Loading...
Logo TinLit
Read Story - HAMPA
MENU
About Us  

Dua tahun sebelumnya

            Angin sepoi-sepoi yang sejuk menyentuh tiap senti tubuhku, menggerakkan tiap helai rambut hitamku yang panjangnya sebahu. Aku merebahkan diri di atas rumput sambil memejamkan kedua mataku, menikmati kesejukan angin sore dan silaunya cahaya mentari yang warnanya mulai berubah kejinggaan. Suara daun bergemerisik dari atas pohon diiringi kicauan burung yang samar terdengar menambah ramai suasana sore itu. Di saat menyendiri seperti ini seringkali aku membayangkan dia ada di sisiku, seperti dahulu.

            “Kita bertemu lagi.”

            Aku bergeming mendengar suara yang tiba-tiba saja datang dari samping kananku. Dengan mata yang masih tertutup aku berusaha meyakinkan diri dengan apa yang kudengar. Aku terdiam, berharap itu hanya khayalku saja.

            “Anita.”

            Deg. Jantungku seketika berdegup kencang saat namaku tiba-tiba saja dipanggil. Ini bukan khayalku, gumamku dalam hati. Perlahan aku membuka mata sambil menoleh ke sebelah kananku, dan kulihat seorang pria sedang duduk bersila sambil tersenyum memandangku.

            Melihatnya membuatku langsung bangun dan duduk dengan cepat menghadap kearahnya. Ingin rasanya aku memeluknya saat itu, tapi aku tak sanggup melakukannya. “Kau...”

            Pria itu masih mengembangkan senyumnya, ia mengangkat kedua bahu.”Ya.. ini aku Leon.”

Saat Ini, pukul 00.00

            Jam sudah menunjukkan waktu tepat tengah malam. Entah mengapa malam itu begitu sunyi, tak ada suara hewan malam yang terdengar. Padahal saat itu para siswa sedang menginap di sebuah penginapan yang letaknya di pinggiran hutan. Dari salah satu lorong terdengar langkah kaki seseorang. Orang tersebut memperhatikan sekeliling, mengawasi jangan sampai ada yang menyadari keberadaanya.

            Ia membuka pintu dengan perlahan salah satu kamar tempat para siswi perempuan tidur. Mereka semua tidur dengan pulas, tak ada yang bergeming sedikitpun saat orang tersebut masuk. Dengan langkah pelan namun pasti, orang tersebut mendekati salah satu wanita berambut hitam panjang dan ikal, wajahnya cantik, kulitnya putih, tipe wanita idaman para pria. Begitu sampai di samping tempat tidurnya, orang tersebut mengeluarkan sebilah pisau dari kantong jaket parka berwarna hitam yang ia gunakan. Sesaat ia memandang wanita di hadapannya itu dengan senyum sinis sebelum akhirnya ia menusukkan pisau yang ia pegang tepat menghujam jantung wanita yang tengah tertidur pulas itu.

            Tepat ketika pisau itu menghujam jantungnya, wanita tersebut membuka mata dan langsung melotot tajam melihat orang yang berdiri di sampingnya. Belum sempat ia membuka suara untuk meminta bantuan, nafasnya sudah berakhir terlebih dahulu diiringi darah yang perlahan keluar dari dada dan mulutnya.

6 bulan yang lalu, tanggal 7

            Aku berlari menyusuri lorong, melewati deretan loker-loker yang berdiri rapi di ruang loker yang ada di kampusku. Mencari suara Leon yang sayup-sayup terdengar memanggil. Aku berlari ke ujung ruangan dan kutemukan Leon sedang berdiri menghadap jendela, memandang taman kampus yang ada di luar. Aku pun berjalan menghampirinya.

            “Kau selalu seperti ini, membuatku mencarimu kemana-mana. Kenapa sih kamu selalu datangnya di saat seperti ini?!” Kataku merajuk padanya. Leon menoleh seraya menyunggingkan senyumnya yang manis padaku. Dapat kulihat rambutnya Leon yang berwarna kecoklatan, alis matanya tebal dengan warna senada, hidungnya yang mancung dengan sedikit bintik-bintik coklat disana, serta bibirnya yang tipis. Badannya tegap, sedikit berotot dan tingginya jauh melampauiku.

            “Agar kau melupakan semua kesedihanmu.” Jawabnya. Ia memegang kedua bahuku, kini kami saling berhadapan. “Tiap kali aku datang, aku selalu melihatmu sendirian atau menangis. Aku tidak mau melihatmu terus-terusan seperti itu. Aku ingin melihatmu bahagia, Anita.”

            “Kau tahu apa tentang kebahagiaanku!” Ucapku dengan tegas seraya membalikkan badan. Melepaskan diriku dari tangannya Leon dan berdiri membelakanginya. Aku memeluk diriku sendiri dengan kedua  tangan yang melingkar di depan dada. Tidak seharusnya Leon mengatakan hal itu. Aku benci saat Leon mengatakan hal itu.

            Tiba-tiba saja Leon memelukku dari belakang. Dapat kurasakan sentuhan tangannya melingkar diatas tanganku yang terlipat di depan dada dan nafasnya yang berhembus mengenai telinga. Ia menundukkan kepalanya di bahu kananku. “Kau tahu kan bahwa aku akan selalu ada disampingmu? Apapun keadaanya?”

            Aku menelan ludahku yang terasa berat di kerongkongan, berusaha agar tangisku tidak pecah. “Aku lebih bahagia bersamamu Leon.”

Saat Ini, pukul 00.06

            Melihat wanita yang sudah ditusukknya itu kehilangan nyawa, orang itu mengambil kembali pisaunya yang tertancap di dada si wanita. Ia berjalan mendekatkan diri ke kasur kedua yang saat itu tengah tidur seorang wanita yang wajahnya tak kalah cantik dari wanita yang sebelumnya ia bunuh. Namun, wanita ini memiliki wajah arogan yang membuat orang itu merasa jijik sekaligus benci. Ada rasa aneh yang menggebu-gebu dalam diri orang itu. Tak butuh waktu lama untuk orang itu menusuk wanita kedua. Kali ini ia tidak  menghujam jantungnya, orang itu menusuk perut si wanita dan merobek perutnya dari atas sampai ke bawah hingga ususnya menyembul keluar. Sama seperti sebelumnya, wanita itu kaget dan terbangun dalam keadaan melotot, melihat orang di sampingnya.

            “K..kk...aa..uu..” Ucapnya lirih di sisa terakhir napasnya. Orang itu menaruh telunjuk kanannya yang bersimbah darah di depan bibir, melakukan gerak tubuh seperti menyuruh wanita tersebut untuk diam. Orang itu mengambil kembali pisaunya dan berjalan keluar kamar. Menutup pintu kamar dengan perlahan seakan tidak ada sesuatu yang terjadi di dalam.

6 bulan yang lalu, tanggal 12

            Aku memandangi makanan di hadapanku. Berulangkali aku menusukan garpu keatas kue yang ada di piring, rasanya aku tak nafsu untuk memakannya.

            “Makan, nanti kamu sakit.”

            Aku memandang orang dihadapnku yang tiba-tiba saja menyuruhku makan. Senyum lebar langsung terkembang di wajahku. Leon datang seraya duduk dihadapanku, menangkupkan kedua tangannya di atas meja.

            “Kamu udah makan?” Tanyaku. Leon hanya tersenyum kecil dan mengangguk.

            “Ada apa?” Tanya Leon. “Aku lihat ada sesuatu yang sedang kamu pikirkan.”

            Aku  mendengus. “Rasanya aneh.”

            Leon mengkerutkan keningnya. “Aneh kenapa?”

            “Teman-temanku yang sekarang begitu baik padaku.” Gumamku sambil kembali memainkan kue di atas piring.

            “Seharusnya kamu bersyukur dan bahagia karena kamu punya teman yang baik sekarang.” Ujar Leon. “Kenapa harus merasa aneh?”

            “Entahlah, tapi sepertinya sulit untukku percaya bahwa mereka mau bergaul dan berteman denganku.” Keluhku. Tiba-tiba saja Leon menyentuh tangan kiriku dengan tangan kanannya.

            “Tapi buktinya mereka berteman denganmu kan sekarang? Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja.”

Saat Ini, Pukul 00.15

            Darah menetes di sepanjang koridor penginapan yang begitu sepi. Orang itu kembali memasuki kamar lain dengan perlahan tanpa diketahui siapapun. Ia memang sudah mempersiapkan semuanya, sehingga tindakan yang ia lakukan pada malam itu terlihat sangat mudah untuk dilakukan. Orang itu memasuki kamar lain yang juga diisi dengan dua siswi. Segera ia mendekati salah satu siswi yang memiliki kulit berwarna hitam dan rambut keriting. Terlihat jelas bahwa wanita itu merupakan keturunan afro-amerika.

            Tiba-tiba saja orang tersebut menaiki badan si wanita itu dengan cepat, mengapit tubuh dan tangannya menggunakan kedua kakinya.Wanita tersebut sontak langsung membuka matanya, terkejut dengan apa yang menimpa dirinya. Tubuhnya mulai meronta-ronta, mulutnya terus berusaha mengelurakan suara meminta pertolongan tapi tangan orang tersebut sudah terlebih dahulu menutup mulutnya. Orang itu memainkan ujung pisau di atas pipi si wanita, mengelusnya perlahan lalu menyayat pipi si wanita hingga tetesan darah keluar dari pipinya.

            Wanita itu semakin meronta, tangan yang orang itu gunakan untuk menutup mulut goyah dan tergigit oleh wanita itu. Orang itu langsung melepaskan tangannya, kesakitan. Ia menatap tajam wanita di hadapannya itu dengan penuh amarah.

            “Eve! Lari!!!” Teriak wanita tersebut mencoba membangunkan temannya yang tidur di kasur sebelah. Wanita yang di panggil Eve itu bergeming, ia membuka mata dengan malas dan betapa terkejutnya ia melihat pemandangan di sampingnya. Ada seseorang yang berusaha membunuh temannya. “LARI!”

            “Amel!” Tukas Eve dengan segala keterkejutannya. Ia bangkit dari tempat tidur dan berlari ke arah pintu, berusaha keluar untuk menyelamatkan diri dan meminta pertolongan. Malangnya, baru saja Eve menggapai kenop pintu, ia sudah terkulai lemas dengan darah bercucuran dari kepalanya. Orang itu telah menembak Eve menggunakan pistol berperedam. Setelah menyelesaikan urusannya dengan Eve, orang itu kembali melihat wanita di hadapannya yang sudah memandang dirinya dengan penuh ketakutan.

            “Anita! apa yang kau lakukan?!” Ucap wanita itu dengan keras.

2 Bulan yang lalu, tanggal 2

            Aku tertawa terbahak-bahak mendengar celotehan teman-teman yang ada di hadapanku ini. Sejak sejam yang lalu mereka sibuk menggosipkan anak-anak dari berbagai jurusan, bukannya mengerjakan tugas yang diberikan dosen. Saat ini kami sedang berkumpul di taman kampus, duduk di salah satu bagian taman yang tertutupi rindangnya pepohonan. Awalnya kami ingin mengerjakan tugas kelompok ini disini, tapi sepertinya tidak berjalan sesuai rencana.

            “Daren? Yah.. dia memang cukup tampan.” Ujar Karen. Ia salah satu wanita tercantik di kelasku, rambutnya ikal dan berwarna hitam. Tubuhnya langsing, tingginya pun semampai.

            “Apa kubilang... dia memang tampan. Kau tidak berencana mendekatinya?” Ledek wanita lain bernama Amelia. Ia berkulit hitam, rambutnya yang keriting selalu ia kuncir dan ia memiliki mata coklat yang indah.

            “Oh ayolah.. Daren bukan tipe pria yang disukai Karen, walaupun dia punya wajah yang tampan. Asal kau tahu, Karen tidak semurah itu untuk mendekati pria yang sama sekali bukan tipenya!” Gelak tawa pun pecah ketika Eve melontarkan ucapannya. Sedangkan aku, hanya tersenyum.

            “Kurang ajar kau Eve! Yah.. tapi perkataanmu ada benarnya juga sih.” Seketika Eve melirik kearahku. “Kenapa tidak Anita saja yang mendekati Daren? Diantara kita, kaulah satu-satunya yang belom pernah sekalipun memiliki pacar.”

            Aku terdiam, semua mata langsung tertuju padaku. Aku pun terkekeh. “Kenapa harus aku?”

            “Memangnya kamu tidak tertarik dengannya?” Tukas Lucy, wanita lain yang juga tak kalah cantik dengan Karen. Ia memiliki rambut pirang indah yang panjang. Garis wajahnya keras dan terkesan tegas bagi kebanyakan orang, tapi tidak bagiku.

            “Dia memang tampan, tapi tidak. Aku tidak tertarik.” Jawabku  datar. Mereka berempat langsung mengkerutkan kening sambil menatapku. Dapat kusimpulkan mereka pasti berpikir bahwa aku wanita yang aneh. Berdasarkan cerita mereka, banyak wanita yang tertarik dengan Daren. Entah benar atau tidak, aku tidak tahu dan tidak mau peduli. Aku juga tidak mengenalnya, tapi aku tahu wajahnya karena beberapa kali aku pernah bertemu dengannya secara tidak sengaja. Lagipula kalaupun mereka merasa bahwa aku wanita yang aneh, aku juga merasakan hal yang sama kepada mereka. Aneh karena mereka mau berteman denganku. Kami sudah berteman selama satu semester ini tapi aku selalu bertanya apa mereka benar-benar nyaman berteman denganku, karena aku sendiri tidak terlalu nyaman sebenarnya berteman dengan mereka.

            “Sudahlah, jangan mengganggu Anita lagi. Lebih baik kita membicarakan hal yang lain.” Tukas Amelia dengan nada yang kudengar seperti meledekku.

Dengan cepat mereka langsung mengalihkan topik pembicaraan ke hal lain tanpa memperdulikan apakah aku tertarik atau tidak, seperti biasa. Berulangkali kujatuhkan pandangan ke orang-orang yang berlalu lalang di taman. Sudah lama rasanya aku dan Leon tak menghabiskan waktu bersantai dan mengobrol di taman seperti yang saat ini kulakukan.

Saat Ini, Pukul 00.18

            Anita mendekatkan wajahnya ke Amelia, hingga jarak diantara wajah mereka hanya beberapa senti saja. “Apa yang kulakukan? Aku hanya ingin membunuhmu...” Jawabnya dengan wajah datar.

            Anita lalu tersenyum dan terkekeh. “Dan juga yang lain..” Tepat ketika kata terakhir yang Anita ucap, ia menusuk leher Amelia dengan sangat dalam. Darah yang sangat banyak pun mengucur keluar dari lehernya. Di hadapannya Anita, Amelia meregang nyawa.

            Anita beranjak dari tubuh Amelia, meninggalkan kamar dengan darah yang membasahi tubuhnya. Ia berjalan menyusuri koridor kearah luar penginapan. Tanpa rasa takut. Hanya rasa puas mengaliri tiap senti aliran darahnya. Suasana penginapan saat itu masih sangat sepi, tak terlihat satu orang pun. Bagaimana tidak, sebelum melakukan pembunuhan terhadap keempat temannya itu, Anita sudah memberikan obat bius ke semua teman sekelasnya yang saat itu memang ikut dalam penelitian dan menginap di sana. Sedangkan pegawai penginapannya, mereka tidak akan repot-repot berkeliling memeriksa tiap koridor di tengah malam seperti saat ini.

Para wanita bodoh, pikir Anita. Ia berpikir seperti itu bukan tanpa alasan, Lucy adalah salah satu siswi favorit Pak Brian dan setiap tugas yang ia berikan pasti akan diinfokan melalui Lucy. Anita meretas surel pak Brian-dosen pengajar morfologi tumbuhan yang juga merupakan wali kelasnya-dan mengirimkan surel berisi tugas untuk melakukan penelitian seputar morfologi tumbuhan di hutan yang berada di pinggiran kota tempat mereka tinggal. Tugas yang diberikan membuat mereka mau tidak mau harus menginap di penginapan yang letaknya tidak jauh dari hutan tersebut. Lucy tidak curiga, bahkan anak-anak kelas yang lain juga tidak menaruh kecurigaan terhadap tugas tersebut. Sebab, Pak Brian jarang masuk kelas dan seringkali hanya memberikan mereka tugas untuk dikerjakan. Situasi yang sangat mendukung bagi Anita untuk melancarkan rencananya itu.

“Anita!”

2 bulan yang lalu, tanggal 27

            Aku berjalan menuju lokerku untuk mengambil buku. Begitu kubuka, sepucuk surat berwarna coklat jatuh keatas kakiku. Aku mengambil surat itu seraya membolak-balikannya, mencari nama si pengirim surat.

            “Pasti dari dia lagi..” Gumamku. Ini bukan pertama kalinya aku mendapat surat itu, ini sudah kesepuluh kalinya aku mendapat surat yang sama dan bisa kutebak pasti isinya juga sama. Ternyata benar, saat kubuka dan kubaca, isinya memang sama.

            Aku menutup loker, berjalan ke arah jendela dan berhenti tepat didepannya. Aku menoleh ke pojok ruangan tempat biasa aku dan Leon mengobrol. Aku memeluk erat sebuah buku tebal yang baru saja kuambil dari dalam loker. Anganku melayang ke hari dimana aku terakhir kali melihat Leon. Saat itu ia begitu bahagia, dapat kulihat dari senyum yang tergambar di wajahnya. Matanya berseri-seri, dia berkata bahwa ia bahagia melihatku sekarang punya banyak teman. Jujur, aku juga merasakan hal yang sama, aku bahagia dengan apa yang kudapat selama duduk di bangku kuliah, khususnya soal pertemanan. Walaupun aku pernah mengeluh padanya bahwa aku tidak yakin apa mereka semua tulus berteman denganku, tapi Leon selalu mengatakan bahwa belum tentu mereka seperti itu dan semuanya akan baik-baik saja. Dan aku pun percaya.

            Aku mulai mencoba menikmati pertemananku ini, pertemanan yang kuimpikan sejak lama. Tapi kenapa Leon jadi seperti ini? Ia tidak pernah menemuiku lagi sejak aku mulai bisa bergaul dengan teman-teman lain. Aku rindu dan ingin bertemu dengannya.

            Aku kembali tersadar dari lamunanku tentang Leon dan teringat dengan surat yang kudapat. Ada seseorang yang jelas-jelas menyukaiku dan ia ingin jawaban soal perasaanku padanya. Aku memang menyukai Leon, tapi Leon tidak pernah sekalipun membahas perasaanya padaku. Ia memang seperti seorang kekasih, tapi dia bukanlah siapa-siapa. Ia sepertinya hanya menganggap hubungan kami sebagai sebuah persahabatan, tidak lebih. Apa yang harus kulakukan...

Saat Ini, Pukul 00.25

            “Anita!”

            Anita menghentikan langkahnya, ia sangat familiar dengan suara yang memanggil namanya itu. Ia terdiam, suara langkah kaki terdengar jelas mendekati dirinya.

            “Anita.. apa yang sudah kau lakukan?” tanya orang tersebut. Anita menoleh sebelum akhirnya membalikkan badan dan mengarahkan pistolnya ke wajah orang itu yang sudah berdiri tepat di depannya.

            “Bodoh! Kau tidak seharusnya datang Daren.” Ujar Anita sambil menatap Daren dengan tajam.

            “Kau mau menembakku? Tembaklah. Jika itu bisa membuatmu memaafkanku.” Tantang Daren. Anita terdiam, ia masih menodongkan pistol ke wajahnya Daren. Namun tak berapa lama, sebulir air mata menetes di wajahnya Anita.

            Daren melangkah maju, Anita berniat menarik pelatuk namun tanganya gemetar. Ia tak sanggup melakukannya. Daren tau bahwa Anita tidak akan sanggup membunuhnya. Sambil melangkahkan kaki mendekati Anita, ia mengambil tangan Anita yang memegang pistol dan menurunkannya. Ia lalu memeluk Anita dengan erat. Air mata Anita pun tumpah di bahunya Daren, tangannya melemas hingga pistol yang awalnya ia pegang erat pun terjatuh.

2 Bulan yang lalu, tanggal 30

            Akhirnya aku memutuskan untuk datang menemui Daren sambil memegang semua surat yang sudah ia kirimkan padaku. Aku datang ke lapangan Rugby seorang diri, tempat dimana Daren mengatakan akan menemuiku. Saat itu hari sudah sore, bahkan sebagian langit sudah mulai gelap. Lapangan Rugby saat itu sangat sepi, hanya aku seorang diri yang duduk di bangku penonton. Setengah jam sudah aku menunggu disini, hingga langit sudah gelap seluruhnya dan lampu-lampu lapangan di hidupkan, tapi Daren tak kunjung datang.

            Mungkin ia telat, pikirku. Kuputuskan untuk tetap menunggu Daren, tapi ternyata ia tidak datang juga setelah dua jam aku menunggunya. Aku melihat ponsel, tak ada jawaban dari Daren juga. Padahal sudah berulang kali aku mengirim pesan padanya. Sudah berulangkali juga aku menelpon tapi tak tersambung. Biasanya dia selalu cepat membalas pesanku.

            Lelah menunggu, aku pun memutuskan untuk pergi dengan rasa kecewa yang teramat dalam. Bodohnya aku, tidak seharusnya aku percaya dengan semua ucapannya Daren dan terbawa perasaan. Seharusnya aku sudah menduganya sejak awal. Tidak mungkin ada pria lain yang bisa menyukaiku seperti Leon, tidak ada dan tak akan pernah ada.

Sebulan yang lalu, tanggal 2

            Dengan ragu, aku memberanikan diri mendekati Daren yang saat itu sedang istirahat di bangku pemain setelah berlatih Rugby dengan teman-temannya. Mungkin ini tindakan yang buruk, tapi aku ingin tahu kenapa Daren tak menepati janjinya tempo hari dan tidak pernah membalas pesan maupun panggilanku sejak hari itu.

            “Daren..” Panggilku. Daren menoleh seraya berjalan mendekatiku.

            “Ya?” Tanyanya setelah ia berdiri tepat di hadapanku.

            “Kenapa kemarin kau tidak datang?” tanyaku. Daren mengkerutkan kening, melihatku dengan heran.

            “Apa maksudmu?” Tanyanya balik.

            Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaanya. Aku mengambil semua surat dari dalam tas dan memberikan padanya. Daren memandang surat itu dengan heran sebelum mengambilnya. “Maaf, ini apa ya?”

            “Itu surat yang berulang kali kau kirimkan padaku. Tempo hari kau menyuruhku untuk datang kesini untuk menemuimu, tapi kau tidak datang. Bahkan kau juga tidak membalas pesan dan juga panggilan dariku.”

            “Maaf? Mengirimkanmu surat? Aku tidak pernah mengirimkanmu apapun, bahkan aku juga tidak pernah menelponmu.” Ujar Daren. “Mungkin kau salah orang.”

            Seketika tenggorokanku tercekat, tidak percaya dengan apa yang baru saja Daren katakan padaku. Apa ia malu di datangi olehku makanya ia mengatakan  hal seperti itu? Atau ia selama ini memang hanya mendekatiku untuk mempermainkanku?

            Aku hanya bisa diam, aku tak tahu harus berkata apa. Daren juga terdiam menunggu jawaban dariku. Pandanganku kesana kemari, pikiranku berkecamuk. Namun dapat kulihat teman-teman Daren yang berada di klub Rugby mendekati kami. Mereka bertanya pada Daren apa yang terjadi dan setelah Daren bercerita, salah satu pria tiba-tiba saja tersenyum ketus.

            “Dasar cewek aneh! Daren tidak mungkin menyukaimu! Bahkan ia tak akan membuang-buang waktunya hanya untuk berkenalan denganmu!” Ujar pria yang tersenyum ketus tersebut diikuti tawa anak-anak klub Rugby yang lainnya.

            “Hei..” Tiba-tiba saja pria lain mendekati dan membelai rambutku. Aku menakis dan menatapnya dengan tajam. “Seharusnya kau tahu diri, tidak ada satupun pria yang mau dengan perempuan aneh sepertimu. Perempuan gila!”

            Dadaku terasa sakit, sangat sakit. Aku berlari keluar dari lapangan Rugby dengan tangis yang sedari tadi kutahan agar tidak pecah. Aku sungguh bodoh, sangat bodoh. Tidak seharusnya aku melakukan itu. Aku bodoh! Sangat bodoh!

            “Mau kemana kau?” Langkahku terhenti ketika mendengar seseorang memanggilku. Aku menoleh dan kutemui Eve, Lucy, Karen, dan Amelia berjalan mendekat. 

“Kalian..” Gumamku seraya mengembangkan senyum kecil di wajah, sedikit ada rasa lega melihat teman-temanku. Mereka pasti ingin menyemangatiku dengan apa yang baru saja terjadi, terlebih mereka tahu segala hal tentang Daren dan pertemuan mereka tempo hari. Tapi ternyata aku salah, sangat salah. Mereka tertawa begitu berdiri di dekatku. Aku melihat mereka satu per satu dengan bingung.

“Kenapa Anita?” Ledek Amel.

“Jangan seperti itulah Mel, kasian Anita. Dia bingung dengan apa yang baru saja terjadi.” Ujar Karen diikuti tawanya Lucy dan Eve.

“Apa maksud kalian?” Tanyaku.

“Sekalinya bodoh ya akan tetap bodoh.” Ujar Lucy seraya melirik teman-temannya dengan kekehan. “Kau benar-benar tidak ingat dengan kami rupanya?”

Aku mengkerutkan kening, tidak mengerti dengan apa yang dimaksd oleh Lucy.

“Sudah kuduga.” Lanjutnya. “Tidakkah kau ingat bahwa kami yang suka menyiksamu ketika SMP? Masa-masa yang sungguh menyenangkan.”

“Apa maksud kalian?” Tanyaku lagi.

“Dasar bodoh! Asal kau tahu, selama ini kami hanya berpura-pura mau berteman denganmu. Kami juga yang menghubungimu dan berpura-pura menjadi Daren. Mendekatimu dan membuatmu suka padanya. Kami yang mengirimkanmu surat dan menyuruhmu untuk datang menemui Daren tempo hari! Kami melakukan itu untuk mempermalukanmu, kau tahu!” Ujar Amelia dengan kesal.

“Sudahlah Mel, jangan kau terlalu keras padanya.” Ujar Eve, ia terkekeh. “Kau tahu Anita, jujur saja kami tak menyangka bisa bertemu lagi denganmu dan kuliah di satu jurusan bahkan di kelas yang sama. Awalnya kami kira kau akan mengenali kami, tapi ternyata tidak. Dan tentu kau tau apa yang kami pikirkan bukan?”

“Mengulang kesenangan kami seperti masa lalu.” Jawab Karen. “Tak dapat dipungkiri, kami sangat menikmati tiap kali melihatmu menangis.”

Aku memandang mereka dengan tatapan tak percaya. “Apa? Jadi kalian? Aku tidak pernah melakukan kesalahan apapun pada kalian... tapi kenapa kalian melakukan ini padaku?!”

“Tidak pernah melakukan kesalahan? Hei Anita! Asal kau tahu, kami muak dengan perlakuan spesial yang diberikan guru-guru padamu sewaktu SMP! Termasuk orang tua kami! Aku tak habis pikir kenapa mereka selalu membela perempuan gila sepertimu!” Tukas Karen sambil menunjuk-nunjuk diriku menggunakan jari telunjuknya.

“Aku tidak Gila!” Jawabku dengan penuh amarah.

“Tidak Gila? Tidakkah kau sadar bahwa kau selalu menyendiri semasa SMP? Kau anti dengan setiap orang. Bahkan sekarang kau sering berbicara sendiri. Di kelas, di kantin, di ruang loker, di taman? Bahkan seantero kampus membicarakan kelakuan anehmu itu! Dan teman-teman sekelas? Hanya berpura-pura mau berteman denganmu! Tidakkah kau sadar?!” Amel mendorong tubuhku hingga ku mundur beberapa langkah.

Aku menggelengkan kepala, menolak semua yang dikatakan mereka tentangku. Aku tidak percaya dengan semua itu. Aku tidak gila. Merekalah yang gila!

“Mana ada orang gila yang sadar bahwa dirinya gila. Seharusnya kau tinggal di rumah sakit  jiwa seperti dahulu dan menghabiskan sepanjang hidupmu di dalam sana bersama kekasih khayalanmu. Siapa namanya?” Tanya Eve seraya menoleh pada teman-temannya.

“Leon.” Karen tersenyum lebar. “Aku jadi penasaran bagaimana rupa pacar khayalanmu itu.”

Ucapan demi ucapan yang terlontar dari mulut mereka membuatku semakin sakit. Ada tangis yang ingin pecah, amarah yang ingin keluar, dan ucapan kasar yang ingin kulontarkan. Namun aku hanya diam dan menahan semuanya dalam hati. Semua yang mereka katakan tentangku itu salah. Aku tidak gila dan Leon itu nyata. Mereka mengatakan itu hanya untuk mempermainkanku seperti sebelumnya.

“Hanya bisa diam seperti biasa?” Ledek Karen. “Mana Leonmu Anita? Biasanya dia datang ke kampus kan? Oh iya aku lupa, dia kan hanya khayalanmu saja, mana mungkin dia datang.”

Aku pun berlari dengan kencang meninggalkan tawa mereka dibelakangku, berusaha menjauh dari segala keramaian. Aku tak sanggup lagi mendengar omongan mereka tentangku dan juga Leon. Sambil berlari aku terus menerus mengusap tangisku, pikiranku makin berkecamuk. Leon kali ini salah, semua tidak berjalan dengan baik-baik saja.

5 Hari setelah pembunuhan, Pukul 16.00

             Daren memperhatikan mobil yang berlalu lalang di depan rumah sakit. Sesekali ia memperhatikan suster yang bolak-balik di lorong. Pikirannya menerawang, ada rasa sesal yang ia rasakan. Ia merogoh saku celana, mengambil ponsel untuk memastikan pukul berapa saat itu. Setelah melihat jam, ia memasukkan ponselnya lagi.

            Ia beranjak dari tempatnya berdiri dan berjalan ke salah satu ruangan. Di dalam ruangan itu ditemuinya seorang dokter pria setengah baya dengan rambut yang hampir botak. Ia tersenyum begitu Daren masuk dan mempersilahkannya duduk. Mereka berbincang cukup lama sebelum dokter tersebut memanggil suster dan menyuruh Daren untuk mengikuti suster tersebut ke ruangan lain, ruangan yang diperuntukan untuk kunjungan pasien.

Sesampainya disana, Daren mendekati Anita yang tengah duduk seorang diri menghadap ke jendela berjeruji. Di ruangan serba putih yang cukup besar itu hanya ada mereka berdua.

“Anita..” Ucap Daren dengan lembut. “Apa kabar?”

Anita bergeming, ia melirik Daren yang tengah berdiri di samping kanannya lalu kembali memandang keluar.

“Aku harap kau baik-baik saja. Aku kesini hanya ingin mengembalikan ini padamu.” Daren berlutut kemudian merogoh saku jaket varsetinya dan mengambil sebuah patung mini berbentuk sepasang kekasih yang sedang berdansa. Ia memberikannya pada Anita.

Anita tak bergeming.

“Ini hadiah yang Leon ingin berikan padamu di hari ulang tahunmu. Waktu itu ia memintaku untuk membelikannya, tapi sayangnya ia tak sempat memberikannya secara langsung saat itu padamu.” Ujar Daren. Mendengar nama Leon disebut, Anita menoleh dan melihat apa yang disodorkan Daren padanya. Air matanya Anita seketika menetes. Ia mengambil patung tersebut dengan tangan bergetar. Setelah ia mengambilnya, Anita memeluk erat patung tersebut di depan dada dengan kedua tangannya. Daren memandangnya dengan sendu. Ia tak sanggup melihat Anita seperti ini.

Sebulan yang lalu, tanggal 2 pukul 20.00

            Aku kelelahan setelah berlari sekuat tenaga ke tempat dimana tak ada satupun orang bisa menemukanku. Suasana taman kota yang sepi membuatku menemukan kesunyian dan sedikit kedamaian. Aku duduk di bawah sebuah pohon besar sambil mengapit kedua kakiku, menangis sesenggukan diantara keduanya. Aku menginginkan Leon, hanya Leon yang dapat mengerti keadaanku. Aku ingin bertemu dengannya, tapi kenapa dia harus pergi meninggalkanku seorang diri seperti ini.

            “Anita..” Aku mendongakkan kepala, melihat Daren berlutut di hadapanku.

            “Mau apa kau?!” Tanyaku marah.

            “Aku minta maaf. Tidak seharusnya aku melakukan hal itu.” Ucapnya lirih yang hanya kubalas dengan tatapan takut. “Tidakkah kau ingat denganku? Aku Daren Wallstrom, kita sering bertemu di rumah sakit semasa SMA. Aku sering berkunjung menemui Leon. Tidakkah kau ingat?”

            Aku tak menjawab, tapi pikiranku menerawang. Mencoba mengingat dan mencerna apa yang Daren katakan. Tiba-tiba saja dadaku terasa sakit, tenggorokanku tercekat, sebuah kilatan cahaya tiba-tiba saja muncul menyilaukan mata dan membuat kepalaku terasa sakit. Aku tahu yang Daren katakan, tapi aku tak mau mengingat bahkan mempercayainya.

            Daren tersenyum kecil. “Tidak apa jika kamu tidak ingat, tapi..”

            “Kau mau mengatakan bahwa Leon sudah mati?” potongku dengan ketus. Daren sepertinya terkejut dengan apa yang kukatakan. “Kau mau mengatakan bahwa aku gila kan?! Seperti halnya orang-orang itu yang menganggapku gila?!”

            “Tidak Anita, tidak.. aku..”

            “Aku sudah melupakan kalian! Puluhan terapi kulakuan hanya untuk bisa meninggalkan hidupku yang lama! Tapi kenapa kalian masih saja mengganggu hidupku? Tidakkah kalian puas dengan apa yang pernah kalian lakukan padaku? Tidakkah kau puas karena membuat Leon pergi?!”

            Daren mencoba menyentuh tanganku namun langsung ku tangkis. Aku menatapnya tajam.

            “Aku minta maaf karena muncul dalam kehidupanmu lagi Anita. Aku hanya ingin melihatmu hidup normal seperti orang kebanyakan. Aku tahu bahwa kau sudah melupakan semuanya termasuk diriku, tapi aku tidak pernah menyangka bahwa keadaanya akan seperti ini. Termasuk perlakuan mereka terhadapmu.” Ujar Daren lembut.

            “Aku  tahu Leon bergitu berarti bagimu, tapi dia sudah tidak ada dan kamu harus merelakannya.” Sambung Daren.

            Mendengar ucapannya aku langsung naik pitam. Aku pun berdiri diikuti dengannya. “Kalian akan menyesal telah melakukan ini padaku.”

5 Hari setelah pembunuhan, pukul 16.30

            Tiga puluh menit berlalu dan Daren masih memandang Anita yang menangis sambil memeluk patung mini di dadanya. Daren teringat 3 tahun yang lalu, saat pertama kali ia bertemu dengan Anita. Saat itu Daren sedang menjenguk kakakknya-Leon Wallstrom- yang sedang dirawat di RSJ Saint Hills karena depresi berat yang ia derita. Ketika ia menjenguk Leon, dilihatnya ia sedang berbicara dengan seorang wanita yang saat itu ia ketahui bernama Anita-salah satu pasien yang didiagnosis juga mengalami depresi. Atas ijin dari Dokter, ia diperbolehkan mendekati mereka berdua karena dianggap kondisi mereka stabil. Daren pun mendekati mereka sambil membawakan makanan kesukaannya Leon. Leon terlihat sangat bahagia dengan kedatangannya Daren, sedangkan Anita hanya diam sambil sesekali memperhatikannya.

            Sejak saat itu, Daren semakin sering datang ke rumah sakit. Tidak hanya untuk mengunjungi Leon, tapi juga bertemu dengan Anita. Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka semakin erat. Anita mulai membuka dirinya dengan Daren dan beberapa kali menghabiskan waktu mengobrol dengannya walaupun selalu Daren yang memulai obrolan, karena Anita sangat pendiam dan sulit untuk diajak bersosialisasi. Lalu dari sanalah Daren tahu kenapa Anita seperti ini, sejak kecil Anita tinggal dengan orang tua yang setiap hari selalu bertengkar, ia kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari mereka padahal ia anak tunggal. Setelah orang tuanya bercerai, Anita lebih banyak menjalani hidupnya sendirian di rumah. Bahkan untuk bersosialisasi saja sulit untuk ia lakukan, ia tidak mempunyai teman di sekolahnya karena dianggap aneh karena selalu menyendiri.

            Di bangku SMP ia bertemu dengan Karen, Lucy, Eve, Amelia dan kawan-kawannya. Mereka terus-menerus mengganggu Anita selama SMP, hingga akhirnya semasa SMA Anita pun di sekolahkan orang tuanya di SMA yang ada di luar kota, dengan harapan Anita tidak mendapat perundungan lagi. Namun ternyata ia tidak dapat mengikuti kelas dengan baik karena ia terdiagnosis mengalami depresi. Sebenarnya depresi yang dialami Anita tidak separah Leon, tapi orang tuanya tidak bisa merawatnya di rumah hingga akhirnya ia dimasukkan ke RSJ Saint Hills untuk perawatan.

            Seringnya Daren menghabiskan waktu dengan Anita membuat ia menyukainya. Namun sayangnya, Anita menyukai Leon begitupun sebaliknya. Sore itu Daren kembali menjenguk Leon di Saint Hills dan sesuatu terjadi diantara mereka. Leon rupanya menyadari bahwa Daren menyukai Anita, mereka pun beradu mulut. Dengan depresi yang dialami Leon, keadaan semakin tidak terkendali hingga akhirnya Leon harus di tenangkan oleh para suster dan Daren meninggalkannya kembali ke rumah, tanpa mengetahui bahwa Anita melihat pertengkaran mereka sore itu.

            Keesokan harinya Daren mendapat kabar dari rumah sakit bahwa Leon bunuh diri dengan menyayat tangan dari serpihan kaca jendela kamar yang ia pecahkan. Betapa terkejutnya ia saat itu. Ia pun segera pergi ke rumah sakit dan mendapati kakaknya telah meninggal. Tahu bahwa Leon bunuh diri, Anita semakin depresi. Kondisinya pun semakin tak stabil hingga akhirnya orang tuanya Anita memindahkannya ke rumah sakit lain untuk mendapat perawatan yang lebih baik. Sejak saat itulah Daren tak pernah mendengar kabar apapun tentang Anita, hingga tanpa sengaja ia bertemu lagi dengannya di kampus yang sama.

             Beberapa kali Daren mencoba menegur Anita, berharap ia mengenalinya. Tapi ternyata Daren sadar bahwa Anita telah melupakannya dan menganggap bahwa dengan ia berpura-pura tidak mengenalnya, membuat Anita tidak akan kembali mengalami kondisi seperti dahulu. Ia teringat akan rasa bersalah yang menyelimuti dirinya sejak dulu. Jika saja dia tidak menyukai Anita, Leon tidak akan bunuh diri dan Anita tidak akan berdelusi seperti ini. Andai saja saat itu Daren mengatakan bahwa ia mengenal Anita dan surat serta semua pesan itu ia yang kirim -walaupun sebenarnya bukan-, Anita tidak akan dipermalukan seperti itu. Ia tidak akan melakukan semua pembunuhan itu.

            Daren tersadar dari lamunannya, ia kembali menatap Anita lekat walaupun Anita tak membalas tatapannya. Ia masih mencintai wanita dihadapannya ini, wanita berkulit kuning dengan hidung pesek dan rambut hitamnya. Wanita yang sebenarnya hanya seseorang yang kesepian dan butuh kasih sayang, wanita yang menurut orang lain tidak waras tapi mampu mempesonanya.

            Ia menghapus air mata seraya berdiri dan beranjak dari sisinya Anita, keluar dari ruangan. Ia terhenti untuk melihat Anita lagi dari sela pintu yang terbuka sebelum ia menutupnya. “Terkadang cinta bisa membuat seseorang menjadi sekejam itu.” Gumamnya dalam hati.

THE END

           

 

 

 

 

 

 

 

           

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Right Now I Love You
444      336     0     
Short Story
mulai sekarang belajarlah menyukaiku, aku akan membuatmu bahagia percayalah kepadaku.
LOVEphobia
411      273     4     
Short Story
"Aku takut jatuh cinta karena takut ditinggalkan” Mengidap Lovephobia? Itu bukan kemauanku. Aku hanya takut gagal, takut kehilangan untuk beberapa kalinya. Cukup mereka yang meninggalkanku dalam luka dan sarang penyesalan.
love is poem
1358      864     4     
Romance
Di semesta ini yang membuat bahagia itu hanya bunda, dan Artala launa, sama kaki ini bisa memijak di atas gunung. ~ ketika kamu mencintai seseorang dengan perasaan yang sungguh Cintamu akan abadi.
Secret Love
348      234     3     
Romance
Cerita ini bukan sekedar, cerita sepasang remaja yang menjalin kasih dan berujung bahagia. Cerita ini menceritakan tentang orang tua, kekasih, sahabat, rahasia dan air mata. Pertemuan Leea dengan Feree, membuat Leea melupakan masalah dalam hidupnya. Feree, lelaki itu mampu mengembalikan senyum Leea yang hilang. Leea senang, hidup nya tak lagi sendiri, ada Feree yang mengisi hari-harinya. Sa...
Love Dribble
10596      2042     7     
Romance
"Ketika cinta bersemi di kala ketidakmungkinan". by. @Mella3710 "Jangan tinggalin gue lagi... gue capek ditinggalin terus. Ah, tapi, sama aja ya? Lo juga ninggalin gue ternyata..." -Clairetta. "Maaf, gue gak bisa jaga janji gue. Tapi, lo jangan tinggalin gue ya? Gue butuh lo..." -Gio. Ini kisah tentang cinta yang bertumbuh di tengah kemustahilan untuk mewuj...
Farewell Melody
266      184     2     
Romance
Kisah Ini bukan tentang menemukan ataupun ditemukan. Melainkan tentang kehilangan dan perpisahan paling menyakitkan. Berjalan di ambang kehancuran, tanpa sandaran dan juga panutan. Untuk yang tidak sanggup mengalami kepatahan yang menyedihkan, maka aku sarankan untuk pergi dan tinggalkan. Tapi bagi para pemilik hati yang penuh persiapan untuk bertahan, maka selamat datang di roller coaster kehidu...
Petualangan Angin
271      228     2     
Fantasy
Cerita tentang seorang anak kecil yang bernama Angin. Dia menemukan sebuah jam tangan yang sakti. Dia dengan kekuatan yang berasal dari jam itu, akan menjadi sesuatu kekuatan yang luar biasa, untuk melawan musuhnya.
Dear Kamu
3714      1211     6     
Inspirational
Kamu adalah pengganggu. Turbulensi dalam ketenangan. Pembuat onar dalam kedamaian. Meski begitu, kamu adalah yang paling dirindukan. Dan saat kamu pergi, kamulah yang akhirnya yang paling aku kenang. Dear kamu, siapapun kamu. Terimalah teriakanku ini. Aku kangen, tahu!
Love Never Ends
11755      2472     20     
Romance
Lupakan dan lepaskan
pat malone
4667      1352     1     
Romance
there is many people around me but why i feel pat malone ?