Pukul 01.30 pagi.
Suara mobil ayah terdengar menderu-deru di garasi mobil.
Lampu depannya sangat terang hingga menembus ke jendela kamarku. Kamarku tidak jauh dari garasi mobil. Itu kenapa tidurku menjadi kacau seperti ini, gara-gara deru mesin mobil yang sangat nyaring seperti ingin menantang mobil lain di hadapannya. Tiba-tiba saja aku merasa gerah. Aku menyibak selimutku lalu turun dari kasur, keluar—ayah dan ibu sedang menonton di ruang televisi, jadi siapa yang sedang menyalakan mesin mobil? Apa itu Niko, abangku yang gila—ah, dia tidak tahu etika, kenapa memanaskan mesin mobil dini hari!
Ketika aku keluar rumah, amarahku sudah sampai di ubun-ubun—aku menemukan anak laki-laki berumur delapan tahun yang sedang bermain di samping rumah ku. Anak itu berjongkok kepalanya menunduk, tangannya mencoret-coret tanah yang berpasir menggunakan ranting kecil. “Kenapa malam-malam main disini?” Tanyaku tapi anak itu hanya mencoret-coret tanah—deru mesin mobil masih belum berhenti.
“Kakak, kasih tau mama ku. Aku ada di pantai karang di ujung sana.” Tunjuknya ke arah kebun bungaku, di pojok halaman di sebelah kanan rumah, tepat dibelakangku. Aku yang tak paham hanya mengeryitkan dahi.
Deru mesin mobil berhenti, begitupun lampu depan mobil yang telah meredup.
Kini halaman rumah menjadi reman-remang, hanya ada cahaya bulan yang menyinari langit yang sangat luas tanpa bintang. Sebuah perasaan yang familiar, perasaan yang belum ku mengerti apa yang sedang terjadi. Perasaan itu mengisi tubuhku, mengisi otakku.
Tiba-tiba, mataku terbuka.
Plafon, kursi, meja… buku-buku…
Kamar tidur.
Koper.
Sendirian.
Aku berada di kamar kosan ku, berada jauh dari kedua orang tua dan saudara-saudaraku—Aku berada di tanah rantau.
Aku paham… itu hanyalah mimpi. Aku bangun dari tempat tidur, hanya lima detik, perasaan itu kembali mengerubungi tubuhku. Itu sangat menyebalkan, aku benar-benar tidak nyaman dengan perasaan seperti ini. Perasaan yang tiba-tiba itu tidak hilang begitu cepat, tidak membiarkan aku untuk melupakannya. Aku bangun di pagi hari, dan untuk beberapa alasan aku menangis. Hal seperti ini kadang-kadang terjadi kepadaku.
###
Seorang pemuda umurnya sekitar delapan belas tahun sedang memiringkan kepalanya, menatapku sambil tersenyum saat aku baru saja naik ke atas dermaga, setelah perjalanan menggunakan speed boat selama satu jam dari kota tempat aku transit sebelum menyebrang ke pulau, tempat kelahiran ku. Perjalanan yang cukup melelahkan, aku tidak melanjutkan tidurku malam tadi dan hanya bersiap-siap untuk keberangkatan ke bandara pukul tiga, dan terbang pada pukul lima pagi. Sekarang sudah pukul sebelas pagi. Abangku lagi-lagi telat menjemputku—kini seorang yang tidak ku kenal tampak sok akrab memandangku di ujung sana. Dia cukup lama berdiri di sana, dia tidak menghampiriku. Dia hanya memandangku, membuatku sedikit ngeri.
Sembari aku menunggu jemputan, aku melihat aktivitas di pelabuhan itu lebih sibuk dari terakhir aku lihat, sepuluh tahun lalu. Jadwal kedatangan dan keberangkatan speed boat pun makin sibuk. Namun, pemandangan kali ini … Aku menanyakannya kepada Niko, saat kami tiba di rumah. Sebenarnya aku penasaran apa yang sedang terjadi, tapi aku mengurungkan niatku untuk bertanya dengan orang-orang yang berada di dermaga. Beberapa anak tengelam tiga hari lalu di pantai dermaga ini, dan sampai sekarang belum di temukan, jelas Niko. Itulah jawaban yang sedikit menyentilku saat melihat beberapa Tim SAR, Polisi, dan TNI sibuk di pelabuhan.
Ternyata kebiasaan orang-orang di kampung halaman ku masih belum berubah. Setiap ada kejadian-kejadian mengerikan, orang-orang, hampir satu pulau datang untuk menonton—menonton aksi para tim SAR mencari anak-anak itu di laut. Sampai-sampai keponakanku yang berumur empat belas tahun mengajakku untuk ikut menonton pada sore hari saat dia pulang sekolah. Aku tidak habis pikir apa yang sedang kami tunggu di dermaga itu selain menonton kapal-kapal hilir mudik, dan tim SAR yang timbul-tengelam mencari anak-anak yang hilang itu di laut—Orang yang sama sekali kami tidak kenal. Hanya saja… perasaan itu kembali mengeluti tubuhku. Aku tidak bisa menyangkal, segala jenis gambaran-gambaran itu kembali memeras daya pikirku.
Aku menatap ke arah barat berlawanan dengan pandangan saat orang-orang yang sedang menonton pencarian oleh Tim SAR. Arah yang ku liat adalah ujung pulau. Tempat itu adalah base camp organisasiku sewaktu aku sekolah dulu. Aku banyak menghabiskan waktu disana, sebuah pantai yang cantik—kami selalu berkemah di saat sabtu-minggu atau hari-hari libur lainnya. Meskipun tempat itu adalah tempat favorit ku dan teman-teman ku untuk berkemah hingga memutuskan membuat base camp, hanya saja latar belakang tempat itu tetap tidak bisa di hapuskan. Disana adalah bekas pusat kehidupan orang pertama yang datang ke pulau ini dan tidak jauh dari base camp kami, tempat itu telah menjadi kuburan-kuburan mereka. Banyak cerita mistis disana. Syukurnya, aku dan angkatanku tidak pernah merasakan pengalaman mistis selama berkegiatan di tempat itu.
Pemuda itu berdiri tepat di sampingku, di belakang motor ku yang terparkir. Aku tidak mengenal dia. Aku sangat yakin dia bukan salah satu dari teman ku selama aku tumbuh di pulau ini. Perawakannya sangat aneh, untuk anak pulau yang di kelilingi pantai. Kulitnya yang putih bersih—membuatku berpikir sejenak. “Akhirnya kau datang juga.” Sapanya, dia tersenyum, tapi tidak menatapku, dia menatap ke arah yang sama dengan apa yang sebelumnya ku tatap. “Ada apa disana? Kenapa kau menatap kesana terus?” Aku tidak menjawab, tapi ingin rasanya aku berkata ‘coba saja cari disana ada anak kecil disana. Anak kecil yang tengelam itu.’ Ah, gila kenapa aku tiba-tiba seperti ini. Sialnya, saat itu keponakan ku sedang membeli makanan dan meninggalkan ku sendiri. Aku benar-benar merasa canggung di dekati remaja seperti dia. Aku pikir kami mempunyai perbedaan umur yang sangat signifikan, umurku akan menginjak dua puluh enam sedangkan dia… belasan tahun. Aku tidak suka di dekati remaja seperti dia. Jadi sebelum dia melancarkan aksi modusnya lebih baik aku menjauh darinya.
Setiba di rumah aku mengeluh dengan keponakan ku, Sky. Kenapa dia senang sekali mengikuti trend orang-orang—mengikuti perkembangan yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan kami. Bodohnya aku malah ikut-ikut saja saat dia mengajak ku nonton. Tapi belum beberapa jam aku memarahinya, dia kembali heboh meng-update infonya kepada ku, setelah aku menceritakan bahwa semalam aku memipikan seorang bocah yang tidak ku kenal menitipkan pesan untuk ibunya—Sky memberitahu bahwa dua dari tiga anak yang hilang itu sudah di temukan, sayangnya keadaan dua anak itu sudah tidak tertolong lagi. Anehnya, keponakan ku justru menyimpan salah satu foto mayat anak yang barusan di temukan. Aku tidak habis pikir kenapa dia berani-berani menyimpan foto-foto mengerikan seperti itu.
###
Ini adalah akhir tahun, seperti sudah kejadian umum jika kalau dermaga itu di penuhi mitos yang entah dari kapan mulanya—setiap di penghujung tahun selalu mencari korban, seperti halnya mencari tumbal. Aku tidak mengerti, ini yang di katakan orang-orang di daerahku. Dan sudah banyak kejadian yang mengerikan di dermaga itu, dari halnya nelayan yang hilang, mobil yang masuk ke laut, dan lainnya. Sekarang tiga anak hilang… dan mereka selalu berakhir sama. Mereka di temukan dalam keadaan meninggal.
Aku benar-benar frustrasi saat keluargaku menceritakan kronologis hilangnya anak-anak itu. Sebenarnya yang membuatku frustrasi bukanlah kronologis itu, tetapi tentang anak-anak itu sebelum di temukan.
Aku benci ini terjadi kepadaku… dan aku benci kata-kata yang selalu keluar dari dalam hatiku. Seakan-akan aku mempunyai satu hati yang mempunyai sifat kasar untuk menyumpahi orang-orang untuk mati.
Aku menghela napas saat Sky menceritakan bahwa salah satu anak di temukan di pesisir pantai karang, pantai dimana base camp sekaligus tempat favorit ku sewaktu sekolah dulu. Bukan hanya itu, aku mulai menyadari saat dia menceritakan siapa anak itu … anak itu adalah anak yang beberapa bulan lalu aku pandu sewaktu dia datang di kota rantauku.
Lagi-lagi bayangan itu sudah ada lebih dahulu sebelum kenyataan itu terjadi.
Aku menyadari. Sepertinya ini benar-benar kutukan hidupku. Sayangnya, aku tidak bisa apa-apa dengan kemampuan ku melihat pertanda seperti ini. Aku justru menjadi takut dengan apa yang ku punyai ini. Melihat kematian seseorang.
###
Aku tidak takut dengan roh orang mati, tapi bukan berarti aku tidak percaya. Aku tidak takut karena aku tidak bisa melihat dan aku bersyukur karena aku tidak punya kemampuan untuk itu. Tapi, ini bukan berarti aku bersyukur aku bisa melihat pertanda orang yang akan mati. Kau boleh percaya atau tidak, aku juga tidak ingin ada yang percaya, karena aku tidak ingin menceritakan kepada orang-orang, siapa yang bisa ku baca pertanda itu. Mengetahui tanda-tanda itu saja aku sudah stress berat, bagaimana jika aku menyuruh orang untuk percaya akan hal itu. Lagi pula itu hanya spontanitas.
Karena kemampuan itu juga, membuat aku mengisolir diriku sendiri dari kehidupan orang-orang, membatasi pertemanan, membatasi pertemuan, bahkan aku tidak suka jika seseorang menelepon ku. Aku hanya tidak ingin melihat tanda kematian seseorang yang aku kenal, lebih banyak lagi.
Ini sudah tahun ke sepuluhku melarikan diri dari semuanya. Tahun kesepuluh, dan untuk pertama kalinya lagi aku pulang ke kampung halamanku—jika bukan karena Nenek ku yang meninggal beberapa bulan lalu, mungkin sekarang aku tidak pulang. Saat Nenek di makamkan aku juga tidak pulang … itu karena aku benar-benar frustrasi dengan hal yang mengelutiku selama ini. Seakan-akan aku menyumpahinya untuk cepat-cepat mati. Nyatanya, itu sudah ketentuan tuhan. Tapi cara orang berpikir berbeda… Mungkin akan sama jika aku akan menceritakan kepadamu, jika keluargamu akan meninggal dalam waktu dekat ini. Aku sangat yakin, kau pasti akan menganggap ku pembawa sial.
Itu sebabnya aku menghilangkan diri ku.
Sepuluh tahun lalu, aku bukan seorang yang penyendiri seperti ini. Karakterku yang ekstrovert benar-benar bertolak belakang dengan yang sekarang, kini aku menjadi seorang Introvert. Bahkan mungkin teman-teman kampus, kerja dan dosen-dosen ku tidak pernah menyadari keberadaanku. Aku benar-benar menutup diri dari segalanya. Tapi aku lebih menyukai diriku sendiri, kehidupan ku lebih tenang dengan sedikitnya interaksi dengan orang luar. Dulu, aku sangat senang mendengar orang bercerita, aku adalah tipe orang yang akan menyimak dan mendengarkan orang lain berbicara denganku, penting atau tidak. Aku juga tidak segan-segan menatap mata lawan bicaraku. Namun sekarang, aku tidak seperti itu.
Sepuluh tahun lalu, aku benar-benar menyadari apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku. Aku sangat lama menyadari bahwa kemapuan mengerikan itu sudah lama ku miliki.
Itu berawal dari aku saat baru masuk SMP, aku tidak mengerti sepeti apa kemapuan ku ini. Awalnya aku tidak mengerti kenapa aku seperti menyumpahi orang untuk cepat-cepat mati—hari itu seorang teman sekelasku bercerita bahwa dia bersyukur ibunya yang di rawat selama seminggu di puskesmas, di pulau ku, kini bisa di rawat ke rumah sakit besar di kota. Bukannya mendoakan untuk cepat sembuh aku justru ingin berkata ‘tenang saja, jika ibu mu meninggal aku akan melayat kok.’ Aku tidak mengerti kenapa hatiku berkata seperti itu. Rasanya aneh sekali. Untung saja saat itu aku tidak keceplosan untuk menlontarkan kata-kata itu, jika saja aku mengatakan, mungkin aku sudah dibunuhnya saat itu. Dan kenyataannya, besok harinya kami di kabarkan bahwa ibunya meninggal. Awalnya aku belum paham dengan tanda-tanda itu. Tapi itu terus berlanjut, hati kecil ku sering berbicara spontan seperti itu, berbicara tentang orang yang ku temui akan mati, kapan mati, bagaimana dia mati, sepertinya akan mati sebentar lagi, ada orang yang akan mati. Pertanyaan, pernyataan, penglihatan, bahkan mimpi… hal yang berbau dengan 'kematian' sering muncul di benak dan di hatiku. Orang yang sekilas ku kenal, orang yang sangat ku kenal, bahkan orang yang tidak ku kenal. Semua hal itu membuat ku hidupku tersiksa, aku benar-benar tidak tenang. Mental ku benar-benar terganggu karena itu.
Ada beberapa pengalaman yang benar-benar membuatku tidak bisa melupakan tentang bayangan-bayangan orang yang akan mati. Saat aku membaca firasat teman ku yang meninggal di hari ulang tahun ku, dan teman ku itu adalah orang yang pertama kali ku sadari bahwa aku membawa sial untuk ibunya, orang yang pertama kali ku cium aroma kematiannya. Berlanjut dengan temanku yang meninggal karena kecelakaan, hari itu sebenarnya aku sudah punya firasat yang kuat bahwa dia akan meninggal, semua tergambar jelas di wajahnya dan bau amis darah yang ku cium. Tapi aku tidak yakin dengan itu jadi aku terus-terusan menyangkal. Aku tahu orang-orang itu akan meninggal, tapi aku tidak tahu kapan dan bagaimana dia meninggal. Semua terus-terusan berlanjut… hingga kematian nenek… Hati, pikiran dan mimpiku terus-terus berbicara tentang kematian mereka. Kenapa dia tidak meninggal-meninggal? Bagaimana dia meninggal? Seperti apa nantinya aku jika dia meninggal? Dan bayangan-bayangan nama, wajah, kelakuan orang-orang itu memenuhi benakku. Aku benar-benar seperti mendoakan orang itu untuk cepat-cepat mati.
###
Keesokan hari, setelah selesai ziarah ke makam nenek, seorang perempuan cantik datang ke rumah ku. Dia memanggil nama ku, suaranya terdengar seakan rindunya terbayar. Aku yang masih berdiri di depan pintu pagar hanya memandangnya heran, sambil berpikir-pikir siapa dia. Ada satu menit aku mencoba menggali kenangan, ternyata perempuan itu adalah Bora sahabat dekatku sewaktu SMP dan kami berteman cukup lama sayangnya dia perlahan menjauh karena aku mengatakan tanda-tanda kematian bibinya.
Waktu itu seorang orang tua pikun yang tinggal tidak jauh dari sekolahan kami, tiba-tiba saja menghampiri ketika kami hendak mencari sumur untuk mandi, saat jam istrirahat sewaktu acara PERSAMI di SMP. Orang tua itu tiba-tiba saja mecegah jalan kami dan berbicara asal sambil menatap mata Bora, seakan menghipnotisnya. Orang tua itu mengangap bahwa Bora adalah keluarganya, dia juga menyuruh bora untuk sering-sering pulang ke rumahnya karena dia sangat rindu dengannya. Awalnya kami tidak berpikir aneh-aneh… sewaktu sampai kembali di bumi perkemahan aku tidak sengaja keceplosan berbicara dengan Bora untuk menelpon bibi mudanya, padahal saat itu aku sama sekali tidak tahu kalau Bora punya bibi atau tidak. Aku menyuruh dia meminta maaf, karena sebentar lagi sepertinya dia akan kehilangan bibinya. Saat itu aku berbicara sambil memadangi mata Bora sama seperti orang tua pikun itu, sebenarnya aku bicara dengan kesadaran penuh. Awalnya aku hanya ingin melihat mata Bora yang seperti bule karena berwarna cokelat terang, tapi entah mengapa aku justru bicara spontanitas seperti itu. Jelas sekali Bora tidak senang dengan kata-kata ku, tapi dia tidak terlalu mengambil pusing. Sayangnya, perkataan ku itu justru menjadi kenjataan saat acara api unggun malam itu saat dia mendapat pahit melaui telepon. Dan setelah saat itu Bora tidak lagi bicara dengan ku—aku tidak tahu apaah ini ada hubungannya dengan nenek itu atau hanya kebetulan saja kami bisa merasakan keanehan dari kerabat orang yang akan meninggal dengan cara yang berbeda—Mulai saatitu Bora hanya berbicara seperlunya saja kepada ku, dan persahabatan kami yang seperti prangko itu kian melepas.
Tapi setelah sepuluh tahun aku meninggalkan kampung halaman ku, kini dia hadir dengan senyum manisnya seperti hari-hari pertemanan kami sebelum aku memberi tahu bayangan kematian bibinya.
Aku berjalan memasuki perkarangan rumahku dengan kepala tertunduk. Kemudian Bora berjalan di sampingku, lalu mengulurkan tangannya untuk merangkul sambil berkata. “Kau masih takut melihat mata lawan bicara mu?” Aku hanya tersenyum tipis perlahan melepaskan rangkulannya. Dia berkata lagi, dan kata-katanya membuatku sedikit terenyuh. Dia meminta maaf tentang kejadian beberapa tahun lalu. Sebenarnya dia juga belum bisa memaafkan diri mudanya saat itu yang begitu saja mengambil kesimpulan dan menilaiku sebagai orang pembawa sial. Bagaimana pun dia meminta maaf, tetap saja aku belum bisa membuat diriku seperti dahulu kala. Aku tidak bisa menatap lawan bicara ku, lagi. Bora tidak lama berkunjung ke rumah dan dia lebih banyak berbicara dengan ayah dan ibu dibandingkan aku. Semenjak saat itu aku tidak punya lagi kenangan yang bisa membuat ku bernostalgia dengannya.
###
Aku benci hujan. Aku benci dengar suara air yang menetes, aku benci dengan hawa dingin sewaktu hujan. Aku tidak bisa apa-apa selain menutup kepala ku dengan bantal. Sebenarnya hari ini aku sangat menanti kepulangan Sky, keponakan laki-laki ku satu-satunya. Aku sudah membuat rencana hari ini akan jalan-jalan keliling pulau. Tapi hujan tidak berhenti, membuat Sky tidak pulang lebih cepat dari biasanya. Dia juga dilarang kakak perempuanku, mama Sky, untuk ke rumah orang tua untuk menemui ku. Jadi aku memilih untuk tidur siang hari ini.
Sebuah bunyi lonceng angin yang asing.
Aku terbangun dari tidur siangku. Menatap ke arah jendela yang terbuka. Aku masih mengantuk, aku melirik sejenak ke jam digital di atas meja di sampingku. Belum dua puluh menit aku tertidur. Jendela? Seingatku aku menutup jendela itu, aku benci suasana hujan, jadi tidak mungkin aku membuka. Jadi….
“…Mia…Mia.” Seorang memanggil namaku. Suara seorang laki-laki… laki-laki? “Mia…Mia…” Suara itu… Aku tidak tahu suara siapa itu. Suara itu seakan mendesakku untuk menghampirinya. Aku yang penasaran menarik badanku dari tempat tidur. Aku melihatnya dari balik jendela. Dia melambai melihatku yang berdiri di depan jedela yang berembun. Aku berada di kamarku di lantai dua, dia berada di depan gerbang rumahku. Dia tersenyum.
“Kau tidak…ingat aku?” Dia bertanya ragu, di bawah payungnya, di depan pintu pagarku, saat aku menghampirinya.
Aku tidak mengenalmu.
Tiba-tiba dia menarik tangan ku membawanya pergi entah kemana. Bajuku hampir sebagian basah karena payung kami yang saling bertabrakan. Aku tidak tahu kenapa mengikutinya tanpa mengelak. Aku penasaran. Aku menyadari bahwa aku tidak berhenti memandanginya punggungnya, seorang laki-laki, aku menahan tarikkannya. Kami berhenti di bawah hujan. Jauh dari rumahku.
“Kenapa kau menarikku seenak mu?!” kataku dingin.
Dia tersenyum meski kesedihan tampak di matanya. “Sepuluh tahun membuatmu melupakan ku, ya? Aku sudah lama menunggu mu. Bukankah kau ingin ke pantai bersama ku?” Aku menyentakkan tanganku tapi dia tidak melepaskan tangan ku… dia justru mengenggam tangan ku lebih erat. Tanpa ku sangka-sangka, dia kemudan meraih pundakku dengan sebelah tangannya yang masih memegang payung, lalu menarikku mendekat. Aku ingat pandangan matanya, itu serius, ekpresinya seolah-olah memahami apa yang alam akan katakan hari ini. Detik berikutnya aku menyadari bahwa laki-laki itu memelukku. Tubuhnya menempel di tubuhku. Payungku terjatuh. Tubuhnya yang kokoh mendekapku dengan sempurna membuat detak jantungku mengila. Aku bisa mendengar jelas suaranya.
Aku tidak tahu bagaimana menginterpretasikan kejadian ini. Dia memelukku dengan paksa, tanpa meminta ijin terlebih dahulu. Untung saja jalanan itu sepi karena hujan. Rumah-rumah tertutup rapat. Bagaimana jika orang-orang memergoki kami. Terlebih aku tidak mengenal dia.
Ini jelas-jelas bukan mimpi. Aku mendorong tubuhnya dengan kuat, menjauh dariku. Lalu aku pergi.
Laki-laki berengsek!
###
“Imo!” Sky berteriak memanggilku, lalu masuk ke dalam mobil ayah yang akan ku pinjam untuk berkeliling-keling pulau malam ini. “Jadi kau akan pulang lusa?” aku mengiyakan sambil mengotrol kemudi. Aku menjelaskan aku harus segera bekerja. Walau sebenarnya aku banyak menghabiskan waktu kerja ku di dalam kosan.
Aku seorang developer software, aku bisa berkerja dimana saja. Hanya saja, aku membuat alasan lain agar tidak lama-lama di pulau ini. Rasanya aku ingin menarik keluarga ku keluar dari pulau ini. Tapi mereka selalu tidak setuju dengan keputusan ku.
Malam ini Sky membrontak dengan orang tuanya dan memilih menghabiskan waktu singkatnya dengan ku—Aku sangat dekat dengan Sky, padahal ini pertemuan pertama semenjak dia belum mengerti apa-apa. Aku banyak menghabiskan waktu untuk video call dengan Sky, dan justru malah membuat ku menjadi dekat dengannya—Sky menyarankan ku untuk menghabiskan waktu di pantai di dekat sekolahannya. Bagaimanapun juga, dimana kami berjalan di pulau ini, selalu pantai yang kami temui. Pulau ini sangat kecil dikelilingi lautan yang luas.
Malam ini langit sangat indah walaupun sore tadi hujan baru saja reda. Meskipun sangat dingin tidak menghalangi niat kami untuk singgah. Sky ternyata sangat mengerti, dia memilih untuk mendengarkan lagu di dalam mobil dan memberikan waktu untukku sendiri…
Dalam bayangan samar malam… aku melihat seorang laki-lak berjalan menujuku, bertelanjang kaki. Aku mencoba menghilangkan pikiran konyol ku… hantu? Mungkin nelayan… atau seorang yang menghabiskan waktu malamnya di pinggir pantai. Dan pikiran ketiga itu yang menjadi jawabannya. Sayangnya rintik hujan itu membuat bayangannya semakin menghilang… hujan bertambah deras. Mobil ku terparkir cukup jauh dari tempat ku berada jadi aku memilih untuk berteduh di sebuah pondok tanpa dinding.
Bayangan itu mendekat. Langkahnya tidak terburu-buru. Dia berjalan dengan tatapan kosong. Arah matanya hanya melihat ke pasir. Kini dia berdiri di sampingku, menatap lautan.
Malam itu terasa sangat sunyi.
Laki-laki itu adalah seseorang anak belasan tahun yang tadi siang memelukku.
Dan aku mendengarnya berkata, “Apa kau datang ingin menemuiku?” Sesaat tatapan kami bertemu—dia tersenyum—itu sangat memilukan. Dia mengangkat tangannya lalu melepaskan cincin di jari manisnya. “Karena aku tidak pernah punya tempat lagi dalam kenyataan mu.” Aku tidak ingat siapa dia. Dia tidak ada di memori ingatan ku, di tempat sekecil apapun di dalam ingatan ku. “Simpan ini untukku ya…” Dia menarik tangan ku dengan pelan lalu membuka telapak tangan ku. Aku masih menatapnya. Dia menatap telapak tangan ku dan menaruh cincin disana.
“Apa maksudmu?” Aku ingin melepaskan cincin itu dari gengaman. Tapi dia memegang tangan ku, aku benar-benar kalah dengan tatapannya. Siapa dia?
“Kau melupakan aku… kita berteman dari kecil.” Dia tersenyum lalu mengacak rambut ku dengan lembut. “tapi aku menyukaimu.” Aku menggeleng dengan tegas. Itu tidak mungkin terjadi. Bagaimana bisa aku…
Teman kecil? Dia mengangguk saat aku bergumam. Aku menanyakan umurnya. Dia menjawab dia masih berumur delapan belas tahun. Kami terpaut tujuh tahun. Dan itu… itu tidak mungkin terjadi. “Itu tidak mungkin. Kau tahu umurku berapa?” Dia mengangguk. “Apa kau adik kelasku? Mungkin dulu, aku membuat mu salah paham. Itu tidak mungkin terjadi… jadi pergilah. Lagi pula aku tidak akan tinggal disini. Jadi jangan menaruh harap dengan ku.”
“Aku juga tidak bisa menyusul dimana kau akan pergi. Aku akan disini—Aku sedang menunggu seseorang.” Dia tersenyum sekali lagi, sebelum pergi menembus hujan. Dia meninggalkan cincin itu di tangan ku.
Sky kelihatan terkejut melihatku berdiri di samping mobil, aku basah kuyup masuk ke dalam mobil. “Imo, apa kau melihat kematian anak itu sebelum di temukan?” Aku menoleh saat Sky merebahkan kursinya menjadi tempat tidur. “Apa kau juga melihat hantu?”
“Cukup untuk merasakan firasat itu saja. Itu juga spontanitas. Aku masih belum yakin sampai sekarang—aku bersyukur mata batinku tidak terbuka untuk hal roh-roh seperti itu.”
“Kata mama kau juga sudah tahu eyang kakung akan meninggal? Apa karena kau sering kontak mata dengan orang-orang?”
Aku menghela napas. “Aku tidak melihat. Aku hanya merasakan firasat yang aneh…”
###
Sehari menjelang kepulanganku ke tanah rantau. Aku tidak bertemu lagi dengan anak laki-laki itu. Sampai saat ini aku belum menanyakan namanya dan sampai saat ini ingatan tentangnya—tentang teman kecilku belum juga ku temukan di memori kenanganku. Ku pikir dia berbohong. Cincin yang di berikannya kemarin malam juga masih bersama ku. Aku ingin mengembalikannya, toh tidak ada gunanya juga aku menyimpan. Cincin itu berukuran besar di jari-jariku, dan aku juga tidak ingin menyimpan kenangan singkat ini di memoriku, aku tidak ingin memberikan harapan kepadanya. Dan sore itu aku bertemu dengannya, aku tidak menghampirinya aku hanya melihatnya dari jauh. Melihatnya yang sedang duduk sendiri di pinggir dermaga. Jika aku perhatikan dari pertama kali bertemu anak itu memakai pakaian yang selalu sama, dia selalu mengunakan jaket berwana abu-abu. Dia bahkan tidak menganti bajunya, aku penasaran siapa orang yang di tunggunya? Apa dia menunggu seseorang itu di dermaga? Apa seorang perempuan?
Setelah malam itu, ku pikir anak itu akan terus-terusan mengikutiku. Tapi ternyata dia malah menghabiskan waktunya di pinggir dermaga. Kadang aku memikirkannya—karena pelukan itu, karena tatapan itu. Jelas pelukan itu hanya sekedar rasa rindu dengan teman lama, dia menyukai bukan berarti lebih. Sepertinya aku memikirkan yang bukan-bukan tentang anak itu. Sejujurnya aku masih sedikit binggung, aku masih mencari kenangan tentangnya.
Pagi menjelang kepergian ku, Sky duduk didepan rumah. Ternyata hari ini dia membolos sekolah hanya karena ingin bersama ku sebelum dia benar-benar harus melepasku. Aku tidak pernah merasakan ada saudaraku yang rela berkorban demi mengatarku ke pelabuhan, seperti keponakanku ini. Sky bukan satu-satunya keponakan ku. Tapi dia adalah keponakan terbaik ku. Meski aku sudah melarangnya tetap saja dia ngeyel. Toh, ini cuma sekali jadi aku memakluminya.
Ibuku yang baru saja menyelesaikan pekerjaan rumahnya memintaku untuk berpamitan dengan ibu Shania, tetangga tiga blok dari rumah ku, aku tidak mengenal dengan orang yang di maksud ibuku, karena tidak mau berdebat dengan ibu aku memilih ikut saja, demi menjaga silahturahmi. Sebelumnya kepergian ku ke tanah rantau tidak pernah di iringi dengan pamitan dengan tetangga, aku tidak tahu kenapa ibuku berpikir demikian sekarang.
Ibu Shania, dia seorang perempuan paruh baya, rambutnya sudah banyak memutih, dia menggunakan kaca mata tebal yang melorot di pangkal hidungnya. Saat aku datang ke rumahnya, dia tampak tertegun melihatku—sebenarnya aku bukan perempuan pengguna make up, aku juga tidak cantik—tapi dia melihatku seperti perempuan muda satu-satunya di bumi ini. Dia memegang wajahku sangat lama saat aku tiba di depan pintu rumahnya, sesekali dia mengusap air matanya yang mengalir pelan di ujung kelopak matanya.
Saat ibuku dan Ibu Shania berbincang, aku dan Sky malah berkeliling di ruang tamunya dan saat itu pula aku menemukan sesuatu yang membuatku … ternyata anak laki-laki yang ku temui kemarin itu memang benar teman kecil ku. Aku tidak menemukan foto kami berdua… tapi aku menemukan beberapa fotonya sendiri, dan fotoku bersama ibu Shania di pajangan figura-figura di ruangan itu. Tapi mengapa aku tidak menginggat ibu Shania? Orang di masa laluku?
Ternyata dia memang teman kecil ku… gumam ku yang mendadak membuat ruangan itu menjadi sunyi. Ibuku dan Ibu Shania tiba-tiba saja menghentikan pembicaraan mereka. Aku menyadari keganjilan itu, mendadak aku menoleh ke mereka. Tatapan yang benar-benar… “Jadi dia anak ibu?” aku mencoba mencairkan suasana, bukannya mendapatkan jawaban, lagi-lagi Ibu Shania menatapku sangat dalam, begitupula dengan ibuku. Aku mencoba tersenyum. Mungkin salah bicara. “He-he… Aku bertemu dengannya kemarin.” Aku menambahi.
Ibu Shania berdiri, namun mendadak dia melemas.
“Apa yang kau bicarakan Mia?!” Ibu menimpali, ia segera menghampiri Ibu Shania yang sedang menopang dirinya dii pinggir Sofa. Aku tidak mengerti apa aku benar-benar salah bicara atau…
“Imo! Siapa yang kau temui?” Sky menatapku penasaran, sesekali aku melihat ekspresi terkejut dari matanya. Aku menunjuk ke arah foto anak laki-laki, yang ku temui kemarin, sedang tersenyum di figura itu.
“Kau tidak ingat sama sekali?” Bersamaan, ketiga orang yang bersama denganku bertanya.
Ada apa dengan mereka? atau ada apa dengan ku?
Aku menjawab sejujurnya aku tidak mengginggat siapa anak itu. Saat itu aku melihat Ibu Shania memegang dadanya, ibu memeluknya dari samping dan Sky menjelaskan semuanya. Sky tahu semua… tentangku dan anak itu.
Butuh cukup waktu yang lama aku benar-benar menyadari apa yang sedang terjadi dengan diriku… dengan ingatanku, hati, perasaan ku…
....aku orang yang benar-benar kacau balau.
Aku sangat paham dan tahu, bagaimana pun aku menyesali apa yang telah terjadi dengan ku dan anak itu… Mahesa, itu adalah masa lalu yang tidak bisa ku kembalikan dan ku ubah. Aku menjadi binggung dengan diriku sendiri. Mahesa, orang yang sudah lama ku kenal.
###
Aku berlari menuju pelabuhan sambil mengenggam cincin, di dermaga tempat kemarin aku melihat Mahesa. Sepanjang perjalanan aku menangis sampai mataku kabur dan menyamarkan jalanan yang ku lalui hingga membuatku terjatuh terseret di jalanan menuju ujung dermaga. Sial, cincin itu juga ikut-ikutan jatuh. Aku tidak tahu dimana cincin itu terjatuh, mataku ku begitu kabur untuk melihat sekeliling. Setelah mencoba mengusap mata dan bisa melihat kembali dengan jelas, seorang berjalan kedepanku, aku mendongak untuk memastikan siapa dia. Dia…dia menyodorkan tangannya memberikan cincin itu kembali kepadaku, dan aku tersentak.
Mahesa berdiri di hadapanku sambil tersenyum lebar.
Entah berapa kali aku membayangkan hal ini adalah ilusi. Seketika kenangan masa lalu itu terputar kembali di depan mataku.
Saat aku tidur di pangkuanya ketika dia sedang membaca buku, saat kami masak bersama, saat dia menyuapiku, saat kami bermain di pantai, saat dia mengelus rambutku, saat dia membuat kehebohan di sekolahku, sewaktu menjemputku—dia orang yang sangat terkenal, dia pelajar dari luar yang datang ke pulau tempat aku di besarkan, hanya karena ingin bertemu denganku—saat dia melamarku, dia…
...sebenarnya kami hanya terpaut tiga tahun, dia lebih tua dariku, dia melamarku di perpustakaan saat aku berumur lima belas tahun, aku masih ingat dengan jelas dia memakaikan cincin yang sama dengan cincin yang tidak pernah dilepasnya—meskipun orang tua kami sempat kaget, ternyata mereka juga tidak menyangka ternyata perjodohon kami yang di rencanakan sewaktu kecil mejadi kenyataan.
Orang tua kami berteman, dan tidak di sangka kami berdua jatuh cinta benaran, namun terlalu muda untuk umurku. Sayangnya, aku dan Mahesa bertengkar hebat menjelang keberangkatannya untuk kuliah di luar negeri. Aku melepaskan cincinku dan mengembalikan kepadanya. Aku benar-benar tidak lagi bicara dengannya karena dia mengabaikan permintaan ku agar dia tidak pergi di hari yang sudah di tentukannya, hari yang membuat kami benar-benar berakhir. Aku masih ingat saat-saat terakhir itu… hujan turun sangat deras sekali seperti pertanda ada badai, Mahesa mengirimkan pesan singkat jika dia masih menunggu ku untuk mengantarnya di dermaga…sampai akhirnya…
Dia masih menungguku.
Dia masih menunggu ku dengan senyumya. Senyumnya saat ini mengingatkan ku saat pertama kali bertemu dengannya… saat hujan di bulan Septermber, dia datang menjemputku menggunakan payungnya, dia tersenyum kepada ku dan mengantarkan ku pulang kerumah.
Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengan Mahesa lagi, setelah aku memutuskan untuk pergi menengkan pikiran dan perasaanku yang hancur, sampai-sampai membuat kenangannya menghilang.
….Setelah tubuhnya tidak pernah lagi di temukan sepuluh tahun lalu akibat kecelakaan kapal di laut kepulauan tempat kami bertemu.
Aku melihat bayangan kematiannya saat itu…
Kini, Dia masih menungguku di dermaga ini, dan dia datang bersama hujan seperti pertama kami bertemu.
SELESAI
*Imo: panggilan bibi dalam bahasa korea
@aiana 맞아, 네가 슬프지 않길 바래 ^^