Read More >>"> BROWNIES PEMBAWA BENCANA
Loading...
Logo TinLit
Read Story - BROWNIES PEMBAWA BENCANA
MENU
About Us  

“Dik, coba tebak tadi aku ngapain?” tanyaku ke Dika, sahabatku mulai dari kelas 5 sd.

Ya, aku dan Dika sudah bersahabat semenjak sekolah dasar. Awalnya dulu aku, mama dan papaku pindah ke Kota Surabaya. Kami pindah karena papa pindah dinas dari yang awalnya di Jakarta ke Surabaya. Semenjak pindah di Surabaya, Dika sering main ke rumahku. Tapi, ketika memasuki masa biru putih Dika tidak lagi main ke rumahku, malu katanya karena mana mungkin laki-laki main ke rumahnya anak perempuan. Ada-ada sajakan. Tapi, kita tetap berkawan dekat hingga kini. Malahan, sekarang giliran aku yang sering main ke rumahnya Dika, aku tidak perlu naik sepeda atau apalah untuk kesana, tinggal menyebrang sampai deh.  Kerena rumahku dan rumahnya saling berhadapan.

“Halah, pasti habis lihat film kan” tebaknya.

“Haha, kamu tau aja Dik.” tertawa.

“Itukan memang hobimu.”

“Tau nggak Dik ceritanya gimana?” tanyaku

“Nggak.” Jawabnya singkat.

“Ceritanya ya Dik….”

Belum sempat bercerita, Dikapun memotong ceritaku “Memang faedahnya apasih lihat begituan?” bertanya sambil mengutik-ngutik motornya yang tidak tau sebenanya apa yang diutik.

“Kayak kamu nggak pernah lihat aja” membela diri. Aku duduk di teras rumah Dika dan  mengambil teh hangat yang dibuatkan khas dari bunda Dika. Sungguh, udara pagi ini sangat cerah di hari libur panjang semester genap. Bagiku setiap hari itu adalah hari minggu.

“Ya sorry ya, sini nggak pernah lihat begituan, ujung-ujungnya baper, mewek, senyum-senyum sendiri, mending lihat yang pasti aja apa lihat berita biar nambah pengetahuan, gitu.” Jelasnya.

“Itukan kamu, bukan aku.” nada kesel karena nggak menghargai aku untuk bercerita.

“Gitu aja ngambek sih, Bel. Harusnya kamu paham bahwa pendapat setiap orang itu beda.” Jelasnya lagi.

Begitulah si Dika. Laki-laki yang sangat kritis banget terhadap sesuatu. Walaupun begitu dia pernah menjadi ketua osis di SMP. Ya, pantaslah setiap aku dan dia ada perdebatan, dia selalu mengutarakan dengan apa adanya dan jika di logika itu masuk akal.

“Hari ini, kamu mau kemana gitu nggak?” tanya Dika memecahkan suasana.

“Tau.”

“Ayo, ke rumah pohon habis ini” ajaknya.

“Rumah pohon? Memang ada?” tanyaku.

“Kasep lu Bel, Makanya, jangan dibiasain ngambek mulu. Jadinya nggak tau ada rumah pohon kan.” Sindirnya. Dika duduk disampingku dan mengambil teh hangat setelah mengutak-atik motornya.

“Maaf deh.” Manyun.

“Maaf diterima. Senyum dong. Jangan cemberut gitu. Jelek tau” bujuknya.

Senyum.

“Nah, gitu dong. Yaudah, kamu pulang, mandi, makan, terus pamit sama mamamu ya, lalu habis itu kembali kerumahku. Kita kesana naik motor. Oh ya, jangan lupa pakai celana ya”.

***

Aku kembali kerumah Dika. Ku lihat Dika sedang memanaskan motornya. Mengetahui aku datang. Dika menaiki motornya dan menyuruhku naik. Setelah berkendara beberapa menit, aku melihat disekeliling banyak pohon yang rimbun. Sejuk sekali. Menikmati pemandangan disekeliling dan mendengarkan banyak burung berkicauan. Aku baru tau ternyata ada tempat seindah sini. Motorpun berhenti. Sudah sampaikah? Tanyaku dalam hati. Dika menunjuk rumah pohon yang dimaksud. Wah… ternyata benar yang dikatakan Dika. Itu benar-benar ada. Dika menyuruhku naik duluan dengan tangga terbuat dari kayu yang dipaku lalu ditancapkan pada batang pohon. Lalu disusul Dika dibawahku. 

Sampailah di dalam ruangan rumah pohon. Didalamnya ada meja kecil seperti meja belajar yang terbuat dari kayu, disekelilingnya juga terdapat tembok-tembok yang terbuat dari kayu juga. Kata Dika ada yang lebih wah lagi. Dia mengajaku di teras rumah pohon. Aku terkejut, Sungguh nikmat mana lagi yang kau dustakan? Terasnya menghadap tepat di perbukitan yang lumayan jauh dari daerah yang ku tinggali. Pemandangan yang belum pernah aku lihat sebelumnya.

“Aku ingin teriak, aaaa….” aku berteriak untuk meluapkan amarah yang terpendam. Dika hanya melihatku lalu tersenyum dan akhirnya dia juga ikut berteiak.

“Baguskan?” tanyanya.

“Bagus Dik, banget lagi.” Dia hanya tersenyum.

“Kok kamu baru ngajak aku sih Dik, jahat banget kamu.” Lanjutku.

“Sebenarnya sih, ini yang buat ayahku ketika aku masih kecil. Dulu, waktu kamu belum pindah kesini ada nenekku di rumah. Nenek selalu menjagaku ketika ayah dan bunda kerja. Aku juga sering ajak nenekku kesini. Nggak nyangkanya nenekku masih kuat, beliau bisa naik tangga sampai keatas sini, hanya demi cucunya senang. Makanya aku lebih sering bermain dengan nenekku kesini tanpa sepengetahuan ayah dan bunda. Tidak lupa, nenek selalu membawa brownies buatannya yang sangat enak. Brownies favoritku sampai kini.” jawabnya dengan menceritakan kembali asal mula rumah pohon.

“Lalu?” penasaran.

“Suatu hari, nenek terjatuh dari tangga pohon ini karena terpeleset. Kakinya terbentur batu ketika jatuh. Nenek tidak bisa berjalan. Aku bantu berdiri, tapi tidak kuat. Aku menangis, aku tidak mungkin pulang tanpa nenek. tetapi, nenek menenangkanku, beliau masih bisa tersenyum walau merasa kesakitan. Malamnya, ayah dan bunda mencariku dan menemukanku bersama nenek di bawah pohon ini. Lalu ayah menggendong nenek menuju ke mobil, sedang aku menangis lagi katika ayah dan bunda menemukanku disini lalu bunda menggandeng tanganku menuju ke dalam mobil dan memelukku karena masih menangis. Setelah itu, mobil ayah menuju ke rumah sakit. Besoknya, be...sok...nya Bel. Kamu tau yang dikatakan dokter. Dokter bilang…. “

“Dika berhenti… stop. Aku tau akhirnya. Sudah jangan diceritakan lagi ya.” Aku memotong ceritanya, karena aku tidak tega. Dika menceritakan panjang kali lebar tanpa dia tau  telah mengeluakan air mata. Dan baru kali ini seoarang Dika yang ku kenal bisa menangis. Dia mengusap air matanya dan menundukkan kepala.

“Udah siang, ayo kita pulang!” ajakku. Dika mengangguk bermaksud setuju.

Aku pun turun dari rumah pohon, setelah Dika. Lalu kamipun menaiki motor dan pulang kembali ke rumah. Di perjalanan pulang aku masih mendengar isakan tangisannya. aku tidak tau harus memecahkan suasana seperti apa. Sampailah di rumah. Dika menurunkan di depan rumahku.

“Makasih ya Dik. Aku masuk dulu. Da….”

“Bela.” Panggilnya ketika aku berbalik badan untuk masuk ke rumah.

“Iya.” Jawabku.

“Hanya kamu yang tau. Aku mengawasimu.” menoleh kearahku dengan tatapan tajam. Lalu Dika menoleh lagi ke jalan kekanan kekiri, menyebrang ke arah rumahnya. Turun dari motor dan masuk rumah. What? Sebuah ancamankah?.

***

Libur sekolah telah usai. Saatnya kembali ke rutinitas sebagai pelajar putih abu-abu tingkat dua. Di tingkat inilah akan ada penjurusan yang ditentukan hasil akhir dari tingkat sebelumnya. Aku dan Dika yang baru datang di sekolah, mengikuti teman-teman yang lain untuk melihat nama yang akan menentukan penempatan kelas.

Aku dan Dika berpencar untuk mencari nama masing-masing. Aku berusaha menerobos, memaksa diriku masuk dari kumpulan teman-teman yang juga berusaha mencari nama meraka. Alhasil usahaku membuahkan hasil. Ketemu. Aku ingin keluar dari penyiksaan yang tidak tersengaja ini. Hampir terjatuh, raga ini didorong, disenggol, sesak napaspun jadi. Huft… keluar juga, lega.

“Woi, gimana?” Dika membuatku terkejut. Apa dia nggak lihat aku ngos-ngosan. Bercandanya keterlaluan.

“Kenapa kamu?” bertanya lagi.

“Hampir mati aku.” Kataku sambil berjalan ke tempat duduk dekat papan pengumuman. Aku duduk karena lelah setelah berjuang berdesak-desakan tadi.

“Yaudah mati sana.” Mengikutiku dan duduk tepat disebelahku.

“Jahat kamu ya, malah ngedo’ain.”

“Kamu itu ada-ada saja Bel, Bela.”

Aku hanya meringis.

“Nih, minum.” Memberiku air mineral yang di keluarkan dalam tasnya. Dalam pikiranku, sejak kapan Dika membeli air mineral ini. perasaan tadi ketika berangkat sekolah tidak mampir kemana-mana. Apa dibawakan sama bundanya. Tau ah. Mungkin tadi habis beli di kantin.

“Tau aja.” Meminum hingga air didalamnya habis. Dika mengeleng-geleng kepalanya.

“Gimana tadi?” Tanyanya.

“IPS 2.” Aku tau apa yang Dika maksud tadi dan barusan, jadi taulah aku akan menjawab apa.

“2 nya sama.” Katanya.

“Kamu juga di IPS 2 ya?” tebakku.

“Bukan, kita beda jurusan. Aku IPA 2.”

“Wih… selamat ya anak IPA.” Kataku memberi ucapan dan mengangkat tanganku untuk berjabat tangan.

“Kamu juga, Selamat ya anak IPS.” Jawabnya dan membalas jabatan tangan yang ku alurkan.

***

Hari minggu tiba, aku ingin merefreshingkan otakku dengan berkunjung ke rumah Dika, setelah seminggu awal masuk sekolah dibebankah dengan tugas begitu banyak. 

“Kamu mau kemana?” tanyaku ketika kudapati Dika sedang siap-siap untuk pergi.

“Mau ke sekolah.” Jawabnya.

“Minggu-minggu ke sekolah.” Sindirku.

“Ada tugas negara Bela, duluan ya.” Meyakinkanku. Seketika motor yang dikendarainya cepat melaju hingga tidak terlihat lagi batang hidungnya.

Ya, si Dika memang seperti ini. Masih saja aktif dalam hal organisasi. Tapi, kagumnya dia bisa membagi waktunya dengan baik. Salut dah pokok. Oh ya niatku kerumahnya Dika ingin main sih. Taulah di rumah papa kerja begitupun mama. Semenjak aku masuk SMA, mamapun ikut membantu mencari penghasilan tambahan karena semakin hari semakin mahal kebutuhan yang harus dibeli.

Mengetahui tidak ada yang bisa diajak bicara. Aku masuk ke rumah Dika untuk menemui bunda yang sedang ada di dapur.

“Assalamu’alaikum Bunda.” Sapaku.

Aku memanggilnya bunda kerena memang sejak aku pindah dulu beliau menyuruhku memanggilnya bunda. Jadi, aku punya dua ibu deh, hihi.

“Wa’alaikum salam Belaku yang cantik.” Menjawab salam dan menoleh kearahku dengan  melempar senyum.

“Bunda masak apa? Biar Bela bantu.” tanyaku dan membalas senyuman beliau.

“Ndak usah sayang, sebentar lagi selesai.” Tolaknya.

“Oh, ya Bunda. Dika suka brownies buatan neneknya ya?” tanyaku ketika Bunda meniriskan tempe goreng yang baru saja matang di piring.

“Iya.” Jawab bunda.

“Jadi sekarang Dika nggak lagi merasakan brownies buatan neneknya?” tanyaku penasaran.

“Iya sayang, dulu Dika hampir nangis setiap hari setelah kepergian neneknya. Bunda jadi kasihan sama dia. Sepertinya dia menyesal mengajak neneknya ke rumah pohon tanpa sepengetahuan ayah dan bunda. Setelah itu, Bunda tidak lagi bekerja demi menjaganya dan merawatnya kembali.” Jelas Bunda.

“Terus Bunda.” Ini membuatku sungguh penasaran.

Bunda mengajakku ke ruang tengah dan mencicipi tempe goreng yang dibuat beliau tadi.

“Bunda pernah mencoba membuat brownies kesukaannya agar tidak nangis lagi, tapi gagal. Karena rasanya tidak sama persis sama buatan nenek dika. Selang beberapa minggu, Dika sudah mengikhlaskan neneknya dan katanya dia nggak mau lagi makan brownies yang Bunda buat, ya karena tadi nggak sama persis yang dia makan sebelumnya. Yaudah deh mau gimana lagi.” Sambung bunda.

“Bunda bisa buat kah?” tanyaku untuk mendapat keyakinan.

“Sebenarnya nggak bisa sih, tapi ada resep brownies yang dibuat nenek Dika dulu. Bunda menemukannya di kamar beliau ketika sedang memberesakan barang-barang sepeninggalannya. Sampai sekarang resepnya masih ada. Bunda simpan di kamar.” Jelas Bunda.

“Beneran ada resepnya Bun?”

“Ada, kamu mau lihat?” Minta Bunda.

Aku mengangguk, lalu bunda bangkit menuju kamar dan kembali dengan membawa resep brownies yang terdapat dalam buku. Bunda meminjamkan buku yang di bawa tadi kepadaku. Aku buka, terdapat bahan-bahan yang dibutuhkan dan tahapan hingga brownies jadi.

“Bunda, kalau aku membuat brownies yang Bunda lakukan dulu, bolehkan?” tanya ke Bunda.

“Boleh banget sayang, mungkin jika kamu yang buat Dika jadi suka.” Jawab Bunda. Aku hanya tersenyum mendengar bunda membolehkan aku mencoba resep brownies ini.

“Bunda pergi dulu, ya. Ada urusan sebentar. Kamu bisa simpan resep itu baik-baik ya. Kalau kamu ingin mencoba membuatnya. Bunda punya bahan-bahannya di dapur. Anggap saja dapur itu milikmu.” Kata bunda.

Perkataan bunda berusan membuat riang gembira hatiku. Akan ku coba demi sahabatku Dika biar bisa merasakan brownies seperti sedia kala.

***

Ku lihat resep brownies itu, memahami tahapan cara pembuatannya dengan telita, cukup rumit bagiku sebagai pemula. Memasukkan bahan-bahan sesuai apa yang ada di resep. Setelah semua bahan tecampur, ku masukkan dalam loyang untuk di oven. Tunggu 20 menit. Akhirnya jadi sudah, brownies ala Bela siap untuk diamakan. Ku iris brownies itu menjadi beberapa bagian. Ku taruh di piring dan sisanya disimpan di lemari es.

Sembari menunggu Dika dan Bunda pulang. Aku melangkah menuju ke ruang tengah sambil menonton tv dan membawa brownies hasil buatanku di atas meja. Sudah satu jam aku menunggu. Belum ada yang datang. Sampai aku tertidur di atas karpet.

“Woi Bel, bangun.” Terkejut aku dari tidur. Terlihat Dika duduk bersila setelah membangunkanku. Akupun ikut duduk bersila di sampingnya.

“Dik dari mana saja kamu? Bunda mana?” Tanyaku.

“Tadi pagikan aku sudah bilang ke sekolah, ada rapat osis Bela.” Jelasnya.

“Bunda mana?” tanya lagi karena merasa pertanyaanku belum dijawab.

“Tadi Bunda telpon aku, kata Bunda pulangnya agak sorean dan menyuruhku pulang cepat karena ada kamu di rumah.” Jawabnya. Aku tidak berkata lagi hanya membentuk mulut dengan huruf  O.

“Jadi kamu menungguku sama Bunda, dan sampai tertidur gitu.” Katanya menyimpulkan. Aku mengangguk.

“Itu brownies ya?” tanyanya melihat ada roti yang berwarna cokelat telah di iris. Aku hanya mengangguk lagi. Tak tau kenapa aku nggak ingin menjawab pertanyaannya karena aku masih mengantuk. Semangatku hilang ingin menunjukkan brownies yang ku buat. Dari pada banyak tanya lagi aku ambil brownies yang dipiring itu mendekat padanya. Membiarkan memakannya sendiri. Aku teruskan tidurku dengan meletakkan kepala diatas lenganku yang ku tekuk di atas meja. Entah aku tak tau ekspresi bagaimana yang Dika berikan ketika memakan brownies itu.

“Dasar kamu ya Bel.” Sontak suara yang dikeluarkan Dika membuatku terkejut dan membuat bangun dari tidurku. Ku lihat dia menatap kearahku dengan tatapan sinis.

“Kenapa Dik, aneh ya rasanya?” tanyaku. Brownies itu memang belum aku cicipi sih, karena tujuanku yang mencicipi dulu adalah Dika atau nggak Bundanya.

“Kamu coba Browniesnya.” Suruhnya. Aku mengambil brownies dan memakannya. Aku merasakan tekstur dalam brownies itu seperti terbang bebas di langit. Enak sekali, lembut, manisnya pas.

“Enak kok.” Kataku.

“Yang buat siapa?” tanyanya.

“Akulah.” Jawabku. Tatapan masih sinis, nggak percaya kalau aku memang yang membuatnya. Dika melihat ke arah dapur. Sepertinya dia melihat ada sebagian bahan-bahan yang belum aku bereskan.

“Beneran kamu?” tanyanya tak percaya.

“Iya Dika.” Jawabku meyakinkan.

“Sumpah Bel, sama persis yang dibuat oleh nenekku.” katanya.

Apa? Nggak salah denger aku. Sama seperti buatannya neneknya. Wah… ternyata aku punya bakat terpendam juga ya. Kagum akan diriku. Dika menghabiskan semua brownies yang ada di piring.

“Kapan-kapan bikin lagi, Bel.” Katanya dan beranjak mengambil air minum di dekat lemari es.

Aku tersenyum. Alhasil, usahaku membuahkan hasil.

***

Setiap kali ke rumah Dika, aku selalu diteror suruh buat brownies dengan resep buatan neneknya. Aku sih, fine-fine saja. Dia juga harus tau aku itu manusia yang mudah lelah, tapi untuk Dika apa sih yang tidak buat dia.

“Bel, aku lapar nih.” Rayunya. Aku tau maksud si Dika apa. Pasti dia mau minta dibuatkan brownies. Untungnya aku sudah membuatkannya kemarin sore dan menaruhnya di lemari es.

“Buka lemari es.”

Dika beranjak menuju lemari es dan kembali dengan membawa brownies kesukaannya.

“Dik, tau nggak tadi filmnya di youtube bagus loh sampai membuatku menangis.”

“Terus, aku harus gimana.” katanya sambil memakan brownies.

“Mungkin nggak, diantara kita bisa saling suka seperti difilm.”

“Kita itu lebih cocok jadi sahabat saja Bel. Kamu itu terlalu terpengaruh sama film sih Bel.”

“Kalau mulai detik ini aku suka kamu, gimana?”

“Serius kamu Bel?”

“Menurutmu?”

“Udahlah Bel, tolong pikirkan baik-baik lagi ya Bel. Aku ke sekolah dulu ada yang harus di bahas.”

Berpikir lagi? Tadi aku mengatakan apa ya? Suka sama Dika. Waduh, kenapa aku mengatakan itu padanya. Sepertinya aku terhipnotis oleh film yang sudah ku lihat. Aku mengatakan yang semestinya tidak ku katakan. Di sisi lain, ada perasaan lega di hati ini setelah mengungkapkan. Ada apa sebenarnya. Apakah aku suka Dika. Aku hanya menganggapnya seperti sahabat, tapi di lain hati ada rasa yang tersembunyi baru terasa muncul begitu saja.

***

Semanjak kejadian kemarin, hubunganku dan Dika sedikit canggung. Bertemupun tidak ada bahan obrolan lagi hingga jarang meminta membuatkanku brownies kesukaannya. Sampai menginjak di kelas tiga ini hidupku terasa hampa, tak ada yang bisa ku lakukan selain belajar untuk mempersiapkan ujian nasional nanti. Begitupun Dika, kita jadi jarang bertemu, bertemu hanya pulang dan pergi sekolah, karena aku masih nebeng sama dia.

Jika begini terus aku jadi stres, aku harus melakukan kegiatan yang lain selain belajar. Kalau nonton film masih jadi hobi terkini. Apa aku berjualan saja ya, oh iya aku bisa buat brownies. Ide yang sangat cemerlang. Hari ini adalah hari minggu, aku pergi ke toko roti untuk membeli bahan-bahan brownies dengan merelekan tabunganku, tak apa semoga aja besok dengan menjualnya ke teman-teman brownies yang ku buat habis dan uangnya bisa digunakan untuk menabung lagi.

Keesokannya, aku bersiap-siap berangkat ke sekolah dan menaruh brownies ke dalam wadah berbentuk kotak dan memasukannya ke dalam plastik besar berwarna hitam. Ada suara bel motor berbunyi. Ku lihat Dika sudah menungguku.

“Maaf ya Dik, nunggu lama. Oh iya aku mau memberitahumu soal ini….” menunjuk barang yang ku bawa.

“Ayo cepat naik, kita hampir telat.” Dika tidak melihat apa yang ku bawa. Gagal deh memberitahunya.

Sesampainya di kelas, aku mempromosikan ke teman-teman bahwa aku berjualan brownies. Banyak yang antusias dengan apa yang aku jual. Banyak yang membeli hingga sebelum masuk bel brownies pun sudah habis terjual. Wah, tidak sesuai ekspetasi yang aku bayangkan.

“Kurang banyak nih Bel brownies yang kamu buat.” Kata Siska temen sebangkuku.

“Yaudah besok aku buat lebih banyak deh, 2 wadah.”

“Mantap.” Sambil memberi dua jempol mengarah padaku.

Sudah hari ketiga aku berjualan brownies. Tadinya yang banyak beli dari dalam kelas sekarang dari teman-teman luar kelas datang ke kelas hanya untuk membeli brownies yang ku jual. Bersyukur banyak yang beli dan selalu habis tidak tersisa.

Aku ingin segera pulang, untuk membuat brownies lagi. Tapi yang ditunggu tidak kunjung datang, sudah lima belas menit aku duduk di kursi perkiran menunggu Dika untuk pulang bersama. Aku terus melihat jam yang ada ditanganku, sekarang sudah menunjukkan pukul tiga sore. Tiba-tiba… brak seseorang menjatuhkan wadah brownies yang ku pegang. Saat aku mau ambil, tanganku di tarik seseorang.

“Aw… Sakit. Dika?” tak ku sangka ternyata itu Dika. Aku lihat raut wajahnya begitu menyeremkan. Baru kali aku melihat raut wajah yang selama ini berkharisma berubah menjadi hilang entah kemana.

“Maksud kamu apa, hah?” tanyanya

“Maksud apa?” tanya balik karena tidak tau maksud yang dikatakannya.

“Pura-pura nggak tau lagi, makin hari kamu makin aneh Bel.”

“Aneh gimana maksud kamu?”

“Setelah kamu bilang suka ke aku, kamu balas dendam dengan menjual brownies resep buatan nenekku karena aku tidak meresponmu gitu.”

“Kamu salah Dika, aku melakukannya karena kamu sudah nggak pernah lagi memintaku untuk membuatkannya, jadi apa salahnya aku membuatnya lagi dan menjual ke teman-temen dari pada aku diam dirumah.” Jelasku.

“Kenapa kamu tidak memberitahuku, hah.”

“Aku mau memberitahumu, tapi….”

“Tapi apa? Asal kamu tau ya, sejak dulu nenekku nggak pernah menjualkan atau memberi browniesnya kesiapun selain aku, bunda, dan ayah. Ngerti kamu.”  Mendorong bahuku dan pergi meninggalkanku di parkiran.

“Dika tunggu.” Mengejarnya.

“Mulai sekarang kamu nggak perlu bareng lagi denganku.”

Hatiku rapuh, aku menangis. Air mata tumpah begitu deras. aku melangkah meninggal gedung sekolah dan pulang menggunakan angkot. Tiba-tiba air dari langit juga turun begitu lebat membuat jalan menjadi licin dan akhirnya membuat sopir angkot tidak mempu mengendalikan angkot yang dikemudikannya. Bruk….

Rasa sakit bertambah lagi. Tangan dan kepalaku terluka akibat kecelakaan angkot yang ku tumpangi. Kepalaku tertatap pintu dan tanganku terberet bangku angkot. Aku berusaha keluar sebelum orang-orang mengerumini angkot. Aku tidak ingin orang-orang bertanya dan membawaku kerumah sakit. Aku hanya ingin sendiri untuk saat ini dan berjalan pulang hingga sampai  rumah. Hujanpun berhenti, aku kedinginan. Tiba-tiba langkahku terhenti ketika kudapati sebuah motor berhenti didepanku.

“Bela, apa yang terjadi?” Dika.

Aku menangis dihadapannya.

“Ma… af…. Dika.” Terisak-isak.

“Sudahlah Bel. Harusnya aku yang minta maaf meninggalmu begitu saja. Ayo pulang biar aku obati lukamu.”

Sesampainya dirumah. Dika menurunkan di depan rumahku.

“Kamu ganti baju ya, aku ke rumah dulu ambil perban sama betadine.”

Aku mengangguk. Setelah mengganti baju, Dika belum kunjung kembali. Aku keluar rumah menunggunya di teras rumah. Dika datang dengan membawa teh hangat.

“Kamu minum ini dulu ya, aku pulang lagi mau ambil obat untukmu.” 

Aku duduk di teras rumah dan meminum teh hangat yang dibawanya. Aku lihat dia berlari ke rumahnya lagi dan kembali dengan membawa perban dan betadine.

Dika mengobati tanganku yang terluka tadi. Aku berusaha menahan rasa perih itu. Ketika mengobati luka pada kepala, tatapan mataku dan dia bertemu, aku secepatnya mengalihkan pandanganku ke arah lain begitupun Dika.

“Sudah.” Katanya selesai mengobati lukaku

“Makasih Dik.” Dika mengangguk dan tersenyum. Seketika hening.

“Dik” “Bel” bersamaan.

“Kamu dulu Bel.”

“Aku minta maaf soal….”

“Sudah aku maafkan dan nggak usah dibahas lagi Bel. Harusnya aku yang minta maaf sampai membuatmu jadi seperti ini.” potongnya.

“Aku cabut perkataanku tadi siang, kamu bisa bareng ke sekolah denganku lagi.”

Aku mengangguk.

“Kita mulai dari awal lagi yuk Bel.” Lanjutnya

“Maksudnya?”

“Ya kita mulai lagi seperti dulu.” tersenyum kearahku.

“Iya Dik.” Aku mengangguk dan membalas senyumannya.

***

Berita kelulusanpun tiba, bersujud syukur atas hasil yang kita usahakan selama ini. Saatnya menuntukan pilihan untuk menjemput masa depan.

“Bel, habis pulang sekolah kita rayakan yuk kelulusan kita.” Ajak Dika.

“Berdua aja nih.”

“Iya lah.”

“Memangnya mau dirayakan yang kayak gimana?”

“Traktir es krim, mau?”

“Mau, mau dong. Udah lama nggak beli yang begituan.”

“Juga mau ke taman kota?”

“Mau, mau, mau.”

“Haha…dari tadi mau mau mulu, Bel.”

“Kan yang ajak kamu, untuk mengapresiasi ajakanmu aku pasti maulah, hehe.”

“Ok deh.”

Sepulang sekolah, aku dan Dika menuju parkiran dan pergi ke taman kota. Sesampainya di taman kota, Dika membeli es krim di pedagang kaki lima. Lalu kita berjalan-jalan sebentar dan mencari tempat duduk untuk memakan es krim.

“Oh ya, Dik. Setelah ini kamu kuliah apa kerja?”

“Kuliah, kamu?”

“Kerja.”

“Kerja apa?”

“Kerja buat kue-kue gitu.”

Dika terdiam tak menjawab.

“Bukan-bukan brownies Dik, seperti kue ulang tahun gitu.” Jelasku.

“Oh.”

Haripun sudah hampir sore. Aku dan Dika keluar dari area taman kota untuk pulang. Hari ini adalah hari yang berharga bagiku setelah aku dan Dika tidak pernah jalan bersama seperti dulu. Sampailah dirumahku. Akupun turun dari motor.

“Makasih ya Dik, untuk hari ini.”

Dika mengangguk “Jaga dirimu baik-baik ya Bel.”

“Iya, kamu juga.”

Rasanya hatiku mulai membaik. Bunga-bunga cinta bermekaran. Aku senyum-senyum sendiri mengingat hari ini dihabiskan jalan bersamanya.

Keesokannya, aku mencoba belajar membuat kue ulang tahun. Aku melihat tahapan-tahapannya dengan browsing internet. Cukup memakan waktu, tapi puas akan hasil tangan sendiri. Kuepun sudah siap untuk dimakan. Aku memotomg kue menjadi beberapa bagian, sisanya aku taruh dipiring untuk mama dan papa, sisanya lagi untuk Dika dan keluarga. Aku pergi ke rumah Dika bermaksud agar Dika menjadi orang pertama untuk mencicipi kue buatanku. Sebagai ucapan terima kasih atas hari kemarin.

Sesampai di rumah Dika. Pintunya tertutup rapat dan terkunci. Penghuninya kemana semua ya. Sepertinya sedang pergi keluar. Sambil menunggu aku duduk di kursi dan menaruh kue pada meja yang terdapat di teras. Belum ada yang datang hingga membuatku tertidur pulas.

“Bela Sayang, bangun nak.”

“Eh, Bunda.”

“Kamu dari tadi tertidur disini?”

“Hehe...iya Bun. Oh ya, Bun. Ini kue buatan Bela untuk Dika, Bunda, sama Ayah.”

“Wah… makasih sayang. Bunda boleh coba.”

“Boleh Bunda.”

 “Hm… enak Sayang.”

“Beneran Bunda.”

“Iya Sayang. Coba kamu makan juga.”

Akupun menuruti permintaan bunda. Seperti membuat brownies dulu, baru pertama kali buat, langsung begitu enak ketika dimakan. Potensi yang benar-benar tak terduga begitu saja.

“Dika mana Bun?”

“Dikakan pergi ke Jakarta untuk daftar ulang kuliah disana Sayang.”

“Ke Jakarta. Pulangnya kapan Bun?”

“Liburan semester awal. Dia sudah tinggal disana.”

“Dika nggak pernah cerita soal ini Bun. Cuma dia bilangnya mau kuliah itu saja.” Bingung tak percaya.

“Bunda kira kamu sudah tahu. Tapi, bentar tunggu sini.”

Bunda masuk ke dalam rumah.

“Ini, dari Dika.” Bunda memberi surat dengan amplop berwarna merah. Aku mengambil dari tangan Bunda dan membuka isi suratnya.

 

Bela, maaf.

Aku tidak memberitahumu bahwa hari ini aku sudah mulai tinggal di Jakarta untuk memulai kuliah di sana. Aku harap kamu jangan bersedih dan jaga diri baik-baik selagi aku di Jakarta. Semangat untuk memulai usahamu membuat kue ulang tahun ya. Jika, kamu berkeinginan untuk membuat brownies lagi dan menjualkannya seperti dulu. Aku mengizinkanmu. Semoga usahamu lancar ya. Aamiin.

Bersambung….(minta ke pak satpam)

Dika.

 

“Bersambung?”

“Kenapa sayang?”

“Surat dari Dika bersambung Bunda, dia menyuruhku memintanya ke pak satpam didepan, Bela ke depan dulu ya, Bunda.”

“Eh, iya. Hati-hati nak.”

Aku berlari menuju depan untuk meminta surat sambungan dari Dika. Pak satpam memberiku surat itu. sekarang surat itu di bungkus dengan amplop berwarna kuning. Dan disitu pula, aku membuka dan membaca isi suratnya.

 

Maaf lagi, Bela.

Aku membuatmu khawatir karena surat ini. Tapi, dengan surat ini aku bisa mengutarakan perasaanku pada tulisan. Sejak kamu mengatakan kamu menyukaiku. Aku terkejut, ternyata kamu mempunyai rasa lebih dari persahabatan yang kita  jalani. Aku terus memikirkannya hingga kini. Aku harap, kamu masih menjaga perasaan itu hingga aku pulang kembali.

Bersambung….(Ke rumah pohon)

Dika.

 

“Bersambung lagi. Dan sekarang aku harus ke rumah pohon.” kataku sendiri.

Ada-ada saja sih Dika. Tidak mungkin aku kesana dengan jalan kaki. Aku harus mencari kendaraan yang bisa aku gunakan ke sana

“Pak, Bapak bawa motor?” Tanya ke bapak satpam.

“Bawanya sepeda Mbak.”

“Nggak papa Pak, boleh saya pinjam. Nanti saya kembalikan.”

“Boleh Mbak, itu sepeda saya.”

“Makasih banyak Pak.”

Aku berjalan mengarah ke sepeda yang ditunjuk pak satpam. Aku bergegas menuju rumah pohon dengan mengayuh sepeda dengan kecepatan sedang. Sesampainya di rumah pohon, aku naik ke atas dengan tangga pohon. Aku telah berada di ruang rumah pohon. Ku cari surat sambungan disekeliling rumah pohon. Kudapati surat itu diatas meja pohon. Amplopnya berganti lagi. Sekarang berwarna hijau.

“Lucu ya Dika, Amplopnya kayak pelangi, tadi merah, kuning, sekarang hijau.”

Akupun jalan berjongkok menuju teras rumah pohon untuk membaca isi surat sambil menikmati pemandangan. Ku buka amplopnya dan mulai membaca.

 

Maaf lagi dan lagi, Bela.

Aku menyuruhmu untuk mencari surat sambungan ini lagi. Aku harap kamu membacanya di teras rumah pohon. Kamu ingat, pertama kali aku mengajak kamu  ke rumah pohon ini. Kamu tahu, aku tidak pernah mengajak orang lain selain keluargaku. Karena aku percaya dengan aku mengajakmu kesini, kamu bisa menjadi sahabat yang terbaik untukku. Tapi sekarang tidak, sejak aku mengajakmu jalan-jalan kemarin aku mencoba menyukaimu dan sudah menyukaimu. Initinya AKU MENYUKAIMU BELA. Maukah kamu tetap menjadi sahabatku, tapi rasa pacar? Aku harap kamu mau. Tetap tunggu aku pulang dan jaga persaan itu.

Last….

I LOVE U

Dika

Aku terharu membaca surat terakhirnya. Rasa capek ini terbayar akan isi surat ini. Aku mau Dika, yang terpenting aku selalu bersamamu dan bisa ada disisimu. Aku akan menunggumu untuk memulai kisah kita yang baru sebagai sahabat rasa pacar dan terima kasih telah mengizinkanku membuat brownies lagi. Segera pulang Dika, kamu harus bertanggungjawab atas rindu yang akan aku rasakan suatu saat nanti.

Tags: tlwc19

How do you feel about this chapter?

0 0 1 1 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Saksi Bisu
748      404     10     
Short Story
Sebuah buku yang menjadi saksi bisu seorang penulis bernama Aprilia Agatha, yang di butakan oleh cinta. Yang pada akhirnya cintalah yang menghancurkan segalanya.
Gara-Gara Kamu
401      252     2     
Short Story
“Gila banget, nih.” Delisa mengomeli diri sendiri. Merasa tidak waras, masih bisa cengengesan memikirkan Dilan, padahal seharusnya ia marah dan membenci laki-laki tersebut. Cinta benar-benar bisa mengubah batu yang keras menjadi lunak, begitu ucapan Putri. Biarpun menyebalkan, entah kenapa laki-laki itu masih menjadi laki-laki impian. Ganteng, cerdas dan cool. Kecerian Delisa pun menghi...
Nanako
1008      679     5     
Short Story
Kalau bagi anak-anak desa yang tinggal dekat sungai, hantu kappa mungkin mengerikan. Tapi bagi kami--penjaga pondok tua Kakek di gunung, Nanako nyata.
Judgement Day
277      174     0     
Short Story
Telepon itu berdering di waktu dan nama yang salah. Jessi tak kuasa, meringkuk ketakutan di sudut kamarnya. Adalah Nino Herdian yang menghubunginya namun Jessi nyaris kehilangan akal sehatnya. "Aku membunuhnya dua tahun yang lalu," Jessi berbisik lirih. "Aku membunuh Nino dua tahun yang lalu!"
Bisakah Kita Bersatu?
558      309     5     
Short Story
Siapa bilang perjodohan selalu menguntungkan pihak orangtua? Kali ini, tidak hanya pihak orangtua tetapi termasuk sang calon pengantin pria juga sangat merasa diuntungkan dengan rencana pernikahan ini. Terlebih, sang calon pengantin wanita juga menyetujui pernikahan ini dan berjanji akan berusaha sebaik mungkin untuk menjalani pernikahannya kelak. Seiring berjalannya waktu, tak terasa hari ...
MEI, SI TOKOH DALAM NOVEL
402      228     0     
Short Story
Pernah nggak sih kamu bermimpi, dan mimpinya itu berasa nyata banget? Atau pernah nggak sih kamu memipikan sesuatu untuk kemudian menjadi kenyataan? Pernah kamu memimpikan seseorang yang nggak dikenal kemudian bertemua dengan orang tersebut dalam dunia nyata di kemudian harinya? Atau pernah kamu bermipi sebelum mengalami suatu kejadian yang kemudian kamu menyadari kalau mimpi tersebut merupakan ...
Inspektur Cokelat: Perkara Remaja
285      197     1     
Short Story
Elliora Renata, seorang putri dari salah satu keluarga ternama di Indonesia, hal itu tak menjamin kebahagiaannya. Terlahir dengan kondisi albinis dan iris mata merah tajam, banyak orang menjauhinya karena kehadirannya disinyalir membawa petaka. Kehidupan monoton tanpa ada rasa kasih sayang menjadikannya kehilangan gairah bersosialisasinya sampai akhirnya...serangkaian kejadian tak menyenangkan...
Si Pecandu Warna Biru
371      238     2     
Short Story
Niana, Mahasiswa semester 4 jurusan DKV atau Desain Komunikasi Visual, akhirnya sadar bahwa takdir yang bergulir, pertemuan yang singkat dan fantasi tak berujung itu memang ada. Pertemuan yang terjadi di tengah guyuran hujan deras dengan seorang lelaki tidak disangka akhirnya membuat Ryani percaya akan hal itu.
6 Pintu Untuk Pulang
591      326     2     
Short Story
Dikejar oleh zombie-zombie, rasanya tentu saja menegangkan. Apalagi harus memecahkan maksud dari dua huruf yang tertulis di telapak tangan dengan clue yang diberikan oleh pacarku. Jika berhasil, akan muncul pintu agar terlepas dari kejaran zombie-zombie itu. Dan, ada 6 pintu yang harus kulewati. Tunggu dulu, ini bukan cerita fantasi. Lalu, bagaimana bisa aku masuk ke dalam komik tentang zombie...
I Loved You Between The Two Worlds
2544      901     2     
Horror
Di suatu malam Demian diputuskan oleh kekasihnya yang sangat ia cintai. Kesibukannya untuk menggapai mimpi membutakannya dari kenyataan dunia, sehingga Aria harus melepaskan Demian. Dalam kekacauan pikiran, Demian bertemu dengan gadis berparas cantik yang ia temui di tepi jalan. Bernama Juli, wanita itu terlihat bingung dan tersesat. Juli meminta Demian untuk mengantarnya pulang, karena hanya...