Seribu. Dua ribu…Remaja lelaki itu mendesah. Mengantongi kembali receh yang baru dihitungnya. Sepasang mata nanarnya mengunci fokus pada benda manis yang terpajang di etalase di hadapnya. Sebuah buku merah, berkilau, dengan gadis kecil bertudung merah di sampul depan.
Sekali lagi, sebuah ingatan menghantam keras benaknya. Menggurat satu lagi tambahan luka bagi batinnya. Peristiwa dua minggu yang lalu itu memang tak pernah berhenti menyiksanya. Peristiwa saat ia dan adiknya sama-sama berdiri di depan toko buku ini. Dengan perut menjerit lapar, karena hasil mengamen yang hanya cukup dibelikan permen.
“Mas…Buku merah itu manis sekali, ya? Gambarnya lucu.” Satu luka tersayat. Suara manis sang adik kala itu kembali terngiang. Mengangguk acuh. Hanya itu yang dilakukannya. Waktu itu ia belum mengerti, bahwa kalimat itu sesungguhnya bukanlah tanya. Melainkan sebentuk pinta halus yang spontan tercetus, dari hati sang adik yang mendamba.
“Anak-anak yang pakai baju merah putih itu, udah punya semua.” Luka lain tergores diatas luka pertama. Teringat juga sebuah senyum polos adiknya. Sang remaja menghela napas. Adiknya memang terlalu kecil untuk mengerti, kehidupan anak-anak itu tak sama dengan yang mereka jalani.
Tikaman pertama –bukan sekedar luka-, akhirnya ia dapat lima hari yang lalu. Membuat jiwanya tak henti mengerang hingga detik ini. Adiknya, satu-satunya keluarganya yang tersisa, jatuh sakit. Suhu badannya meninggi drastis, kendati tubuhnya tak putus menggigil. Siang malam matanya terpejam. Kendati bibirnya nyaris selalu berkomat-kamit. Hingga suatu malam, sang adik mengucapkan sesuatu dalam ketak sadarannya. Sebuah desah yang sontak menggugah kesadaran sang remaja!
“Buku itu, Mas…Sampul merahnya manis…”
Seketika pikiran sang remaja berkecamuk. Memutar ulang memori saat mereka melihat buku itu untuk pertama kali. Dan sebuah dugaan pun terbentuk. Kemungkinan adiknya sakit karena buku manis bersampul merah itu! Sebuah tekad pun terlahir bersama pengertiannya. Menggelorakan semangat dalam dada. Demi adiknya tercinta, ia harus mendapatkan buku itu! Bagaimanapun caranya!
Usaha pertama dimulai keesokan hari. Sang remaja menanggalkan sejenak profesi “mengamen”-nya. Dilangkahkannya kaki ke perkampungan. Dan hati mengarahkannya ke sebuah toko kelontong. Dilamarnya pekerjaan disana. Menjadi apa saja. Sesaat sang juragan bimbang. Sudah jelas apa yang terlintas di otaknya.
“Anak tanggung begini, bisa apa sih?! Paling-paling angkat tabung LPG tiga kilo juga tidak mampu!”
Keraguan itu tak membuat sang remaja menyerah. Mulutnya tak henti memelas. Tak ayal, sang juragan pun iba. Jadilah hari itu, hari pertama sang remaja jadi kuli serabutan!
Sayang, semua tak berjalan semestinya. Tak sampai dua hari, ia sudah dipecat. Alasannya begitu sepele. Sejenis alasan yang mungkin akan membuat kening sebagian orang berkerut. Namun sepertinya, hukum seperti itu tak berlaku bagi kota ini. Bagi metropolitan yang sudah sekian lama tak lagi mampu bermawas diri.
“Sejak ada kamu, pembeli saya berkurang drastis. Mereka takut padamu. Menurut mereka, anak jalanan itu liar, tak bisa dipercaya, hanya merusak.”
Kegagalan pertama tak surutkan ambisinya. Namun setelah gagal kesekian kali, keyakinannya mulai sekarat. Diracuni keputus asaan. Karena nyaris semua penolakan yang ia terima, beralasan sama. Karena ia anak jalanan! Oh Tuhan, sesungguhnya apa yang orang-orang itu pikirkan?
Dan kembalilah ia ke jalan. Ke hampar beton yang bertahun-tahun setia memangkunya. Pasrah, ia putuskan menabung sedikit demi sedikit penghasilannya. Hingga hari yang dinantikan pun tiba. Terkumpullah sejumlah uang. Cukup banyak untuk membeli buku merah yang lumayan mahal itu.
“Adik…Kamu yang sabar, ya. Sebentar lagi Mas belikan buku merah itu buat kamu…” bisik sang remaja. Mencium pipi sang adik yang terhalang gerai rambut. Sang adik bergeming dalam pasinya. Hanya menghela napas pelan. Namun ia tahu, sepulang membeli nanti, sang adik pasti langsung melonjak bangkit. Memeluknya sambil berseru riang. Berterima kasih.
Dengan harap-harap cemas, sang remaja menuju toko buku. Setengah berlari. Meski semalam sudah ia pastikan buku itu masih ada, rasa takut tetap membayang. Bagaimana jika pagi ini, satu buku yang tersisa itu sudah laku? Bagaimana jika ia terlambat, dan sia-sia sudah jerih payah untuk menyenangkan “gadis cilik”-nya itu?
Syukur ia panjatkan, begitu tiba di tujuan. Buku bersampul merah kian manis itu masih bertahta anggun diatas singgasana etalasenya. Terburu-buru, ia menghampiri buku itu. Membayarnya juga dengan tergesa-gesa. Entah mengapa, ia merasa harus segera menyelesaikan “tugas”-nya ini. Ia harus cepat pulang.
Tanpa disadari, sepanjang perjalanan pulang, ia berlari. Terbayang di pikirnya paras adiknya yang beku. Pucat pasi. Tanpa ekspresi. Dadanya mulai terasa bak terimpit. Setiap napasnya yang tersengal keluar bersamaan dengan air mata. Bodohnya ia! Berapa minggu sudah adiknya tergolek sakit seperti itu? Mengapa tak pernah terlintas niat untuk membawanya berobat?
Bingung. Panik. Suasana hati sang remaja bercampur aduk. Kesadarannya akan alam sekitar tersesap habis. Hanya sang adik yang dipikirkannya kini. Ia terus berlari, berlari, hingga sebuah jerit histeris memecah riuh. Sebuah dentum menggema udara. Sebuah rasa luar biasa sakit ia terima…
Terang di matanya berubah jadi remang cahaya. Sang remaja mencoba menarik napas. Namun oksigen seolah enggan memasuki paru-parunya.
Teringat sang adik, ia mencoba bangkit. Namun segenap tubuhnya menolak menuruti. Ia hanya bergetar. Samar-samar dilihatnya buku itu. Buku merah berkilau yang tak lagi manis, melainkan getir. Karena kini, “merah yang lain” telah berbaur dengan merah sampulnya. Sekuat tenaga, diraihnya buku itu. Ditenggelamkannya dalam dekapannya.
“Adik, maafkan Mas…” bisiknya putus-putus.