....”

Asap mengepul dari salah satu gundukan ranting kering, menyergap pernapasan Darren. Tatapan curiga dia sasarkan pada York yang tengah sudah menggunakan masker gas.

Dengan gerakan cepat York memberikan sebuah pil ke dalam mulut Darren, memaksa Darren menelannya. “I am sorry, i have to do this. Kamu akan segera merasakan akan yang diperjuangkan ayahmu di detik-detik terakhirnya. Itu hanya ekstrak dari biji tanaman jarak yang mengandung risin. Bisa menjadi racun melalui oral atau paparan udara. Asap itu, yang di balik ranting kering itu, ada beberapa biji tanaman jarak yang sudah dibuka kulitnya terus dibakar. Karena aku sayang padamu, jadi aku beri pil risin biar rasa sakit itu lebih cepat kamu rasakan. Dewa kematian akan lebih cepat menjemputmu di Hutan Aokigahara ini, Sayang.” Panjang lebar York menjelaskan tindakannya pada Darren yang mulai merasakan sesak di dada.

“Iya, iya aku yang merencanakan kematian ayahmu, tapi aku tidak bekerja sendiri.” Kehilangan obat dan ponsel itu hanya kedok York. Kunt membantu York mengeksekusi pembunuhan Jack.

Darren semakin tersiksa karena dia merasakan haus luar biasa.

“Aku membenci kehilangan, dan inilah pembalasanku karena kalian telah merenggut orang tuaku dariku.” Sudah lama York membidik Darren sejak lama. Darren seperti pintu gerbang yang harus dia taklukkan demi meruntuhkan istana Keluarga Hong.

Hutan Aokigahara menjadi tempat eksekusi terakhirnya. Tidak akan ada penerus dari Keluarga Hong. Kematian Darren akan dianggap sebagai aksi bunuh diri, karena dia terlalu tertekan atas segala problematik perusahaan yang sangat runyam.

Sebenarnya, aksi ini tidak sepenuhnya didasari balas dendam. Tuan Stalin memberikan misi pembunuhan ini, tetapi kemudian Tuan Stalin juga memanfaatkan gelora dendam York agar York bisa melaksanakan misi dengan sempurna. Inilah rahasia York, bahwa dia adalah agen bayaran dari seorang majikan kebangsaan Rusia, Tuan Stalin. Dia direkrut sejak remaja. Bersumpah setia dengan disaksikan oleh kedua orang tuanya yang juga merupakan agen kepercayaan kelas atas dari Tuan Stalin.

Permainan perasaan yang dilakukan York sudah berakhir. Dia tidak pernah memiliki cinta pada Darren. Rasa cinta itu telah lama dia bunuh bersamaan kematian orang tuanya. Hidupnya hanya untuk mengabdi pada Tuan Stalin dan balas dendam.

York, perempuan elegan yang mempunyai seribu ekspresi untuk berakting di arena musuh.

***

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 1 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kasih yang Tak Sampai
675      447     0     
Short Story
Terkadang cinta itu tak harus memiliki. Karena cinta sejati adalah ketika kita melihat orang kita cintai bahagia. Walaupun dia bahagia bukan bersama kita.
Deepest
1100      658     0     
Romance
Jika Ririn adalah orang yang santai di kelasnya, maka Ravin adalah sebaliknya. Ririn hanya mengikuti eskul jurnalistik sedangkan Ravin adalah kapten futsal. Ravin dan Ririn bertemu disaat yang tak terduga. Dimana pertemuan pertama itu Ravin mengetahui sesuatu yang membuat hatinya meringis.
Code: Scarlet
25793      5008     16     
Action
Kyoka Ichimiya. Gadis itu hidup dengan masa lalu yang masih misterius. Dengan kehidupannya sebagai Agen Percobaan selama 2 tahun, akhirnya dia sekarang bisa menjadi seorang gadis SMA biasa. Namun di balik penampilannya tersebut, Ichimiya selalu menyembunyikan belati di bawah roknya.
Ternyata...
932      559     1     
Short Story
Kehidupan itu memang penuh misteri. Takdir yang mengantar kita kemanapun kita menuju. Kau harus percaya itu dan aku akan percaya itu. - Rey
Konspirasi Asa
2861      995     3     
Romance
"Ketika aku ingin mengubah dunia." Abaya Elaksi Lakhsya. Seorang gadis yang memiliki sorot mata tajam ini memiliki tujuan untuk mengubah dunia, yang diawali dengan mengubah orang terdekat. Ia selalu melakukan analisa terhadap orang-orang yang di ada sekitarnya. Mencoba untuk membuat peradaban baru dan menegakkan keadilan dengan sahabatnya, Minara Rajita. Tetapi, dalam mencapai ambisinya itu...
Confession
571      418     1     
Short Story
Semua orang pasti pernah menyukai seseorang, entah sejak kapan perasaan itu muncul dan mengembang begitu saja. Sama halnya yang dialami oleh Evira Chandra, suatu kejadian membuat ia mengenal Rendy William, striker andalan tim futsal sekolahnya. Hingga dari waktu ke waktu, perasaannya bermetamorfosa menjadi yang lain.
Cinta Dalam Diam
757      501     1     
Short Story
Kututup buku bersampul ungu itu dan meletakkannya kembali dalam barisan buku-buku lain yang semua isinya adalah tentang dia. Iya dia, mungkin sebagian orang berpendapat bahwa mengagumi seseorang itu wajar. Ya sangat wajar, apa lagi jika orang tersebut bisa memotivasi kita untuk lebih baik.
Akhir SMA ( Cerita, Cinta, Cita-Cita )
1920      983     1     
Romance
Akhir SMA yang tidak pernah terbayangkan dalam pikiran seorang cewek bernama Shevia Andriana. Di saat masa-masa terakhirnya, dia baru mendapatkan peristiwa yang dapat mengubah hidupnya. Ada banyak cerita terukir indah di ingatan. Ada satu cinta yang memenuhi hatinya. Dan tidak luput jika, cita-cita yang selama ini menjadi tujuannya..
Moonlight
503      297     3     
Short Story
Ryan, laki laki janggung yang terlihat sempurna tak ada kekurangan. Sayang, Ryan melewatkan waktunya dengan kehampaan. Terjebak dimasa lalu. Waktu terus berjalan, tapi tidak dengan dirinya. Ryan masih menunggu, menunggu seseorang yang bisa mengembalikan kehidupannya yang penuh warna
AKU BUKAN ORPHEUS [ DO ]
737      416     5     
Short Story
Seandainya aku adalah Orpheus pria yang mampu meluluhkan hati Hades dengan lantutan musik indahnya agar kekasihnya dihidupkan kembali.