Read More >>"> Gloria (1.2 Sumpah Setia) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Gloria
MENU 0
About Us  

Bukan hal aneh jika Airene dan Jastin berjalan terpisah memasuki pelataran akademi. Pasalnya, pasangan yang membuat gempar Panthera itu sangat jarang terlihat bersama di depan umum. Tentu saja hal itu menimbulkan desas-desus tentang kebenaran dan alasan di balik pertunangan dua keluarga itu. Namun tidak ada yang berani mencoba bertanya baik kepada Davion maupun Robustiano.

Begitu turun dari kereta kuda, Airene langsung disambut oleh banyak anak bangsawan maupun saudagar kaya yang bersekolah di akademi yang sama. Senyum-senyum manis menyambutnya. Tentu saja Airene tahu bahwa kebaikan yang teramat sempurna ini adalah karena statusnya sebagai keluarga kerajaan. Dengan memiliki hubungan baik dengan pihak kerajaan, maka setidaknya keluarga tersebut akan aman, juga dukungan penuh atau tidak penuh.

Airene memang tidak senang akan hukum seperti itu. Namun ia hanyalah pion kecil yang belum mampu mengubah budaya tersebut. Semua terlalu berakar di dalam kehidupan. Hasilnya, Airene menanggapi dengan baik dan sesuai dengan apa yang dipelajarinya sebagai seorang nona keluarga kerajaan.

Jauh berbeda dengan Jastin. Laki-laki itu tidak disambut dengan meriah. Ia juga tidak terlalu berhubungan baik dengan putra-putra berpengaruh di sana. Jastin jauh lebih muak dari Airene akan sistem kehidupan di dunianya.

Jastin berjalan sambil membawa beberapa buku dari lemarinya. Ia hendak berbelok di ujung lorong namun tercekat karena mendapati sesosok perempuan bergaun seperti Airene. Bedanya perempuan itu terlihat lebih anggun dan menawan, seperti biasanya. “Pagi, Tuan Jastin,” sapa gadis itu sambil memberikan salam dengan mengangkat sedikit roknya dan menunduk. Senyum gadis itu terkembang di wajahnya. Masih tetap seperti yang Jastin tahu. Lagi.

Jantin mundur selangkah. Untuk sesaat ia memandangi dua manik yang pernah membuatnya terbuai. Tidak, lebih tepatnya masih. Ia tidak membalas sapaan tersebut, tapi memilih untuk berbelok ke sisi lain. Detik berikutnya langkahnya tertahan karena gadis yang menyapanya menahan pergelangan tangannya.

“Tuan,” panggil gadis itu memelas.

“Sepertinya kita tidak memiliki urusan, Nona Lauren.” Jastin menarik pergelangan tangannya, lepas dari genggaman Lauren. Ia harus segera pergi. Ia tidak ingin rasa benci yang tumbuh meledak di sela-sela perasaannya masih ada.

“Kenapa, Tuan? Bukankah kita adalah teman?” tanya Lauren bingung.

“Ya, kita adalah teman, Lauren.” Tiba-tiba seorang laki-laki berseragam seperti Jastin mendekat dan merangkul bahu Lauren. “Bukankah seperti itu, Jastin Robustiano, sahabatku!” tambahnya.

Jastin berdecak. Sepasang manusia yang sangat tidak ingin diladeninya berkumpul di dekatnya. Ia menelan ludah, mencoba berdamai dengan perasaan sakit di hatinya. Sejak Lauren menyapa, hati Jastin terasa diiris. Bahkan kedatangan Ravel membuat hatinya ditusuk berkali-kali.

Jastin memejamkan mata. Ia benar-benar ingin segera menghindar. Namun kekuatannya seakan ditelan oleh rasa sakit yang tetap ada, tidak hilang bahkan pudar.

“Tuan Jastin? Anda kenapa?” tanya Lauren dengan wajah yang masih memelas. Ia terlihat sangat penuh kekhawatiran, entah tulus atau palsu.

“Tuan Jastin!” Teriakan seorang perempuan yang lantang hampir bersamaan dengan suara Lauren. Ketiganya menoleh, menatap perempuan yang paling menarik perhatian banyak laki-laki. “Wah, rupanya ada Tuan Ravel dan Nona Lauren,” lanjutnya.

Ravel berkedip-kedip. Ia adalah satu di antara laki-laki yang tertarik dengan Airene. Ia juga satu di antara laki-laki yang pernah bertaruh untuk mendapatkan Airene, sebelum ini. Meskipun Lauren—gadis yang juga tidak biasa karena kecantikannya menjadi kekasihnya, Ravel masih tidak bisa berhenti untuk tertarik dengan Airene. “Nona Airene,” sapa Ravel sambil memberi salam. Pun dengan Lauren

Airene mengangguk. Ia segera berdiri di samping Jastin dan menggandeng tangan laki-laki itu, untuk pertama kalinya. Awalnya Jastin sempat menolak, namun Airene masih bertahan memegang tangan laki-laki yang sangat disukainya itu. “Nona Lauren tetap cantik seperti biasa ya? Aku sampai terpana,” ucap Airene kepada Lauren.

Lauren tahu bahwa itu bukanlah pujian biasa. Ia tertawa kecil, menjaga agar penampilannya tidak rusak. “Terima kasih Nona Airene. Anda terlalu berlebihan. Bukankah Anda jauh lebih menarik?”

Jastin seperti berada di sebuah acara perdebatan, di mana kedua kubu saling memuji kelebihan masing-masing. Padahal sesungguhnya bertujuan sebaliknya.

“Um, kami ingin meminta izin untuk pergi terlebih dahulu. Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan. Permisi, Nona Lauren, Tuan Ravel.” Airene tersenyum sambil menarik tangan Jastin menjauh dari dua orang itu.

Mereka berdua terus melangkah hingga berhenti di suatu lorong yang hanya dihuni oleh mereka berdua. Jastin menarik tangannya cepat lalu berkata, “Nona, Anda tidak perlu ikut campur dengan urusan seperti ini.”

“Namun Tuan, tidak seharusnya Tuan bersikap pasif seperti tadi. Mereka tidak pantas untuk—“ Airene menelan ludah. Jastin sudah mencengkram kedua bahunya. Tatapan laki-laki itu menajam.

“Nona hanya memperburuk suasana!” tekan Jastin. Ia menatap tepat di manik berwarna kuning kecokelatan milik Airene. Jastin melepaskan tangannya. Ia menghela napas lalu berbalik demi melanjutkan langkahnya menuju kelas.

“Jastin Robustiano!” panggil Airene lengkap, membuat Jastin menghentikan langkahnya dan berbalik. “Ingatlah, saat hitam, putih bahkan abu-abu, kamu tidak akan pernah sendirian. Akan selalu ada aku yang berada tepat di belakangmu.” Wajah Airene terlihat serius. Tangannya di depan tubuhnya. Tubuhnya bersiap untuk menunduk dan bersujud demi melakukan “sumpah setia”.

“Hentikan!” lantang Jastin.

Airene terpaku. Ia kembali ke posisinya semua dan menatap laki-laki di depannya.

“Airene Davion, jangan pernah lakukan sumpah itu kepadaku!” Jastin terengah. Wajahnya memerah karena menahan amarah. “Jangan pernah lakukan sumpah itu, Airene Davion!” ulangnya penuh penekanan, masih dengan emosi yang hampir meledak. Jastin berbalik dan melanjutkan langkahnya. Ia tidak ingin emosinya meledak. Sebisa mungkin Jastin tidak mencari masalah dengan mengamuk kepada seorang keluarga kerajaan.

Airene terpaku. Kedua matanya memperhatikan punggung Jastin yang mulai menjauh. Ia baru saja ditolak secara langsung oleh Jastin. Ucapan terakhir laki-laki itu menandakan bahwa untuk di masa depan, Airene dan Jastin masih abu-abu. Atau mungkin hubungan Airene berakhir di masa depan. Dada Airene sesak dan perih. Ia segera menarik napas dan menghembuskannya. Ia tidak boleh terlihat sedih.

“Sumpah apa yang akan kamu lakukan Airene?” Kali ini suara yang sama mengerikannya dengan Jastin terdengar di belakang Airene. Gadis itu menoleh dengan cepat dan tercekat.

“Yang Mulia Putra Mahkota?” ujar Airene yang membetulkan posisinya lalu memberi hormat.

“Kenapa kamu harus memberi hormat setiap kali bertemu denganku?” cemberut Vincent.

“Karena Anda adalah putra mahkota,” ujar Airene sambil berjalan cepat dan berdiri di sebelah laki-laki itu.

“Padahal dahulu kamu memanggilku dengan sebutan ‘kakak Vincent’. Aku rindu saat-saat itu. Kapan hal itu bisa terjadi lagi?” Vincent menerawang masa kecilnya bersama Airene.

Airene terkekeh. “Jika aku menjadi istri Anda!”

Vincent menahan napas. Ia melihat Airene dari sudut matanya.

“Sayangnya aku sudah bertunangan dengan Tuan Jastin, Yang Mulia!” Airene menambah ucapannya dengan cepat.

Vincent menghela napas. Ia menghentikan langkah, membiarkan Airene berjalan terlebih dahulu. “Jika kamu tidak bertunangan dengan Jastin, akankah kamu menjadi putri mahkotaku?” tanya Vincent.

“Um?” Airene berbalik. Ia tidak menyadari bahwa Vincent tertinggal di belakangnya. “Yang Mulia mengatakan sesuatu?” tanyanya.

“Tidak!” geleng Vincent. “Oh ya, bagaimana kalau kita pergi menemui Nyonya seusai sekolah?”

“Ide yang bagus!” Airene tersenyum senang.

 

 

Airene meletakkan buket bunga tulip putih. Pun dengan Vincent. Keduanya berjongkok sambil memandangi batu nisan bertuliskan Davion. Airene mengusap batu nisan tersebut sambil berkata, “Ibunda, bagaimana kabar Ibunda? Apakah tidur Ibunda nyenyak? Semoga Ibunda tidak kedinginan karena aku selalu mendoakan Ibunda.”

Usai mengucapkan kalimat yang sama setiap kali mengunjungi makan Nyonya Davion, Airene menceritakan semua pengalamannya. Semua hal, sedetail mungkin ia tuturkan di sana. “Ibunda, Jastin semakin hari semakin terlihat tampan,” ucapnya geli.

Vincent menelan ludah. Salah satu saat yang tidak disukainya adalah mendengar cerita Airene mengenai Jastin. Hatinya terasa perih. Ia masih belum rela untuk melepaskan Airene kepada laki-laki yang tak pernah melihat Airene. Padahal jika di posisi Jastin, ia tidak akan menyia-nyiakan Airene sedikitpun.

Beberapa saat kemudian Airene dan Vincent keluar dari pemakaman kerajaan. Airene melihat ke belakang lalu berkata, “Selalu ramai seperti biasa ya, Yang Mulia!” Matanya menatap satu persatu pelayan maupun pengawal yang mengikuti Vincent.

“Seperti yang kamu tahu!” Vincent ikut memandang ke belakang lalu kembali menatap Airene. “Lalu, satu lagi. Kamu, berjanjilah kepadaku. Jangan pernah melakukan ‘sumpah setia’ kepada Jastin, atau siapapun ... tanpa izinku.”

“Yang Mulia kenapa serius seperti itu. Aku hanya melakukannya kepada suamiku di masa depan saja.” Airene memandangi langit. Ia membayangkan wajah Jastin di salah satu awan. Ia tertawa membayangkan wajah Jastin tanpa senyum.

“Ini perintah!” tambah Vincent.

Airene melebarkan matanya. Secepat mungkin ia memutar kepala menghadap Vincent. “Apa?” tanyanya dengan nada tidak terima.

“Aku tidak memberi izin untuk melakukan ‘sumpah setia’.”

“Tapi kenapa?”

“Airene, ‘sumpah setia’ bukan sumpah biasa. Kita melibatkan dewa kematian di sana. Jika melanggar maka maut yang akan menjemput. Kamu melakukan sumpah kepada orang yang belum tentu menemanimu di masa depan? Apa kamu gila, huh?” cecar Vincent. Ia sangat kesal ketika mendapati Airene akan melakukan sumpah itu tadi. Untung saja Jastin menghentikannya. Vincent tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya Airene di masa depan jika sumpah keramat itu ia lakukan.

“Kenapa Yang Mulia berkata seperti itu?” tanya Airene terluka.

“Apa kamu bisa menjamin Jastin bersammu di masa depan? Secinta mati apapun seseorang atau sekuat apapun ikatan sepasang manusia, tetap saja masa depan tiada yang tahu. Masa depan bisa berubah, sesuai takdir yang telah ditetapkan. Manusia tidak bisa mendahului Tuhan untuk urusan masa depan!” Vincent memegang kedua bahu Airene.

“Setidaknya manusia bisa berusaha untuk mengubah masa depan sesuai keinginannya,” lirih Airene.

“Airene, aku tahu aku salah telah keras padamu sekarang. Tapi ini semua demi kebaikanmu. Aku tidak ingin ... adik kecilku,” Vincent menelan ludah, “terluka di masa depan. Aku menyayangimu, Airene.” Jantung Vincent berdebar-debar. Tenggorokannya sempat tercekat ketika memanggil Airene sebagai adik kecilnya. Ucapan sayang yang terlontarkan dari mulutnya bukan seperti kasih sayang seorang kakak.

“Aku tahu, kakak akan selalu menjagaku.” Airene melangkah mendekat lalu memeluk laki-laki yang sudah bersamanya dari kecil. Bahkan Airene tahu bahwa mereka sudah bersama ketika ia masih bayi. “Aku akan selalu bahagia, sebagai balasan untuk usaha kakak menjagaku selama ini.” Vincent sudah ia anggap sebagai kakak laki-lakinya.

Vincent membalas pelukan itu. Ia mengusap rambut Airene yang selalu menjadi bagian kesukaannya tatkala memeluk Airene. Miris, Vincent tahu dirinya hanya berperan sebagai seorang kakak di mata Airene, tidak lebih. Padahal ia memiliki perasaan lebih dari itu, yaitu perasaan ingin memiliki dan dimiliki bersama Airene. Perasaan ingin hidup bersama hingga ajal menjemput. Perasaan saling menjaga dan memberi perhatian di setiap waktu.

Aku masih saja berandai-andai, pikir Vincent.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (6)
  • yurriansan

    Mksh

    Comment on chapter Pendahuluan
  • FadilaCia

    @yurriansan makasih, nanti aku mampir kakak

    Comment on chapter Pendahuluan
  • FadilaCia

    @yurriansan makasih, nanti aku mampir kakak

    Comment on chapter Pendahuluan
  • yurriansan

    @FadilaCia iya sama2....
    jatuh cinta juga loh dengan prologmu, :D.

    mampir ke cerita terbaruku juga ya, mkasihh

    Comment on chapter Pendahuluan
  • FadilaCia

    @yurriansan makasih ^^

    Comment on chapter Pendahuluan
  • yurriansan

    langsung tertarik pas liat dari covernya :D

    Comment on chapter Pendahuluan
Similar Tags
JAR OF MEMORIES
567      382     1     
Short Story
and story about us a lot like a tragedy now
Andaikan waktu bisa diperlambat
868      518     11     
Short Story
kisah dua sahabat bernama Bobby dan Labdha yang penuh dengan tawa dan tantangan soal waktu.
If Only
340      216     9     
Short Story
Radit dan Kyra sudah menjalin hubungan selama lima tahun. Hingga suatu hari mereka bertengkar hebat dan berpisah, hanya karena sebuah salah paham yang disebabkan oleh pihak ketiga, yang ingin menghancurkan hubungan mereka. Masih adakah waktu bagi mereka untuk memperbaiki semuanya? Atau semua sudah terlambat dan hanya bisa bermimpi, "seandainya waktu dapat diputar kembali".
Dia yang Terlewatkan
359      239     1     
Short Story
Ini tentang dia dan rasanya yang terlewat begitu saja. Tentang masa lalunya. Dan, dia adalah Haura.
Nina and The Rivanos
9575      2326     12     
Romance
"Apa yang lebih indah dari cinta? Jawabannya cuma satu: persaudaraan." Di tahun kedua SMA-nya, Nina harus mencari kerja untuk membayar biaya sekolah. Ia sempat kesulitan. Tapi kemudian Raka -cowok yang menyukainya sejak masuk SMA- menyarankannya bekerja di Starlit, start-up yang bergerak di bidang penulisan. Mengikuti saran Raka, Nina pun melamar posisi sebagai penulis part-time. ...
Something about Destiny
135      116     1     
Romance
Devan Julio Widarta yang selalu dikenal Sherin sebagai suami yang dingin dan kurang berperasaan itu tiba-tiba berubah menjadi begitu perhatian dan bahkan mempersiapkan kencan untuk mereka berdua. Sherin Adinta Dikara, seorang wanita muda yang melepas status lajangnya pada umur 25 tahun itu pun merasa sangat heran. Tapi disisi lain, begitu senang. Dia merasa mungkin akhirnya tiba saat dia bisa mer...
ADRI
524      392     1     
Short Story
Untuk yang terlambat jatuh cinta.
Summer Whispering Steam
2888      1078     1     
Romance
Mereka menyebutnya Nagisano Shizuka, sebuah kedai kopi yang berlokasi di garis pantai Okinawa, Jepang, permata tersembunyi di tepian Samudera Pasifik yang menawarkan tempat peristirahatan sempurna dari hiruk-pikuk duniawi. Perpaduan sempurna antara estetika tradisional Jepang dan suasana pantai membuatnya dikenal sebagai “Mimpi Panjang di Musim Panas Semesta.” Seorang Manajer bernama Yuki ...
Maroon Ribbon
475      336     1     
Short Story
Ribbon. Not as beautiful as it looks. The ribbon were tied so tight by scars and tears till it can\'t breathe. It walking towards the street to never ending circle.
Nadine
5376      1365     4     
Romance
Saat suara tak mampu lagi didengar. Saat kata yang terucap tak lagi bermakna. Dan saat semuanya sudah tak lagi sama. Akankah kisah kita tetap berjalan seperti yang selalu diharapkan? Tentang Fauzan yang pernah kehilangan. Tentang Nadin yang pernah terluka. Tentang Abi yang berusaha menggapai. dan Tentang Kara yang berada di antara mereka. Masih adakah namaku di dalam hatimu? atau Mas...