Sudah setahun lamanya, dalam senyumku hanya terukir keputusasaan
Ekspresi mendalam yang tak pernah terbaca karena tak sedikitpun kamu mampu mengejanya
Maka dari itu, dari teras hatimu yang kini hening,
Aku mau berpamitan, mengundurkan diri. Pergi.
Sebelumnya terimakasih, karena bersedia memberi tumpangan sekian bulan
Hatiku yang tak pernah menemukan jalan pulang akhirnya bisa beristirahat. Singgah
Walau hanya bergelung di halaman hatimu yang dingin, aku tak menyesal
Karena kau menjamuku dengan sangat baik.
Ya, walau jamuan itu akhirnya membuatku malah ingin masuk. Menghilang ke balik pintu hatimu yang membuka celah. Dan menghangatkan diri di sana.
Sungguh, aku memang tak tahu diri, ya? Tak bersyukur
Sebelum pisah, ijinkan aku sedikit cerita.
Kamu tahu, sebelum menemukanmu, malam-malamku dipenuhi pinta. Munajat pada Tuhan
Tambatkanlah hati ini sejenak pada sebuah rumah. Hingga ia yang lelah bisa melepas penat di sana.
Dan kamu datang sebagai jawaban. Dengan semua keraguanmu, kenaifanmu, jalan pikiranmu yang terpenjara…
Kamu datang dengan semua kepolosanmu. Sebagai seseorang yang belum menemukan dirimu sendiri
Kebetulan, rupanya aku telah lebih banyak menenggak asam. Menelan garam.
Akhirnya kubagi masamku padamu. Dan kamu pun belajar mengecap asin. Mengetahui kehidupan tidak seputih yang kamu bayangkan
Mungkin kamu tidak sadar, hubungan kita saat itu bak simbiosis mutualisme
Karena bukan hanya kamu yang mendapat pencerahan, namun juga aku.
Karena dengan berbagi asam-garam yang begitu mengkontaminasi hatiku, hidupku jadi tak begitu meracuni.
Namun lalu aku bertindak bodoh. Berpikiran bodoh. Berperasaan bodoh.
Waktu yang berlalu begitu cepat membuatku salah sangka
Rupanya simbiosis mutualisme-ku denganmu kini jadi benalu, yang menggerogoti jiwaku
Aku tergelincir dugaan-dugaanku sendiri. Lalu jatuh di atas genangan pengharapan. Genangan yang perlahan mengisapku. Menarikku menuju kedalaman dunia yang gulita. Dan aku pun buta.
Aku berusaha berenang. Menghela sisa-sisa napasku yang sesak dipukul realita. Cahaya kepasrahan melayang di atasku. Menari-nari. Memikatku dengan sejuknya merelakan asa.
Tanganku menggapai-gapai. Mati-matian coba mencapai nikmat itu. Tapi sayang, bayanganmu selalu melintas. Menghilangkan sejenak kerlap pelepasan yang kucari. Dan aku jadi semakin tenggelam di bawah ketidakpastian.
Barangkali memang sudah takdir Tuhan. Kau tak pernah sekali pun paham keadaanku itu. Hingga akhirnya aku pun harus berjuang sendiri.
Begitulah kisah singkatnya. Entah apa kau memahami maksudnya. Yang jelas ini benar-benar ditujukan untuk kamu. Ya, KAMU.
KAMU yang membuat seorang kuat sepertiku menangis tak beralasan
KAMU yang membuat aku begitu bahagia melihatmu setelah pisah sekian lama
KAMU yang membuatku menjaga hati meski tak punya ikatan apa-apa
KAMU yang kucintai, entah karena apa.
KAMU yang, setelah setahun ini, akhirnya kuberi surat pengunduran hati
Karena aku tak mau tercekik terlalu lama
Owhhh... Aku lebih ke seni kehidupan. Hanya konotasi tidak ada unsur seni real... Ceritanya sangat dalamnya. Benar benar Kebahagiaan yang menyakitkannnn... 😢😭😭
Comment on chapter 1. Kamu dan Perkakas Lukis