Read More >>"> Slash of Life (Empat) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Slash of Life
MENU
About Us  

Jam-jam telah berlalu dan matahari sudah tinggi di angkasa. Nadia merasa tangannya sudah pegal-pegal memainkan lagu-lagu klasik. Ditambah lagi kepalanya sakit dan matanya terasa bengkak, mungkin efek beberapa hari berturut-turut menangis sampai ketiduran.

Seminggu terakhir ini, baru hari ini Nadia keluar kamar. Kadang dia memainkan permainan di laptopnya, kadang membaca beberapa buku yang ada di kamarnya, yang semuanya tidak menarik karena bukan dia yang menaruhnya di sana. Kadang Nadia memainkan violin. Nadia tidak bisa main violin, karena tidak ada yang pernah mengajarinya. Dia hanya sempat mengunduh video tutorial dari internet lalu mulai mencoba-coba. Menurutnya violin lebih menyenangkan daripada piano, walau dari segi rasa sakit sepertinya lebih parah karena sekarang ujung-ujung jarinya mulai kapalan. Dalam beberapa hari dia sudah bisa memainkan lagu sederhana.

Meskipun demikian, tak sedetik pun dia berhasil melupakan kejadian minggu kemarin. Dia  merasa seperti baru saja meruntuhkan rumah-rumahan kartu yang sudah bertahun-tahun dibangunnya.

Hanya bisa dijelaskan dengan satu kata. Bodoh.

Setelah kejadian itu, besok paginya Nadia dipanggil ke ruang kerja Nenek. Nadia langsung merasa seperti kelewatan anak tangga saat turun. Nenek hanya memanggilnya ke ruang kerja kalau mau membicarakan sesuatu yang sangaaaaaaaaaat penting dan biasanya menyangkut masa depannya.

Nadia kurang suka berada di ruang kerja Nenek. Dinding-dindingnya dipenuhi oleh foto atau lukisan pemimpin-pemimpin keluarga sebelum Nenek. Lemari-lemari dari kayu jati dan kaca memajang buku, album, dan pusaka keluarga. Barangkali, ruang kerja nenek adalah ruangan paling Brahmadibrata di seluruh komplek ini. Berada di dalamnya membuat Nadia gugup tidak karuan. Dia merasa dipandangi oleh puluhan pasang mata yang tergantung di dinding; wajah-wajah yang siap menunjukkan ekspresi jijik jika Nadia salah bersikap sedikit saja.

Benar saja, hal pertama yang diucapkan Nenek memuat Nadia hampir berderai air mata lagi.

“Kamu tidak perlu lagi pergi ke sekolah itu.”

Nadia merasa seperti mendengar suara Nenek dari balik tabir.

“Kamu berhenti saja dari SMA Waditranagara. Lanjutkan pendidikanmu di rumah. Lagipula pelajaranmu sudah lebih maju daripada sekolah macam itu.”

“T-tapi… um… bukannya Nenek sudah janji… um… saya boleh di sana sampai lulus?”

Nenek tidak mengangkat wajah dari dokumen-dokumen yang sedang dibacanya.

“Apa gunanya? Malah Nenek dengar kemarin itu kamu mau kencan dengan laki-laki sembarangan?”

Nadia berjengit. Bagaimana Nenek bisa mendapat informasi semeleset itu? Dari Rena? Atau apakah para pelayan yang membantunya berdandan menggosip di belakang Nadia? “Bukan kok, Nek. Saya kemarin mengerjakan tugas kelompok.”

“Mengerjakan tugas di mall?”

“Tugasnya… um… rekreasi…” kata Nadia dengan suara kecil, tiba-tiba merasa konyol. Padahal sebelumnya dia sangat menanti-nantikan tugas itu.

“Kamu mau membohongi Nenek?” tukas Nenek sambil memelototi Nadia.

Sampai situ, Nadia hanya diam saja, termenung-menung sementara Nenek terus bicara soal persiapannya keluar dari Wadit.

Nadia mendesah. Dia menyesal sekali.

Sebetulnya Nadia merasa bersalah soal ini, tetapi dia merasa lebih bahagia di sekolah. Guru-guru di sana tidak akan melapor kepada Nenek soal hal-hal terkecil. Dia juga bisa bertemu dengan anak-anak sebaya yang tidak mencibir setiap melihatnya. Memang sih, selama kelas satu dia tak punya teman di sekolah. Nadia sangat takut berinteraksi dengan yang lain. Apalagi, sepertinya semua orang sudah saling mengenal; Nadia tidak berani menyusup ke dalam kelompok-kelompok itu.

Nadia berharap dia bisa mengubah kehidupan kelas satunya yang menyedihkan di kelas dua, tetapi kekikukannya membuatnya tersandung meja dan jatuh dengan spektakuler. Untung saja para bodyguard tidak ikut masuk ke bagian dalam sekolah, atau kabar soal itu bisa segera sampai kepada Nenek.

Nadia mendesah lagi.

Mungkin Nenek benar, sekolah di luar hanya akan membuang-buang waktu.

Sekarang Nadia hanya berharap Dio dan Ken tidak melaporkan keanehannya ke wali kelas mereka. Sejak awal Dio sudah tidak suka satu kelompok dengannya. Mungkin dia akan meminta Pak Marzuki mengeluarkannya dari kelompok itu. Ken selalu bersikap baik padanya, tapi Nadia ragu Ken masih berpikir begitu setelah Sabtu kemarin. Lagipula, Ken dan Dio terlihat akrab. Kalau Dio tidak menyukai Nadia, Ken pasti lebih cenderung mengikutinya.

Nadia tidak pernah mengira kehidupan di luar istana ternyata bisa lebih rumit.

“Nona, Nona,” sebuah tangan tiba-tiba menepuk bahu Nadia, membuatnya terlonjak. Tangannya menekan tuts piano keras, menimbulkan bunyi jreeeng yang kencang dan tidak menyenangkan.

Nadia menoleh. Guru pianonya menatapnya dengan alis berkerut penuh penyesalan. Atau mungkin menatap pianonya, Nadia tidak terlalu peduli siapa yang dikasihani Miss Adelia.

“Nona tiba-tiba ganti lagu di tengah-tengah,” katanya.

Ah ya. Pikirannya melayang kemana-mana sehingga tahu-tahu saja tubuhnya seperti bekerja secara autopilot. Memang rasanya tadi Nadia sudah tidak memainkan Chopin lagi.

“Maaf,” katanya segera.

“Bagaimana kalau latihan hari ini sampai sini aja?”

Nadia mengangguk. “Iya, maaf.”

“Nggak apa-apa, Nona. Kalau sedang punya masalah, kadang main musik bisa jadi susah. Lalu barusan ada pelayan kemari, katanya Nona diminta ke ruang tamu anggrek.”

Nadia mengangkat sebelah alis. “Ruang tamu anggrek?”

“Ya, ada yang mencari Nona.”

Ruang tamu anggrek adalah ruangan yang letaknya dekat paviliun utama dan biasanya tidak digunakan untuk pertemuan formal. Biasanya untuk menjamu teman keluarga yang berkunjung.

“Siapa?” tanyanya. Kak Gyro? tambahnya dalam hati. Tapi kalau dia, biasanya tak akan menunggu di ruang tamu manapun. Dia pasti akan memilih salah satu saung di taman-taman.

“Pelayan bilang temannya Nona.”

Ini lebih aneh lagi. Nadia kan tidak punya teman. Kecuali—

Nadia menggelengkan kepala.

“Baiklah. Terima kasih untuk pelajaran hari ini.”

“Sama-sama, Nona. Semoga masalah Nona cepat selesai.”

Nadia mengamini doa itu dengan khusyu.

Mereka keluar ruang piano bersama-sama, lalu berpisah saat Nadia harus berbelok menuju ruang tamu anggrek; seorang pelayan sudah menunggu Miss Adelia untuk mengantarnya ke luar. Begitu sampai depan ruang tamu, Nadia menarik napas dalam-dalam. Dibukanya pintu kayu besar itu perlahan.

“Nadia!!!” suara yang familiar itu menyambutnya.

Nadia hampir saja mau menutup pintu lagi, mengira telinganya menipunya.

Tapi benar kok, yang ada di dalam ruangan itu teman satu kelompoknya, Dio dan Ken. Dio mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana jins. Ken mengenakan kemeja putih licin, rok span hitam setengah betis, dan sepasang pantofel hitam seperti orang yang mau melamar kerja. Bahkan rambutnya yang panjang disanggul, walau tidak terlalu rapi.

“Kenapa kalian bisa ada di sini?” tanya Nadia heran.

Ken tiba-tiba menyikut Dio dan berbisik sesuatu. Nadia langsung merasa sadar diri.

“Nah itu, ayo ngobrol,” ajak Ken, setelah Dio memberinya gestur “entahlah”. Malah Ken yang mendorong Nadia supaya duduk, padahal dia yang tamu.

Mereka duduk mengelilingi meja bundar kecil, yang di atasnya sudah dihidangkan teh dan kue-kue kecil. Gelas Dio kosong, sementara gelas Ken penuh, tapi Nadia ragu itu masih segelas teh pertamanya.

“Kamu apa kabar Nad? Kok nggak masuk seminggu ini?” tanya Ken.

Nadia mengangkat wajah, menatap Ken lurus-lurus. Kenapa mereka menanyakan soal ini? Neneknya pasti sudah memberitahu sekolah bahwa dia akan keluar kan? Atau pertanyaan Ken maksudnya alasan dia keluar?

Sebelum Nadia sempat menjawab, Ken sudah nyerocos. “Kata Bos kamu mau pindah sekolah ya? Kenapa Nad? Gara-gara Dio ya? Kamu masih sebel sama omongannya kampret tiang listrik satu ini ya? Aku tau nih gantungan jemuran emang mulutnya agak-agak minta dipretelin, tapi dia bukan orang jahat kok, Nad. Suer. Lama-lama kamu pasti biasa kok. Eh enggak, itu salah juga sih… tapi maksudku, Dio ini udah default-nya ngomong yang nggak enak, jadi kalo dia ngomong kayak kemarin lagi, anggep aja angin lalu. Ya? Oke?”

Kalau bukan karena sedang lelah, sepertinya Dio bakal mencekik Ken sampai tewas.

“Nggak kok, Ken,” kata Nadia buru-buru. “Bukan karena Dio. Malah kalian udah baik banget sama saya.”

Dio langsung menyambar, “Wee, dia bilang gue baik.”

Sebenarnya sulit sekali bagi Nadia mengatakan itu, karena walaupun Dio dan Ken memang sudah baik banget mau memperlakukannya sebagai orang biasa, kata-kata Dio waktu itu melukai perasaannya sedikit. Kalau bisa sih Nadia ingin tidak usah berinteraksi lagi dengan Dio dan Ken, tidak ingin membuat mereka melihat semakin banyak keanehan pada dirinya.

Lebih-lebih lagi, Nadia belum siap kalau kebenaran tentangnya terungkap—meskipun, mungkin hal itu sebenarnya sudah jadi rahasia umum.

“Beneran Nad, bukan karena kamu sakit hati? Soalnya waktu itu kan Dio keterlaluan banget. Kamu juga langsung pergi, dan besoknya nggak pernah masuk sekolah. Terus, soal pindah itu Bos belum bilang apa-apa ke yang lain, dan sepertinya Pak Kepsek juga cuman baru ngabarin Bos. Mereka kuatir kamu dibuli di sekolah. Dan kami juga merasa bersalah banget soal kejadian minggu kemaren itu. Maaf banget Nad, anak ini emang suka nggak mikir dulu sebelum ngomong. Dia nggak kamu anggap temen juga nggak apa-apa kok, aku rela.”

“Kenapa lo yang rela?!” sela Dio.

Nadia menggeleng. Dia ingin segera pergi. Dia merasa akan melakukan kesalahan, entah bagaimana, jika bertahan di tempat ini lebih lama lagi. Dia kan mau keluar sekolah, mereka tidak akan bertemu lagi. Kenapa Dio dan Ken mesti bersusah-payah kemari?

“Nggak, kok, saya nggak merasa sakit hati soal itu. Sebenernya… sebenernya semua ini salah saya sendiri. Prestasi saya menurun, jadi menurut Nenek sebaiknya saya berhenti belajar di SMA, begitu…”

Dio dan Ken bertukar pandangan. Dio mengangkat teko dan menuang teh ke gelasnya, lalu diminumnya. Mengernyit sedikit, mungkin karena tehnya pahit.

“Gara-gara waktu lo abis dipake di luar rumah, trus lo jadi nggak ada waktu belajar macem-macem ya?” kata Dio. “Iya, mungkin buat orang kayak lo sekolah itu cuma tempat buang-buang waktu aja. Pasti lo nggak betah kan ngumpul bareng-bareng kaum proletar?”

Nadia tersentak.

Plak! Tangan Ken melayang ke mulut Dio.

“Ahahahahaha… inget kataku barusan, Nad. Dio ngomong yang jelek-jelek tuh udah default. Nggak usah dimasukin hati, hahahahahahehkampretjagabacot!” Ken menggeramkan kata-kata terakhir ditambah pelototan pedas semematikan basilisk, sementara Dio balas memandangnya sebal, tapi dengan mata berair menahan perih.

Dio menepis tangan Ken, sudut bibirnya berkedut.

“Gitu ya,” gumam Nadia.

Ken mengerjap. “Hm? Apa?”

“Jadi gitu menurut kalian!” seru Nadia. Kedua tangannya menggebrak meja dan dia setengah melompat berdiri. Kursinya sampai terjungkal dengan bunyi brak keras. “Iya, saya emang nggak betah di sekolah! Siapa yang betah? Nggak ada yang mau bicara sama saya. Semua orang berprasangka soal saya. Teman-teman, guru-guru, semuanya. Katanya sesama warga sekolah itu satu keluarga. Mana?! Semua orang nganggap saya beban. Saya seperti tumor. Soal kelompok itu, kalian pasti kesal kan satu kelompok sama saya? Kalian pasti berharap saya nggak duduk di depan kalian. Kalian pasti lebih suka nggak bareng-bareng saya. Iya kan? Kenapa kalian ke sini hari ini? Kalian pasti lebih suka saya keluar dari sekolah dan nggak jadi beban kalian lagi!”

Ken terlihat speechless. Wajahnya pucat dan matanya membulat. Dia juga berdiri, pandangannya membuat dada Nadia serasa ditusuk-tusuk. Sementara Nadia terengah-engah, Ken kelihatan tidak bernapas sama sekali. Di sebelahnya, Dio sama terdiamnya, menatap Nadia seolah-olah Nadia tiba-tiba menumbuhkan tanduk di kepalanya. Habis sudah. Kalau dengan kejadian-kejadian sebelumnya saja Dio sudah tidak menyukainya, sekarang Dio pasti benar-benar benci.

“Fuuuu…” Ken menarik napas sampai dadanya mengembang. “Haaaaa…”

Nadia tanpa sadar bergerak mundur. Ken tersenyum kecut. Dia menudingkan sikutnya ke lengan Dio.

“Barusan itu suara Nadia yang paling kenceng yang pernah kita denger, ya nggak? Panjang pula. Kayaknya tadi itu sampe dua paragraf, gimana menurutmu?”

Dio berpaling pelan-pelan, mengalihkan tatapan lo-udah-jadi-monster-bertanduk-nya kepada Ken. Ken malah nyengir, membungkukkan badannya ke depan, tangan bertumpu di atas meja.

“Kalau soal prasangka, bukannya kamu juga melakukan hal yang sama, Nad?” ujar Ken, di luar dugaan nada bicaranya tenang seperti permukaan air yang dalam. “Kita bahkan belum saling kenal kan? Kenapa kamu langsung ngira kalo aku nggak suka sekelompok sama kamu? Jujur emang aku sempet berpikir bakal susah banget satu kelompok sama kamu. Aku mikir mungkin kamu nggak bakal suka sifat aku yang tomboi.

“Tapi toh di kelompok kita ada benda ini nih. Apa sih yang lebih susah daripada ngerjain sesuatu bareng Dio? Sepanjang hampir tujuh belas tahun aku hidup, nggak ada, Nad. Aku serius. Kalo Dio ada di cerita Tangkubanperahu, pasti Dayang Sumbi nggak bakal minta Sangkuriang bikinin telaga. Beneran ini.

“Kamu mungkin mikir, ya itu masalah Dio, ya kan? Masalah orang lain nggak seperti masalah kamu. Kamu merasa semua yang kamu sebut tadi, tapi memangnya kamu pernah tanya apa pendapat orang soal kamu?

“Belum apa-apa, kamu udah mengurung diri dalam pikiran-pikiran kamu sendiri. Nah, sekarang, siapa yang berprasangka?”

Nadia ingin memalingkan wajah, tetapi tatapan Ken membuatnya mematung. Dia merasa otot-ototnya terkunci, kedua matanya terpaku ke wajah Ken. Sekitar mereka seperti melebur menjadi campuran warna, sementara Nadia bisa melihat wajah Ken secara mendetil: menyadari kulitnya yang sedikit gelap, bentuk rahangnya yang kaku dan kuat, sepasang matanya yang berkilat-kilat di balik kacamatanya, seperti melihat menembus apa yang kasatmata.

Nadia tidak pernah benar-benar melihat lawan bicaranya sebelumnya. Banyak sekali yang tergambar di sana. Ekspresi, pikiran, masa lalu.

Nadia tersadar… begitu banyak yang terlewat olehnya!

Jika Nadia berusaha lebih keras menatap Nenek, mungkinkah dia bisa lebih memahami beliau?

Suara Ken membawa Nadia kembali dari dasar pikirannya.

“Aku bukan mau nyalahin kamu. Aku mau ngajak kamu ngeliat situasi ini dari sudut pandang lain. Mungkin… mungkin, orang tuh nggak mau ngobrol sama kamu karena kamunya nggak mau ngomong sama mereka.

“Oke, mungkin emang banyak sih yang nggak berpikir kayak gini. Aku juga nggak bisa jamin seratus persen orang langsung mau nerima kamu hanya karena kamu inisiatif duluan.

“Tapi…”

Ken terhenti, menelan ludah. Dia menoleh kepada Dio, yang memberi gestur melanjutkan, seratus persen menyerahkan urusan kepada Ken. Ken terlihat kesal karena permintaan tolongnya tidak ditanggapi, tapi dia menarik napas dalam-dalam, melanjutkan.

“Tapi mungkin kamu bisa coba nerima orang yang mau berteman sama kamu tanpa banyak mikir. Mungkin aja, di antara kami-kami ini, ada yang memang tulus.”

Ken terhenti lagi, bola matanya tiba-tiba bergulir ke kiri dan ke kanan, seperti mencari jalan kabur.

“Aku, misalnya,” katanya lirih, seperti malah berharap tidak kedengaran. Namun Nadia bisa mendengarnya dengan jelas. “Yah, menurutku ada beberapa orang di kelas kita yang mau berteman sama kamu. Trus… kamu tau Nando? Ketua OSIS kita? Dia juga pengen berteman sama kamu. Dio sih nggak usah dianggap, cuekin aja—“

“Hei!” protes Dio.

“—Kalo kamu nggak punya temen karena orang-orang emang nggak mau temenan sama kamu, itu bukan masalah kamu. Tapi kalo kamu nggak punya temen karena kamu nganggep orang yang mau sebenernya nggak mau, ya itu sih…”

Di akhir penuturannya, Ken mengangkat bahu. Bibirnya masih menyuratkan senyuman, mukanya kelihatan berseri-seri.

Dio melipat lengan. “Jadi setelah lo ngata-ngatain gue, sekarang lo ngomong yang sama kerasnya, Ken?”

Ken berjengit. Dia buru-buru mendekati Nadia. “Sori Nad, yang tadi itu terlalu keras ya? Aku nggak bermaksud bikin kamu tambah nggak suka. Aku cuma pengen ngasih tau kalo aku nggak kayak yang kamu bilang. Aku juga nggak nganggep kamu sombong kok. Kalo Dio ngomong gitu, balik lagi ke apa yang aku bilang tadi, nggak usah dengerin dia. Oke? Oke?”

Kalau boleh jujur sih, Nadia merasa sekelilingnya ini seperti kabut putih; samar dan asing. Kemudian, tiba-tiba kedua tangannya diraih. Wajah Ken menyeruak dari balik kabut, tatapannya bersinar cerah menyilaukan. Nadia merasa seperti tidak lagi berpijak. Dia kehilangan konsep ruang dan waktu.

“Pasti dia shock dinasehatin lo,” komentar Dio.

Ken berpaling ke Dio dengan begitu cepatnya sampai lehernya berderak. “Kalo nggak mau bantu, mending diem aja deh!” bentaknya.

Tampang Dio semakin masam. Katanya pada Nadia, “Lo mesti banyakin piknik Nad. Jangan di rumah mulu. Ajakin si Ken tuh, jalan-jalan kemana kek. Nggak usah pake paman-paman bodyguard segala. Kalo cuma mengawal elo sih, cetek buat dia. Mungkin kalo lo lebih banyak liat dunia luar, lo nggak bakal nganggep diri lo spesial lagi. Lo cuma manusia biasa. Lo nggak harus perfect, nggak harus disukai banyak orang. Dan lo nggak bakal terlalu musingin nggak punya temen di sekolah karena nggak punya temen itu biasa aja. Dan lo bakal belajar untuk nggak kabur dari sesuatu yang nggak bisa lo kerjain dengan baik.

“Tapi kalo lo emang nggak mau sekolah lagi ya terserah aja. Gue nggak suka aja kalo lo mengambinghitamkan sekolah sebagai penyebab lo keluar, saat kenyataannya lo sendiri yang pengen lari.”

Dio menghabiskan tehnya sebelum berkata kepada Ken, “Buruan beresin urusan lo. Males kalo kemaleman, macet. Gue tunggu di luar.”

Kemudian dia melengos ke luar ruangan, pintu ditutup pelan.

Ken memijit-mijit pelipisnya, kelihatan kesal sekaligus bingung.

Sementara itu, jantung Nadia berdegup sangat kencang sampai-sampai rasanya sulit bernapas. Kenapa sih kata-kata Dio selalu menohoknya telak? Rasanya seperti ditonjok di ulu hati. Apa karena Dio dengan tepat mengucapkan hal-hal yang mengganggu pikirannya? Apakah Nadia ingin lari dari masalah tanpa menyelesaikannya? Padahal cowok itu yang bicara seenaknya, tapi kenapa malah Nadia yang merasa salah?

“Nad?” Ken menepuk pundak Nadia. “Kamu… nggak apa-apa?”

Nadia menggeleng.

“K-kalau kalian mau minta maaf soal minggu kemarin, saya udah maafin kok, Ken. Um… malah harusnya saya yang minta maaf karena udah nyusahin kalian.”

“Nad, nggak gitu! Kamu nggak nyusahin sama sekali. Kamu denger kan apa yang aku omongin tadi? Si Dio itu emang orangnya gitu, dia malu kalo dianggap baik sama orang lain. Dan maksud kami kemari bukan cuma soal minggu kemarin itu, tapi soal rencana kamu pindah juga. Kamu emang segitu nggak betahnya sekolah di Wadit? Kan sekarang ada aku?”

Pipi Ken merona ketika dia mengucapkan kalimat terakhir itu.

“Ini udah keputusan Nenek,” kata Nadia. “Memang pekerjaan saya lumayan banyak, susah menyelesaikan semuanya kalau saya harus ke sekolah juga.”

Ken menggaruk dagu. “Hmmm... jadi seterusnya bakal balik homeschool?”

“Iya.” Nadia membuang pandangan ke taman di luar jendela.

“Kamu kayaknya nggak terlalu seneng. Kamu masih pingin sekolah di Wadit?”

Nadia menghela napas. “Saya nggak tau. Soal… soal nggak betah itu… setengah bener.”

“Setengah bener?”

“Saya emang kurang suka ada di sekolah, soalnya selain kelas, saya nggak ngerjain hal lain. Anak-anak yang lain sepertinya punya kegiatan macam-macam, ikut ekskul. Saya kan enggak. Tapi kalau sekolah, saya jadi bisa keluar rumah.”

Ekspresi Nadia seperti maling ketahuan, membuat Ken memutar otak mencari kata-kata yang tepat.

“Kalo kamu nggak betah di rumah, nggak usah takut cerita ke aku,” katanya hati-hati. “Maksudnya, aku kan bukan orang sini, jadi kamu nggak usah ngerasa nggak enak. Aku juga sering males kok di rumah, pengennya kelayapan. Makanya dulu—nggak, itu cerita buat lain kali. Intinya aku paham kok kalo kamu pengen ngabisin waktu di luar. Apalagi kamu kayaknya selalu ada kerjaan.”

Nadia akhirnya membangunkan kursinya dan duduk, tidak sanggup lagi melanjutkan pembicaraan sambil berdiri. Tahu-tahu, entah bagaimana, kata-kata meluncur begitu saja dari mulutnya.

“Mungkin kata Dio bener, saya cuma pengen lari dari masalah. Saya nggak betah di rumah, jadi saya minta Nenek sekolahin di luar. Tapi begitu kehidupan sekolah ternyata susah, saya pengen pergi dari tempat itu. Sekarang saya bingung, kalau saya mau lari, saya nggak tau harus lari kemana. Saya juga nggak berani menyangkal Nenek. Kalau bukan karena Nenek, saya entah ada dimana sekarang.”

Mereka diam selama beberapa waktu. Ken menegakkan tubuh, stretching ke kiri dan ke kanan, minum, lalu diam lagi.

Nadia merasa wajahnya memanas. Baru kali ini dia mengutarakan semua itu. Mungkin karena Ken orang yang sama sekali asing? Orang asing tidak akan men-judge, juga tidak akan sok ngasih solusi. Karena kadang orang curhat bukan butuh dikasih solusi, tapi butuh didengarkan.

“Kamu mau balik ke Wadit nggak Nad?” tanya Ken akhirnya, berjongkok di depan Nadia. “Aku nggak bisa janji aku bakal jadi temen yang baik, dan aku nggak bisa janji pengalaman bersekolah kamu bakal ngasih kenangan indah. Tapi kalo kamu pengen lanjut sekolah di sana, bareng aku, senggaknya aku bisa jamin kamu punya satu orang yang bisa diandalkan. Kamu bahkan bisa ngitung Bos, walopun agak-agak serem kayak bos mafia, tapi beliau kayaknya guru yang lumayan asik deh. Mungkin, sih.”

“Masalahnya bukan soal saya mau atau enggak,” Nadia bergumam murung. “Nenek yang menyuruh saya keluar. Gara-gara… gara-gara saya berbuat kesalahan.”

“Kamu merasa yang kamu lakuin emang salah?”

“Iya.”

“Kamu pernah ngelakuin kesalahan ini?”

“Nggak pernah. Biasanya—biasanya saya lebih tenang.”

Ken tidak menanyakan kesalahan apa yang sudah dilakukan Nadia, tapi sepertinya dia memang tidak butuh detail.

“Kalo gitu coba nego aja sama nenek kamu, Nad,” kata Ken ringan. “Aku nggak tau apa yang terjadi, dan aku nggak tau nenek kamu segalak apa, tapi kalo ini kesalahan pertama, aku rasa nenek kamu bakal mau ngasih toleransi. Kamu juga bukan orang yang cuma omong doang kan, jadi kalo kamu bilang terus terang kamu menyesal dan nggak akan mengulangi kesalahan yang sama, nenek kamu nggak bakal susah dibujuk. Menurutku sih.”

“Tapi Nenek nggak suka kalau ada keputusannya dinego.”

“Coba cari momen yang santai. Mungkin kemarin-kemarin nenek kamu masih bete. Mungkin dia lagi capek juga.”

Nadia memandang Ken lurus-lurus. “Gitu ya, Ken?”

“Iya, orang tua itu emang kadang kayaknya nggak mau denger pendapat kita, tapi sebenernya mereka itu pengertian kok. Cuman kadang kitanya yang mesti pinter-pinter berstrategi, apalagi kalo kita yang mau minta. Mengalah untuk menang… kira-kira begitu. Aku yakin nenek kamu sayang sama kamu, beliau pasti nggak mau kamu sedih. Pokoknya kamu coba dulu, tunjukin kalo kamu emang pengen lanjut di Wadit.”

Berstrategi. Nadia merasa ditonjok sekali lagi. Sepertinya dia tak hanya bersikap tidak adil pada Dio dan Ken, tapi juga pada Nenek. Nadia selalu merasa tak ada satu pun yang bisa dilakukannya untuk membalas kebaikan Nenek. Secara tak sadar, dia telah menganggap hubungannya dengan Nenek sebagai transaksi bisnis. Dia tak pernah berpikir bahwa dia juga bisa meminta sesuatu pada Nenek. Apa Nenek akan mendengarkan permintaannya?

“Tapi saya ragu Nenek bakal mau mengubah keputusannya,” ucap Nadia.

Ken menggeleng.

“Jangan gitu, kamu coba dulu. Kamu kan nggak minta yang aneh-aneh juga. Kamu juga nggak pernah minta yang aneh-aneh sebelumnya kan?”

Sekarang Nadia yang menggeleng.

“Ken, saya malu.”

“Hah, kenapa?”

“Udah teriak-teriak seperti tadi. Pasti Dio makin nganggap saya aneh.”

Ken spontan tertawa. “Ga apa-apa kali Nad. Justru ga sehat kalo kamu kesel dan semuanya selalu dipendam. Senggaknya sekarang kan aku jadi ngerti perasaan kamu.”

Nadia mengangguk.

“Jadi kamu bakal balik ke sekolah kan? Fyuh… lega rasanya masalah ini udah beres. Nah, kali ini aku setuju kata Dio, kayaknya kami mesti segera pulang kalo nggak mau kemaleman di jalan.”

Mereka bangkit. Nadia mengantar Ken ke pintu.

“Makasih ya Ken,” bisik Nadia.

No problem,” Ken menggeleng.

“Oya, tunggu sebentar. Biar saya telepon supir supaya nyiapin mobil!” kata Nadia, mengambil telepon dari sebelah pintu.

“Hm? Buat apa?”

“Biar kalian pulangnya dianter sampe rumah.”

“Wah nggak usah, kita ngangkot aja!”

“Jangan Ken, kan lebih cepet kalo dianter. Katanya angkot suka ngetem kan?”

“Iya sih…”

Nadia sudah menekan tombol-tombol angka. Tak lama kemudian, terdengar suara jawaban. Nadia baru akan menyebutkan permintaannya saat terdengar suara jeritan dari luar ruang tamu anggrek.

Ken langsung membuka pintu, melongok ke arah asal suara. Dio yang rupanya sejak tadi berdiri senderan di sebelah pintu, kelihatan terperanjat.

“Ada apa?” tanya Ken.

“Nggak tau.”

Mereka memandang ke ujung lorong, yang menghubungkan ruang tamu ini dengan paviliun sebelah. Di sana berdiri seorang cewek cantik dengan rambut bob sebahu, menatap Dio penuh horor.

“K-kok ada Dio?!” seru cewek itu. Suaranya yang lirih menggema di lorong yang sepi.

“Temenmu?” tanya Ken dengan mata terbelalak. Dia sendiri terlihat agak mengenali, tapi tidak yakin.

Dio mengangkat bahu. “Nggak kenal.”

“Tapi dia tau namamu.”

“Kenapa ada Ken Ratu juga? Nadia?”

“Dia juga tau nama lo,” kata Dio kepada Ken.

Ken terperangah.

Anak itu berjalan cepat-cepat menuju mereka. Rahang Nadia mengatup keras. Plester bening nampak tertempel di pipinya. Perut Nadia bergejolak tidak nyaman melihatnya, tetapi Nadia tidak yakin akan perasaannya sendiri, apakah itu menyesal, marah, atau sedih. Luka di balik plester itu sudah membuat hari-hari Nadia semakin kacau belakangan ini.

“Ini Rena, sepupu saya,” kata Nadia, mencoba membantu.

“Dio ada apa ke sini?” Rena langsung bertanya pada Dio yang nampak tertegun.

“Siapa lo?”

Rena kelihatan seperti baru ditampar.

“Masa lupa sih? Kita kan sekelas waktu kelas tiga SMP!”

Ken dan Nadia menatap Dio datar.

“Nggak, gue nggak inget,” kata Dio ringkas.

“Jahaaaat! Ken Ratu, kalo kamu pasti inget aku kan?! Kamu kan langganan dipanggil BK!”

Anak ini bukannya membuat Ken ingin mengingat-ingatnya, malah membuat Ken kesal.

“Tapi kalo kamu sekelas sama Dio, berarti kita nggak sekelas,” kata Ken. “Biasanya aku nggak kenal anak kelas lain.”

Rena terlihat tidak percaya.

“Terus, Nadia, kenapa kamu ada di sini?!”

“Saya baru bertemu sama Dio dan Ken.”

“Kenapa kalian pake ketemuan?!”

“Masalah buat kamu?” sergah Ken nyolot, emosinya terpancing cepat oleh suara Rena yang melengking. Rena balas melotot.

“Dio sama Ken satu kelas sama saya, jadi kami—”

“Apa?! Kamu sekelas sama Dio?!” sela Rena, hampir berteriak. Rena menatap Dio dengan mata nyalang—agak terlihat seperti maniak, membuat Dio tanpa sadar merapatkan punggung ke dinding.

Kemudian, tiba-tiba Rena balik badan dan berlari.

“Kenapa sih dia?” tanya Ken.

“Lo nanya gue?”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • yurriansan

    95 banding lima, auto sakit perut ketawa cekikikan. Tenyata kalau di perhatiin tokoh Ken, karakternya hampir mirip dengan, tokoh Tio di ceritaku.

    Comment on chapter Satu
Similar Tags
LUKA TANPA ASA
6264      1871     11     
Romance
Hana Asuka mengalami kekerasan dan pembulian yang dilakukan oleh ayah serta teman-temannya di sekolah. Memiliki kehidupan baru di Indonesia membuatnya memiliki mimpi yang baru juga disana. Apalagi kini ia memiliki ayah baru dan kakak tiri yang membuatnya semakin bahagia. Namun kehadirannya tidak dianggap oleh Haru Einstein, saudara tirinya. Untuk mewujudkan mimpinya, Hana berusaha beradaptasi di ...
Attention Whore
198      165     0     
Romance
Kelas dua belas SMA, Arumi Kinanti duduk sebangku dengan Dirgan Askara. Arumi selalu menyulitkan Dirgan ketika sedang ada latihan, ulangan, PR, bahkan ujian. Wajar Arumi tidak mengerti pelajaran, nyatanya memperhatikan wajah tampan di sampingnya jauh lebih menyenangkan.
BELVANYA
301      202     1     
Romance
Vanya belum pernah merasakan jatuh cinta, semenjak ada Belva kehidupan Vanya berubah. Vanya sayang Belva, Belva sayang Vanya karna bisa membuatnya move on. Tapi terjadi suatu hal yang membuat Belva mengurungkan niatnya untuk menembak Vanya.
Coldest Husband
1339      690     1     
Romance
Saga mencintai Binar, Binar mencintai Aidan, dan Aidan mencintai eskrim. Selamat datang di kisah cinta antara Aidan dan Eskrim. Eh ralat, maksudnya, selamat datang di kisah cinta segitiga antata Saga, Binar, dan Aidan. Kisah cinta "trouble maker dan ice boy" dimulai saat Binar menjadi seorang rapunsel. Iya, rapunsel. Beberapa kejadian kecil hingga besar membuat magnet dalam hati...
HABLUR
4379      1330     2     
Romance
Almarhum Mama selalu bilang, "Yang membedakan permata dengan batu lain adalah tingkat tekanan yang mengubahnya." Ruby Andalusia. Coba tanyakan nama itu ke penghuni sekolah. Dijamin tidak ada yang mengenal, kecuali yang pernah sekelas. Gadis ini tidak terkenal di sekolah. Ia ikut KIR, tetapi hanya anggota biasa. Ia berusaha belajar keras, tetapi nilainya sekadar cukup untuk ber...
Dikejar Deretan Mantan
370      223     4     
Humor
Dikejar Deretan Mantan (Kalau begini kapan aku bertemu jodoh?) Hidup Ghita awalnya tenang-tenang saja. Kehidupannya mulai terusik kala munculnya satu persatu mantan bak belatung nangka. Prinsip Ghita, mantan itu pantangan. Ide menikah muncul bagai jelangkung sebagai solusi. Hingga kehadiran dua pria potensial yang membuatnya kelimpungan. Axelsen, atau Adnan. Ke mana hati berlabuh, saat ken...
Premium
Cheossarang (Complete)
9850      1628     3     
Romance
Cinta pertama... Saat kau merasakannya kau tak kan mampu mempercayai degupan jantungmu yang berdegup keras di atas suara peluit kereta api yang memekikkan telinga Kau tak akan mempercayai desiran aliran darahmu yang tiba-tiba berpacu melebihi kecepatan cahaya Kau tak akan mempercayai duniamu yang penuh dengan sesak orang, karena yang terlihat dalam pandanganmu di sana hanyalah dirinya ...
Fighting!
489      332     0     
Short Story
Kelas X IPA 3 merupakan swbuah kelas yang daftar siswanya paling banyak tidak mencapai kkm dalam mata pelajaran biologi. Oleh karena itu, guru bidang biologi mereka memberikan tantangan pada mereka supaya bisa memenuhi kkm. Mereka semua saling bekerja-sama satu sama lain agar bisa mengenapi kkm.
PATANGGA
638      452     1     
Fantasy
Suatu malam ada kejadian aneh yang menimpa Yumi. Sebuah sapu terbang yang tiba-tiba masuk ke kamarnya melalui jendela. Muncul pula Eiden, lelaki tampan dengan jubah hitam panjang, pemilik sapu terbang itu. Patangga, nama sapu terbang milik Eiden. Satu fakta mengejutkan, Patangga akan hidup bersama orang yang didatanginya sesuai dengan kebijakan dari Kementerian Sihir di dunia Eiden. Yumi ingin...
Alicia
1221      582     1     
Romance
Alicia Fernita, gadis yang memiliki tiga kakak laki-laki yang sangat protektif terhadapnya. Gadis yang selalu menjadi pusat perhatian sekolahnya karena memiliki banyak kelebihan. Tanpa mereka semua ketahui, gadis itu sedang mencoba mengubur luka pada masa lalunya sedalam mungkin. Gadis itu masih hidup terbayang-bayang dengan masa lalunya. Luka yang berhasil dia kubur kini terbuka sempurna beg...