Jika saja waktu dapat kembali berputar, mungkin pesan yang selama ini kupendam bisa tersampaikan padanya secara langsung. Bukan menyampaikannya melalui tulisan yang disampul dengan kertas, melainkan mengatakannya secara langsung agar aku bisa tahu bagaimana ekspresi datar dan jutek yang selama ini ditunjukkannya bisa berubah dalam waktu hitungan detik. Padahal waktu yang Tuhan berikan saat itu sangat banyak untukku. Jika dihitung mungkin sekitar 5 tahun lamanya kami bersama. Bukan bersama dalam arti kata memiliki hubungan spesial layaknya sepasang kekasih, melainkan hubungan biasa antara seorang kapten dan prajurit istana.
Aku bersyukur bisa terlahir di jaman yang penuh dengan peperangan, pertumpahan darah, penuh nafsu akan kekuasaan, korupsi, dan kejayaan sebuah negeri. Karena disana aku bisa bertemu dengannya, yakni pujaan hatiku. Sebastian Phantoven, Kapten dari regu Divisi Pengintai Kerajaan Luxenburg. Karena ketampanan, kekayaan dan jabatannya banyak wanita yang rela menunggu dan berharap agar dapat dipersunting olehnya. Tak jarang pula mereka berbondong-bondong datang mengerumuni jalan setapak menuju gerbang istana jika mendengar pujaan hatinya baru pulang dari menjalankan misi berat di luar sana.
Pertama kali mengenal kapten dari almarhum ayahku yang dulunya seorang pengawal pribadi Raja Luxenburg Ke-VII. Aku ingat di hari ulang tahunku yang ke-17, ayah membawa seorang pria yang tak kukenal sebelumnya ke rumah. Kesan pertama bertemu dengan kapten terbilang cukup memalukan. Pasalnya aku sempat berpikir, Ayah membawa seorang pria ke rumah...apa mungkin ayah ingin menjodohkanku dengannya? Tidak heran jika di zaman itu banyak orang tua yang ingin menikahkan anak-anaknya dengan berbagai macam alasan. Ada yang ingin memiliki banyak keturunan, ada pula yang ingin menikmati hidup bersama pasangan sebelum mati di medan pertempuran. Aku bahkan masih bisa merasakan betapa bingung dan paniknya aku saat berdiri dihadapan kapten saat itu. Hati kecilku sudah berharap jika pria berwajah jutek dan dingin itu akan dijodohkan olehku, namun nyatanya...
“Alasanku mempertemukan kalian berdua karena Krystal bilang padaku jika dia ingin belajar banyak tentang prajurit Kerajaan Luxenburg. Dan kupikir Sebastianlah orang yang tepat untuk menjadi pembimbingmu. Makanya aku membawanya ke rumah.”
Ibarat pecahan kaca yang berserakan diatas lantai, seperti itulah hatiku saat mendengar alasan ayah. Berkebalikan denganku yang ingin marah dan menahan malu di pipi karena terlalu percaya diri, kapten sendiri malah memasang wajah jutek bak iblis padaku. Seakan-akan raut wajahnya mengisyaratkan padaku bahwa, “Jangan coba-coba sok akrab denganku, bocah jelek!”
“Sebastian…Phantoven...”
“Huh?” balasku sedikit terkejut mendengar suara beratnya bercampur rona merah di kedua pipinya.
Di-Di-Dia...dia tersipu?!, batinku membelalakkan mata tak percaya.
“Senang berkenalan denganmu...” lanjutnya dengan terbara-bata. Dari sudut mataku kulihat jika tangannya tengah melayang ke udara, berharap salaman tangannya terbalas olehku.
“Krystal Maximillian.” lanjutku membalas lambaian tangannya dihiasi senyum terbaik untuk menutupi rasa maluku. “Salam kenal juga, Sebastian.” saat itu aku sendiri tidak menyadari kalau aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama dengannya.
Setelah 3 tahun berlalu, aku mulai mengenal kapten lebih dalam begitu juga dengannya. Aku tahu makanan favoritnya, hobi, benda-benda kesayangan, semua hal yang disukai dan tidak disukai sampai dengan kebiasaan buruknya. Selama itu pula aku baru menyadari jika aku telah jatuh cinta padanya. Bahkan kini alasanku bergabung kedalam prajurit istana agar bisa menjadi seorang pengawal pribadi sang raja seperti ayah, seketika langsung berubah dalam waktu hitungan detik setelah bertemu dengannya. Alasanku ingin menjadi prajurit istana di Divisi Pengintai itu semua karena dia. Tujuanku hanya ingin bertemu dengannya, belajar bela diri dengannya, makan siang bersama, membaca buku di perpustakaan bersama, mendiskusikan bahkan sampai berdebat mengenai strategi perang dengannya. Aku ingin melalukan semua itu bersamanya. Jadi daripada kutahan perasaanku yang terpendam ini, akhirnya kuputuskan akan mengungkapkan perasaanku padanya. Rencananya akan kukatakan di minggu kedua bulan Agustus saat bulan purnama. Tapi rencana itu gagal karena sudah ada yang mendahului langkahku.
“Tuan Phantoven, sejak dulu aku sangat menyukaimu. Apa kau tahu aku sangat mencintaimu melebihi orang lain?” ucap seorang wanita berambut pirang penuh dengan ketulusan. Bukannya ditolak secara halus, kapten malah menjawabnya dengan kalimat yang penuh tusukan duri mawar.
“Jadi, sebenarnya kau itu menyukaiku, mencintaiku atau hanya ingin mencari hartaku saja?” lanjutnya tanpa memperdulikan wanita berambut pirang itu yang sudah mengeluarkan tetesan air hujan akibat ucapannya. “Hanya karena aku bekerja untuk raja bukan berarti aku seorang yang kaya. Memangnya kau pikir aku mau menikah denganmu? Cih! Incaranku itu seorang putri kerajaan, bukan penduduk sipil seperti kalian.”
Mendengar kalimatnya yang cukup menyakitkan, membuatku berpikir dua kali untuk menyatakan perasaanku padanya. Jika misi pengungkapan cintaku berhasil, kemungkinan terburuknya adalah persiapan untuk ditolak dihiasi kata-kata indahnya yang setajam silet dan aku harus siap menanggung resikonya.
Selama 5 tahun menjadi bagian dari regu Divisi Pengintai, hubunganku dengan kapten tetap berjalan lancar bahkan terbilang sangat baik. Walau terkadang aku tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini kapten jadi mudah marah padaku. Padahal masalahnya sepele misalnya ketika aku memilih untuk latihan bersama orang lain, membaca buku di perpustakaan ataupun sekedar makan bersama dengan rekan setim. Walaupun teman-temanku mengatakan jika kapten memiliki perasaan yang sama denganku, tapi aku tidak ingin menanggapinya dengan serius. Alasannya karena, “Incaranku itu seorang putri kerajaan, bukan penduduk sipil seperti kalian.” Kalimat itu tidak akan mungkin kulupakan karena aku sadar jika posisiku untuk menjadi pendamping hidupnya masih terbilang sangat jauh. Karena hubungan kami terjalin cukup erat pula tak jarang kami berdua sering bertukar surat jika aku sedang bertugas di luar istana. Baik itu jarak dekat maupun jauh, sedang bertengkar ataupun tidak, komunikasi tetap terjalin diantara kami. Kalau sedang bertengkar, isi suratnya terbilang sangat singkat tapi kalau sedang dalam kondisi yang baik isi suratnya bisa lebih dari 3 halaman. Banyak hal yang kami perbincangkan, mulai dari memberitahukan informasi apa saja yang didapat di lapangan sampai hal-hal sepele lainnya. Bahkan saking rajinnya berkomunikasi, kami bisa saja bertengkar melalui surat itu.
Suatu hari, raja memberiku misi untuk mengintai Kerajaan Anderson. Karena misi itu kelihatannya tidak begitu sulit, kukatakan pada beliau jika misi ini bisa kulakukan seorang diri. Raja sendiri tidak mempermasalahkan hal itu selama aku bisa menjalankannya dengan baik. Namun anehnya ketika kapten mendengar mengenai misi yang diberikan raja padaku, dia melarangku untuk pergi. Sebelum kutinggalkan istana, sempat terjadi perdebatan hebat diantara kami lantaran firasat buruk kapten yang mengatakan aku akan gugur jika menjalankan misi ini sendirian.
“Dasar bodoh! Kau pikir aku akan mengizinkanmu pergi?” tanyanya terdengar begitu emosi. Baru kali ini aku melihat betapa marah dan khawatirnya kapten padaku. “Tidak! Aku tidak akan mengizinkanmu pergi!”
“Tapi, kapten!” berulang kali kuberusaha meyakinkan hatinya yang sekeras batu agar dia mengizinkanku untuk menjalankan misi ini. “Aku tidak akan mati semudah itu, percayalah!”
“Kalau kubilang kau akan mati berarti itu benar-benar terjadi! Kau sendiri tahu kan firasatku tidak pernah meleset!”
“Tidak, kapten. Kali ini firasatmu pasti meleset. Itu semua hanya mimpi burukmu saja.” ucapku ditengah-tengah kepasrahan.
“Cih! Kenapa kau masih tidak mengerti juga?!” gumamnya tak jelas.
“Apa?”
“Terserah kau saja!”
Jika saja aku menuruti perintahnya waktu itu, mungkin saat ini aku masih bisa bertemu dengannya, menghabiskan waktu bersama dengannya, dan bisa mengirimkan surat sebanyak yang aku mau. Namun sepertinya Tuhan berkehendak lain. Mungkin saking lelahnya Tuhan memperingatiku, akhirnya DIA memutuskan untuk menyuruhku mengirimkan surat pada kapten untuk yang terakhir kali.
Dear Kapten Sebastian Phantoven,
Hai, kapten. Bagaimana kabarmu disana? Kabarku disini baik-baik saja. Sebelumnya aku ingin meminta maaf padamu karena mungkin aku tidak bisa kembali ke istana. Jujur saja saat ini aku terlalu lelah untuk bangkit berdiri jadi, aku akan tidur untuk sementara waktu. Aku harap kau tidak akan memarahiku jika kau berhasil menemukan potongan tubuhku di markas musuh.
Kapten...sebelum tanganku berhenti menulis, sebelum mataku berhenti membayangkan ekspresi wajahmu yang datar dan sebelum napasku berhenti, ada hal yang ingin kusampaikan padamu. Pertama, tolong sampaikan permintaan maafku pada raja karena aku telah gagal menjalankan misi darinya. Aku akui firasat kapten memang benar, jadi maafkan aku karena tidak mendengar nasehatmu. Kedua, aku ingin mengakui satu hal padamu kalau aku mencintaimu, Kapten Sebastian. Aku mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu. Aku tahu aku tidak terlahir sebagai putri kerajaan seperti yang kau dambakan tapi, aku berharap bisa menjadi pendamping hidupmu jika aku terlahir kembali.
Untuk semua waktu dan tenaga yang kau berikan untukku, aku benar-benar berterima kasih dan merasa bahagia karena kau sudah memperbolehkanku berada disampingmu walau hanya sementara. Kau tahu aku sangat menikmati hari-hari itu? Rasanya waktu berjalan begitu cepat tiap kali bersama denganmu. Tapi kau harus percaya jika perasaanku tidak akan pernah berubah sekalipun kau menemukan wanita yang lebih baik dariku.
Sepertinya ini batas terakhirku, kapten. Jadi sekian dulu surat dariku untukmu. Maaf jika surat ini kotor karena bercak darah dan tulisannya yang jelek sehingga susah untuk dibaca. Kuharap pesan ini dapat tersampaikan khususnya untukmu, Kapten Sebastian.
Sampai bertemu lagi.
Aku mencintaimu, Sebastian Phantoven.
Salam hormat dan sayang
Krystal Maximillian