Read More >>"> Aku, dan kamu yang tak terlihat
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Aku, dan kamu yang tak terlihat
MENU
About Us  

Namaku Dyan. Aku hanyalah seorang murid SMA seperti anak biasanya, namun itu hanyalah sebuah harapan, kenyataannya aku hanyalah anak perempuan yang dihindari dan dijauhi oleh teman-temanku yang lain. Semua itu berawal dari 10 tahun silam saat diriku direnggut dari diriku sendiri. Awalnya aku tak mengerti arti kata itu, namun lama kelamaan kata-kata itu memang menggambarkan keadaanku saat ini.

Hal yang paling aku benci adalah cerita horor. Entah mengapa jika ada sesuatu yang berbicara tentang horor, diriku akan marah. Aku akan berontak bagaikan aku terganggu oleh pembicaraan mereka. Namun aku sendiri tak mengerti ada apa dengan diriku ini. Aku dapat membanting, menjambak, menendang, mencekik atau bahkan aku dapat membunuh siapapun yang berbicara tentang 'mereka' disekitarku. Aku benci itu!

Saat ini aku telah berumur 16 tahun. Yang artinya saat ini aku berada dikelas 10. Kehidupanku tak jauh dari kata 'mistis'. Teringat jelas dikepalaku kejadian 10 tahun silam. Kejadian yang membuatku seperti saat ini. Kejadian yang mungkin telah menjadi garis Tuhan, kejadian yang mungkin adalah bagian dari takdirku, aku hanya ingin mengikhlaskan apa yang terjdi pada hari itu, namun nyatanya, aku tak dapat melakukan itu. Aku terjebak dalam penyesalah yang tiada akhir. Benar-benar tak berujung

Aku tumbuh menjadi anak yang ceria, seperti remaja biasanya, kehidupan anak SMA tak jauh tentang asmara, begitupun aku. Saat ini aku telah memiliki pacar yang bernama Reza Xavera yang biasa dipanggil Eza. Aku senang memiliki pacar seperti Eza, tak pernah memintaku untuk menyesali semuanya dan mengajarkanku melepas apa yang telah terjadi.


Ia sama seperti Aji, memiliki kemampuan untuk melihat sesuatu yang tak dapat dilihat orang lain. Aku bingung mengapa ia masih mau berpacaran denganku, padahal jelas ia mengetahui segalanya tentang diriku. Ia selalu berkata padaku bahwa ia mencintaiku apa adanya, tanpa alasan. Ia ingin menjaga diriku dari 'dia' yang selalu ada di sampingku yang menurutnya dapat menggangguku kapanpun. Namun perkataannya itu membuat 'dia' yang dihindari merasa marah.

"Hei Yan, ada apa dengan mu? Mengapa 'dia' terlihat begitu besar dan.. Marah? " ucap Eza begitu melihat mataku yang memerah. Warna merah terang itu mendominasi ruangan latihan saat ini. Keadaan disini sangat sepi, hanya ada aku dan Eza. Eza mulai berjalan mundur diikuti aku yang mulai memojokkannya, hingga akhirnya punggungnya membentur dinding membuatnya tak dapat kemanapun lagi. Aku yang melihat itu hanya tersenyum senang melihat musuhku tak berdaya dan, ketakutan.

"Kau membuatku marah, " ucapku pelan seolah berbisik.

"Yan, sadar! "bentaknya padaku. Namun aku tak menghiraukan itu, aku mulai mengambil sebuah pulpen yang ada di tas milikku. Lalu ku tekan kencang ditengah lengannya, ku gores kearah bawah membuat darah segar bercucuran di lantai. Ia terus memekik kesakitan. Namun sayang, aku tak menghiraukan itu. Aku terus melakukannya berkali kali hingga kakinya merasa tak dapat lagi menopang tubuh besarnya dan terkuai lemas diatas lantai. Aku yang melihatnya hanya tersenyum simpul.

Hingga tangan besarnya menyentuh kepalaku, tepat di ujung kepalaku sambil meringis kesakitan, menyebut namaku dengan mengucapkan kata 'sadar ' membuat diriku langsung tetsadar, bahwa ia telah mengambil diriku lagi. Aku langsung mengambil kotak obat yang berada tak jauh dari posisiku. Dengan cepat aku langsung mengobati tangannya dengan perlahan.

Aku dijauhi oleh teman temanku karena aku selalu mengamuk dalam waktu yang tak dapat di tentukan, tiba-tiba aku menangis ketakutan, lalu aku tertawa sendiri tanpa ada beban. Aku selalu merasa 'mereka' selalu berada didekatku. Selalu tiga kata yang aku dengar saat ingin mengamuk seperti tadi. 'Ayo ikut aku,' kata-kata yang terus mengiang dikepalaku. Kata-kata yang sepuluh tahun terakhir selalu menghantuiku, kata-kata yang selalu memenuhi otakku. Membuatku merasa frustasi, dan membuatku merasa putus asa.

"Za, maaf ya, " ucapku meminta maaf saat telah selesai mengobati luka ditangan Eza tadi. Rasa bersalah mulai menyeruak dihatiku, namun entah mengapa, rasa itu digantikan oleh rasa benci. Aku mulai menangis, menangis keras membuat teman temanku bergidik ketakutan. Setelahnya aku merasa baikan, aku merasa seperti digelitiki oleh orang lain. Aku tertawa, tertawa keras setelah menangis. Banyak orang yang menyangka aku ini gila, namun mereka tak tahu. Bahwa mungkin aku adalah boneka yang dimainkan oleh 'mereka'.

***


Eza kini tengah mencari cara agar dapat menyembuhkanku. Namun tak ada obat yang dapat menyembuhkanku saat ini, satu-satunya yang dapat menyembuhkanku adalah dengan melepasku untuk pergi bersama 'mereka'.  Tapi Eza tak ingin kehilangan diriku. Hanya diriku yang dapat melunakkan hatinya, hanya diriku yang dapat membuatnya tertarik. Dan hanya diriku yang menurutnya dapat menarik hatinya. Aku senang dengan pengakuan itu, namun aku tak dapat menyangkal kesedihan ketika aku harus pergi meninggalkannya. Karena bagaimanapun, aku akan pergi. Entah cepat ataupun lambat.

"Za kamu lihat itu? "tunjuk aku pada rumah kecil dan reyot di ujung taman membuat Eza mengangguk.

"Itu rumahku, "jawabnya. Saat itu Eza sadar bahwa yang disampingnya saat ini bukan Dyan.

"Kamu pernah kesana? " tanya Eza yang dibalas anggukan oleh Dyan.

"Ceritakan," lanjutnya. Lalu dengan sigap aku langsung menceritakan kejadiab sepuluh tahun silam yang membuatku menjadi seperti ini.

10 tahun silam

 

Deru nafasku semakin lama semakin tenang, tanda aku telah tertidur pulas.  Namun suara melengking dari temanku membuat diriku langsung tergelonjak kaget, membuatku spontan menegakkan punggungku.


Aku langsung berlari kecil kearah pintu kamar yang terbuat dari kayu jati murni. Rasa pusing mulai menjalar disekitar kepalaku lantaran aku terbangun dengan keadaan kaget. Namun sebisa mungkin aku menahannya agar tak membuat ibuku merasa khawatir.

"Dek, kamu diajak main oleh Nessa, " ucap ibuku dengan lembut saat aku masih bersandar di ambang pintu kamarku.

"Iya bu, aku akan kesana," jawabku. Lalu segera mungkin aku berlari kearah teras untuk menemanu temanku. Rasa pusing tadi sudah hilang entah kemana saat temanku mengajakku bermain di taman dekat rumah.

Pemandangan yang kulihat pertama kali adalah Nessa dan satu temanku yang lain, Rika. Teman sepantaranku yang berumur kisaran 6 tahun. Aku segera menyapa mereka berdua dan kembali masuk ke rumah untuk sekadar izin oleh orangtuaku untuk bermain di taman.

Dengan cepat ibuku langsung mengiyakan permintaanku. Dikeluarga ini, permintaanku selalu terpenuhi lantaran aku adalah anak sematawayang. Terkadang aku merasa kesepian, terkadang aku merasa telah berteman akrab oleh sepi. Setelah izin, aku langsung berlari kearah teman temanku berada. Aku butuh seorang teman yang dapat menemaniku.

Aku langsung menggandeng tangan kedua temanku dan langsung kuajak mereka kearah arah taman. Suasana di taman sangat sepi, bahkan tak ada anak-anak yang bermain disini. Padahal matahari sudah mulai turun saat ini.

"Kita ingin bermain apa? " tanyaku pada mereka. Mereka yang merasa ditanya hanya menaruh jari telunjuknya di depan dagu, tanda sedang berpikir.

"Mmm bagaimana kalau kejar-kejaran" jawab Rika dengan senyum manis membuatku ikut tersenyum. Namun tidak dengan Nessa, anak itu justru menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Kakiku sedang sakit, tolong jangan main itu supaya aku dapat bermain dengan kalian," ucap Nessa dengan mata berkaca-kaca rasanya aku tak tega melihatnya seperti ini.

Kami bertiga semakin bingung, kemudian Rika mengajak kami untuk duduk di sebuah gubuk yang terletak di pojok taman, gubuk yang terlihat reyot dan tak berpenghuni. Gubuk yang cukup tinggi dengan atap yang berlubang dan dihiasi oleh jaring
laba-laba membuat kesan menyeramkan pada gubuk ini.

"Mmm.. Bagaimana kalau kita bermain kotak pos saja? "usulku. Mereka semua langsung setuju, Nessa tak perlu banyak berdiri. Dan yang terpenting, kami jadi bermain.

Kami langsung mendudukan bokong kami dengan kaki yang bersilah, tangan kamipun saling menimpah dengan membentuk lingkaran. Kemudian aku mulai menyanyikan lagu yang biasa dinyanyikan saat bermain kotak pos.

"kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi isi an bu ida minta huruf apa? " ucapku dengan riang namun perlahan. Suasa semakin lama semakin terasa menakutkan, namun kami tak merasakan perubahan itu lantaran fokus bermain.

Permainan terus berlanjut membuat diriku semakin kalut. Rasanya aku tak ingin pergi dari gubuk ini, aku terus tertawa riang bersama teman temanku. Namun pada puncak permainan, aku harus jaga. Yang artinya mataku harus di tutup oleh kain kemudian aku harus diputarkan sampai aku pusing. Setelah itu aku harus mencari keberadaan mereka disekitar gubuk ini. Seharusnya aku menolak permainan ini sejak awal.

Rika mulai menutup mataku dengan kain yang sebelumnya kami temukan di atas meja tadi, kemudian Nessa dan Rika mulai memutarkan tubuhku membuat rasa pusing itu kembali menghampiri kepalaku. Namun sebisa mungkin aku menahannya.  Setelah mereka melepaskanku, aku langsung berteriak kata 'stop' dengan lantang membuat mereka berhenti berlari meninggalkanku ditengah gubuk.

Aku mulai menempelkan tanganku ke salahsatu dinding gubuk ini, rasanya dingin seperti tak pernah tersentuh sedikitpun. Aku menelan salivaku susah payah, rasanya ini semakin menegangkan. Tak ada yang bersuara, baik Rika ataupun Nessa. Aku terus berusaha mencari mereka walau sebenarnya kakiku sudah mulai bergetar karena takut.

Krieet

Rasanya aku mendengar sesuatu, sesuatu yang berdecit. Aku langsung tersenyum simpul mendengar itu, aku  terus mengikuti arah suara itu datang. Masih dengan mata yang tertutup aku menyusuri gubuk itu dengan senyum yang semakin lama semakin melebar. Semakin aku berjalan kearah suara itu, semakin aku yakin bahwa disitu ada salahsatu dari temanku.

"Dyan, " ucap seseorang di depanku. Rasanya aku ingat suara ini, ini adalah suara Rika. Aku yakin itu.

Senyumku semakin merekah, kemudian aku terus berjalan kearah suara itu. Lagi-lagi aku mendengar suara seseorang memanggilku dari arah berlawanan, itu suara Nessa. Aku sangat yakin akan hal itu.

Suara itu semakin lama semakin gencar memasuki telingaku, selangkah aku berjalan kekiri maka suara disebelah kanan akan semakin kencang dan suara disebelah kiri akan hilang. Begitu pula sebaliknya. Selangkah aku berjalan kearah ke arah kanan maka suara disebelah kiri akan semakin kencang dan suara disebelah kanan akan hilang. Aku semakin yakin bahwa mereka sedang mempermainkanku.

Masih dengan senyuman yang mengembang, aku berjalan kearah kanan, aku merasa sudah berjalan sangat jauh, tapi mengapa tak pernah sampai di ujung gubuk? Namun aku tak mempermasalahkan ini.

Aku berjalan terus kearah suara tadi, semakin lama aku berjalan kakiku semakin berat. Ku yakin itu hanya perasaanku saja. Aku terus berjalan dan akhirnya aku sampai di ujung gubuk itu. Aku tersenyum bangga pada diriku sendiri, namun siapa sangka ternyata di tempat itu tak ada siapapun. Aku tak merasakan apapun disana hanya sebuah balok kayu panjang yang berada disana. Tak ada apapun lagi setelahnya.

"Hei, bukankah perjanjiannya tak boleh berpindah tempat?" tanyaku dengan sedikit lantang. Tak ada yang membalasnya. Kemudian aku sedikit berlari kearah pojok sebelah kiri yang tadi kudengar suara.

Semakin aku berlari semakin berat ku gerakkan kakiku, aku mulai berpikir sesuatu akan terjadi padaku, tapi aku tak yakin apa itu.

Setelah kurasa berlari cukup jauh, namun tak kutemukan seseorang disana. Aku mulai merasa ketakutan berada di gubuk ini. Aku ingin menangis, namun kutahan.

Aku terus berjalan maju tanpa memikirkan apapun, tanganku terasa berat, hanya kakiku yang dapat terus melangkah. Rasa takut kini telah menyelimutiku. Aku segera mungkin membuka kain yang menutupi mataku. Setelah kain itu terlepas aku segera membuka mataku, namun hasilnya nihil. Aku tak dapat melihat, semuanya gelap. Kakiku terasa semakin berat, tanganku terasa mati rasa, sendi-sendiku terasa mati. Aku tak kuat lagi, aku benar benar telah pasrah.

Mataku tak dapat terbuka, kakiku tak bisa berhenti melangkah, tanganku mati rasa, dan yang lebih parahnya kini aku tak dapat bernafas. Segera aku membuka mulutku lalu aku menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Namun hasilnya nihil, cara itu tak berhasil. Aku terus berusaha bernafas meski tubuhku tak dapat kukendalikan.

Aku ingin berteriak sekencang kencangnya, namun kini suaraku hilang seolah terbawa angin begitu saja, aku bingung, aku pasrah, dan aku tak tahu harus bagaimana. Aku menangis keras, namun seolah tak ada yang mendengar, aku merasa aku terbawa ke dunia lain. Aku merasa aneh, rasa ini asing. Aku belum pernah merasakan hal ini sebelumnya.

Nessa dan Rika terus berteriak memanggil namaku, aku yang mendengarnya tak dapat melakukan apapun. Hingga kini, kakiku berada di ujung gubuk itu, seperti tak ada tenaga, tubuhku bagaikan kertas yang dengan mudah terhempas oleh angin begitu saja. Tubuhku terjatuh diatas batu yang cukup runcing. Kepalaku kembali merasakan sakit yang teramat sangat. Aku merasa kepalaku mengeluarkan cairan kental dan amis yang aku yakinkan itu adalah darah.

Aku masih tak dapat membuka mataku, kulit putihku kini berubah menjadi berwarna pucat sedikit biru. Sekujur tubuhku terasa dingin bagaikan es. Saat ini aku berfikir aku akan benar-benar mati.

Namun saat aku berfikir kearah sana, tiba tiba temanku, Rika, memberikan segelas air hangat dari rumahnya tadi. Katanya air itu telah diberi 'bacaan' yang entah aku tak tahu dari mana. Segera aku meminum itu, rasanya mataku dapat terbuka sedikit demi sedikit. Tanganku mulai dapat aku gerakkan, dan kaki ku dapat aku kendalikan saat ini. Namun saat itu entah apa yang terjadi, aku merasa aku bukanlah diriku.

Setelah kejadian itu, teman - temanku beranjak untuk pulang, begitupun aku. Namun aku tak pernah menceritakannya pada kedua orangtuaku. Rasanya mereka tak akan percaya bila aku bercerita tentang hal mistis ini.

Keesokan paginya, aku kembali bermain bersama kedua temanku. Rika dan Nessa. Kami saling bercerita tentang kejadian kemarin yang menimpaku.

"Yan, kamu kemarin itu kemapa berjalan kearah pojok? Padahal disana hanya ada balok kayu panjang," seru Rika dengan antusias

"Bagaimana aku tak berjalan kearah sana? Aku jelas mendengar suara kalian disana," jawabku santai. Namun seketika aku menjadi diam ketika Nessa angkat bicara.

"Padahal kami berada di sisi kebalikannya, dan kami tak mendengar apapun saat itu. Kau yang ada saja, " jawab Nessa.

Aku diam, tak mengerti apapun. Mengapa hanya aku yang mendengar itu? Mengapa hanya aku yang merasa bahwa mereka ada disana? Pertanyaan-pertanyaan aneh mulai menyelusup masuk ke otakku. Namun segera mungkin aku menepisnya.

"Lalu mengapa kau berjalan kearah ujung gubuk itu? Jelas-jelas kami telah memanggilmu keras. Bahkan kau melepas tali penutup matamu sebelum permainan berakhir. Hufft kau curang, " lanjut Rika

"Hahaha iya, kau curang, " balas Nessa.

Aku yang mendengarnya hanya dapat menundukkan kepalaku malu, mereka tak merasakan apa yang aku rasakan. Mereka tak mengerti seberapa sakit yang ku alami saat itu. Bahkan mereka tak tahu seberapa takut aku pada saat itu.

"Kemarin aku melihat kau diajak bermain oleh 'mereka'. Alasan tanganmu tak dapat digerakkan karena mereka menggenggam tanganmu, alasan kakimu berat dan tak dapat dikendalikan juga alasan kau tak dapat bernafas itu karena mereka yang bergelayut dan mengajakmu kerumah mereka, dan alasanmu tak dapat membuka mata karena matamu di tutupi oleh salahsatu dari 'mereka'. Saat itu aku terkejut melihatmu yang masih dapat bertahan saat jatuh dari ketinggian yang lumayan. Bahkan kau selamat dari 'mereka'semua," ucap Aji, kakak laki laki Rika yang memang memiliki kemampuan untuk melihat seseorang yang sebenarnya tak dapat terlihat.

"Be-benarkah? " tanyaku, sungguh kali ini aku kehabisan kata-kata. Kukira sejak saat itu kehidupan ku akan kembali seperti biasanya, namun aku salah. Kehidupanku yang sebenarnya baru saja dimulai.

 

***

 

10 tahun kemudian

 

Saat aku sedang memakan makananku dikantin, tak sengaja kakak kelasku menumpahkan kuah bakso panas membuat amarahku terpancing. Aku tak berbuat apa-apa namun yang terlihat oleh mereka aku sangat marah. Mereka melihat aku menghancurkan semua piring yang ada disini. Namun nyatanya, aku masih duduk di bangku kantin. Aku mendengar dengan jelas suara tangisan kakak kelasku itu membuat diriku meringis, namun aku tak dapat menghentikan 'dia' yang memang sudah bertindak.

 

Semua menjauhiku, menganggap aku monster. Hanya Eza yang menolongku, hanya Eza yang mengerti keadaanku.

 

Setelah kejadian itu aku memutuskan untuk berhenti sekolah. Aku berdiam diri di kamarku tanpa membuka pintu ataupun jendela yang ada di kamarku. Kegelapan telah menjadi temanku, sepi telah menjadi sahabatku.

 

Saat malam tiba, aku menyanyikan lagu 'nina bobo' membuat suasana sedikit mencekam. Suasa malam semakin menakutkan, angin malam semakin menusuk ke pori pori kulitku. Aku terus menyanyikannya dengan nada berbisik. Aku tak menghiraukan angin yang semakin lama semakin kencang, ditambah gemuruhnya langit membuat suasana malam semakin menakutkan.

 

"Kau kesepian bukan? Mari ikut dengan ku," ucap seorang laki laki yang entah darimana asalnya. Aku sedikit tersentak ketika kata-kata itu memasuki gendang telingaku.

 

"ke-kemana? "tanyaku kaget namun entah mengapa lagi-lagi kakiku lemas tak bertenaga. Aku terjatuh begitu saja diatas lantai kamarku. Terlihat disana muncul tangan-tangan dari bawah meja belajar milikku dan mulai meraih kakiku. Aku berteriak kencang, namun nihil aku melihat lelaki tadi tiba-tiba menyerupai diriku dan berjalan keluar kamar. Aku takut, mengapa ini terjadi padaku? Sebisa mungkin aku melepaskan tangan tangan itu dari tubuhku. Namun nihil, itu tak dapat dilepaskan, hingga akhirnya semua gelap. Tak ada lagi cahaya lampu ataupun cahaya rembulan yang menyinari wajahku.

 

***

 

Kini aku terbangun, terbangun di sebuah ruangan kecil tak berpenghuni. Bukan, ini bukan rumahku, ini juga bukan kamarku.  Aku mencoba mengingat saat ini aku berada dimana.

 

Bau amis yang membumbung di dalam sini membuatku merasa sedikit mual, aku ingin keluar tapi aku tak dapat bergerak sedikitpun. Aku melirik kearah bawah tubuhku, terlihat disana darah segar berwarna merah mengalir begitusaja entah darimana. Aku hanya dapat menangis dan menangis,  tak ada yang dapat aku lakukan lagi saat ini. Hanya nama Eza yang terlintas di pikiranku saat ini. Aku menyebutnya terus-menerus, aku berharap ia akan datang dan menolongku setelah ini. Namun kenyataan berpihak padaku, Eza benar benar datang. Aku bingung darimana ia tahu aku ada disini.

 

Ia menolongku, ia membantuku berdiri. Eza langsung memelukku erat dengan berkata 'aku selalu disisimu sayang, ' kata kata itu membuat diriku menangis saat itu juga. Aku membalas pelukannya tak kalah erat, namun sebuah tangan besar menarikku pergi dari sana, aku dipisahkan dari Eza.

 

Eza mengejarku walaupun ia tahu usahanya akan gagal. Ia terus mengejarku, jarak diriku dan dirinya cukup terbilang jauh, akupun tak tinggal diam. Aku mencakar tangan itu dan kembali ke pelukan Eza. Dengan cepat ia memelukku kembali dan memberikan kehangatan pada dinginnya malam ini. Aku benar-benar bersyukur mendapat seseorang kekasih seperti Eza.

 

Ia mencium bibirku dengan lembut, membuat diriku membalasnya. Dan setelah itu ia membawaku pergi dari tempat aneh ini. Dan alangkah kagetnya aku, saat keluar dari ruangan tadi. Ternyata ini adalah gubuk yang sepuluh tahun lalu membuatku seperti ini. Aku benar-benar  tak habis pikir mengapa aku berada di gubuk ini?

 

"Me-mengapa aku bisa berada disini? " ucapku dengan bingung. Eza yang masih memelukku dengan erat hanya menggelengkan kepala dengan sekali lagi mencium puncak rambutku. Ia sama sekali tak melepaskan genggamannya pada bahuku. Aku benar-benar merasa bahwa dirinya tak ingin kehilanganku

 

"Sekarang kau istirahat, aku akan menemanimu disini, "ucap Eza dengan lembut lalu menyuruhku masuk ke kamarku. Aku yang mendengarnya langsung mengangguk patuh dan masuk ke kamarku dan menuruti perkataannya tadi.

 

***

 

"Pak bagaimana dengan Dyan kalau begini terus, pak? " tanya perempuan paruh baya yang tak lain adalah ibunda Dyan.

 

"Kita harus apakan lagi anak ini? Bagaimana kalau kita bunuh saja? " tawar ayah Dyan. Dengan sigap Eza menahannya. Ini yang Eza takutkan jika orang lain mengetahui keadaan Dyan yang sebenarnya. Selalu pembunuhan yang diusulkan oleh setiap orang. Tak ada cara lain, walaupun dalam benaknya ia berfikir bahwa pasti ada cara lain selain membunuh.

 

"Jangan om, ki-kita pasti memiliki cara lain," ucap Eza tergesa-gesa.

 

"Cara apa maksud kamu itu Za? Kami sudah muak dengan tingkahnya yang aneh itu. Sudahlah, " ucap Ayah Dyan dengan nada frustasi. Menurutnya, tak ada cara lain selain membunuh anak sematawayangnya ini.

 

Mereka tak sadar, bahwa aku ada disana, aku mendengar semua itu. Aku sedih, aku tak dapat berbuat apapun lagi, bagaimana bisa orangtuaku melakukan ini pada diriku sendiri. Tidak, ini pasti mimpi. Aku pasti bermimpi. Aku terus berharap bahwa apa yang aku dengar itu bukanlah kenyataan, namun semua itu kandas ketika Eza memasuki kamarku.

 

"Kami harus membunuhmu, " ucap Eza dengan menitikkan airmatanya dihadapanku, sebisa mungkin aku tersenyum agar dirinya yakin bahwa aku baik-baik saja. Namun ternyata salah, semakin aku mengembangkan senyumanku, tangis Eza semakin parah. Aku mengerti perasaan lelaki ini. Aku sangat mengerti.

 

"Aku siap, " jawabku dengan tenang, sebisa mungkin aku tak memicu 'dia' untuk mengendalikan tubuhku ini. Sebisa mungkin aku tak ikut menitikkan airmata, karena kalau itu terjadi, maka keadaan akan semakin memburuk.

 

"Yang benar saja, aku tak ingin kehilanganmu. Kau jangan gila! " ucap Eza sedikit membentak. Aku hanya memamerkan senyuman tulusku.

 

"Bahkan kini kau menganggapku gila seperti mereka, " jawabku singkat tak mebghilangkan senyuman dari wajahku.

 

"Bu-bukan seperti itu. Ak-aku tak kau meninggalkanku sendirian di didunia ini Yan, aku sangat mencintaimu. Sungguh, " jawabnya dengan keseriusan. Terlihat dimatanya. Lagi-lagi aku hanya dapat memamerkan senyuman tulusku padanya.

 

"Jika kau sayang padaku, maka bunuhlah aku. Jika kau tak ingin di dunia ini tanpa ada diriku, maka ikutlah bersamaku pergi, " jawabku dengan bola mata yang sedikit memerah lalu setelah itu aku tertawa dengan keras membuat Eza tahu bahwa yang dihadpannya ini bukanlah aku. Eza menyadari itu, namun ia tak dapat menghentikan 'dia' yang memang ingin bertindak.

 

Eza langsung berlari kearah luar kamarku, tak ingin kejadian sebelumnya menimpa dirinya kembali.  Aku yang memang telah kalut dengan emosi langsung mengejarnya, tak peduli tatapan aneh dari setiap orang.  Kali ini aku benar-benar marah. Aku hampir membunuh setiap orang yang menghalangiku untuk membawa Eza kedalam dunia yang terisi oleh 'mereka'. Sedangkan disisi lain Eza masih berlari dengan sisa tenaganya menghindariku. Ia terus berlari sambil melihatku dengan wajah yang sulit untuk diartikan. Hingga kaki Eza tersandung sebuah ranting pohon membuatku semakin gencar mengejarinya. Dirinya terus berusaha melepaskan ranting itu dari kakinya. Namun usahanya itu tak ada gunanya.  Aku terlebih dulu sampai disana. Dengan cepat ia langsung menyeret tubuhnya sendiri menghindariku yang memang sudah tak dapat terkontrol. Aku yang melihat keadaannya yang sudah tak dapat melawanku hanya tersenyum remeh kearahnya. Aku, akan membunuhnya saat ini juga.

Kini posisiku saling berhadapan, ia telah terpojok pada dinding salahsatu rumah warga. Dengan cepat ia mengeluarkan pisau lipat dari sakunya, ia berniat untuk emmbunuhku saat itu juga. Namun aku dapat melihat itu, dan segera aku memutuskan tangannya yang masih menggenggam pisau. Tangannya itu aku lempar jauh, sedangkan Eza yang melihatnya hany dapat meringis kesakitan saat melihat kini tangannya sudah tak ada lagi.

 

"Aku mencintaimu Yan, tolong sadarlah, kau tak sendirian, " ucap Eza lirih membuatku sedikit tersadar. Aku benar - benar telah sadar saat ini.

 

Aku memekik kaget ketika darah terus mengalir dari tangannya, aku tak dapat mengatakan apapun lagi. Segera aku mencari kain bersih untuk mencegah pendarahan, namun harapan hanya harapan, darahnya sama sekali tidak berkurang. Kini wajah Eza semakin lama semakin memucat, bibir merahnya kini berubah menjadi biru pucat tangan besarnya tergeletak lemah membuatku menitikkan airmata. Untuk terakhir kalinya ia menarik kepalaku untuk mencium puncak rambutku untuk terakhir kalinga. Aku tak dapat menahan airmataku, semua ini salahku, ya ini semua salahku. Aku yang melakukannya, aku yang membuat Eza tiada.

 

Dan benar, kali ini Eza benar-benar menghembuskan nafas terakhirnya dipangkuanku. Aku menangis, ini semua karenaku. Aku menyalahkan diriku sendiri. Bahkan kedua orangtuaku juga menyalahkanku atas kematian Eza. Tak ada lagi yang membantuku disaat seperti ini selain Eza, tak akan ada lagi yang membuatku tenang dan mengabaikan kenyataan selain Eza. Hanya Eza yang dapat membantuku untuk menjalani hidup, namun kini dirinya tiada karenaku. Ia tiada tepat di hadapanku, dan lagi -lagi semua ini karenaku. Aku benar-benar benar putus asa kali ini.

 

Lalu tanpa sadar dari belakangku sebuah pisau lipat tajam menembus jantungku. Sekejap aku melihat kearah jantungku yang telah ditembus oleh pisau itu. Aku ingat, ini pisau milik Eza yang ingin ia gunakan untuk membunuhku saat itu. Bukannya sedih, aku justru tersenyum melihat pisau piliknya yang tertancap. Aku mengusap perlahan jantungku yang semakin lama detakkannya semakin memelan. Aku langsung duduk disamping tubuh Eza yang sudah tak bernyawa. Kusandarkan kepalaku dibahunya.

 

Aku tahu, inilah akhirnya, ini akhir dari kehidupanku. Aku menghembuskan nafas terakhir tepat dua puluh menit setelah cintaku ikut menghembuskan nafas terakhirnya. Aku benar-benar mati dengan keadaan senang. Bersama orang yang kucinta, dan orang yang mencintaiku sepenuh hatinya.

 

Setelahnya aku langsung dimakamkan berdampingan dengan Eza, tak ada yang sedih saat aku meninggal. Justru semua senang tak ada yang mengganggu kehidupan mereka kembali. Mereka senang kehilangan aku yang telah membjat mereka ketakutan setiap saat.

 

Begitupun orangtuaku yang kini sedang asik membereskan segala barang-barang peninggalanku. Semua dibakar habis tak tersisa takut ada sesuatu yang akan terjadi jika tak dimusnahkan. Semuanya hilang, aku bagaikan tak pernah ada didunia ini. Mereka sangat senang ketika aku tiada, karena menurutnya aku hanyalah sebuah bencana.

 

Sedangkan orangtua Eza masih tak dapat menerima kenyataan saat putra sulungnya telah tiada. Ia sangat terpukul saat melihat gundukan tanah bertulisan nama putranya itu ada disini. Mereka masih sibuk menyalahkanku. Mereka menganggapku pembawa sial. Namun memang begitu kenyataannya. Mereka terus memmnangis dengan memeluk gundukan tanah ini.

 

Mereka mengira keadaan mereka telah tenang saat ini, namun fakta berkata lain. Terlihat sesosok lelaki bertubuh jangkung menghampiri mereka semua yang sibuk berpesta karena aku telah tiada.

 

"Kalian hanya membunuh raganya. Bukan aku yang ada didalamnya, jadi bersiaplah, karena saat ini aku sangat marah, karena kehilangan mainanku!" ucap lelaki itu lalu menghilang entah kemana.

 

Tags: tlwc19

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Snow White Reborn
571      321     6     
Short Story
Cover By : Suputri21 *** Konyol tapi nyata. Hanya karena tertimpa sebuah apel, Faylen Fanitama Dirga mengalami amnesia. Anehnya, hanya memori tentang Rafaza Putra Adam—lelaki yang mengaku sebagai tunangannya yang Faylen lupakan. Tak hanya itu, keanehan lainnya juga Faylen alami. Sosok wanita misterius dengan wajah mengerikan selalu menghantuinya terutama ketika dia melihat pantulannya di ce...
Mysterious Call
445      288     2     
Short Story
Ratusan pangilan asing terus masuk ke ponsel Alexa. Kecurigaannya berlabuh pada keisengan Vivian cewek populer yang jadi sahabatnya. Dia tidak sadar yang dihadapinya jauh lebih gelap. Penjahat yang telah membunuh teman dekat di masa lalunya kini kembali mengincar nyawanya.
Save Me
913      544     7     
Short Story
Terjebak janji masa lalu. Wendy terus menerus dihantui seorang pria yang meminta bantuan padanya lewat mimpi. Anehnya, Wendy merasa ia mengenal pria itu mesipun ia tak tahu siapa sebenarnya pria yang selalu mucul dalam mimpinya belakangan itu. Siapakah pria itu sebenarnya?dan sanggupkah Wendy menyelamatkannya meski tak tahu apa yang sedang terjadi?
The Story of Fairro
2273      844     3     
Horror
Ini kisah tentang Fairro, seorang pemuda yang putus asa mencari jati dirinya, siapa atau apa sebenarnya dirinya? Dengan segala kekuatan supranaturalnya, kertergantungannya pada darah yang membuatnya menjadi seperti vampire dan dengan segala kematian - kematian yang disebabkan oleh dirinya, dan Anggra saudara kembar gaibnya...Ya gaib...Karena Anggra hanya bisa berwujud nyata pada setiap pukul dua ...
The Last Guardian
682      364     2     
Short Story
Cahaya telah lama kehilangan jati dirinya. Ia tinggal jauh dari tanah kelahirannya. Namun janji masa lalu itu perlahan menghampirinya, membuatnya untuk menerima kenyataan bahwa dirinya berbeda. Masa lalu itu datang dengan nyata, senyata dirinya yang bisa berbicara dengan alam. Siapakah Cahaya sebenarnya? Siapa laki-laki yang datang menjemput janjinya itu? Mungkin kisah ini merupakan pertarungan t...
Dissociative Identity Disorder
525      282     2     
Short Story
Melanie pindah ke luar kota karena harus melanjutkan studi di kota tersebut. Di sanalah Melanie bertemu dan berkenalan dengan seorang pria. Bukan pria biasa, melainkan pria yang ditakuti oleh semua orang. Namun, Melanie justru tertarik padanya. Begitupun sebaliknya. Namun, ada sesuatu yang tidak diketahui oleh semua orang, yang akan membahayakan Melanie jika terlibat lebih dalam lagi dengannya…
Aldi. Tujuh Belas. Sasha.
465      260     1     
Short Story
Cinta tak mengenal ruang dan waktu. Itulah yang terjadi kepada Aldi dan Sasha. Mereka yang berbeda alam terikat cinta hingga membuatnya tak ingin saling melepaskan.
Peri Hujan dan Sepucuk Mawar Merah
826      470     8     
Short Story
Sobara adalah anak SMA yang sangat tampan. Suatu hari dia menerima sepucuk surat dari seseorang. Surat itu mengubah hidupnya terhadap keyakinan masa kanak-kanaknya yang dianggap baginya sungguh tidak masuk akal. Ikuti cerita pendek Peri Hujan dan Sepucuk Mawar Merah yang akan membuatmu yakin bahwa masa kanak-kanak adalah hal yang terindah.
Misteri Rumah Tua
468      258     2     
Short Story
Nata dan Farah mencoba menyelidiki kasus rumah tua penuh misteri yang membuat mereka berdua merencanakan penyelidikan. Tapi sebelum hal itu terjadi. Misteri lain datang menghampiri. Farah menghilang dan Nata harus menemukan Farah sebelum memecahkan misteri rumah tua itu. Apakah Nata berhasil menyelesaikan kedua kasus itu?
One hour with Nana
335      231     3     
Short Story
Perkelahiannya dengan Mandala sore itu, membuat Egi dalam masalah. Mandala tewas setelahnya dengan tubuh penuh luka tusukan. Semua orang, pasti akan menuduh Egi sebagai pelaku. Tapi tidak bagi seorang Nana. Bagaimana Gadis berwajah pucat itu menangkap pelaku sebenarnya? Bisakah Egi selamat dari semua kejadian ini?