Dear kamu yang merasa sendiri. Berlari sendiri, dan terjatuh juga sendiri. Mengerang, menghapus airmata, lalu mengobati lukamu sendiri.
Hei, kamu tahu? Betapa inginnya aku menghampirimu, mengusap darahmu dengan tanganku, juga airmatamu?
Tapi kamu tidak ingin didekati. Kamu bersikeras bahwa dunia ini bisa kamu hadapi sendiri.
Padahal, hei, kamu tahu? Aku selalu membuntutimu, berharap bisa menghadapi kejamnya dunia bersamamu?
Andai hatimu masih belum meneguh. Andai jiwamu masih belum terarah. Andai wajahmu masih bisa menoleh. Kamu pasti melihat aku. Ya, AKU. Yang selalu diliputi cemas saat kamu kelelahan, dihantui pikiran-pikiran buruk tentang apa yang bisa kamu dapat, di perjalananmu yang tak singkat.
Tapi aku, tidak punya daya mendekatimu 10 meter pun. Karena kamu sendiri yang telah mendorongku dari jalan ini. Beralasan aku tak mampu.
"Lebih baik menjalani semuanya sendirian sejak awal. Daripada berangkat berdua lalu ditinggal di tengah jalan."
Itu katamu. Betapa dalam menusuk. Menghujamkan kakiku di titik ini. Hingga tak mampu berlari mengejarmu.
Selemah itukah aku, hingga tidak cukup kompeten untuk jadi teman perjuanganmu?
Sepayah itukah aku, hingga kamu memvoniskan eliminasi sebelum aku sempat membuktikan diri?
Sekarang kamu harus bertanggungjawab. Berkat kata-kata pedasmu, aku tak mampu mengejarmu. Tapi berkat cinta yang kamu tanamkan di hati, aku juga tak mampu kembali.
Kamu memaku kakiku di tengah jalan. Tersiksa melihat penderitaanmu, tapi tak bisa menolong atau memalingkan wajah.
Kamu memaksaku mengiris-iris hatiku sendiri. Karena melihatmu menangis seorang diri. Padahal aku ingin sekali kita bergandeng tangan. Saling menuntun. Menghadapi dunia kejam milikmu.
Kalau aku melemahkanmu, silakan memarahiku.
Kalau aku memang payah, silakan meludahiku.
Apa saja…
Yang penting jangan biarkan aku sendiri di sini.
Karena aku ingin apa pun racun yang kamu teguk, juga kuteguk.
Aku ingin apa pun duri yang kamu telan, juga kutelan.
Buatku, lebih baik mati bersamamu. Ketimbang melihatmu mati pelan-pelan tersiksa kesendirian, lalu aku mati pula karena tak sanggup melihatmu seperti itu.
Izinkanlah kisah cinta kita berakhir dengan happy ending. Kamu boleh membawaku ke jurang mana pun, asal kita selalu berpegang tangan.
Berhentilah keras kepala.
Owhhh... Aku lebih ke seni kehidupan. Hanya konotasi tidak ada unsur seni real... Ceritanya sangat dalamnya. Benar benar Kebahagiaan yang menyakitkannnn... 😢😭😭
Comment on chapter 1. Kamu dan Perkakas Lukis