Seorang lelaki paruh baya tampak melangkah dengan gerak tergopoh. Bunyi rencengan benda logam yang beradu mulai terdengar manakala lelaki itu mendekati gerbang sekolah, dan seketika ia terkejut melihat sosok cewek berseragam putih abu-abu tengah berdiri di muka pos satpam.
“Kok belum pulang, Neng?” tegur lelaki itu, kunci-kunci yang terkumpul dalam satu ring kawat di tangannya turut tertahan di udara. “Ini udah mau Maghrib. Lagi nungguin siapa?”
Krisan mengalihkan matanya pada Pak Sulikan yang baru saja bicara. Penjaga sekolah yang rumahnya berada dalam komplek SMA Garuda Mandiri itu balas memandangi Krisan, meminta penjelasan.
“Anu,” ujar Krisan bersama tatapan yang sesekali terlempar ke arah jalan raya, kemudian rautnya berubah gusar. “Saya nunggu jemputan, Pak. Udah hampir satu setengah jam, tapi yang ditunggu malah nggak dateng-dateng. Huh!”
Pak Sulikan kontan meringis, menganggap bahwa ledakan itu salah sasaran. “Nggak coba telepon atau sms yang jemput gitu, Neng?” ia berusaha memberi solusi, “Atau mau saya bantu cariin ojek? Atau taksi?”
Sayup-sayup sebuah dering ponsel merayapi udara. Dengan kelabakan, Krisan meraba-raba saku baju dan roknya secara bergantian, lalu tersadar kalau ponselnya terselip di dalam tas yang ia sampirkan. “Woi, Bang! Ente di mana?!” tanpa mengucap salam, cewek itu langsung menempelkan telepon genggamnya sambil nyerocos. Seperti baru tersiram air mendidih, Krisan tahu-tahu terkesiap, “Hah? Kok bisa sih?” Lipatan yang tercetak di wajah Krisan semakin tertekuk ke dalam. “Kutunggu deh sampe motornya bener…,” ucapannya tersendat, seakan orang di seberang sana buru-buru menyela. Kemudian sebuah tarikan napas mengeruak dari mulut Krisan, “Jadi… sekarang Abang nyuruh aku balik sendirian? Gitu?”
Pembicaraan tersebut disudahi dengan awan muram yang membungkus suasana hati Krisan. Jarak antara sekolah dan rumahnya memakan waktu nyaris satu jam, dan pulang dengan ojek, apalagi taksi adalah gagasan gila untuk kondisi koceknya yang menyedihkan. Bayangkan, berapa rupiah yang butuh dikeluarkan hanya untuk ongkos taksi? Tentu, semua perkara akan sangat mudah andaikata Mama dan Papa belum berangkat ke luar kota untuk menghadiri pesta pernikahan sepupu di sana. Sebab sekarang Krisan benar-benar mengalami krisis moneter.
Sialan. Krisan mengutuki kakak laki-lakinya yang memang tidak bisa diandalkan.
“Gimana, Neng? Taksi aja?”
Kontan cewek itu jadi tersentak ketika menyadari sosok Pak Sulikan yang masih berada di dekat gerbang. Tidur di emperan kelas, bahaya nggak, ya? Krisan membatin, mulai ngaco.
Tak lama, sinar lampu kendaraan menyeruak, pelan-pelan sorotnya bergerak dari parkiran menuju gerbang sekolah. Lagi-lagi Krisan terdiam, dan Pak Sulikan refleks menyingkir manakala sebuah Scoopy hitam meluncur ke arahnya. Bunyi klakson yang ditekan dua kali tahu-tahu terdengar.
“Gerbangnya udah mau ditutup ya, Pak?” tanya seorang cowok yang menunggangi motor itu sambil nyengir. “Kalau begitu, saya pamit duluan…”
“Eh,” Pak Sulikan buru-buru berucap sebelum motor tersebut tancap gas, “kamu bisa antar dia?”
Tanpa bersuara, cowok itu mengikuti arah pandangan Pak Sulikan. Di balik kacamatanya, ia langsung menyipit, berupaya mengenali identitas perempuan yang masih berdiri di depan pos jaga dengan tampang memelas.
“Neng!” untuk kali terakhir, Pak Sulikan menawarkan bantuan. “Pulang bareng mas ini saja, ya?”
Krisan menoleh, dan ia yakin kini sepasang matanya tepat beradu dengan tatapan si pengendara Scoopy. Namun, keremangan sekeliling membuat pemandangannya sedikit buram sehingga dari kejauhan, Krisan hanya mampu memindai potongan rambut shaggy yang melewati batas telinga dan kacamata yang membingkai manis kedua belah mata cowok itu. “Emang dia mau, Pak?” Setelah puas memperhatikan, barulah Krisan menyahuti, separuh memekik agar Pak Sulikan—dan cowok itu—mendengar sempurna.
Selang beberapa detik, bibir Pak Sulikan bergerak seperti mengatakan sesuatu pada cowok itu, lalu mengangguk ke arah Krisan dengan wajah sumringah. Seolah menjadi pertanda, cowok dengan Scoopy yang mesinnya masih menyala itu segera berbelok dan menghampiri Krisan yang tiba-tiba tertegun.
“Yok, naik.”
Pendaran bohlam yang menerangi petak pos jaga di belakangnya secara tidak langsung telah memperjelas penglihatan Krisan. Awalnya ia tidak percaya, tetapi, istilah “sengsara membawa nikmat” ternyata benar adanya. Beberapa waktu ke belakang, kelakuan abangnya yang rese berhasil membikin Krisan misuh-misuh sendiri. Namun sekarang, perasaan mangkel yang sempat meletup-letup dan membuat hatinya meradang itu terbayarkan sudah.
Boleh saja Krisan merasa girang dan menganggap dirinya sebagai manusia paling beruntung, tetapi hal itu tidak harus membuat wibawanya luntur. Maka buru-buru cewek itu mengatur ekspresi wajahnya agar tetap rileks, lalu menyeret langkah maju dan segera menduduki jok belakang yang kosong. Begitu pantatnya sukses menempel pada jok, ia langsung menghela berat karena sedari tadi terus menahan napas. Dan ketika harum floral dari kemeja seragam cowok itu merasuk tuntas ke seluruh penciuman, sekuat mungkin Krisan mencegah gerak tubuhnya untuk tidak bersandar pada punggung di hadapannya.
Saking senangnya, hampir saja Krisan menjerit histeris.
-oOo-
“Eh, gue belum cerita ya sama elu?” Keesokan harinya, Krisan langsung berceloteh dengan teman sebangkunya, Sonya, sewaktu jam istirahat berlangsung.
Sonya mengantongi uang sepuluh ribu di sakunya lalu menoleh pada Krisan yang sudah bangkit dari bangku. “Cerita apaan?”
“Kemaren gue dianterin balik sama seseorang.”
Sepasang mata Sonya seketika melebar. “Oh ya?!” serunya, antusias, “Kok bisa?”
Krisan mengekeh seolah tengah menyimpan ribuan konspirasi. “Abang gue kan nggak bisa jemput, tuh. Nah, tiba-tiba ada pangeran tampan baik hati yang bela-belain nganter gue sampe rumah!”
“LU SERIUS?”
Kontan Krisan menempelkan telunjuknya ke depan bibir dan Sonya lekas membungkam rapat mulutnya sendiri. Ini sebuah keajaiban mengingat sepanjang pertemanannya dengan Krisan, baru kali ini Sonya mendengar manusia itu bicara blak-blakan soal cowok cakep.
“Cerita dong, Kris, cerita!” desaknya setelah mereka berdua sudah tiba di warung bakso. “Entar gue ceritain juga soal cowok yang gue taksir dari zaman kita masih MOS! Ha-ha-ha!”
“Ehe, sabar...” Sebelah tangan Krisan mengibas-ngibas sambil duduk menghadap pintu masuk. “Pesan makanannya dulu,” ujar cewek itu lagi begitu Sonya mengisi bangku di depannya.
Setelah semangkuk mi ayam dan seporsi bakso tersaji di atas meja mereka berdua, barulah Sonya membuka percakapan kembali, “Asek, gue nggak nyangka ternyata lu masih demen sama cowok …”
Krisan tergelak sambil menusuk telak bola baksonya dengan ujung garpu. “Dia ganteng sih.”
Sonya turut terpingkal. “Bisa baper pula,” godanya seraya menyumpit mi ayam di mangkuk. “Emang cowok itu siapa? Anak sini ya?”
Baru saja Krisan hendak menjelaskan lebih rinci, namun orang yang menjadi objek perbincangan tahu-tahu muncul dari pintu masuk. Bersama rambut yang sedikit gondrong, tubuh jangkung dan kacamata di wajahnya, sosok itu duduk tepat di belakang Sonya.
Sembari gelagapan, Krisan menepuk-nepuk lengan Sonya. Awalnya cewek itu tidak mengerti, tetapi akhirnya ia menoleh juga dan menangkap sosok yang mengejutkan. Cepat, Sonya menghadapkan wajahnya kembali pada Krisan yang mendadak salah tingkah. “Itu… itu… cowok yang nganterin gue—”
“Kris, Kris…” Seketika semu merah di wajah Sonya bersemburat saat dia menoleh menghadap cowok tersebut, lalu buru-buru memalingkan kepala untuk menatap Krisan lagi. “Itu… Kak Wira! Ya Tuhan, sekarang sudah pakai kacamata, toh?” bisik Sonya, separuh tersipu. “Kris, gilaaa. Gue harus gimana? Udah dari dulu gue naksir dia!”
Seketika bakso yang menghuni rongga mulut Krisan terasa dibubuhi lima kilo cabe.
“Nah… sekarang lu sudah tahu kan, siapa gebetan gue? Ya ampun…” Sonya terus berceloteh tanpa menyadari air muka Krisan yang berubah. “Dia makin ganteng aja, ya?”
Diam-diam Krisan mencuri pandang ke arah Kak Wira yang sudah mengisi bangku dekat pintu, sedang memesan nasi goreng dan es jeruk. Ganteng… iya banget! Krisan berteriak dalam sunyi. Mengutuki nasibnya yang malang, sebab mana mungkin dia tetap maju sementara Sonya sudah terlebih dahulu naksir Kak Wira.
“Oh iya,” seolah baru teringat, Sonya tahu-tahu mengembalikan topik semula, “katanya lu tadi mau cerita?”
Jelas Krisan jadi termangu-mangu. Bagaimana bisa dia harus bersaing dengan sahabatnya sendiri? Bagaimana mungkin keduanya bisa menyukai cowok yang sama? Kebetulan macam apa ini? Argh—tanpa sadar, Krisan menusuk-nusuk bola baksonya dengan kalut.
Selamat tinggal, Pangeranku…
“Kris?” Sonya menegur, wajahnya tampak heran sekaligus bingung. “Gimana? Gue nungguin lu cerita, nih.”
“Eh.. ehe.” Seperti kerupuk tersiram air kobokan, Krisan kontan jadi melempem, dan ia merasa pembicaraan ini tak perlu dilanjutkan. “Nggak jadi deh.” [ ]