Tik – Tok – Tik – Tok
Lamat-lamat Lyra menatap jarum jam digital di layar handphone, membandingkan dengan jam berwarna krem yang tersemat di pergelangan tangan. Sisi-sisinya memang sudah pecah, namun ia enggan meninggalkan benda itu terpajang sebagai barang simpanan di lemari, atau menjelma bak sebuah peninggalan kenangan dalam kardus. Terlalu berharga. Satu kata yang menggambarkan betapa dirinya tidak ingin lepas, meski di mata orang lain hanya sebuah pengingat waktu yang murah.
Bahannya alumunium, dapat ditemukan pada kios-kios pinggir jalan yang selalu ramai pengunjung. Terpampang lebar di depannya; ‘Jam Tangan Murah Mulai 25 Ribu’. Lyra tentu tahu, karena yang membelikannya mengajak ia serta ketika itu. Berhimpitan dengan hiruk pikuk manusia yang satu sama lain mengabaikan budaya mengantri, atau setidaknya sekedar menyingkir jika tidak terlalu berkepentingan dan sudah membeli. Dari sanalah, ibu Lyra dapat membeli hadiah istimewa ini.
Teringat bagaimana dahulu ketika sekolah, bahkan untuk berharap memiliki baju lebaran pun dia tidak sanggup. Dan untungnya, itu tidak lagi dirasakan oleh adik-adiknya. Semoga saja.
“Bapak Setyo ....”
Suara berat dari arah informasi ruang IGD mengagetkan, lantas dengan terburu gadis itu bangkit dan menghampiri. Saat itulah ia sadar bahwa ibunya tidak ada di tempat. Entah apa yang dipikirkannya hingga lupa memperhatikan sekitar. Kemudian pesan masuk ke layar handphone, dengan getar yang tidak asing.
My mom
Ibu urus keperluan administrasi ke desa untuk pengajuan bantuan dulu. Kalau ada apa-apa, telepon ya Teh.
“Iya, Pak.”
Petugas tersebut mengamati Lyra sebentar, “Keluarga bapak Setyo?”
“Iya, saya anaknya,” jawab Lyra mantap.
Pria berjanggut tipis yang masih muda dengan wajah segar tersebut memberikan beberapa lembar kertas. “Silahkan dibawa ke pusat informasi rawat inap ya, Bu.”
Lyra mengernyitkan dahi. Apa dia se-tua itu hingga dipanggil ‘Bu’?
“Segera ya, Bu. Biar bapaknya bisa langsung di antar ke lantai atas.”
Dengan terpaksa gadis itu menelan rasa herannya, kemudian tersenyum, “Makasih, Om.”
“Om?”
Lyra meninggalkan lelaki itu segera, dimana tatapannya terasa terus menuju pada dirinya karena panggilan yang ia sematkan sebelum pergi. “Sukurin!” gumam Lyra senang.
***
“Sudah punya KTP, mbak?” tanya karyawan wanita yang dengan cekatan mengatur berkas rawat bapak Lyra. “Sudah.”
“Sudah lebih dari dua puluh tahun?”
Lyra membatin, Apa-apaan ini? Tadi disangka ibu-ibu, sekarang disangka anak kecil. Bingung saya.
“Iya, sudah,” ucap perempuan itu setelah merogoh E-KTP dari dalam tas gendongnya. Lantas meletakkan kartu tersebut di atas meja.
“Ini kami jadikan jaminan, ya.” Lyra hanya mengangguk. Cukup lama proses hingga akhirnya menjadi kesal sendiri. Belum lagi merasa beberapa mata seperti memandang aneh padanya. Inilah hal yang tidak ia suka ketika berada di tempat umum. “Seharusnya aku pakai masker tadi.”
Lyra menunduk, entah merasa sesuatu tengah mendekati perlahan. Dan anehnya tercipta was-was. “Gimana, Cin?” Reflek Lyra menoleh, kemudian mendapati pria berperawakan tinggi-putih berada di sisinya. Wajahnya bersih, menawan dengan badan tegap dan sedikit berisi. Pakaian perawat berwarna putih polos seakan menyatu dengan tubuhnya. Dan ia dibuat kikuk tatkala pria tersebut ‘memergoki’ dirinya, dengan cepat lantas menunduk serta memajukan posisi duduk. Bukan karena hal apapun, tetapi salah satu lengan orang tersebut berpegangan pada sandaran kursi yang ditempati Lyra. Niat hati ingin menegur, tapi tak sanggup.
“Oke, Cin.” Suara hentakan sepatu menggema, bahkan sampai ke jantung Lyra. Semakin lama, kian menjauh. Ia melirik sepintas, bayangan pria itu telah sirna. Masuk dan melebur bersama beberapa perawat lain ke bagian bangunan belakang tempat pelayanan lanjut yang dikondisikan serius.
Huft. Lyra menghela napas, untung saja tidak terlalu lama. Atau bisa-bisa sesak napas Lyra dibuatnya. “Ini Mbak, berkasnya. Silahkan diberikan ke pusat informasi ruang IGD.”
Gadis itu menerima sebuah map khusus bertuliskan nama rumah sakit milik pemerintah ini, dengan beberapa lembar kertas di dalamnya. Serta sebuah kartu pengenal untuk penunggu pasien yang langsung saja ia kantongi. Kemudian meninggalkan ruangan menuju tempat yang diintruksikan, sembari menenangkan diri. Rasa kaget sungguh masih terasa, sudah seperti habis maling buah di tetangga sebelah rumah saja.
Lyra pun heran, sebab lelaki tadi nampak tak asing. Tapi dia juga tidak ingat siapa orang itu. Akankah teman sekolahnya, atau seseorang yang pernah berpas-pasan dengannya di suatu tempat. Semakin mengingat, malah sakit kepala. Ah, mungkin hanya perasaan saja.
@yurriansan Siyap, Mom. Thank you ^^
Comment on chapter Bagian 3 - Langit; Awan Mendung