Setelah selesai melihat-lihat seisi buku sketsa Emily sampai halaman terakhir, Leo segera mengembalikan buku tersebut.
Dengan canggung, Emily menerima kembali bukunya sambil menundukkan kepala. "Terima kasih atas pengalaman dari Anda hari ini, Tuan Leo. Karena saya tidak memenuhi persyaratan Anda untuk bekerja di sini, maka saya ijin untuk menarik diri." Emily benar-benar berniat untuk melangkah mundur saat itu juga, jika saja kalimat Leo selanjutnya tidak berhasil mengalihkan fokusnya.
"Tapi desainmu cukup menarik. Apakah kau dapat berjanji bahwa kau akan bekerja dengan konsisten dan dapat menanggung tekanan dan deadline dari Tencent? Bekerja di sini bukan perkara mudah."
Seketika, ekspresi di wajah Emily berubah cerah. Gadis itu menyunggingkan senyum gembira, kemudian memeluk buku sketsanya dengan antusias. "Ah… terima kasih, Tuan Leo. Terima kasih," ucap Emily bersemangat sambil menunduk hormat.
Leo yang melihat pemandangan itu hanya tersenyum tipis. Matanya menyiratkan perhatian, sekaligus kenangan. Ketika Emily memperhatikan manik mata kecoklatan itu lebih dalam, sebenarnya mata itu penuh dengan nostalgia Emily. Gerak-gerik dan matanya benar-benar mengingatkanku akan pria itu, sempat terlintas pikiran itu di hati Emily. Namun, gadis itu buru-buru menepisnya jauh-jauh karena ia tak ingin semua masa depannya sirna seketika hanya karena hal-hal yang menyerupai sesuatu tak jelas.
Emily pun mengambil kembali duduk di hadapan Leo. "Jadi, kapan saya dapat mulai bekerja?"
"Hmm… sepertinya kau terlewat antusias? Ini juga salah satu hal yang harus dihindari karyawan Tencent," pikir Leo sambil mengusap ujung dagunya.
Mendengar perkataan Leo yang tepat sasaran mengkritiknya, Emily menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah. "Euh… maaf, Tuan. Saya hanya kehilangan pengendalian diri hanya saat tadi saja. Karena saya terlalu senang. Untuk ke depannya saya akan berusaha untuk berpikir baik-baik sebelum bertindak dan berkata-kata," ucap Emily cepat.
"Baiklah. Kau harus pegang janjimu. Aku akan mengantarkanmu ke ruangan para desainer dan fashionist," kata Leo sambil beranjak dari ruangannya. Emily pun mengikuti Leo dengan antusias layaknya seekor kumbang gelandangan.
Di depan sebuah ruangan berdinding kaca yang khas dengan desain gaun biru dihiasi payet akrilik, Leo berhenti. Pria tersebut mengeluarkan sebuah kartu dari sakunya, kemudian meletakannya di area scan kartu ID.
"Setiap karyawan yang bekerja di sini mempunyai kartu ID untuk memasuki ruangan-ruangan tertentu. Kalian para fashionist tidak diberi akses untuk memasuki ruang desainer yang bukan merupakan atasan kalian. Begitu pula desainer tidak diperbolehkan untuk memasuki ruangan desainer lainnya tanpa ijin. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti pencurian material, plagiasi ide, atau semacamnya. Kami Departemen Kreatif sangat protektif soal ini," jelas Leo sambil terus berjalan menelusuri ruangan itu yang ternyata tidak sekecil yang terlihat tampak depan.
Emily mengangguk-angguk tanda ia tertarik dan mengerti. "Jadi aku juga akan mempunyai kartu ID itu?" tanya Emily.
"Iya. Paling cepat kau akan mempunyai ini besok pagi. Karena aku harus mendaftarkan namamu ke perusahaan secara resmi, baru kau akan mendapat kartu ini," sahut Leo datar.
Kemudian, Leo berhenti di depan sebuah pintu yang tengah terbuka. Di balik pintu itu, seorang gadis berusia sekitar sebaya dengan Emily terlihat terburu-buru membereskan barang-barangnya di meja ke dalam sebuah kardus cokelat.
"Ini ruang kerja saya nanti?" tanya Emily seolah tak yakin. Rasanya aneh melihat ruang kerjanya masih dipakai oleh seseorang yang tengah mengemasi barang-barangnya dengan ketakutan dan terburu-buru. Emily juga menyempatkan diri untuk menoleh ke belakang, mencoba mengingat-ingat rute dari pintu di koridor hingga sampai ke ruangan ini. Ah… mengapa aku harus mendapat ruangan yang terpelosok seperti ini? Kebiasaan pelupa seperti selalu menghantuiku.
"Benar. Kau akan menggantikannya," ucap Leo sambil menyilangkan tangan di depan dadanya. "Xiao Long, kupikir kau lambat sekali membereskan barang-barangmu. Sebenarnya aku tidak ingin membuat karyawan baru Tencent melihat adegan ketika kau baru saja mengalami PHK."
"M—maaf, Tuan. Aku juga sebenarnya datang terlambat tadi pagi karena ada hal penting yang harus kuurus," sahut perempuan tersebut gelagapan.
"Huh… seperti biasa, kau selalu mempunyai banyak alasan memilukan yang akhirnya sudah kebal kudengar. Untungnya aku sudah memecatmu dari pekerjaan ini." Leo mengatakan semua itu tetap dengan nada datar dan emosi stabil.
Xiao Long pun semakin terburu-buru membersihkan barang-barangnya. Tak sampai tiga puluh detik kemudian, perempuan itu telah memasukkan semua barangnya dalam dua kardus cokelat. Dengan kerepotan, Xiao Long keluar dari ruangan tersebut. Sebelum ia benar-benar meninggalkan bangunan Tencent untuk selamanya, Xiao Long membungkukkan badan sebentar kepada Leo dan Emily, sekadar untuk formalitas.
"Terima kasih atas kesempatan kerja dari Anda, Tuan," ucap Xiao Long singkat.
Tak dapat dipungkiri lagi, hati Emily tersentuh dengan kegigihan yang ia lihat pada karyawan yang baru saja dipecat itu. "Biarkan aku membantu…."
"Tidak perlu!" sergah Leo tegas. Sementara Xiao Long tetap berlari keluar dari ruangan desainer dan fashionist, Emily menatap Leo tak percaya.
"Aiya, baiklah. Tapi, apakah aku tidak seperti orang yang menyebabkan dia terusir?" tanya Emily gusar.
"Tidak, aku memang sudah dari lama ingin mengusirnya," sahut Leo dengan cepat dan datar. Mulut Emily membentuk huruf O sambil mengangguk kikuk, kemudian memutuskan untuk diam.
"Kebetulan selain sebagai fashionist, kau juga memiliki kemampuan untuk merancang busana. Harapanku kau dapat menjalin kerjasama yang baik dengan desainermu nanti," tambah Leo. Kemudian ia segera berjalan keluar dari ruangan bernuansa milky white tersebut.
Sejak perkataan Leo itu, Emily telah berprasangka bahwa perjalanannya di Tencent tidak akan mudah. Tantangan untuk terus bersikap disiplin, konsisten, dan cekatan menuntutnya sepanjang tempo hidupnya. Dan menghadapi Leo—yang ternyata cukup kolot dan tegas—pastinya akan menciptakan liku baru dalam kisahnya.
Tetapi meskipun jalan berliku dan semak berduri membentang di depan Emily, seorang gadis muda yang penuh tekad sepertinya akan berprinsip bahwa: Hidup ini adalah untuk menggapai mimpi, meraih cita-cita, dan memperjuangkan apa yang telah diinginkan.
***
Musik dansa waltz mulai mengalun di aula pertemuan Dongyue Hotel. Hampir semua pasangan mulai berdansa dengan gembira, mengikuti alunan musik waltz yang terus mendorong mereka untuk menari. Namun, rupanya di tengah kegembiraan yang meliputi pesta bisnis itu, masih ada seorang pria murung yang mengobrol malas dengan kolega-koleganya.
"Hoho…. Ayahku juga memintaku untuk melakukannya, Sobat. Menurut saranku, kau tidak perlu menggubris perintah-perintah konyol orang tua itu. Tidak ada untungnya bagi kita, kau tahu itu," ucap seorang pria berjas cokelat sambil menepuk bahu James dengan sempoyongan.
"Haha…. Benar juga kau, Bro. Kehidupan kita yang berharga seperti diperjualbelikan dalam perkawinan hanya karena bisnis keluarga. Mungkinkah mereka berpikir bahwa kita sangat bodoh saat memilih pasangan hidup? Ah…. Tapi menurutku mereka juga tak kalah bodoh saat memilihkan jodoh," sahut James sambil terus meneguk koktailnya sampai habis. Pria itu mengisi gelasnya lagi, kali ini dengan wine merah. Sesekali, James mendongakkan kepalanya untuk melihat keberadaan Sophie yang terus celingukan mencarinya. Dalam hati, ia menertawakan kebodohan gadis itu.
"'Bodoh saat memilihkan jodoh'? Maksudmu Sophie? Hahaha… seleramu memang tinggi sekali, James. Sophie setidaknya masih terlihat cantik di hadapanku," sahut pria lainnya menanggapi perkataan James.
James hanya menyunggingkan senyum miring yang terlihat menyebalkan. Sophie cantik? Huh… kau akan nyaris menjadi orang gila jika benar-benar berada di dekatnya.
"Bandingkan dengan perawan tua yang dijodohkan denganku beberapa minggu yang lalu? Menjijikan!" tambah pria tadi.
"Hahaha…. Sampai sekarang aku masih akan tertawa terbahak-bahak jika mengingat adegan ketika kau dipertemukan dengan Nona Chen, Tim," gelak James.
"Dia tak pantas disebut sebagai 'Nona', James. Ingat itu. Umurnya sudah hampir empat puluh tahun. Bandingkan dengan aku yang masih berumur dua puluh enam tahun. Kami akan menjadi pasangan paling gila sedunia," sergah pria yang bernama Tim itu sambil menegangkan rahangnya.
Tiba-tiba, James merasakan punggungnya ditabrak oleh seseorang—sepertinya wanita, karena tubuhnya terasa ramping sekali—dari belakang. James memutar matanya sebal, dan mulutnya siap mencecar habis-habisan orang yang menabraknya. Namun, suara yang terdengar setelahnya membuat James hanya bisa menatap karpet di bawahnya dengan lemas.
"Oh… maaf aku masuk dalam pembicaraan kalian. Tapi, apakah kalian melihat James-ku? James Yang Fei. Putra Tuan Yang Lei," tanya Sophie dengan terburu-buru sembari membenarkan posisi high heelsnya yang nyaris lepas.
Lima pria yang berada dalam kerumunan itu melirik serentak ke arah James. Empat pria menahan tawa, sedangkan satu lainnya menunjukkan keberadaan James sambil tertawa terpingkal-pingkal.
"Haha… Nona Sophie Zhao Ying, Anda pandai sekali membuat lelucon. Perutku mulai sakit," gelak seorang pria yang mengenakan jas cokelat. Sementara itu, Sophie hanya menggaruk ubun-ubunnya sambil tersenyum kikuk. "Kau masih tak mengerti maksudku? Hahaha… menggelikan sekali. Pria yang tadi kau tabrak adalah James sendiri. Kau benar-benar tidak menyadarinya?"
Spontan, Sophie langsung membalikkan tubuhnya. Dan benar saja, ia menemukan sosok James yang berekspresi datar. Gadis itu pun menarik James dengan santai—seolah-olah pria itu benar-benar telah menjadi miliknya—keluar dari kerumunan pria-pria berjas, kolega James sendiri.
"Aiya… Qin Ai De, kau pasti tahu bahwa aku telah mencarimu sejak lama. Semua orang telah berdansa sekarang. Ayahku bahkan telah menanyakan keberadaanmu," rengek Sophie sambil menggoyang-goyangkan lengan James layaknya seorang balita meminta balon kepada ayahnya.
James menghembuskan napasnya kasar, kemudian mengalihkan pandangan pada Sophie yang sedang mengerucutkan bibirnya. "Baiklah. Jadi sekarang apa maumu?"
"Berdansa."
Satu kata itu berhasil membuat James seolah tersambar petir. Berdansa dengan Sophie? James pikir itu akan menjadi adegan paling canggung dalam kehidupannya. "Berdansa? Kau serius ingin berdansa? Katamu tadi kau tidak ingin berdansa?" James masih berusaha menghindar dari situasi ini.
"Hah… aku tak bilang aku tidak ingin berdansa. Aku hanya bingung memikirkan pakaian saat itu. Tapi, ayahku bilang bahwa pakaian ini tak masalah. Jadi, ayo kita berdansa," ucap Sophie antusias dengan mata berbinar-binar. Tanpa persetujuan dari James, Sophie segera menarik pria itu ke ruang dansa. Untuk terakhir kalinya, James menoleh ke arah teman-temannya yang masih asyik berbincang sambil menyesap wine. Ketika melihat James yang tak berdaya ditaklukkan oleh Sophie, rupanya kelima temannya hanya tersenyum jahil sambil melambaikan tangan seolah mengatakan: Selamat.
Huh … teman-teman tak berguna. Gadis ini juga. Semuanya hanya menghancurkan moodku untuk menikmati pesta ini, pikir James ketus.
@yurriansan Mwehe... Maacih udah mampir, Kak😘
Comment on chapter Prolog