Tawa bahagia mengudara bersama langkah kaki yang menapak ringan. Suara kamera yang membidik objek terdengar ramai di keheningan. Matahari bersinar lembut menerpa kulit, membias cantik di balik dedaunan. Embus angin bertiup halus, beradu dengan aspal yang kian berdebu.
Jessa tersenyum lebar. Ketiga temannya tampak bahagia berfoto ria di depan sana. Gadis berkulit pucat itu memilih duduk di kursi taman wisata sambil memandang ketiga temannya. Selama seharian mereka mengelilingi taman wisata ini, mengumpulkan foto-foto kenangan sampai baterai kamera habis, lalu berlanjut sampai sore ini. Wajar mereka melakukan hal seperti ini, pasalnya mereka berempat sudah lama merencanakan hari ini. Beberapa hari lalu sebelumnya, mereka selalu saja disibukan oleh tugas sekolah dan tuntutan hidup yang lain, sehingga saat hadir hari ini, mereka terlalu senang sampai lupa waktu.
"Jes, ayo kita berfoto lagi!" ajak Melvin di kejauhan. Suaranya yang berat merambat baik di udara.
Jessa menggeleng. "Sudah, kalian saja. Aku lelah."
"Kami janji, ini yang terakhir!" sahut Melvin. Sementara kedua temannya yang lain sudah berfoto di hadapannya. "Habis ini kita bisa pulang!"
Jessa menghela napas. Gadis itu mengangguk, lalu ketika ingin melangkah mendekati ketiga temannya, gadis berambut pirang itu menemukan sebuah benda yang berkilau ditempa sinar mentari. Jessa melirik ketiga temannya sekilas, lalu mendekati benda itu dengan langkah pelan.
Jessa menyipitkan mata. Tangan gadis itu terulur untuk meraih benda itu. Jessa menatap baik-baik benda itu di telapak tangannya. Sebuah kalung berliontin batu safir. Gadis itu terperangah, mulutnya terbuka kecil dengan sepasang mata yang berbinar-binar. Gadis itu tersenyum tipis.
"Hei, Jessa! Cepat!" teriak Melvin. Jessa tersentak. Dengan terburu-buru, gadis itu langsung memasukkan kalung itu ke dalam saku celana jeans-nya, lalu berlari ringan menghampiri ketiga temannya.
"Tunggu aku!"
— Once Upon A Time —
Deru halus kendaraan menyapa telinga. Udara menampar masuk melalui jendela mobil yang terbuka lebar. Jessa menopang dagu sambil memandang jalanan di luar dari jendela. Gadis itu membiarkan cahaya sore menyinari wajahnya yang pucat. Sementara di dalam mobil itu, ketiga temannya asyik berbincang ria. Melvin, temannya itu sibuk mengotak-atik kamera sambil tersenyum tipis menatap hasil jepretannya.
"Kau tidak lapar, Jes?"
Pritha, gadis berambut keriting kemerahan itu menoleh ke belakang, menatap Jessa yang menanggapinya tak semangat. "Aku masih mempunyai roti bakarnya. Mau?"
Jessa menggeleng sembari tersenyum kaku. "Tidak, Tha. Aku kenyang."
"Oh? Baiklah."
Tak lama setelah itu, Pritha kembali berbicara.
"Adarsh, kau mau rotinya?" tawar Pritha. Diam-diam Jessa melirik gadis berambut keriting itu dengan pandangan tidak suka.
Adarsh yang sedang menyetir menggangguk. "Boleh."
Detik berikutnya, Jessa membulatkan mata tak percaya saat melihat Pritha menyuapi laki-laki berambut hitam itu di hadapannya. Gadis berambut keriting itu tersenyum sambil menyuapi Adarsh, begitu manis dan romantis. Sementara itu, Adarsh membalas perlakuan gadis berkulit coklat itu sama baiknya, membuat darah Jessa mendidih.
"Bagaimana? Apakah rasanya masih enak?" tanya Pritha seraya menatap Adarsh lembut.
Adarsh mengangguk. "Ya, masih enak, kok. Tolong suapi aku lagi. Aku lapar sekali."
"Baiklah. Habis ini, kau traktir aku, ya?" goda Pritha yang kini kembali menyuapi laki-laki itu.
"Tenang," sahut Adarsh.
Jessa melempar pandangan ke sembarang arah. Ia tidak ingin melihat dua orang di bagian depan mobil itu lagi. Alhasil gadis itu memejamkan mata, berharap telinganya tuli selama dua orang itu bermesraan. Tak ada yang bisa Jessa lakukan.
Tiba-tiba Melvin meraih kepalanya, lalu memasangkan headphone di sepasang telinga gadis pucat itu. Jessa agak tersentak, tetapi saat melihat senyum tulus Melvin ia bisa menenangkan dirinya.
Dentuman lagu mengalun ceria di telinganya. Melvin memang pandai memilih lagu bahagia seperti ini. Jessa tersenyum tipis, sementara Melvin mengetikkan sesuatu di ponselnya. Laki-laki itu langsung menyodorkannya kepada Jessa, lalu kembali memainkan kamera miliknya.
'Aku tahu bagaimana perasaanmu.'
Jessa kembali memandang laki-laki berambut coklat di sampingnya.
Jadi, Melvin sudah tahu?
— Once Upon A Time —
Detik jam dinding menemani senyap. Jessa menatap cermin di hadapannya, lalu mengeluarkan kalung safir dari kantong celananya. Gadis berambut pirang itu kembali menatap pantulan dirinya di cermin, lalu memakai kalung itu. Jessa memegang liontin safir itu lama. Dia tersenyum manis saat menyadari kalau dirinya tampak lebih cantik dengan aksesori tersebut.
Gadis itu berputar-putar, bergerak lembut seperti tarian balet yang waktu kecil pernah ia pelajari. Rambut panjangnya yang indah menari-nari seiring gerak tubuhnya yang gemulai. Gadis itu mengakhiri gerakannya dengan melompat kecil, lalu tersenyum lagi di depan kaca.
Setelah itu, Jessa melepas kalung tersebut dan meletakkannya di atas nakas. Gadis itu melirik jam dinding yang menunjukkan waktu kian larut. Jessa mematikan lampu tidurnya, lalu masuk ke dalam selimut dan memejamkan mata.
— Once Upon A Time —
Hawa dingin menyelimuti. Aroma vanila merasuk ke indra penciumannya. Jessa menyipitkan mata, menghalau kabut asap yang bergumul di hadapannya. Sepasang kaki gadis itu menapak lembut di lantai marmer yang dingin.
Jessa terbatuk pelan. Gadis itu mendongak, memandang ruangan luas tak bersekat itu dengan tatapan bingung. Dinding-dinding berwarna putih gading serta kabut-kabut asap mengelilinginya. Ruangan ini super luas seperti tak terhingga. Di bagian atas terdapat langit cerah sewarna laut biru dengan cahaya mentari yang tidak menyengat. Jessa kembali berjalan, melangkah tak tahu arah.
Di manakah dia berada?
Tak lama berselang, gadis itu melihat sesosok laki-laki berperawakan tinggi menjulang tak jauh di hadapannya. Jessa kembali menyipitkan mata saat kabut menghalangi pandangannya. Gadis itu melangkah lagi, lalu sontak mundur ke belakang saat melihat seorang laki-laki berwajah tidak manusiawi memandangnya ramah.
Jessa terpaku. Pesona laki-laki itu sungguh tidak pernah ia lihat sebelumnya. Tulang hidung yang mancung, bibir yang indah lagi berisi, sepasang mata bening nan sayu, alis mata yang tebal seperti rambutnya, serta rahang yang sedemikian tegas. Ditambah lagi postur tubuhnya yang ideal. Sempurna.
Jessa mengernyitkan dahi ketika laki-laki itu melangkah mendekat dan tersenyum. Gadis itu entah mengapa merasa terintimidasi.
"Halo," sapa laki-laki itu. "Siapa namamu? Namaku Clay."
Jessa terdiam. Gadis itu meneguk ludahnya susah payah kala laki-laki itu mengulurkan tangan. Ah, betapa lentiknya jari-jari itu!
Lama tak ada jawaban, sampai akhirnya laki-laki itu kembali bicara. Suaranya halus sekali.
"Siapa namamu?"
"Namaku Jessa."
Sosok itu mengangguk paham. "Baiklah, Jessa. Panggil aku Clay."
Jessa terdiam. Ia tak bicara lagi karena terlalu suka memandang sosok ini. Clay melirik Jessa, lalu terkekeh.
"Kau berada di surga, Jessa."
Jessa terbelalak. Gadis itu memandang tempat di sekitarnya tidak percaya.
"Kau bercanda, kan? Aku belum mati," ucap Jessa kalut. Gadis itu memegangi kepalanya yang terasa pusing.
Clay tersenyum tipis. Ia memandang Jessa serius.
"Kau memang belum meninggal, Jessa. Saat ini kau hanya sedang bersinggah ke tempat tinggalmu. Bagaimana?" tanya Clay, "di sini sangat damai. Dulu aku juga sepertimu. Orang yang akan meninggal biasanya bisa berkunjung kemari lebih dulu."
"Tidak, kau gila!" pekik Jessa. "Aku tidak mau mati!"
"Mengapa tidak? Di sini sangat indah. Kau harus mencobanya," kata Clay. "Aku tidak memaksamu, kau tahu. Aku hanya memberitahu."
"Dari mana kau tahu?"
"Setiap orang yang akan pulang sudah diberi tanda," ucap Clay, "ikhlaskanlah saja jika waktunya sudah tiba, Jessa."
"Tidak!" Jessa menutup telinganya. "Tidak, aku tidak mau!"
Jessa membuka matanya, tiba-tiba saja dirinya sudah kembali berada di kamar tidurnya. Gadis itu bangun dengan napas terengah-engah, beserta keringat dingin yang mengucur dari pelipisnya. Gadis itu menatap jam dinding di kamar. Ini sudah pagi.
Jessa mulai membuka tirai gorden, membiarkan sinar mentari pagi masuk ke dalam kamar. Gadis itu bersandar di dinding, lalu memijat kepalanya.
Mungkin ia bermimpi buruk gara-gara bangun kesiangan. Ya, pasti karena itu.
Jessa hendak membuka jendela kamarnya, lalu tiba-tiba gadis itu menyadari sesuatu.
Sejak kapan kalung safir ini terpasang di lehernya?
***
Adarsh mengundang Jessa untuk datang mengunjungi kafe langganannya sore ini. Laki-laki itu bilang, kalau ia baru saja memenangkan penghargaan dalam perlombaan fisika. Rupanya Melvin juga diundang datang ke sana. Oleh karena itu, di sini Jessa sekarang. Duduk di ruang tamu sambil menunggu Melvin menjemputnya.
Gadis berambut pirang itu memainkan kubiknya, berharap bisa membunuh waktu. Detik, demi menit dilaluinya tanpa sadar. Ia masih mengingat kejadian tadi pagi, di mana kalungnya terpasang di lehernya begitu saja. Jessa tak mau pikir panjang. Mungkin saja ia lupa karena telah memakai lagi kalung itu tadi malam.
Bel rumah berbunyi. Jessa cepat-cepat bangkit dari duduknya. Namun, sesuatu menyita atensinya. Lampu koridor rumahnya meredup, lalu menyala lagi secara perlahan. Jessa menyipitkan mata, lalu memilih berderap pelan memastikan lorong rumahnya. Bunyi bel rumah kembali terdengar, tetapi tak juga dihiraukan oleh gadis itu.
Lampu koridor masih meredup dan menyala secara lambat. Jessa mengambil raket nyamuknya, lalu tiba-tiba suara teriakan terdengar menusuk telinga.
"Jessa, ini aku Melvin! Buka pintunya!"
Seketika lampu kembali menyala normal. Jessa menurunkan raketnya seraya menghela napas. Gadis itu lalu membuka pintu rumahnya, menatap Melvin dengan tatapan tidak enak.
"Maaf menunggu lama," kata Jessa, "ada yang harus kuurus."
Melvin menggeleng. "Tidak apa-apa. Aku mengerti."
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita langsung berangkat? Aku sudah lama menunggumu," ucap Jessa cepat. Melvin mengangguk setuju, lalu mereka berdua ke luar dari rumah kecil itu dengan tenang.
Sementara itu, di dalam rumah itu, terdapat sebuah asap panas beraroma gosong yang perlahan lenyap tanpa sisa. Semua lampu pun seketika padam.
— Once Upon A Time —
Sesampainya di kafe, Adarsh langsung menyapa Jessa dan Melvin hangat. Laki-laki itu tersenyum lebar, lalu menepuk bahu Melvin. Kedua laki-laki itu kemudian berbincang bersama, melupakan presensi Jessa yang kini tengah menatap Pritha dengan tatapan datar.
"Hei, mau coba minuman di sini?" tawar Pritha. Memang, gadis ini senang sekali menawari makanan ataupun minuman. Ciri khas sekali.
Jessa mengangguk. Gadis itu lalu mengambil tempat duduk di hadapan Pritha. Selagi menunggu pesanan yang sedang dibuat, mereka berbincang ringan.
"Kau sudah lihat foto-foto kemarin, belum?" tanya Pritha ramah, "demi apa pun, semuanya lucu sekali! Aku yakin akan mengingatnya sampai tua."
Jessa tersenyum tipis. Gadis itu melirik Adarsh yang kini bersender di meja bar bersama Melvin di belakang Pritha.
"Jes? Sudah lihat belum?"
Jessa tersentak. Gadis itu cepat-cepat mengangguk. "Ya, aku sudah lihat, kok."
"Kapan-kapan ayo kita main lagi," ajak Pritha, yang hanya ditanggapi Jessa dengan senyuman.
Tak lama pesanan datang. Jessa menyeruput minumannya pelan. Selama itu tak ada perbincangan lagi.
"Hei, Jes. Sejak kapan kau memakai kalung itu?"
Jessa tersenyum memamerkan giginya, tampak bangga saat menatap kalung yang dipakainya. "Sejak lama. Memangnya kau tidak tahu?"
Pritha menggeleng tidak setuju. "Ketika kita pergi kemarin kau tidak memakainya, aku yakin."
"Tidak, Tha. Aku memakainya. Kau yang tidak tahu, mungkin."
Pritha menghela napas. Pandangannya tak lepas dari leher Jessa. Apalagi pada kalung itu.
"Jes, coba lepas kalung itu," pinta Pritha dengan tatapan menyelidik. Jessa menaikkan sebelah alis.
"Kenapa?"
"Coba lepas," pinta Pritha lagi. Jessa menggeleng. Raut wajahnya berubah garang.
"Bilang saja kau iri kan aku dapat memakai kalung cantik seperti ini?" tanya Jessa dengan nada sinis.
Pritha menggeleng. Pandangannya berubah lebih serius daripada perbincangan yang lain.
"Lepas, Jessa. Kubilang, Lepas!" bentak Pritha. Jessa mengetatkan rahang.
"Kenapa aku harus melepasnya, hah? " marah Jessa, gadis itu menatap Pritha nyalang. "Sampai kapan pun aku tidak akan melepas kalung ini, mengerti?! Kalung ini milikku!"
"Hei, ada apa ini?" tanya Adarsh dan Melvin bersamaan. Melvin memandang Jessa dengan tatapan yang sama dengan Pritha. Mereka berdua menatap cemas.
"Kalian kenapa? Jangan bertengkar seperti ini," ucap Adarsh. Laki-laki itu memandang teman-temannya tak habis pikir.
Jessa memandang Adarsh penuh arti, sementara Adarsh menatap kalung safir gadis itu dengan tatapan aneh.
"Mengapa kalian bertiga memandangku begitu?"
— Once Upon A Time —
"Kau yakin tidak apa-apa?"
Jessa mengangguk. "Tentu saja. Ini hanya kalung, Melvin. Bukan sesuatu yang berbahaya."
"Tidak, Jes, itu—"
Jessa menghentikan langkah kakinya. Gadis itu terpaku menatap pemandangan di hadapannya. Melvin menatap arah pandang gadis itu, lalu langsung menutup kedua mata Jessa dengan sebelah tangan. Melvin membalikkan badan gadis itu, sehingga kini Jessa menghadap ke arahnya.
Di depan sana Adarsh dan Pritha sedang berpelukan, di mana gadis berambut keriting itu tampak bahagia. Jessa mengepalkan tangan, lalu langsung berlari dari sana meninggalkan Melvin.
Melvin lalu ikut mengejar Jessa yang berlari cepat di belakang. Rambut gadis itu terurai dan bergerak ringan seiring langkah kakinya. Jessa tiba-tiba merasa kepalanya pusing. Gadis itu menatap langit malam yang kini seakan berputar mengelilinginya. Cairan hangat mengalir dari lubang hidungnya. Jessa menyentuh hidungnya yang berdarah, lalu menatap aspal.
"Astaga, Jessa!" Melvin menatap gadis itu panik. Segera saja laki-laki itu menuntun gadis itu masuk ke dalam taksi yang dihentikannya.
Selama diperjalanan, Melvin telaten membersihkan darah yang ke luar dengan tisu. Jessa menatap laki-laki di hadapannya dengan pandangan sayu. Mengapa ia baru menyadari kalau laki-laki itu sangat peduli padanya?
Sesampainya di rumah, Melvin membantu gadis itu berjalan masuk ke dalam rumah. Kulit gadis itu yang pucat kini semakin putih. Melvin enggan meninggalkan gadis itu sendirian di rumahnya, tetapi Jessa melarangnya untuk menginap.
"Pulang saja, Vin. Aku baik-baik saja," ucap Jessa dengan senyum yang dipaksakan.
"Aku hanya takut terjadi sesuatu," ucap Melvin. Jelas sekali terdengar kekhawatiran di setiap nada suaranya.
Jessa menyentuh bahu Melvin pelan. "Tidak apa. Pendarahan di hidungku juga sudah reda. Terima kasih untuk hari ini."
"Ya sudah kalau ini maumu," ucap Melvin, "aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik."
Jessa mengangguk, lalu memandang punggung Melvin yang kini menjauh. Laki-laki itu menaiki sebuah taksi, lalu menghilang dari wilayah rumahnya.
Jessa memasuki rumahnya dengan langkah gontai sambil menyalakan lampu. Gadis itu sangat letih, hingga kini ia berjalan terseok-seok menuju ke kamarnya. Keriut pintu kamar terdengar ngilu, lalu tiba-tiba gadis itu langsung membanting dirinya ke atas kasur.
— Once Upon A Time —
Ia kembali berada di sini. Di tempat luas yang kemarin malam ia singgahi. Jessa hampir mengumpat kesal karena mengunjungi mimpi ini lagi. Gadis itu ingin sekali bangun, tetapi ia tetap berada di tempat ini.
Suara tiupan angin menyambut dari kejauhan. Jessa menoleh ke segala arah. Sepi. Keheningan ini berbeda dari yang kemarin ia temui. Suara nyanyian merdu beberapa orang terdengar mengisi rasa senyap yang tadi ada. Gadis itu melangkah mencari sumber suara, tetapi presensi Clay yang datang dengan baju serba putih menghentikan langkahnya.
"Kita bertemu lagi," ucapnya. Clay kembali tersenyum, mendekati gadis itu.
Jessa menggeleng takut. Gadis itu menatap Clay dengan alis menukik. "Jangan mendekat!"
"Kenapa? Aku ingin mengajakmu ke sebuah tempat," ucapnya. Clay kembali berjalan, dan seketika laki-laki itu sudah berada di hadapan Jessa, dan menutup sepasang mata gadis itu dengan tangannya.
Setelah itu, betapa terkejutnya Jessa ketika melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya. Laut lepas yang terlihat murni sewarna langit dan daratan yang dipijakinya ditumbuhi rerumputan hijau. Awan-awan tipis mendarat rendah menghiasi pemandangan. Di sisi kanan dan kiri tumbuh pohon besar nan kokoh menjulang menaungi mereka berdua. Jessa berjalan menghampiri pinggir laut, begitu terkesan menyadari wajahnya terpantul bagaikan sedang berkaca di depan cermin. Ia melihat presensi Clay yang tersenyum di sampingnya dari air laut yang bening.
"Ini tempat yang sebenarnya, Jessa," ucap Clay seraya tersenyum tipis. "Kau bisa melakukan apa saja di sini. Semua yang kau inginkan akan terkabul."
Jessa beralih memandang Clay. Gadis itu meneliti raut wajah laki-laki itu, berharap mendapatkan sedikit dusta di sana. Namun, tak ada kebohongan yang berhasil ia temukan.
"Benarkah semuanya akan terkabul?" tanya Jessa.
Clay mengangguk. "Ini rumahmu. Percayalah. Aku tidak mungkin berbohong."
Jessa memejamkan matanya. Gadis itu tak mengerti mengapa ia bisa menutup mata sekalipun ini adalah mimpi.
"Jika kau merasa semesta tempatmu hidup mengkhianatimu, maka kau bisa kembali datang kemari dengan memejamkan mata," ucap Clay seraya tersenyum misterius. "Ketahuilah, Jessa. Setiap kau tidur, kau akan selalu berada di sini."
Dering telepon mengisi seisi kamar. Jessa berlari kecil masuk ke dalam kamarnya, lalu mengangkat panggilan dengan jantung berdebar.
"Jessa!"
Nada tinggi sontak menusuk gendang telinganya. Suara itu terdengar sarat akan amarah, membuat nyali gadis itu menciut seketika.
"Ada apa, Ma?"
"Kenapa kau menghabiskan uang bulanan yang jumlahnya sangat besar itu, hah? Kau pikir mencari uang semudah kau berkedip?" Suara wanita di seberang sana terdengar galak. Jessa bisa merasakan atmosfer tidak enak di sekitarnya. "Dasar anak tidak tahu diri! Kau pasti mabuk-mabukan di sana, kan? Kau pasti bergaul dengan orang tidak benar dan menghambur-hamburkan uang. Katakan, benar, kan?"
"Aku tidak pernah melakukan semua itu, Ma. Aku—"
"Dasar anak tidak tahu diuntung! Aku bekerja keras pagi siang malam untukmu, dan kau! Ah, kepalaku mau pecah rasanya!" bentak wanita di sana. "Pokoknya mulai bulan depan aku akan memotong uang bulananmu. Awas saja jika kau menghamburkan uang lagi! Aku tidak segan—"
Jessa mematikan ponselnya sengit. Gadis itu memijat pelipisnya, tak habis pikir dengan tuduhan ibunya. Bergaul dengan orang tidak benar, katanya? Bahkan Jessa tidak terlalu bodoh untuk menenggelamkan diri ke perkumpulan bebas seperti itu. Mabuk-mabukan? Ha, yang benar saja. Bahkan ginjal gadis itu pun sangat lemah terhadap minuman beralkohol. Menghamburkan uang? Tentu saja tidak. Uang yang ada di rekeningnya digunakan untuk membeli obat yang dikonsumsi ketika ia depresi. Bahkan hal seperti ini ibu kandungnya tidak mau tahu.
Jessa memilih pergi dari rumah itu. Berbekal beberapa lembar uang yang tersisa, gadis itu berniat membeli camilan dan makanan di minimarket terdekat. Gadis itu melangkah pelan, menatap sepasang sepatu converse yang membungkus kakinya.
Sebentar lagi musim dingin. Jessa sangat menantikannya. Gadis itu sudah menyiapkan beberapa pakaian hangat untuk menyambut musim itu. Musim favoritnya, di mana segala perasaannya diibaratkan dengan salju.
Suasana sore yang hampir menjelang malam membuat pendar cahaya lampu membias indah. Jessa memandangi beberapa di antaranya sambil berjalan di trotoar. Gadis itu terlihat sekali sedang menghibur dirinya sendiri, sampai akhirnya perasaan senangnya hilang. Berganti dengan kekecewaan yang membawanya tenggelam ke dalam dasar.
Pandangan Jessa terlempar jauh ke seberang sana. Di tempat sebuah restoran mahal. Di sana terlihat sekali seorang laki-laki sedang bercanda ria bersama gadis di hadapannya. Mereka tertawa bersama, sesekali saling mencubit pipi sedemikian mesranya. Jessa membuang pandangan ke sembarang arah, lalu mulai berjalan menjauhi tempat itu.
Ia kira Melvin berbeda, tetapi nyatanya tidak.
Gadis itu memasuki minimarket, lalu langsung membeli apa yang ia inginkan. Jessa merasa tubuhnya terasa tidak enak, dan benar saja, cairan merah kembali melanda hidung mancungnya. Gadis itu cepat-cepat mengelap hidungnya secara perlahan dengan lengan jaketnya, lalu membawa belanjaannya menuju kasir.
Pelayan kasir tampak simpati kepada Jessa, bahkan menawari gadis itu beberapa helai tisu. Gadis itu menggeleng seraya tersenyum, lalu memeluk plastik belanjaannya dengan langkah lambat nan berat.
Kenapa sejak dulu ia tak pernah merasakan kebahagiaan? Mengapa selalu rasa sakit yang ia terima? Jessa tidak tahu. Setiap tahun, gadis pucat itu selalu meminta secuil kebahagiaan, tetapi seakan tidak pernah didengar, justru perih yang ia dapat terus menerus.
Jessa mendongak, memandang langit kelabu yang kian menggelap. Matanya sayu penuh harap.
Ia ingin sekali pada musim dingin ini, bukan es yang ia rasa, melainkan hangat mentari yang memeluknya kelewat erat.
— Once Upon A Time —
"Aku benar-benar tidak percaya," ucap Pritha seraya memandang dua laki-laki di hadapannya. "Kalian melihatnya juga, kan?"
"Ya, benar." Adarsh mengangguk setuju. "Bagaimana bisa kalung safir itu bersinar aneh seperti itu?"
"Ini bukan sihir, kan?" tanya Melvin ragu. Pritha menggeleng, ia menatap bukunya.
"Kurasa kita memang harus memaksanya melepas kalung itu," ucap Pritha. Pandangannya sarat akan ketakutan. "Aku memiliki perasaan tidak enak."
"Tapi bagaimana caranya?" tanya Adarsh kalut. Laki-laki itu menjambak rambutnya. "Demi apa pun, aku panik sekarang!"
"Kita telepon dia malam ini," ucap Melvin, "kita ajak ke luar, lalu kita akan bersatu untuk melepas kalung itu."
"Bagaimana jika dia tidak mau?" tanya Adarsh.
"Dia pasti mau jika kau yang mengajaknya, Adarsh," ucap Melvin, "dia menyukaimu. Baru sadar?"
Adarsh terdiam. Keningnya berkerut. Pritha memandang Melvin, lalu kembali bicara.
"Ya, Adarsh. Ayo bujuk dia. Sebelum semuanya terlambat," ucap Pritha yakin. Gadis itu memejamkan mata lama, "Aku tidak ingin dia membawa jiwa Jessa pergi."
"Apa yang kau bicarakan?" tanya Melvin dengan mata melotot.
"Kalung itu—"
Tiba-tiba saja vas bunga yang ada di hadapan mereka terjatuh. Padahal suasana kedai sangat sepi dan tidak ada angin yang masuk. Pritha menoleh cepat, saat bayangan hitam melesat melewati mereka bertiga.
"Kita harus cepat bergegas, kawan."
— Once Upon A Time —
Jessa menatap pil yang ada di telapak tangannya dengan pandangan hampa. Gadis itu sudah menyiapkan segelas air mineral di agas nakas. Jessa dengan cepat memasukkan pil itu, lalu meminum air yang dibawanya dengan sekali tegukan.
Jessa menelan pil itu dengan sepasang mata yang memejam menahan rasa pahit. Gadis itu lalu membuka mulutnya, kemudian meminum segelas air hingga tandas. Tak lama berselang, ponselnya berbunyi. Ada panggilan yang masuk. Jessa menggeser opsi hijau di layar ponsel, lalu suara di seberang sana terdengar.
"Jessa, malam ini aku ke rumahmu, ya? Kita jalan-jalan." Suara Adarsh mengalun di telinganya. Jessa terkekeh.
"Hello, Jessa? Kau masih di sana, kan?"
Jessa dengan cepat mematikan sambungan telepon dan melempar ponselnya sembarangan. Gadis berambut pirang itu menyipitkan mata, efek kantuk obat itu mempengaruhinya. Jessa membaringkan diri di atas ranjang, memandang langit-langit dengan pandangan pilu.
Ini adalah titik terendah dalam hidupnya.
— Once Upon A Time —
Sudah kesekian kalinya Jessa mengunjungi tempat ini. Clay menyebut tempat ini adalah surga. Mungkin benar kata laki-laki itu. Lagi pula tempat ini sangat indah, lumayan sama dengan gambaran surga yang diceritakan di buku-buku agama. Gadis itu berlari kecil di ruangan besar itu, menghampiri sesosok bayangan yang kini membelakanginya.
"Clay!" panggil gadis itu. Sosok itu menoleh, tersenyum menyapa kehadiran Jessa.
Jessa menghentikan langkah. Ia tak mengerti mengapa kini ia menghampiri laki-laki itu seperti ini. Padahal beberapa hari yang lalu ia sangat menolak keberadaan Clay. Gadis itu menghela napas. Mungkin karena saat ini benar-benar tidak ada yang bisa Jessa harapkan di kehidupannya.
"Ada apa?" tanya Clay. Laki-laki itu bertanya lembut. Ia berjalan pelan, lalu mengelus kepala gadis itu.
Jessa menunduk. Kilas balik peristiwa pahitnya kembali datang menyerang isi kepalanya. Gadis itu memejamkan mata, berusaha keras menghalau ingatan itu keluar dari memorinya.
"Ingin bercerita?" tanya Clay. Jessa terdiam lama, sampai akhirnya mengangguk.
Clay meraih jari tangan gadis itu, lalu mengajaknya duduk di sebuah kursi putih di sana. Mereka berdua duduk bersampingan, saling berpandangan.
"Apa yang terjadi?" tanya Clay sambil mengelus kepala Jessa.
Jessa mendongakkan wajah. "Aku lelah, Clay ...," ucap gadis itu dengan nada serak, "aku lelah merasakan rasa perih ini. Di sana, tak sekali pun kebahagiaan yang kurasakan. Mengapa aku seperti merasa tidak adil?"
Clay diam menyimak. Laki-laki itu menepuk bahu gadis itu. "Aku tahu bagaimana perasaanmu. Kau tahu, selama kau hidup, kau akan terus merasakan hal seperti itu."
"Aku tahu, Clay. Namun, kenapa? Aku merasa tertekan!" Jessa menutup matanya dengan kedua tangan. "Orang tuaku tidak peduli padaku. Teman-temanku, orang-orang di sekitarku pun tidak ada yang mau tahu!"
Clay bergeming. Laki-laki berwajah rupawan itu memandang gadis di hadapannya dengan pandangan tak biasa. Jessa menarik napas, kembali bersuara.
"Sudah berapa botol pil yang kuhabiskan? Aku sama sekali tidak bisa mengontrol diriku. Semua yang mengelilingiku seakan mengkhianatiku!" ucap Jessa lagi. Pandangan gadis itu berubah sendu. "Aku lelah. Aku tidak mau hidup seperti ini lagi."
Tangis Jessa pecah. Semua beban yang ia pendam lama akhirnya ia keluarkan juga. Gadis itu terisak pelan, merasa luar biasa sakit mengingat perlakuan ibunya, pengkhianatan teman-temannya, serta segala hal kelam dalam hidupnya.
"Sudah, jangan menangis lagi," ucap Clay seraya mengelap air mata gadis itu dengan jari panjangnya. "Ini hanya masalah waktu, Jessa. Kau akan tinggal di sini."
Jessa menggeleng. "Aku tidak mau! Aku ingin tetap berada di sini! Aku tidak ingin bangun lagi!" pekik gadis itu, "aku ingin semua yang kuharapkan dikabulkan! Aku tidak akan meninggalkan tempat ini."
"Kau tidak bisa terus di sini, Jessa, kecuali ...,"
"Kecuali apa?! Cepat katakan!"
"Kecuali aku yang menjemputmu," ucap Clay dengan pandangan tidak biasa.
"Kalau dengan begitu aku bisa tetap di sini, maka lakukanlah, Clay! Aku tidak mau kembali. Aku ingin di sini bersamamu!"
Clay tersenyum. Laki-laki itu lantas menjauh dari Jessa dengan raut wajah misterius.
"Clay, kau mau ke mana?" tanya Jessa bingung. Gadis itu berlari menghampiri Clay, tetapi kakinya seakan dipaku di tempat.
"Aku?" Clay tersenyum miring. "Aku akan menjemputmu, Jessa."
Jessa membuka matanya. Gadis itu memegangi kepalanya yang masih terasa pusing. Gadis itu menyipitkan mata, menyadari kalau ia terbangun tengah malam. Jessa menyentuh kerongkongannya yang terasa kering, lalu ia berjalan ke luar dari kamar.
Jessa melewati lorong gelap yang menuju ke dapur. Hanya ada sinar remang-remang yang menuntunnya. Gadis itu menguap, lalu mengucek mata.
Sesampainya di dapur, Jessa lekas mengaliri kerongkongannya dengan air dingin. Gadis itu melirik ke lorong gelap yang sengaja ia matikan lampunya. Jessa menyipitkan mata, saat melihat sebuah bayangan berkumpul dan bergerak pelan menghampirinya.
Jessa memegang gelas kacanya kuat-kuat. Gadis itu memberanikan diri melangkah mendekat sambil memperhatikan bayangan itu. Ia tak sadar tangannya yang kini memegang gelas sudah gemetar.
Tiba-tiba Jessa menjatuhkan gelasnya. Pecahannya memberai ke mana-mana. Jessa melangkah mundur, tersentak kaget saat telapak kakinya menginjak pecahan kaca. Gadis berkulit pucat itu membulatkan mata, kaget saat melihat sosok itu berjalan mendekatinya.
"Jessa, mendekatlah. Ini aku," ucap sosok itu.
Jessa menutup telinganya. Gadis itu menjerit. Sosok berupa mengerikan itu kian mendekat ke arahnya. Tubuhnya tinggi besar, wajahnya rusak dengan telinga yang runcing. Terdapat gigi-gigi tajam yang terlihat di sana.
"Pergi!" teriak Jessa ketakutan. Gadis itu memejamkan matanya. Sosok itu tersenyum, menambah kesan mengerikan di wajah buruknya.
"Aku datang menjemputmu, Jessa."
Suara itu, mirip sekali dengan Clay. Jessa menyipitkan mata.
"Kau?!"
"Iya, ini aku, Clay."
Jessa menggeleng tidak percaya. Gadis itu melempar segala perabotan yang ada di sana ke arah sosok menakutkan itu. Gadis itu memekik, berteriak nyaring di tengah malam yang hening.
Jessa tiba-tiba bergeming. Gadis itu baru sadar akan sesuatu.
Dengan cepat gadis itu melepas kalung safir yang dipakainya, lalu melempar kalung itu jauh-jauh. Sosok di hadapannya menggeram marah, hendak menyerang Jessa. Namun, gadis itu dengan cepat meraih pisau di rak, lalu melemparnya cepat-cepat.
"Kau tidak akan bisa pergi dariku!" ucap sosok itu, sebelum akhirnya Jessa tertarik kencang membentur lantai dapur.
***
"Kau sudah bangun, oh syukurlah!"
Pritha berujar bahagia saat melihat Jessa membuka kelopak mata pelan. Gadis itu memanggil kedua teman laki-lakinya heboh. Sementara kini Jessa memandang langit-langit kamar dengan raut bingung.
"Jessa, akhirnya kau siuman juga," ucap Melvin bahagia. Laki-laki berambut coklat itu menghampiri Jessa, lalu memberikan segelas air minum. "Ini minum dulu."
Jessa dengan lemas menerima air hangat itu. Ketiga temannya menatapnya lega.
Menyadari raut wajah bingung Jessa, Pritha kembali bicara. "Kau sekarang berada di rumahku."
"Apa yang terjadi?" tanya Jessa penasaran.
Adarsh tersenyum tipis. "Nanti akan kita ceritakan. Sekarang ayo makan dulu."
"Wah, iya benar! Melvin, tolong ambilkan makanan itu, ya!" pinta Pritha.
Melvin mengangguk. Laki-laki itu menyodorkan semangkuk sereal yang baru saja dibuat. Pritha mengambilnya, lalu menyuapkannya ke mulut Jessa.
Jessa membuka mulutnya pelan. Ia tak memiliki cukup tenaga untuk kembali menolak. Gadis itu memejamkan matanya, merasa pusing bukan kepalang.
"Jessa, aku senang kau bangun," ucap Adarsh tulus. "Kami semua menjagamu di sini."
"Kau sudah dua hari tidak bangun, Jessa. Kami khawatir," timpal Melvin.
Tak ada yang bisa Jessa lakukan selain tersenyum. Gadis itu mengemut makanannya. Ia masih mengingat jelas kejadian malam itu. Sosok itu....
"Jessa, kenapa kau tidak bilang kalau kau mengonsumsi pil itu?" tanya Pritha. Jessa menggeleng pelan.
"Aku tak punya pilihan lain."
Ketiga temannya menatap Jessa kasihan. Pritha pun memeluk Jessa, mendekap teman dekatnya itu.
"Maaf jika kami terkesan tidak mempedulikanmu, Jes. Percayalah, kami peduli padamu," ucap Pritha.
"Benar, Jes. Kita semua menyayangimu."
Jessa balas memeluk Pritha. Ia memejamkan mata, lalu berucap pelan.
"Kalian berdua, kemari. Kita berpelukan bersama."
Melvin dan Adarsh mengangguk, lalu mereka memeluk kedua sahabat perempuannya penuh rasa sayang.
Setelah acara peluk bersama, tiba-tiba Adarsh bersuara.
"Oh, ya. Kami sudah mengubur kalung safir itu di tempat yang jauh," ucap Adarsh bangga. "Kuharap kau hanya akan menerima kalung dariku, Jessa."
"Jadi kau ingin memberinya kalung?" tanya Melvin galak.
Adarsh tiba-tiba membungkam mulutnya. Mereka berdua berdebat ringan, sementara kini Pritha menatapnya serius.
"Kami akan selalu untukmu, Jessa."
— Once Upon A Time —
Dua hari berlalu sejak kejadian itu. Selama itu pula Jessa merasa masalahnya terselesaikan secara perlahan. Ibunya datang dan meminta maaf atas kesalahannya selama ini setelah tahu gadis itu tersiksa karena depresi yang diterimanya. Sementara kini, hubungannya dengan ketiga sahabatnya mulai membaik. Jessa merasa Adarsh kian mendekatinya. Sementara Pritha dan Melvin sibuk pada urusan sekolahnya lagi, tetapi masih sempat berkumpul bersama.
Jessa melepas sepatunya, lalu memejamkan mata di depan cermin. Sore ini sangat melelahkan terlebih Adarsh mengajarinya bermain basket. Gadis itu tersenyum di pejaman matanya, lalu perlahan-lahan gadis itu membuka mata.
Ia menatap pantulan wajahnya yang berkeringat. Gadis itu membulatkan mata, saat melihat sesuatu yang menggantung di leher bersihnya. Gadis itu mundur selangkah, tersentak saat tubuhnya membentur sesuatu yang keras.
Jessa menggeleng tak percaya. Tidak mungkin.
Di cermin itu, terdapat pantulan dia dan juga Clay dengan tampang rupawannya. Laki-laki itu tersenyum miring, merasa tergelitik melihat gadis pucat di hadapannya kembali memakai kalung safir kesukaannya.
"Kau cantik, Jessa." []
— fin