Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rumah Arwah
MENU
About Us  

“Ini rumah kontrakanmu,” ucap Ibu.

“Kamu minta tinggal sendiri di sini sejak masuk kuliah,” sambung Ayah.

Setelah kedua orang tua menuntunku turun dari mobil, aku mengamati rumah bercat putih di ujung perumahan ini. Dengan kaki masih agak pincang karena luka, aku dituntun oleh Ibu dan Ayah memasukinya. Rumah yang cukup besar untuk dihuni seorang mahasiswa semester awal.

Perumahan elite memang berisi orang-orang berada. Sunyi. Tidak banyak orang berkeliaran di luar rumah. Tentu lebih nyaman dengan pendingin udara—membuat penghuninya betah berlama-lama di dalam rumah tanpa perlu mencari udara segar di luar. Para warga merupakan kelas menengah ke atas—mereka seolah tidak butuh lagi bantuan dari tetangga.

Sejak mobil keluargaku memasuki gerbang perumahan, tidak tampak aktivitas warga yang berarti. Hanya para pembantu yang sedang menyapu atau pergi-pulang berbelanja. Entah, siapa para pemilik rumah itu? Aku yakin, pasti—sama sekali—tidak mengenal tetanggaku meskipun sebelum amnesia dulu. Apalagi rumahku berada di blok paling ujung. Jalan yang tidak banyak dilalui orang untuk keluar-masuk area perumahan.      

Kondisi tubuhku sudah membaik setelah hampir tiga bulan menginap di rumah sakit. Kecelakaan mobil yang sangat hebat hampir menghilangkan nyawaku. Beruntung, aku tidak sampai meninggal dunia atau menderita cacat permanen. Namun, ingatan jangka pendekku hilang. Memori selama beberapa tahun ini terhapus dari otakku. Kupikir aku masih duduk di Sekolah Menengah Atas. Ternyata—dari cerita orang tuaku—aku sudah kuliah semester tiga.

Aku, Ayah, dan Ibu memeriksa setiap bagian rumah. Rasanya seperti rumah yang benar-benar baru. Aku tidak mengingat rumah ini sedikit pun. Tapi, aku senang tinggal di sini daripada menghuni rumah sakit yang penuh aturan. Aku bisa leluasa melakukan aktivitas apa pun di rumah sendiri. Sebelum kecelakaan itu terjadi, mungkin aku memang seseorang yang suka hidup bebas. Beruntung lagi, kumiliki orang tua kaya. Mereka mampu memenuhi keinginanku.

“Kenapa dulu aku nggak minta beli rumah ini? Cukup dekat dengan kampusku ‘kan?” tanyaku di ruang tamu.

Rumah yang sangat nyaman ini menarik perhatianku. Walaupun terlalu sepi bagi orang yang suka bersosialisasi. Untuk saat ini, cocok bagi pasien yang sedang dalam masa pemulihan sepertiku.

“Waktu itu, kamu minta ngontrak aja. Kamu bilang, kalau lulus kuliah nanti mungkin dapat kerja di daerah lain. Jadi, nggak perlu dibeli,” jelas Ibu.

“Oh, begitu.” Aku hanya menerima saja penjelasan itu. Percuma kuingat-ingat pun tidak akan membuahkan hasil.

“Permisi, Tuan dan Nyonya.” Seorang perempuan paruh baya datang memasuki rumah itu. “Apa saya bisa mulai kerja di sini?”

“Ya, tentu! Vir, kenalkan ini Bibi Tin. Pembantu yang akan melayani kamu dan mengurus rumah, mulai hari ini.”

Ibu memperkenalkan aku dengan perempuan berusia sekitar lima puluh tahunan itu. Dia menjabat tanganku sambil menunduk hormat—seperti yang dilakukannya tadi kepada Ayah dan Ibu. Gerak-geriknya agak canggung.

“Baiklah. Kalau begitu, kami pergi dulu ya. Banyak pekerjaan yang menunggu. Tolong Bibi Tin, layani anak kami dengan baik! Penuhi semua kebutuhannya!”

“Baik, Nyonya.”

Dari teras rumah, kupandangi Ayah dan Ibu yang memasuki pintu tengah mobil. Kendaraan itu melaju pergi. Orang tuaku pebisnis sukses yang jarang di rumah. Karena itu, aku sudah terbiasa tinggal sendirian atau hanya bersama pembantu rumah tangga.

Menggunakan kruk, aku berjalan tertatih memasuki kamar. Aku merebahkan diri di ranjang. Kunyalakan televisi untuk menghibur diri. Mungkin, aku harus mengajak teman-teman berkunjung ke sini agar ramai. Ketika dirawat di rumah sakit, ada beberapa teman kuliah yang menjengukku. Aku tidak mengingat mereka. Yang kukenali hanya sebagian teman SMA. Itu pun mereka tidak sekampus denganku.

Sepertinya, aku memang harus berkenalan lagi dengan teman-teman kampus. Amnesia ini membuatku kehilangan banyak hal. Tidak apa-apa kalau aku melupakan orang yang kubenci. Namun, rasanya aku kehilangan seseorang yang begitu dekat denganku. Entah siapa? Mungkin, aku tidak sendirian saat peristiwa kecelakaan mobil.

Pertanyaan terbesarku adalah, siapa orang yang mengalami kecelakaan bersamaku? Orang tuaku tidak mau menjawab. Kata dokter, biar kondisiku pulih dahulu. Atau, suatu saat nanti aku akan mengingatnya sendiri. Kuharap aku segera ingat. Sementara ini, aku hanya bisa penasaran. Sesuatu yang ganjil menyelimuti pikiranku.

“Vir ....”

Tiba-tiba suara perempuan memanggilku. Terdengar begitu dekat. Bahkan, sangat jelas melebihi bunyi televisi. Aku menoleh.

“Tuan Vir, silakan ini makan siangnya.” Ternyata Bibi Tin, pembantu baru. Dia masuk dari pintu kamar sambil membawa nampan berisi piring.

“Haduh, ngagetin aja! Taruh di meja sini,” gerutuku.

Bibi Tin melakukan tugasnya lalu keluar dari kamar.

 

***

 

Tidak kusangka, rumah ini lebih mencekam daripada rumah sakit. Di sana aku masih bisa melihat orang silih berganti, berlalu-lalang mendatangi kamar perawatanku—yang pasti adalah dokter dan perawat. Sedangkan di sini, hanya Bibi Tin yang mondar-mandir di sekitar rumah. Ditambah lagi, aku belum bisa jalan-jalan keluar. Jangankan menyetir mobil, jalan kaki pun masih kesulitan.

Sejak tinggal di rumah ini, aku juga susah tidur. Mungkin saat di rumah sakit, aku mendapatkan asupan obat tidur atau obat penenang. Sekarang aku baru merasa perlu menenggak obat-obatan yang bisa membuatku terlelap. Aku sangat tersiksa jika harus rebahan di ranjang tanpa bisa memejamkan mata. Pikiranku melayang ke masa-masa kecil, belasan tahun silam. Namun, sangat sulit mengingat kejadian dua tahun lalu. Tepat semenjak masuk kuliah, ingatanku benar-benar musnah.  

Ketika aku sudah coba memejamkan mata, kondisiku tidak mau sepenuhnya masuk ke alam bawah sadar. Aku masih mendengar suara televisi yang semalaman kunyalakan. Jika aku merasa sudah tertidur, sepertinya selalu mendapatkan mimpi buruk. Tidurku tidak pernah nyenyak. Mimpi-mimpi tumpang-tindih bagaikan ingatan bermunculan secara acak. Hingga aku tidak bisa membedakan, apakah itu mimpi atau ingatan masa lalu. Tepat seminggu aku tidur malam di rumah ini, kualami kejadian aneh. Orang Jawa menyebutnya: tindihen.

Pada ujung waktu tidur, rasanya aku ingin bangun tapi tidak bisa. Mataku sudah dapat melihat seisi kamar—pemandangan yang sama seperti sebelum memejamkan mata—tetapi badan seolah membeku. Sekuat tenaga aku berusaha bangun. Tubuhku terbujur kaku tanpa bisa digerakkan. Kulihat ke sekeliling kamar, berharap ada seseorang yang bisa membangunkanku.

Aku tak yakin, antara sadar dan tidak, kutangkap bayangan perempuan dari balik jendela kamar yang tertutup tirai. Pikiranku langsung tertuju pada Bibi Tin. Tidak ada orang lain di rumah ini selain dia ‘kan? Bibirku memanggil-manggil namanya. Namun, suaraku sangat pelan bahkan tak terdengar. Kucoba berteriak lebih kencang, tetap hanya berbisik.

Sosok bayangan perempuan yang semula berdiam diri di jendela, kemudian memasuki kamarku. Dia seperti membawa pisau kecil lalu menggoreskannya di lenganku. Sama sekali tidak terlihat wajahnya yang tertutup kegelapan. Aku hanya bisa pasrah dalam ketakutan.

Betapa lelah memaksa bangun tubuh yang terpaku. Sekuat apa pun kucoba membangunkan diri, terus saja gagal. Bagaimana jika aku tidak bisa bangun lagi? Dalam hati aku membaca doa-doa semampunya. Saat seperti ini membuatku menyesal jarang berdoa. Aku hanya bisa mengucapkan doa-doa seingatku—yang pernah kupelajari di masa kecil. Hingga beberapa lama kemudian, aku terbangun.

Napasku terengah-engah. Jantung berdetak kencang seperti lari maraton. Keringat dingin mengucur deras. Sambil duduk, kuusap wajah dengan telapak tangan. Aku bersyukur bisa bangun dari tidur yang sangat menegangkan ini.

Pagi hari saat mandi, baru kusadari ada luka sayatan. Rasanya perih terkena air. Jika hanya mimpi, kenapa ada bekas luka? Setelah berpakaian di kamar, kucari-cari pisau, silet, atau benda asing yang barangkali tertinggal. Namun, tidak kutemukan benda tajam apa pun.

Sial! Baru sembuh luka kecelakaan di kaki, malah ada luka baru di lengan! Ini kenapa sih? umpatku dalam hati.

 

***

 

Sepekan berdiam diri di rumah untuk memulihkan kondisi, aku sudah merasa bosan. Tak peduli luka-luka baru muncul di tubuhku. Aku masih bisa menutupinya dengan baju. Untungnya, luka-luka itu terletak di bagian tubuh yang bisa tertutup pakaian. Ada sayatan di lengan atas, dada, perut, paha, dan punggung. Luka itu kudapatkan ketika tidur berturut-turut setiap malam. Aku benar-benar bingung, dari mana timbulnya?

Beberapa hari masuk kuliah cukup menghibur hati. Aku bertemu teman-teman yang menyenangkan. Seharian aku berkunjung ke rumah teman yang satu, lalu mendatangi indekos teman yang lain. Aku bertukar nomor ponsel yang baru dengan mereka karena ponsel lama raib sejak kecelakaan menimpaku. Mungkin ponsel itu ikut meledak bersama mobil malangku. Kini aku memilih bepergian dengan naik taksi online atau nebeng teman. Hanya malam hari saja aku tinggal di rumah.

Sebenarnya, orang tuaku sempat mengirimkan mobil pribadi beserta sopirnya. Aku menelepon mereka sebelum memutuskan masuk kuliah. Namun ketika sopir membawa mobil ke rumahku, ada kejadian seram yang kualami. Mungkin pengaruh otakku yang belum sepenuhnya sembuh—atau semacam trauma. Mobil baruku sama persis dengan hadiah ulang tahun ketujuh belas. Mobil yang mengalami kecelakaan.

Awalnya, aku senang dan menyambut kedatangan mobil itu dengan antusias. Bahkan, aku ingin menyetir sendiri seperti dulu. Setelah menutup pintu dan memegang kemudi, aku menoleh ke kursi sebelah. Tepat di depan mataku terdapat perempuan berambut panjang. Wajahnya tak berbentuk. Hancur. Warnanya merah akibat berlumuran darah.

“Aaa ...!” Aku tersentak. Segera aku turun—berlari masuk rumah. Aku menelepon Ayah. Kutolak mobil itu. Kusuruh sopir mengembalikannya.    

Karena itu, aku memilih naik taksi via aplikasi online yang bisa menjemput ke dalam perumahan. Lagipula tanpa membawa mobil, aku lebih leluasa jika mau pergi bersama teman. Biarlah, seperti orang melarat aku nebeng mobil teman-temanku. Yang penting hatiku senang. Seperti hari ini, aku berkeliling kota sepulang kuliah bersama dua teman dekat. Edy dan Rio.

Hingga malam, kami bertiga—aku, Edy, dan Rio—lelah berputar-putar tak tentu arah memakai mobil Edy. Lalu, aku tawarkan mereka menginap di rumahku.

“Edy, Rio, malam ini nginep di rumah gue aja! Gue kan tinggal sendirian.”

“Hah?” Edy melirik Rio di kursi belakang.

Aku duduk di samping Edy yang menyetir. Kutatap raut wajah mereka seperti ragu-ragu.

“Kenapa? Kalian nggak mau?” tanyaku.

“Mau kok. Ayo, Ed! Kita ke rumah Vir,” jawab Rio akhirnya, setelah terdiam beberapa detik.

Kucoba berpikir positif. Walau di pikiran berjejal pertanyaan, mengapa dua orang itu seperti ketakutan saat memasuki rumahku? Ketika aku, Edy, dan Rio sampai di rumah, Bibi Tin menyambut kami. Dia menghidangkan makanan dan minuman yang lezat di ruang makan. Namun, dua temanku ingin menikmati hidangan lain. Mereka membuka tas berisi tiga botol minuman keras. Bagus juga ide mereka.

“Nah, kita minum ini biar makin happy!” Edy menuangkan isi botol ke dalam tiga gelas.

“Gitu dong. Asyik, Bro!” puji Rio.

“Pesta besar, nih! Sering-sering gini, deh. Gue kesepian banget. Kalau perlu, pesta yang lebih seru lagi.” Aku menenggak minuman beralkohol itu. Tubuhku menghangat dan terasa ringan. Sensasi yang sangat melegakan.

Edy dan Rio menertawakanku. Mereka bilang aku terlalu stres dan kurang menikmati hidup.

“Dari dulu emang lo itu raja pesta, Vir. Nggak kapok lo!” Edy memukul punggungku.

“Aw! Kapok apa sih? Heh, gue ada luka di punggung. Jangan dipukul! Sakit tau.” Aku menampar pelan pipi Edy.

“Luka kecelakaan?” tanya Rio.

“Bukan. Luka kecelakaan di kaki udah sembuh. Tapi sejak beberapa hari yang lalu gue tidur di rumah ini, selalu terbangun dengan luka-luka.”

Kubuka kaus oblong. Bagian atas tubuhku terekspos. Kedua temanku bisa melihat sayatan di kulitku dengan jelas.

“Seperti luka sayatan pakai benda tajam. Jangan-jangan, ada yang sengaja ngelukai lo, Vir?” Analisis Edy. Suaranya berbisik.

“Lo tinggal di sini sama pembantu doang ‘kan? Bisa jadi, Bibi ... siapa itu?” Rio celingak-celinguk takut ada yang mendengar ucapannya.

“Bibi Tin? Ah, nggak mungkin! Apa alasan dia ngelukai gue? Salah apa gue sama dia?” Aku tak habis pikir. “Lagian, gue kalau tidur pakai kaus kok. Gimana cara  menyayat kulit tanpa merobek baju?” 

Edy dan Rio berpandangan sambil mengangkat bahu. Mereka juga sama bingungnya denganku. Kami bertiga memandangi kulit dadaku yang bidang dan perutku yang six pack. Sayangnya, kesempurnaan tubuh ini tergores oleh sayatan-sayatan misterius.

“Mungkin tanpa sadar, waktu tidur gue menggaruk kulit sendiri sampai luka,” ucapku menenangkan diri. Hanya itu satu-satunya jawaban paling logis.

“Untung aja lo pakai baju kalau tidur. Mungkin si Bibi bisa terpesona. Bodi lo menggoda, Man!” Rio mencubit dadaku.

“Asem lo, homo!” Aku menjitak kepala temanku yang gendut itu.

“Badan proporsional, muka ganteng, tajir pula. Iri gue sama lo, Vir!” timpal Edy si lelaki kurus. “Pantesan, Liz tergila-gila sama lo dari dulu!”

“Liz, yang selalu duduk di sebelah gue ‘kan pas kuliah?” tanyaku penasaran. “Ceritain tentang dia dong! Gue nggak inget, gara-gara amnesia kampret nih.”

“Apanya yang mau diceritain? Lo kan cuma berteman doang sama Liz.”

“Yang bener, Ed? Gue nggak pacaran sama dia? Dia cantik lho.”

“Nggak. Lo kan pacaran sama ... uhuk!” Rio tersedak lalu menutup bibirnya dengan tangan.

“Heh, bencong! Ember banget sih mulut lo!” Edy menepuk mulut Rio, cowok kemayu itu.

“Gue pacaran sama siapa?” tanyaku yang membuat mereka berdua bungkam. “Kenapa nggak jawab?”

Tiba-tiba lampu di rumah mati. Edy dan Rio menjerit seperti perempuan. Tingkah mereka semakin menyebalkan. Meski harus kuakui, aku juga takut. Mendadak aku teringat sosok perempuan berambut panjang di mobilku. Apakah mungkin?

“Ngapain sih listrik pakai mati segala?” keluh Edy.

“Kalian berdua mau tidur di kamar tamu?” tawaran dariku.

“Di kamar lo aja, Vir,” pinta Rio.

“Ah ... lo mau sekamar sama Vir kan!” kata Edy. “Gue juga ya?”

Aku menertawakan dua orang penakut itu. Tapi dalam hati, aku juga berharap mereka menemaniku tidur malam ini. Mungkin karena terpengaruh Edy dan Rio, aku jadi ikut ketakutan. Sial! Lalu, kuajak Edy dan Rio berjalan ke kamarku.

“Aaa ...! Ampuuunnn!” teriak Edy tiba-tiba.

“Tolooong! Jangan ganggu aku!” Rio terjatuh di depan pintu.

“Hei, kalian kenapa?” tanyaku panik.

Sedetik kemudian, kedua temanku kabur. Mereka berdua lari tunggang langgang keluar rumah. Kukejar mereka dengan langkah seribu. Sampai di halaman rumah, Edy dan Rio bergegas menaiki mobil.

“Ada apa? Edy! Rio! Jawab gue!” bentakku tapi mobil mereka sudah meluncur pergi dari rumahku.

Jantungku berdetak kencang antara menahan marah dan takut. Sebenarnya apa yang dilihat Edy dan Rio hingga mereka ketakutan setengah mati? Saat aku menutup pagar, listrik kembali menyala. Kuembuskan napas lega sambil melangkah ke kamar. Ini sudah tengah malam dan aku mengantuk luar biasa. Kuharap bisa tidur nyenyak hingga besok siang.

 

***

 

Ini adalah pekan ketiga sesudah kecelakaan. Aku berhasil membawa teman perempuan datang ke rumah. Aku tahu, Liz memang tertarik padaku. Sangat terlihat dari caranya memandangiku saat kami berdekatan. Sudah kulupakan tingkah Edy dan Rio—teman-teman sialan itu! Kini saatnya aku bersenang-senang dengan seorang gadis. Rasanya hasrat biologisku terlalu lama terpendam semenjak kecelakaan.

Siang hingga sore hari, aku dan Liz hanya beraktivitas biasa. Kami makan bersama, nonton film, dan mengerjakan tugas kuliah. Setelah penat di rumah, kami pergi jalan-jalan. Menjelang petang, Liz ingin pulang. Dia bilang tubuhnya gerah karena belum mandi.

“Mandi di rumahku aja,” bisikku manja di telinga Liz.

Sekitar pukul enam petang, Liz dan aku kembali ke rumah dengan naik taksi. Sesampainya di rumahku, hari sudah gelap. Teman perempuanku itu menumpang mandi. Kuberikan handuk kecil padanya.

“Aku mandi dulu ya, Vir.” Liz mengedipkan mata lalu menutup pintu kamar mandi.

Jantungku berdebar-debar, kali ini bukan karena takut tapi bergairah. Aku harus menahan beberapa jam lagi agar hari beranjak lebih gelap. Kuperintahkan Bibi Tin memasak makan malam. Aku pun mandi di kamar mandi lain. Semoga aroma harum setelah mandi bisa menambah keseruan malam nanti. Pikiranku sudah dipenuhi berbagai imajinasi liar.

Aku dan Liz selesai mandi dalam waktu hampir bersamaan. Kemudian, kami pun menyantap makan malam yang dihidangkan Bibi Tin. Kami mengobrol banyak hal. Aku sempat menanyai Liz, mungkin dia pernah datang ke rumahku sebelum aku amnesia. Dia hanya menggeleng. Ya, kami kan belum pacaran. Mungkin Liz masih segan datang ke rumahku.

Aku mengajak Liz bersantai di kamar setelah makan. Awalnya, kami berdua duduk di sofa sebelah lemari. Kami memandangi taman samping rumah dari jendela. Entah mengapa, tanpa sadar kami sudah duduk di atas ranjang. Jendela dan pintu pun sudah tertutup rapat. Mungkin kami terlalu asyik berbincang.

“Tapi, kamu suka padaku ‘kan?” godaku.

“Iya. Dari dulu, hanya saja kamu udah punya ....” Liz menggantung kalimatnya.

“Punya apa?” tanyaku. Liz menggeleng pelan.

“Aku suka kamu, Vir. Tapi, aku takut.”

“Takut apa, sih? Aku juga suka sama kamu. Kita jadian, yuk!” Kugenggam tangan Liz erat, lalu kucium pipinya.

Liz memejamkan mata. Tidak ada suara. Mungkin dia sudah menikmati kedekatan denganku. Tanpa menunggu lama, kucium bibirnya. Dia pun membalas dengan ganas. Aku membuka kaus karena terasa gerah. Jemari Liz meraba-raba tubuhku. Sepertinya, dia belum menyadari luka sayatan di kulitku. Posisi kami masih berciuman panas. Tiba-tiba tangan gadis itu mencengkeram sayatan di bahuku. Luka di situ masih baru sehingga sangat pedih rasanya.

“Aw ...,” rintihku setelah mengakhiri ciuman.

Bukannya melepas tangan, Liz justru menancapkan kuku-kukunya ke luka tubuhku. Kukira dia tak sengaja, tapi mustahil dia tidak tahu lukaku yang menganga beberapa centimeter itu. Saat kubuka mata dan menatap mata Liz, betapa kagetnya aku. Mata Liz merah dan memelotot penuh kebencian.

“Ingatkah kamu? Hah!” Liz menjerit lalu mengeluarkan silet dari saku bajunya. Entah sejak kapan dia membawa benda tajam itu?

“Liz, kamu kenapa?”

Kugenggam pergelangan tangan gadis yang mengacungkan silet tepat di depan wajahku.

“Kamu melupakanku. Kamu harus mati!” teriak Liz dengan suara parau yang sangat berbeda dari biasanya. Apa mungkin dia kerasukan?

Dorongan tubuh Liz mampu menjatuhkanku hingga telentang di ranjang. Dia terus berupaya mendekatkan silet ke kulit wajahku. Tidak ada waktu lagi, aku harus menghindar walau secara kasar. Kutendang kuat-kuat perut Liz dengan kakiku.

“Aah ...!” Tubuh Liz terjengkang jatuh ke bawah ranjang. Aku yakin di dalam tubuhnya sudah dimasuki makhluk lain.

Tidak ada rasa kasihan lagi. Aku hanya berpikir untuk menyelamatkan diri. Segera aku melompat ke bawah dan menginjak-injak tubuh gadis itu. Kududuki dia dengan tubuhku yang lebih berotot. Tangan kiriku mencekik lehernya dan tangan kananku menampari pipinya. Aku tidak peduli dia perempuan. Aku harus menang dari serangan makhluk ganas di dalam tubuhnya. Entah apa?

Berulang kali kutampar, akhirnya Liz berhenti mengerang. Dia pingsan. Tubuhnya tak bergerak lagi. Silet di tangannya pun sudah terjatuh. Aku membopong tubuh itu ke atas ranjang. Kuharap dia tidak sampai mati. Bisa-bisa aku dijuluki pembunuh. Dengan panik, aku keluar kamar dan mengambil air minum di dapur. Kupercikkan air ke wajah Liz. Beberapa lama kemudian, dia sadar.

“Vir, aku kenapa?” Liz membuka mata dan bingung.

“Kamu tadi ketiduran.” Aku berdusta. “Sekarang, kamu pulang aja ya. Mau kuantar?”

“Panggilkan taksi aja. Aku bisa pulang sendiri.” Liz menggeleng. Dia menatap ke arah jendela yang tertutup tirai dan ketakutan.

“Oke. Ayo, kubantu ke ruang tamu dulu,” ucapku setelah menghubungi taksi via aplikasi online.

Kemudian, aku menuntun Liz ke ruang tamu. Dia duduk di sofa sambil membereskan penampilannya yang acak-acakan.

“Badanku kok sakit semua, ya? Mungkin kecapekan,” gumam Liz seperti bicara pada diri sendiri. Dia memijit-mijit leher dan bahunya.

“Iya, pasti kamu capek!” tegasku. Ingin kusentuh lagi tubuhnya, tapi dia menghindar. Lagipula, aku takut kejadian yang tadi terulang.

Beberapa menit kemudian, taksi langgananku datang. Aku lega saat menutup pintu rumah. Liz sudah pulang tanpa curiga. Badannya tadi kupukuli tapi aku tidak merasa bersalah. Aku yang bodoh kalau sampai perempuan kesurupan itu mengalahkanku. Untung saja, keadaan bisa kembali normal.

Aku teringat silet yang dijatuhkan Liz di kamar. Pasti sekarang masih ada! Apa mungkin itu silet yang sama untuk melukai tubuhku? Aku berlari menuju kamar dan mencari-cari di bawah ranjang. Tidak ada. Kutelusuri seisi kamar, tetapi silet itu tidak kutemukan. Sial! Ke mana hilangnya silet itu?

“Kamu cari ini?” Suara perempuan berasal dari pintu kamarku yang terbuka.

Aku menoleh dan mendapati Bibi Tin berdiri di sana. Dia mengacungkan silet yang dipakai Liz tadi! Apakah Bibi Tin dalang dari semua kejadian aneh di rumah ini?

 “Apa yang kamu lakukan? Siapa kamu?” bentakku lebih keras dari biasanya saat memerintah Bibi Tin. Aku yakin, di hadapanku sekarang ada makhluk lain dalam tubuh wanita tua itu. Dia kerasukan!

Mata Bibi Tin merah dan memelotot—persis seperti Liz tadi. Dia berjalan menghampiriku dengan silet berkilauan di tangannya. Rambut panjangnya berantakan. Dia sangat mirip nenek sihir yang hendak membunuhku. Naluri lelakiku bangkit. Tanpa ampun, aku mencengkeram pergelangan tangan Bibi Tin dan memelintirnya. Dia mengerang kesakitan. Suara paraunya mengerikan—mirip suara Liz saat kerasukan.

“Keluar kamu! Hadapi aku dengan wujudmu! Jangan merasuki tubuh orang, Setan!” Aku memaki sambil memukuli Bibi Tin membabi buta. Silet di tangannya terlempar ke bawah ranjang.

Tak kusangka, wanita tua itu berlari keluar kamar. Kenapa lagi dengannya? Aku mengejarnya sampai ke dapur. Mataku membelalak. Dia mengambil pisau dapur. Diangkatnya tinggi-tinggi pisau buah itu sambil tertawa cekikikan. Dia pikir bisa menang mengalahkanku. Rasa takut mulai menyelimuti hati. Aku berlari keluar rumah. Berharap ada tetangga yang bisa menolongku.

“Tolong ...!” teriakku di teras rumah.

Rupanya gerakan Bibi Tin lebih cepat saat kerasukan—tidak seperti biasanya yang serbalambat. Dia sudah sampai di belakangku. Dia menikam punggungku dengan pisau. Tertancap dalam. Darah mengucur. Rasa perih merasuk kulitku. Di halaman rumah, aku ambruk bersimbah darah segar.

 

***

 

Aku terbangun dari tidur di ranjang kamar. Untunglah, waktu itu aku berhasil diselamatkan para tetangga lalu dilarikan ke rumah sakit. Bibi Tin diserahkan ke polisi. Dia sudah dipecat oleh orang tuaku. Kemudian, Ayah-Ibu memanggilkan psikiater untukku. Dia bilang, aku menderita semacam self injury sehingga suka menyakiti diri sendiri tanpa sadar.

“Dua kali dalam seminggu, psikiater akan datang ke rumah.” Begitu pesan orang tuaku. Tanpa menungguku sembuh, tadi sore Ayah dan Ibu pergi karena urusan bisnis. Aku pun tinggal sendiri di rumah besar ini.     

Teror semakin nyata. Tengah malam aku terbangun oleh suara rintihan. Padahal aku sudah bisa tidur nyenyak tanpa tindihen. Aku menggerutu geram karena tidur yang terganggu. Suara tangisan perempuan semakin keras terdengar. Aku menajamkan telinga. Lalu, berjalan pelan mencari-cari asal suara ke penjuru rumah. Tidak ada siapa pun!

Dengan kesal, aku kembali masuk ke kamar. Berharap bisa tidur lagi sampai pagi. Namun saat merebahkan diri, pemandangan di ranjangku sangat mengerikan. Aku terperanjat menatap sosok perempuan berbaring di sampingku.

“Vir ...,” panggilnya sambil bola mata merah melirik tajam.

“Siapa kamu?” tanyaku bersiap kabur.

“Ingatlah wajahku, Vir!” ucapnya. Perempuan itu pernah kulihat di mobil.

Sepersekian detik, dia melayang lalu mencengkeram kepalaku. Aku menjerit-jerit kesakitan. Otakku seperti tersengat aliran listrik. Di pikiranku muncul gambar-gambar rangkaian kejadian tiga bulan yang lalu. 

 

***

 

Aku baru saja masuk kuliah semester satu. Di kampus, aku berkenalan dengan teman sekelas bernama May. Karena cantik dan menarik, aku mengajak dia berpacaran. Hubungan kami berjalan dua tahun ketika suatu hari, sebuah bencana terjadi.

Pulang kuliah, aku mengajaknya ke rumah yang kusewa. Rumah kontrakan bercat putih di perumahan elite. Aku memaksa dia bercumbu—melayani nafsuku yang selama ini tertahan. May terus menolak. Aku marah dan menggagahi dia. Edy dan Rio sempat menonton aksiku sebelum pulang pada sore hari.

Bahkan, aku pun menyiksa May. Kuhajar dia melebihi perlakuanku pada Liz dan Bibi Tin. Memakai silet, aku menyayat-nyayat kulit mulus pacarku. Tidak puas sampai di situ, kuambil pisau dapur lalu memotong beberapa bagian tubuhnya. Kulakukan itu sambil tertawa bahagia. Hampir tengah malam, aku membuang jasad May yang sudah tak berbentuk lagi. Aku memasukkan ke dalam koper dan menaikkannya ke mobil. Rencanaku ingin membuangnya ke jurang. Ternyata di jalan, kami mengalami kecelakaan tunggal.

Setelah musibah itu, orang tuaku harus membayar mahal untuk menghilangkan jejak May, gadis korban pemerkosaan dan pembunuhanku. Pihak yang berwajib dapat diberi uang suap untuk menyatakan bahwa May meninggal karena kecelakaan. Mayatnya dimasukkan ke peti. Keluarganya tidak diperbolehkan melihat untuk terakhir kali sebelum dikuburkan. Dia tidak diotopsi di rumah sakit. Apalagi jasad May telah hangus akibat mobil meledak dalam kecelakaan bersamaku. Sedangkan aku tidak terbakar karena sempat melompat keluar dari mobil.

Karena kondisi amnesia, aku dianggap mengalami luka berat. Aku terbebas dari jerat hukum—juga dengan bantuan uang. Ya, kini aku ingat semuanya. Tapi terlambat, May tidak membiarkanku hidup tenang. Dia ingin membalas dendam. Sejak kembali ke rumah ini pascakecelakaan, dia menghantui dan menyiksaku. Kepalaku seperti mau pecah, begitu pula tubuhku kini telah dipenuhi luka. Betapa sakit yang kurasakan, hingga aku ingin mati saja!

 

***

 

Aku seolah terbangun dari mimpi yang sangat buruk. Terdengar seseorang mengetuk pintu rumah. Sambil memegangi kepala yang pening, segera kubukakan pintu. Kulihat perempuan itu mirip psikiater yang pernah dipanggil oleh orang tuaku. Entah mengapa aku menurut saja ketika dia mengajakku masuk ke kamar.

“Vir, kamu sudah ingat? Kamu menderita self injury. Suka menyakiti diri sendiri. Kamu juga cenderung psikopat yang suka menyiksa orang. Bahkan, kamu seorang pembunuh dan pemutilasi!” ucap psikiater sambil terkekeh seolah penyakitku adalah hal yang lucu.

“Apa? Jangan sembarangan ngomong! Aku bukan pembunuh. Mungkin juga, ada seseorang yang melukai tubuhku,” sanggahku keras.

“Kamu masih menyangkal? Kamu membunuh May! Ingat ‘kan?” Suara parau dan mata merah perempuan muda itu mengingatkanku pada para wanita yang pernah kerasukan.

“Kamu?” Badanku gemetar menghadapinya. Tidak salah lagi!

Listrik padam. Rumah gelap gulita. Aku merogoh saku celana—mendapati sebuah korek api dari kebiasaanku merokok. Kunyalakan korek, lalu mendadak muncul wajah seram yang kukenal di hadapanku.

“Ya, aku May!” bisiknya. Korek di tanganku terlempar.

Api merembet di ranjang serta perabotan. Tak menunggu lama, kamar putih ini ditelan oleh kobaran merah membara. Pintu dan jendela terkunci. Tanpa bisa lari keluar, aku meringkuk di pojok kamar. Terasa panas menjilati setiap inci kulitku. Di tengah suhu tinggi, ragaku seolah terpotong-potong oleh besi tajam.

Beberapa lama kemudian, aku membuka mata. Para tetangga datang memadamkan api. Terlambat! Kulihat seonggok mayat yang tidak utuh dan hangus. Mereka memasukkan jasadku yang tersisa ke kantong jenazah.  

 

END 

 

How do you feel about this chapter?

3 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
THE STORY OF THE RAIN, IT’S YOU
866      513     8     
Short Story
Setelah sepuluh tahun Mia pulang ke kampung halamannya untuk mengunjungi makam neneknya yang tidak dia hadiri beberapa waktu yang lalu, namun saat dia datang ke kampung halamannya beberapa kejadian aneh membuatnya bernostalgia dan menyadari bahwa dia mempunyai kelebihan untuk melihat kematian orang-orang.
One hour with Nana
421      295     3     
Short Story
Perkelahiannya dengan Mandala sore itu, membuat Egi dalam masalah. Mandala tewas setelahnya dengan tubuh penuh luka tusukan. Semua orang, pasti akan menuduh Egi sebagai pelaku. Tapi tidak bagi seorang Nana. Bagaimana Gadis berwajah pucat itu menangkap pelaku sebenarnya? Bisakah Egi selamat dari semua kejadian ini?
Test From The Spirit World
398      261     1     
Short Story
Kelly mengalami kecelakaan parah yang nyaris merenggut nyawanya. Namun, untuk mengembalikan rohnya ke dalam tubuh, ia harus menjalani tes dari Petinggi Dunia Roh. Dituntun oleh seorang pengawal roh, apakah Kelly akan berhasil melewati tes tersebut? Jika gagal, tentu saja ia harus menanggung risikonya…
Mawar Milik Siska
550      303     2     
Short Story
Bulan masih Januari saat ada pesan masuk di sosial media Siska. Happy valentine's day, Siska! Siska pikir mungkin orang aneh, atau temannya yang iseng, sebelum serangkaian teror datang menghantui Siska. Sebuah teror yang berasal dari masa lalu.
Cigarette Ghost
507      339     0     
Short Story
Aryan dan Harris akan menghentikan kutukan dari sang arwah gentayangan Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Hantu Perpustakaan Pusat
493      350     2     
Short Story
Jatuh cinta adalah agenda hidup yang memiliki giliran bahagia, sepi dan sedih. Kepergian merawat rindu,untuk apa? Terlalu jauh jika mencoba menyusulnya. Siapa yang menjamin pertemuan jika Habib nekat pergi?Apakah Gulita tetap bersamanya? Cinta dan pengorbanan harus sejalan, demi pertemuan.Haruskah Habib mengorbankan nyawa untuk mendapatkan cinta sejati bersama Gulita. Takdir menjawab ...
Perihal Waktu
433      305     4     
Short Story
"Semesta tidak pernah salah mengatur sebuah pertemuan antara Kau dan Aku"
When You Reach Me
7766      2027     3     
Romance
"is it possible to be in love with someone you've never met?" alternatively; in which a boy and a girl connect through a series of letters. [] Dengan sifatnya yang kelewat pemarah dan emosional, Giana tidak pernah memiliki banyak teman seumur hidupnya--dengan segelintir anak laki-laki di sekolahnya sebagai pengecualian, Giana selalu dikucilkan dan ditakuti oleh teman-teman seba...
Tembung Lakar
969      569     1     
Mystery
P.S: Edisi buku cetak bisa Pre-Order via Instagram penulis @keefe_rd. Tersedia juga di Google Play Books. Kunjungi blog penulis untuk informasi selengkapnya https://keeferd.wordpress.com/ Sinopsis: Dahulu kala di Kampung Jinem, dipercaya ada kedatangan Sanghyang Asri. Padi layu menjadi subur. Kehidupan rakyat menjadi makmur. Kedatangan sang dewi membawa berkah bagi desa. Terciptalah legenda ...
Desa Idaman
475      272     2     
Short Story
Simon pemuda riang gembira karena dimabuk cinta oleh Ika perempuan misterius teman sekampusnya. Pada suatu waktu simon berani menembaknya, tapi Ika diam tak memberi jawaban, maka dia menantang dirinya melamar Ika dan akan mendatangi rumahnya di desa terpelosok. Mampukah ia?