Read More >>"> Si Pecandu Warna Biru
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Si Pecandu Warna Biru
MENU
About Us  

Aku menarik napas dalam, kala kulihat di sebuah jendela langit senja mulai memperlihatkan semburatnya. Beberapa robekan kertas sudah mengisi separuh meja yang aku pakai sekarang. Aku Niana, seorang mahasiswa semester 4 jurusan DKV atau Desain komunikasi Visual. Kini aku sedang bergelut dengan kertas dan pensil, mengerjakan sebuah proyek yang Mengharuskanku membuat sebuah ilustrasi. Beginilah keseharianku, tidak ada yang spesial sama sekali. 

"An, pulang yu!" Kirara, dia adalah salah satu temanku. Teman paling setia menurutku. 

"Eh? Tapi aku belum selesai."

"Yah, aku udah dijemput gimana dong An?"

Aku menghela napas. "Ya sudah, duluan saja. Aku berani kok di sini sendiri."

"Duh, sayang, hati-hati ya An." Kirara memeluk bahuku. Aku hanya bisa mengangguk. Aku merutukinya dalam hati, baru saja aku bilang dia setia tapi apa nyatanya.

"Akhirnya!"

Kurapikan semua berkas-berkas tugas kuliah yang berserakan di atas meja. Kuregangkan tanganku untuk merilekskan tubuh yang seharian duduk menatap laptop.  Membereskan ikatan rambut yang longgar. Kemudian bersandar lagi kursi yang aku duduki sekarang. Aku melihat arloji yang melekat dipergelangan tangan sebelah kiri. Ternyata sekarang sudah pukul 15.40, ini sudah waktunya aku pulang. Aku buru-buru merapikan semua barang ke dalam tas kemudian  pergi, berjalan cepat menuruni tangga. Di koridor kampus aku bertemu dengan beberapa orang, sekedar memberi senyum atau menyapa dan sebaliknya.

Aku berlari menuju gerbang, berdo'a supaya saja ada seseorang yang aku kenal dan mengajakku pulang bersama, kalo tidak aku harus berjalan kaki menuju rumah. Walau jaraknya tidak jauh tapi tetap saja membuatku capek. Karena hari ini sungguh aku ingin pulang cepat, aku lelah setelah otakku dikuras habis oleh tugas-tugas yang tidak ada habisnya.

Hari ini sepertinya semesta sedang tidak berpihak kepadaku. Awan seketika mendung, titik-titik air hujan mulai membasahi jalanan kota di hari itu. Aku memeluk tas selempangku di dada, takut jika semua tugas yang sudah aku kerjakan susah payah jadi sia-sia karena terkena hujan. Aku berlari lebih cepat menuju gerbang, kenapa gerbang terasa begitu jauh? Sampai-sampai tidak terasa badanku sudah basah separuh dan bodohnya aku tetap berlari menuju gerbang, tidak terpikirkan dibenak untuk menepi ke gedung-gedung yang sudah aku lewati sebelumnya.

Tiba-tiba kurasakan air hujan tidak turun di atas kepalaku, sepertinya ada yang menaungi tubuhku. Aku mendongak, dan benar saja ada sebuah payung berwarna biru di atas kepalaku. Aku berbalik hati-hati memastikan siapa orang yang sudah berbaik hati menyelamatkan tugas-tugasku dari tetesan air hujan. Dia seorang pemuda, sepertinya sepantaran denganku atau bisa jadi dia adalah salah satu mahasiswa di kampusku. Tapi sepertinya aku baru pertama kali melihatnya. 
Kamu bodoh ya Niana, yang sekolah di kampus ini kan banyak. Kamu tidak akan hapal satu persatu, Batinku.

Manik mata pemuda itu warna biru langit, dia juga memakai kaos warna biru, dan payung yang sedang melindungi ku juga warna biru. Sepertinya dia memang menyukai warna biru, aku menyimpulkan dalam hati.  Dia juga sepertinya bukan orang asli daerahku.

"Hei, apa kamu mendengarkanku?" Saking asik mengamati wajahnya aku jadi tidak fokus pada suaranya. 

"Ya," Ujarku kaget ketika dia melambaikan sebelah  tangannya di depan wajahku.

Dia mengambil tanganku lalu menyerahkan payung yang sedang ia genggam. Tangannya yang memegang tanganku memberikan kehangatan untuk beberapa detik. Karena dia langsung menarik tangannya kembali ketika aku tidak kunjung menyambut payung yang ia berikan.

"Ambil ini!” Dia berujar pelan tapi masih terdengar.

"Tapi kamu_"

"Cepat ambil! Jangan kebanyakan berpikir. Hujannya semakin deras, kamu bisa terlambat pulang ke rumah." Dia memotong perkataanku cepat.

"Baiklah, terimakasih." Karena tidak ada pilihan lain dan juga karena aku teringat dengan semua tugasku yang berada di dalam tas akhirnya dengan senang hati aku mengambil payungnya.

Aku berbalik dan berjalan. Baru saja beberapa langkah aku langsung berbalik kembali untuk melihat apakah laki-laki itu masih ada atau tidak. Karena jika payungnya dia berikan padaku berarti dia yang tidak memakai payung. Setelah kulihat dia ternyata sudah tidak ada di tempat, sepertinya dia sudah lari menepi ke gedung kampus. Sungguh dia hilang nya begitu cepat, jangan-jangan dia mempunyai kekuatan berpindah ke suatu tempat atau kekuatan berlari cepat seperti petir, pikirku menduga-duga tidak jelas. Alhasil, hatiku pun diliputi rasa bersalah. Walaupun dirumah aku sudah berusaha tidak memikirkan lelaki itu, tapi tetap saja bayang-bayangnya dengan tidak sopan keluar masuk pikiranku. Ah, menyebalkan sekaligus menyenangkan.

Hari ini hujan turun kembali, dan sialnya aku lupa membawa payung. Sebenarnya bukan sepenuhnya lupa. Di rumah, ibuku sudah beberapa kali mengingatkan bahwa aku harus membawa payung karena sekarang musim penghujan. 

"Kamu tidak membawa payung lagi?" Aku tertegun beberapa saat, ternyata memang benar lelaki ini salah satu mahasiswa di kampusku, kalo tidak kenapa dia ada di sini bukan?

Lagi, lagi, aku memperhatikan dia dengan begitu teliti. Dia memakai kaos berwarna biru lagi, apa dia tidak ganti baju dari kemarin? Apa memang dia punya baju warna biru lebih dari satu? Eh, bisa juga sih dia menyesuaikan bajunya dengan manik matanya? 

"Kamu tidak mendengarkan ku lagi?" Aku tersentak dari lamunanku, lalu menatapnya yang kelihatan kesal.

"Maaf," 

"Tidak membawa payung lagi?" Dia bertanya dengan nada dingin, sepertinya dia kesal karena aku sudah beberapa kali mengabaikannya. Aku bukan mengabaikan, tapi aku terlalu memperhatikan sampai-sampai aku juga tidak sadar sudah menjatuhkan hatiku padanya. 

Aku mengangguk, kemudian aku ingat ternyata payung lelaki di depan ku ini tidak aku bawa hari ini. Sepertinya sekarang dia akan menanyakan hal itu. 

"Maaf, tapi payung biru punyamu itu tidak aku bawa hari ini. Aku janji besok akan aku bawa." Ujarku merasa bersalah.

Laki-laki itu mengangguk kemudian berkata, "Tidak apa-apa,"

"Betul tidak apa-apa?" Dia mengangguk lagi, aku tersenyum senang dan berkata. "Terimakasih." 

"Ini payungnya." Dia menyerahkan payung, payung berwarna biru lagi. Huh, memang sepertinya dia sangat menyukai warna biru. 

"Eh, tapi kenapa kamu menyerahkan payungmu lagi? Bukannya kemarin juga kamu pulang tidak memakai payung? Mana bisa aku memakai milik orang lain sedangkan si pemilik tidak memakai." 

"Tidak apa-apa, aku _"

Aku dengan cepat memotong perkataannya, "Jangan begitu, bagaimana jika kamu mengantarkanku pulang saja, kebetulan rumahku dekat. Sambil kamu menjemput payungmu yang aku pinjam kemarin, bagaimana?" 

Dia diam sepertinya memikirkan sesuatu, "Berdua? dengan payung ini?" Katanya terdengar ragu. 

"Iya. Tenang saja muat kok, kan payungmu ini lumayan besar." Dia mengangguk. 

Kita akhirnya berjalan berdampingan. Ya, walaupun sedikit canggung karena tidak ada percakapan sama sekali diantara kami setelah itu. Namun, diperjalanan pulang aku teringat sesuatu. Ternyata kita belum kenal satu sama lain. Aku memberanikan diri membuka suara, menanyakan siapa namanya.

"Panggil saja aku Rayn," Aku mengangguk, namanya Rayn seperti kita sedang menyebutkan kata hujan dalam B. Inggris. Ingat! Bukan dibaca Rayen apalagi Riyan.

Aku menghela napas, setelah dia menyebutkan namanya aku tidak bertanya apapun lagi. Aku kira dia akan menanyakan kembali siapa namaku, tapi sepertinya dia memang tidak tertarik. Ya sudah, kalau begitu aku saja yang memperkenalkan diri. 

"Namaku Niana,"
Rayn mengangguk, "Aku sudah tahu." 

Aku tertegun, aku rasa aku tidak pernah memperkenalkan diri sebelumnya. Aku merasa risi akan hal itu, pikiranku terus-menerus menebak sesuatu yang tidak masuk akan sampai suara Rayn terdengar.

"Sudah sampai," Rayn kembali membuat ku tertegun. Bagaimana dia tahu bahwa kita sudah sampai di rumahku, jelas-jelas kami baru kenal mana sempat aku mengajaknya ke rumah. Apa Rayn sebenarnya sudah mencari tahu tentangku lebih dulu?

Aku menyingkirkan sementara pikiranku yang terpenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan aneh lalu berkata pada Rayn. "Tunggu sebentar, aku mau mengambil payungmu dulu. Atau apa kamu mau ikut masuk kedalam sekalian menunggu hujan reda?" 

Rayn menggeleng cepat, "Tidak usah." Aku hanya mengalihkan pandangan ketika kulihat Rayn sedang mengacak-ngacak rambutnya yang basah karena terkena tetesan hujan.

Aku cepat-cepat masuk dan mengambil payung untuk di kembalikan, tapi setelah aku kembali untuk menemuinya dia ternyata sudah tidak ada, dia sudah pergi. Aku mendengus kesal, lalu masuk dan melemparkan payung Rayn dengan asal. Tidak sopan! Pergi seenaknya, dasar manusia aneh! Batinku dalam hati. 

Sejak awal, aku dan Rayn memang selalu bertemu di waktu yang kebetulan. Ya, tidak pernah direncanakan. Namun, hari ini aku berniat menunggunya. Disebuah warung tak jauh dari kampus. Walaupun aku tidak bisa memastikan Rayn melewati tempat ini. Aku hanya mempercayai instingku saja. Di sana aku hanya membeli minuman dan beberapa makanan ringan. Duduk di kursi yang tersedia sambil membaca buku. 

"Boleh aku duduk di sini?"

Aku menoleh. Aku terkejut, aku menahan diri untuk tidak mengerutkan dahi melihat tampang acak-acakan laki-laki yang sudah aku tunggu kehadirannya dari tadi. Raut wajahnya yang terlihat capek tercetak jelas.

"Terima kasih." Dia duduk setelah aku mempersilahkannya. Aku mengalihkan pandang, kembali ke buku dihadapapku. Kupusatkan perhatianku pada buku yang memang dari dulu sudah aku nanti-nanti kan ditoko buku. Kenapa aku jadi begini, padahal awalnya aku memang sengaja menunggu Rayn di sini. Tapi kenapa setelah dia hadir aku jadi tidak karuan begini.

"Mau bertemu aku kan?" Rayn berujar. Dia benar-benar membuatku seperti terlihat bodoh. Tahu dari mana dia bahwa aku memang ingin bertemu dengannya? Memang manusia ajaib, tahu saja apa yang aku pikirkan.

"Mau mengembalikan payung atau ada hal yang lain?" Dia bertanya seperti memang sudah tahu tujuanku untuk itu.

Aku buru-buru mengambil payung yang berada disebelahku. Tiba-tiba Rayn mengambil alih payung itu meletakkannya kembali ke tempat semula. "Aku sudah enggak butuh, itu untuk kamu saja."

Seperti yang dibungkam aku hanya diam lalu  mengangguk. "Niana." Rayn memanggil namaku untuk pertama kalinya, dia sepertinya sedang ingin menyampaikan sesuatu yang serius padaku.

"Ya?" Aku menjawab cepat.

Rayn terlihat gelisah. "Apa kamu baik-baik saja?" Tanyaku memotong. Aku tidak bisa mengabaikan raut kegelisahan Rayn yang terukir jelas dan tampang acak-acakannya.

Rayn mengangguk. "Ya, hanya ada sedikit masalah."

Aku terdiam. Sebersit rasa kasihan menyebar dihati. "Oh, ya? Tentang apa? Mungkin aku bisa membantumu."

Rayn menggeleng. "Bukan masalah besar, aku bisa mengurusnya sendiri." 

Aku hanya menghela napas. Merasa kecewa padahal aku kan memang tidak sedekat itu dengan Rayn wajar dia menolak tawaranku dengan halus.

"Bukannya kamu ada sesuatu yang ingin dibicarakan denganku." Tanyaku.

Rayn menggaruk tengkuknya. "Ah, nanti saja. Supaya aku diberikan kesempatan lain untuk mengatakannya. Untuk sekarang lebih baik kamu pulang karena sebentar lagi malam."

Aku menghela napas, kecewa untuk kedua kalinya. Namun, rasa kecewa itu tidak berlangsung lama karena Rayn menawarkan dirinya untuk mengantarkan aku sampai ke rumah. Dengan senang hati aku menerima tawarannya. 

Sudah seminggu ini selalu turun hujan di setiap harinya. Dan seminggu ini juga Rayn selalu menungguku di warung tempatku dulu menunggu Rayn. Dia sekarang dengan senang hati selalu membawa dua payung, untukku dan untuknya. Mungkin karena ia tahu bahwa aku memang selalu punya alasan untuk tidak membawa payung. Selama itu pula obrolan demi obrolan terus mengalir tapi tidak sedikitpun dari itu aku mengetahui tentang Rayn. Yang aku tahu dia adalah lelaki yang memang sangat menyukai warna biru. Kenapa aku bilang begitu, karena aku pernah menanyakannya langsung pada Rayn. Aku bertanya kenapa Rayn selalu memakai pakaian warna biru dan semua payung yang ia bawa pun warna biru dan dia menjawab dengan singkat "Karena aku suka." Katanya begitu.

"Yang kamu pegang itu apa sih, Niana?" Di tengah perjalanan pulang Rayn tiba-tiba bertanya setelah melihatku mengeluarkan benda pipih dari kantongku untuk melihat jam.

 "Ini handphone. Kamu tidak tahu? Kamu lahir di zaman apa sih, Rayn?!" Kataku mencibir Rayn sambil menahan tawa. Pada zaman sekarang mengetahui seseorang tidak tahu pada teknologi seperti handphonen adalah hal yang aneh. 

Rayn terlihat kikuk. "Aku aneh ya?" Tanyanya membuatku merasa bersalah karena perkataan tadi.

"Tidak, kok." Bantahku berbohong. Jelas aku sangat aneh dengan Rayn. Memang dia manusia purba? 

"Dari sini kamu bisa kan pulang sendiri Sampai ke rumah?" Rayn tiba-tiba mengehentikan langkahnya. 

Kami berdiri berhadapan. Tatapan Rayn bisa kurasakan berbeda dari beberapa detik yang lalu. Dia kembali dingin seperti awal kami bertemu. Apakah perkataanku tadi sudah menyinggungnya?

"Kenapa memangnya? Kamu tidak mau mengantarku sampai ke rumah? Kamu marah?"

Rayn menggeleng. "Tidak. Tidak sama sekali. Aku ingat ada keperluan, jadi aku harus pulang cepat " katanya dengan cepat dan terngar ragu. Aku tahu dia menyembunyikan sesuatu.

Aku hanya berdecak. "Ya sudah. Terima kasih sudah mengantarku. Kamu hati-hati ya!"

Rayn mengangguk. Membalikan badannya, pergi tanpa menatap kembali ke arahku. Seakan-akan dia memang mau lagi bertemu denganku. 
Hari-hari berikutnya tidak terjadi hujan dan tidak terjadi juga pertemuanku dan Rayn. Rayn seperti ditelan hidup-hidup oleh bumi, dia pergi tidak meninggalkan jejak sama sekali. Aku pernah beberapa kali menanyakan pada teman-temanku apa mereka mengenal lelaki bernama Rayn, aku juga menyebutkan beberapa ciri-cirinya tapi tidak ada satupun dari mereka yang menjawab pertanyaan itu dengan jawaban, "Ya, aku tahu.". Aku juga tidak pernah mempunyai kesempatan untuk bertanya padanya langsung. Memang sangat disayangkan.

"Niana," Salah satu temanku memanggil namaku membuat aku menoleh seketika.

"Ya,"
"Diluar ada yang mencari mu." Aku mengerutkan kening.

"Siapa? Aku enggak punya janji dengan siapapun." Kataku.

"Eh, siapa? Kok aku lupa, ciri-cirinya itu, dia_" Temanku itu terlihat kebingungan, dia seperti orang linglung ketika aku bertanya siapa orang yang mencari ku.

"Udah, langsung liat aja sana. Siapa tahu seseorang yang istimewa." Kirara teman dekatku berkata. Setelahnya dia tertawa terbahak-bahak karena memang dia mengetahui bahwa aku tidak mempunyai seseorang yang istimewa.

Aku hanya memutar bola mata malas lalu berjalan cepat kearah pintu, tanpa disangka ternyata yang dimaksud temanku itu adalah Rayn, si pecandu warna biru. Laki-laki yang beberapa hari ini menghilang dari hidupku.

"Rayn?" Kataku terkejut. Tidak kusangka aku akan bertemu lagi dengan Rayn setelah kejadian tempo hari.

Dia tersenyum, senyum pertama kali yang pernah aku lihat darinya. "Iya, ini aku."

"Kenapa kamu di sini?" Aku menariknya menjauhi kelas. 

Rayn menggaruk tengkuknya lalu dia tersenyum malu, "Tidak tahu."

Aku berdecak, "Lalu?"

"Aku hanya ingin bertemu denganmu, aku takut tidak ada kesempatan lain lagi untuk menemuimu." Ekspresi Rayn berubah menjadi sedih.

Aku tersenyum haru. "Kenapa takut Rayn? Kamu bisa menemuiku di kampus ini, kapan saja. Kamu juga bisa menemuiku dirumah, kan kamu sudah tahu rumahku di mana."

Rayn kembali tersenyum kecil. "Itu tidak terpikir olehku."

"Tapi sekarang terpikirkan kan?" Tanyaku yang langsung diangguki oleh Rayn.

Rayn tiba-tiba meraih tanganku. "Boleh temani aku?" Katanya.

Wajahku tiba-tiba terasa panas. Menarik tanganku, aku sedikit mundur dari Rayn. "Aku coba cek dulu dosen setelah ini masuk atau tidak." Aku meninggalkan Rayn yang mungkin sekarang sedang berdiri mematung karena sikapku yang berubah tiba-tiba.  Memang hari ini hari keberuntunganku dosen tiba-tiba menelpon salah satu temanku dan mengatakan bahwa dia tidak akan masuk kelas dan hanya memberikan tugas. 

Aku keluar sembari membawa tas. Tersenyum senang pada Rayn. "Kita mau kemana?" Tanyaku langsung. Aku mana bisa meninggalkan kesempatan sebagus ini. 

"Kita ke rumahmu." Kata Rayn melangkah cepat dengan kakinya yang panjang.

"Ke rumahku?" Tanyaku setelah beberapa saat termangu. 

"Aku menemukan tempat yang indah dibelakang rumahmu." Kata Rayn.

Aku mensejajarkan langkahnya kemudian bertanya. "Oh ya?"

Rayn mengangguk. Setelah sampai ke rumahku, Rayn langsung membawaku ke belakang rumah. Aku disuruh menunggu sebentar disebuah gazebo yang berada di sana. Gazebo yang dibuat oleh kakak laki-lakiku. Tubuh Rayn menghilang dibalik pohon. Kemudian kembali dengan senyum lebar yang menampilkan gigi taringnya disebelah kiri. Baru pertama kali aku lihat.

"Bagus bukan?" Katanya sambil menyerahkan satu tangkai bunga berwarna ungu yang tidak tahu jelas namanya apa. Aku khawatir detak jantungku akan terbaca. 

Aku menerima bunga itu menatap sebentar wajah Rayn dan lari ke dalam rumah, menyenggol Restu, kakak laki-lakiku yang hendak keluar. Restu berteriak marah tapi kemarahannya pudar setelah melirik lelaki yang berdiri di depannya.
Aku mengintip di selah pintu kamarku. Restu mengajak Rayn masuk ke dalam rumah. Wajahku panas. Aku malu tiba-tiba lari ke dalam rumah. Untungnya aku sudah menyiapkan alibi ketika Rayn dan Restu bertanya. Aku menetralkan detak jantungku yang berdetak tidak karuan kemudian keluar. Duduk disebelah Restu yang menatapku aneh. Mungkin aneh karena ini pertama kalinya aku mengajak teman laki-laki ke rumah. Tapi perlu kalian ingat aku sama sekali tidak pernah mengajak Rayn ke rumahku, melainkan dia sendiri.

"Maaf, tadi tiba-tiba perutku sakit." Kataku sebelum Rayn dan Restu bertanya. 

Rayn mengangguk sedangkan Restu tidak memperdulikan apa yang aku bicarakan. Dia lalu menyuruhku menyuguhkan minuman pada Rayn. Setelah aku kembali dari dapur sekembalinya mengambil minum. Restu meninggalkan kami berdua. Ya, lebih bagus kalo dia pergi, kataku dalam hati.

"Apa kamu suka?" Tanya Rayn. Dia akhirnya bicara setelah memastikan Restu tidak mendengarkan pembicaraan kita sepertinya.

Aku mengangguk. "Terima kasih, aku suka." Kataku. Mulai hari ini aku memang suka pada bunga. Ya, itu karena Rayn. Satu-satunya lelaki yang membuat jantungku berdetak liar.

Rayn tersenyum. Tapi kemudian senyum itu pudar perlahan sambil berkata. "Mungkin itu bunga terakhir yang aku berikan."

Aku menaikkan alis. "Kenapa?" Tanyaku takut. Sungguh takut. Karena sejak dari pagi tingkahnya memang sudah aneh.

"Aku alergi bunga sepertinya," Rayn tiba-tiba bersin. 

Aku tertawa. Dia ternyata tidak berbohong. "Aku dengan ini sudah tiga kali bersin." Katanya sambil menggesek hidungnya.

"Kenapa kamu malah tertawa?" Tanyanya melihatku yang dari tadi tidak berhenti tertawa.

Aku menggeleng cepat. Menahan tawa. "Kalo sudah tahu alergi, kenapa memaksakan diri?" 

"Aku baru tau barusan, hachis," Rayn bersin kembali. "Aku takut ini menular, aku pulang dulu. Tolong simpan bunganya dengan baik ya, Niana."

Melihat Rayn bangkit aku pun ikut bangkit, "Mana bisa disimpan Rayn, bunga itu cepat busuk." Kataku protes pada permintaan Rayn.

"Kamu bisa keringkan bunga itu." Katanya. 
Aku menghela napas. Semerdeka dia saja. Ya, mungkin idenya tidak buruk juga.

Aku kemudian mengantarkan keluar.  "Hati-hati! Setelah sampai di rumah kamu harus segera minum obat. Alergimu harus diobati.

Rayn mengangguk, "Kalo begitu sampai bertemu lagi," setelah Rayn pergi untuk beberapa menit kemudian aku tersenyum tidak karuan. Aku bingung dengan tingkah aneh anak itu. Ternyata dia juga bisa menjadi laki-laki yang manis seperti tadi.

Restu tiba-tiba muncul dibelakangku. "Dasar, cowok enggak modal!" 

Aku mendengus. Tahu apa dia sampai mengatai Rayn begitu. "Kasih bunga dapat metik dari belakang rumah orang dan akhirnya bersin-bersin karena ternyata dia alergi bunga. Kisah cinta yang menyebalkan." Restu memasukan tangannya ke saku celananya, berlalu begitu saja setelah mengucapkan hal yang sangat menyebalkan itu. Kalo aku berani sudah aku toyor berkali-kali kepalanya. Tapi apalah daya, malahan lebih sering aku yang kena toyoran ditambah Omelan darinya.

Benar kata Rayn, mungkin memang kami tidak punya kesempatan lagi untuk bertemu. Karena pada kenyataannya setelah kami bertemu di kampus, Rayn tidak pernah menemuiku lagi.  Aku menertawakan kebodohanku sendiri dalam hati. Kenapa aku berharap banyak pada orang yang baru saja aku kenal? Mungkin benar aku sudah kehilangan akal sehat. Menunggu seorang lelaki di tepi jalan. Sama sekali tidak romantis bukan?

"Yah, kok hujan. Padahal kan akhir-akhir ini sudah jarang turun hujan." Aku berdecak sebal. Tapi sesaat kemudian diam. Benar kata orang, hujan adalah cara terampuh untuk membangkitkan kenangan-kenangan yang mungkin sudah lama kita lupakan. Tetesan demi tetesan mengingatkanku pada seseorang yang selalu datang bersama dengan datangnya hujan, Rayn. Ah, dimana yah dia sekarang? Apa aku terobos saja hujan ini supaya Rayn menaungiku lagi dari belakang? Menyebalkan!

"Hujannya sudah reda?" Aku mengecek terlebih dahulu dengan tanganku.

"Syukurlah, aku bisa pulang sekarang." Aku bangkit dari tempat duduk yang berada di gedung tempatku berteduh.

"Yah, yah, kok hujan lagi?" Aku memakai tas selempang ku untuk melindungi kepala. Aku tidak berhenti karena sebentar lagi sampai ke rumah. 

Mataku terbelalak ketika melihat kabut berwarna biru muncul tiba-tiba di depan ku, entah dari mana. Aku memejamkan mata sebentar lalu membuka kembali dengan perlahan. Ini benar-benar kabut, tapi kenapa warnanya biru?

"Niana, bisa dengar aku?" Aku tertegun sekaligus termangu kaget.  Ini suara Rayn, aku tahu persis benar ini suaranya. Tapi dimana dia? Aku menengok ke sekeliling mencari sumber suara, tapi hasilnya Rayn tidak ada. Kalo begitu lalu itu suara siapa?

"Jangan takut, Niana. Ini memang suaraku, Rayn." Aku membekap mulutku sendiri tidak percaya. Apa aku sedang bermimpi? Tapi hujan ini terasa sungguh dingin dan nyata dikulitku.

"Ini bukan mimpi, Niana. Ini nyata dan kenyataan." Suara Rayn menggema lagi.

"Tapi_"

"Aku tahu ini sulit untuk manusia percayai. Tapi aku mohon untuk saat ini kamu harus percaya padaku bahwa semua ini nyata." Aku mematung, aku tidak bisa berkata-kata lagi.

"Kamu lihat halimun berwarna biru ini, Niana?" Aku melihat sekitar.

"Maksudmu kabut?" 

"Iya, itu." Aku mengangguk, entah terlihat oleh Rayn atau tidak.

"Itu aku," Aku membelalakkan mata kembali. Tubuhku gemetar dan menggigil, rasa takut dan dingin menyatu.

"Aku bilang jangan takut! Aku bukan seperti apa yang kamu bayangkan, aku bukan setan atau apalah itu." Nada Rayn terdengar cemas dan kesal. Ciri khas dia yang kukenal jika aku tidak mendengarkannya.

"Niana, aku sekarang bukan manusia. Aku sudah dihukum, Ratu ditempat ku tinggal sudah mengambil kekuatan yang bisa merubaku untuk berubah menjadi manusia. Di duniaku semua orang tidak memiliki bentuk yang nyata, kami hanya berbentuk halimun yang berwarna."

"Aku tidak mengerti, lalu kenapa kamu bisa dihukum?" Aku berucap dengan gemetar. "Ini mimpi kan?

"Niana, aku telah melakukan kesalahan. Aku telah melanggar janjiku dengan Ratu Raynbodas, dia marah besar kepadaku."

Kepalaku pusing. Semua yang Rayn katakan tidak ada yang aku mengerti. Semua yang dibicarakannya seperti cerita-cerita fantasi yang sering aku dengar dari teman-temanku. Hal yang menurutku sangat sangat tidak masuk akal jika dipikir oleh nalar, karena aku memang sama sekali tidak menyukai hal yang berbau fantasi karena menurutku itu sama sekali tidak ada.

“Rayn, aku sama sekali tidak percaya maaf. Ini mungkin mimpi, ini mimpi!” Kataku sedikit berteriak. Aku tahu ini mimpi, pikirku dalam hati. 

“Ini nyata, Niana. Apa yang kamu rasakan semua ini nyata! Hujan ini nyata dan aku juga nyata. Aku hanya tidak lagi berbentuk manusia, aku sudah dihukum oleh Ratu Raynbodas karena menyalahi atuaran.”

Aku menangis. Aku sekarang tidak bisa membantah lagi. Tubuhku sudah membeku kedinginan, begitupun dengan hatiku. Aku mencoba tenang. Aku akan mengikuti alurnya. Aku sudah tidak peduli ini nyata ataupun tidak nyata. Yang terpenting sekarang aku harus tahu kenapa bisa jadi begini.

"Namamu dan Ratumu hampir sama, apakah semua orang di duniamu bernama Rayn?" Aku berkata pelan. Suara tawa Rayn terdengar. Apa dia masih bisa tertawa melihat aku yang sudah pucat begini karena takut? 

"Tidak, Niana. Rayn itu nama margaku di sana. Nama lengkapku adalah Raynblue, dan Ratu Raynbodas adalah ibuku. Dia memerintahkan kepadaku ke bumi untuk meneliti hujan, di duniaku jika hujan datang semua gembira tapi anehnya di sini sebaliknya, manusia menganggap hujan itu musibah. Walaupun tidak semuanya begitu." Aku membenarkan dalam hati, sering kali aku juga tidak bersyukur ketika hujan turun.

"Jadi apa yang membuat ibumu marah sampai membuatmu kehilangan kekuatan dan menghukummu?" Aku mencoba bertahan sedikit lagi ditengah guyuran hujan yang deras.

"Diluar kendaliku aku malah jatuh cinta pada manusia, manusia yang pertama kali ingin aku datangi ketika hujan datang dan mencoba menyentuhnya. Karena kosekuensi untuk berubah bentuk menjadi manusia adalah tidak boleh bersentuhan dengan manusia."

Aku tercekat, "Siapa?" 

"Kamu, Niana!"

Aku tertegun sekaligus merasa bersalah pada Rayn, aku tidak bisa menahan diri lagi. Aku terduduk dan menangis, wajahku aku tenggelamkan dalam tangan. "Maaf, ini semua salahku."

"Hei, tidak Niana, ini justru salahku. Aku yang menyentuhmu pertama kali ketika memberimu payung, kamu ingat? Jangan menangis lagi aku merasa bersalah” Suara Rayn terdengar cemas.

 "Aku yang harusnya tidak memaksa mendekatimu," Suara Rayn terdengar melemah. Aku tahu ini juga pasti menjadi hal yang menakutkan baginya. " Hubungan kita tidak bisa dipungkiri bukan? Aku tahu kamu memiliki perasaan padaku dan aku pun sebaliknya. Maka dari itu mungkin perpisahan ini sedikit berat. Jadi, mohon ingat aku ya, Niana!" Aku masih menangis. Kubayangkan wajahnya yang sedang tersenyum ketika dia mengatakan hal tersebut, juga  mata birunya yang meneduhkan.

"Jangan menangis, aku tidak ingin kamu terluka." Rayn berkata dingin. Tapi rasa khawatir dan bersalahnya terdengar jelas.

"Kata orang cinta tidak harus saling memiliki. Lalu, kenapa kita harus terluka dan sakit hati?" Aku bertanya pada Rayn. Rayn hanya diam, aku tahu itu pertanyaan yang sulit untuknya. Mungkin dia juga sama bingungnya denganku. Sama-sama tidak tahu jawabannya. Karena kami memang berada disituasi yang sama peliknya.

“Niana dengar! Kamu akan menjadi bagian cerita paling indah ketika semua orang di duniaku bertanya padaku apa yang kamu temukan di bumi? Aku minta maaf, Niana. Karena aku tidak bisa selamanya hidup di bumi, aku juga izin pergi, Niana. Karena waktuku di sini sudah habis." Suara Rayn semakin kecil, aku tergugu masih dalam keadaan menutup wajahku dengan tangan.
"Kamu juga mulai dari sekarang harus selalu siap sedia membawa payung, karena mulai dari sekarang aku tidak bisa tiba-tiba datang dan menaungimu dari belakang.” Dia diam sebentar. “Ah, itu kenangan yang indah.” Rayn terdengar bergumam.

“Niana teruslah bahagia dan jangan sampai lupakan aku, karena perlu kamu tahu kamu pernah dan akan tetap menjadi bagian terindah dihidupku." Suara Rayn perlahan menipis lalu hilang bersamaan dengan kabut yang perlahan memudar. Aku mencoba mengulas senyum tipis walaupun memang kenyataannya begitu miris. 

"Selamat tinggal Rayn dan terimakasih." Ucapku sambil menyeka tetesan air mata yang sudah menyatu dengan hujan. Menyisakan keheningan dan suara gemercik hujan, menjadikan akhir kisahku dan Rayn semakin dramatis. Tapi hal itu membuatku tersadar akan sesuatu, kita bisa saja bertemu orang yang kelihatannya tepat, tapi akhirnya tidak demikian. Dia pergi, kamu kehilangan. Tapi mungkin kamu harus berhenti bertanya kenapa, karena  kita sebaiknya hanya menerima dan melepaskan saja. Karena saat pergi menjadi sebuah keharusan, maka ikhlas yang harus dilakukan. Aku juga kini tersadar bahwa takdir yang bergulir, pertemuan yang singkat dan fantasi tak berujung itu memang ada.

 

 

 

 

 

Tags: Tlwc19

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Saksi Bisu
748      404     10     
Short Story
Sebuah buku yang menjadi saksi bisu seorang penulis bernama Aprilia Agatha, yang di butakan oleh cinta. Yang pada akhirnya cintalah yang menghancurkan segalanya.
Gara-Gara Kamu
401      252     2     
Short Story
“Gila banget, nih.” Delisa mengomeli diri sendiri. Merasa tidak waras, masih bisa cengengesan memikirkan Dilan, padahal seharusnya ia marah dan membenci laki-laki tersebut. Cinta benar-benar bisa mengubah batu yang keras menjadi lunak, begitu ucapan Putri. Biarpun menyebalkan, entah kenapa laki-laki itu masih menjadi laki-laki impian. Ganteng, cerdas dan cool. Kecerian Delisa pun menghi...
Nanako
1008      679     5     
Short Story
Kalau bagi anak-anak desa yang tinggal dekat sungai, hantu kappa mungkin mengerikan. Tapi bagi kami--penjaga pondok tua Kakek di gunung, Nanako nyata.
Judgement Day
277      174     0     
Short Story
Telepon itu berdering di waktu dan nama yang salah. Jessi tak kuasa, meringkuk ketakutan di sudut kamarnya. Adalah Nino Herdian yang menghubunginya namun Jessi nyaris kehilangan akal sehatnya. "Aku membunuhnya dua tahun yang lalu," Jessi berbisik lirih. "Aku membunuh Nino dua tahun yang lalu!"
Bisakah Kita Bersatu?
558      309     5     
Short Story
Siapa bilang perjodohan selalu menguntungkan pihak orangtua? Kali ini, tidak hanya pihak orangtua tetapi termasuk sang calon pengantin pria juga sangat merasa diuntungkan dengan rencana pernikahan ini. Terlebih, sang calon pengantin wanita juga menyetujui pernikahan ini dan berjanji akan berusaha sebaik mungkin untuk menjalani pernikahannya kelak. Seiring berjalannya waktu, tak terasa hari ...
MEI, SI TOKOH DALAM NOVEL
402      228     0     
Short Story
Pernah nggak sih kamu bermimpi, dan mimpinya itu berasa nyata banget? Atau pernah nggak sih kamu memipikan sesuatu untuk kemudian menjadi kenyataan? Pernah kamu memimpikan seseorang yang nggak dikenal kemudian bertemua dengan orang tersebut dalam dunia nyata di kemudian harinya? Atau pernah kamu bermipi sebelum mengalami suatu kejadian yang kemudian kamu menyadari kalau mimpi tersebut merupakan ...
Inspektur Cokelat: Perkara Remaja
285      197     1     
Short Story
Elliora Renata, seorang putri dari salah satu keluarga ternama di Indonesia, hal itu tak menjamin kebahagiaannya. Terlahir dengan kondisi albinis dan iris mata merah tajam, banyak orang menjauhinya karena kehadirannya disinyalir membawa petaka. Kehidupan monoton tanpa ada rasa kasih sayang menjadikannya kehilangan gairah bersosialisasinya sampai akhirnya...serangkaian kejadian tak menyenangkan...
Love after die
423      279     2     
Short Story
"Mati" Adalah satu kata yang sangat ditakuti oleh seluruh makhluk yang bernyawa, tak terkecuali manusia. Semua yang bernyawa,pasti akan mati... Hanya waktu saja,yang membawa kita mendekat pada kematian.. Tapi berbeda dengan dua orang ini, mereka masih diberi kesempatan untuk hidup oleh Dmitri, sang malaikat kematian. Tapi hanya 40 hari... Waktu yang selalu kita anggap ...
6 Pintu Untuk Pulang
591      326     2     
Short Story
Dikejar oleh zombie-zombie, rasanya tentu saja menegangkan. Apalagi harus memecahkan maksud dari dua huruf yang tertulis di telapak tangan dengan clue yang diberikan oleh pacarku. Jika berhasil, akan muncul pintu agar terlepas dari kejaran zombie-zombie itu. Dan, ada 6 pintu yang harus kulewati. Tunggu dulu, ini bukan cerita fantasi. Lalu, bagaimana bisa aku masuk ke dalam komik tentang zombie...
I Loved You Between The Two Worlds
2544      901     2     
Horror
Di suatu malam Demian diputuskan oleh kekasihnya yang sangat ia cintai. Kesibukannya untuk menggapai mimpi membutakannya dari kenyataan dunia, sehingga Aria harus melepaskan Demian. Dalam kekacauan pikiran, Demian bertemu dengan gadis berparas cantik yang ia temui di tepi jalan. Bernama Juli, wanita itu terlihat bingung dan tersesat. Juli meminta Demian untuk mengantarnya pulang, karena hanya...