6
Musim Gugur, 2017
(Rienna Arabella)
Untuk yang masih memuja masa lalu dan membiarkan dirinya dihantui kenangan. Bayangan yang terbentuk di hadapanku itu terlampau nyata untuk kuakui keberadaannya. Kau yang telah berubah begitu jauh hingga diriku tak mampu mengenali dirimu, mana mungkin aku dapat mempercayai bahwa pertemuan ini nyata.
Aku tak bergeming dari posisiku seinci pun, tidak pula menyentuh secangkir ocha di hadapanku yang mungkin sudah menjadi dingin. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku dan tidak tahu bagaimana bersikap padamu setelah bertahun-tahun tidak saling bertemu. Senja yang bergulir pun menatap kita dari kejauhan, sinar merahnya menyorot helaian rambutmu yang hampir cepak. Bukankah dulu tidak sependek itu? dulu kau bahkan memiliki sedikit poni. Postur tubuhmu pun juga tak sekurus dahulu, otot-otot di sekitar lenganmu membuatmu tampak lebih berisi. Mungkin kehidupanmu selama beberapa tahun terakhir ini sangat menyenangkan dan berbanding terbalik dengan kehidupanku tanpamu.
“Bagaimana Jakarta?”
Aku tertegun setelah mendengar suaramu yang memecah keheningan. Suara yang terdengar lebih berat itu bahkan terasa begitu asing di telingaku. Kau sungguh berubah begitu banyak, tak sedikitpun berwujud bayangan yang bersamaku selama ini.
“Sama saja! Tidak begitu banyak berubah…” jawabku apa adanya. Kuanggap pertanyaan itu mewakili pertanyaan tentang keadaanku. Aku tahu bahwa kau sama canggungnya denganku, sama-sama tidak tahu harus berkata apa di pertemuan yang tak terduga ini.
“Kenapa menetap di Jepang?” tanyaku kali ini memulai. Aku harus berusaha setengah mati menahan debaran jantungku saat memberanikan diri memulai pertanyaan semacam itu.
Kau hanya tersenyum simpul sambil memainkan cangkir ocha yang juga tak tersentuh sedikitpun sejak kita memutuskan untuk memesannya. Baru kusadari pula dari senyuman itu bahwa kau memiliki sedikit di sekitar wajahmu. Kau sungguh bukan Jeka yang kukenal dahulu, kau adalah laki-laki dewasa bernama Jefrine sekarang.
“Aku jatuh cinta… pada Yuiko! Jadi aku memutuskan menetap di Jepang bersamanya walaupun orang tuaku sudah menyelesaikan masa kerjanya.”
Telapak tangan yang berada di atas pahaku tanpa sadar saling meremas satu sama lain saat mendengar nama itu kau sebut. Tetapi bibirku yang bergetar tetap berusaha tersenyum hangat. “Kak Yuiko ya?” ulangku dalam hati.
Aku menunduk beberapa saat untuk menyembunyikan ekspresi wajahku yang sebenarnya. Satu hal yang tidak berubah darimu adalah rasa sakit ini. Selalu kau yang datang membawa rasa sakit ini untukku.
“Kau sendiri bagaimana? Apa yang membuatmu kembali ke Jepang?” tanyamu kali ini sembari menurunkan kedua tanganmu dari cangkir. Kau juga menunduk beberapa saat sebelum kembali menatapku dalam senyuman yang sedikit dipaksa itu.
Aku mengalihkan pandanganku ke luar jendela saat tatapanmu dan tatapanku bertubrukan. Butuh beberapa saat untuk kembali menetralkan perasaanku. Di luar kedai, lampu-lampu jalanan Meguro dedo terlihat gemerlapan, ditambah dengan lampu-lampu dari pertokohan di seberang jalan. Namun saat aku menatap langit yang gelap, tidak ada satu bintang pun yang tertangkap penglihatanku. Tidak ada yang menolongku sekarang kecuali kebohongan.
“Aku tidak kembali ke Jepang, aku hanya datang untuk mengunjungi kak Kenzo…” jawabku tanpa berpikir panjang. Aku tidak tahu mengapa aku memilih jawaban itu dibandingkan dengan mengatakan yang sebenarnya. Mungkin karena aku merasa jawaban itu lebih adil.
“Kenzo?” kau mengulang nama yang sejujurnya tak ada sangkut pautnya itu. Dan entah mengapa aku merasa ada sedikit nada kekecewaan dari suaramu.
“Yah… kak Kenzo! Dia masih tinggal di kawasan ini.”
“Hm… Jadi kalian masih saling berkomunikasi selama sepuluh tahun terakhir ini?”
“Yah…”
Aku memilih untuk tidak memberimu penjelasan lebih lanjut karena aku sendiri tak mampu memikirkan kebohongan lebih banyak lagi. Sehingga suasana bisu diantara kita pun kembali menyelimuti. Kau menatapku dengan pandangan mengelap tapi aku mengalihkan pandangan ke ujung jari-jarimu yang tak lagi bergerak. Hingga kemudian bunyi ponsel dari saku matelmu memecah keheningan, membuatku mau tak mau kembali mengangkat wajahku. Kau tampak sibuk merogoh saku mantelmu dan mengeluarkan sebuah ponsel dari sana, meliriknya sekilas tanpa bermaksud mengangkat panggilan itu sebelum kemudian mematikannya.
“Kapan-kapan bisakah kita bertemu lagi? Aku ingin mengajakmu dan Kenzo makan malam bersama dan tentunya di tempat yang lebih baik, itu pun jika kau tak keberatan?” ujarmu setelah kembali memasukan ponsel itu ke dalam kantong mantelmu. Kau berpura-pura seolah tak ada apapun yang terjadi tapi aku dapat merasakan kegugupan dari senyumanmu.
“Yah, aku tidak keberatan…” Jantungku berdetak kencang karena senyuman itu sehingga aku pun tanpa sadar menggumamkan kata-kata yang pada akhirnya akan kusesali.
“Aku juga akan mengenalkan Yuiko padamu!” ujarmu sekali lagi membuat akhir yang cukup jelas pada pembicaraan ini. Lubang yang mengangga, luka yang kembali berdarah, kita tidak pernah berhenti untuk saling menyakiti satu sama lain.
“Hm… tentu, aku juga ingin menyapanya.” Dustaku.
******
(Jefrine Kalhendra)
Entah aku harus berterima kasih pada takdir atau sebaliknya? Disaat aku telah menutup segala kenangan tentangmu, kau justru muncul di hadapanku sebagai sosok yang nyata. Mengapa harus sekarang? Mengapa harus kau yang selalu mengacaukan perasaanku? Dan mengapa pula pertemuan ini seolah tengah memaki keputusanku?
Aku duduk di hadapanmu dalam suasana kedai yang cukup ramai, namun entah mengapa aku merasa atmosfer diantara kita terasa sunyi. Suara-suara di sekitarku bahkan lenyap dan tergantikan oleh detak jantungku sendiri. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat. Selama itu kita tidak pernah saling berkomunikasi dan aku bahkan tidak tahu keberadaanmu. Yang aku lakukan selama itu pun hanya menunggumu kembali ke negara ini. Meskipun harapan itu hampir tak mungkin terjadi jika mengingat perpisahan kita yang buruk.
Harusnya kau tahu bahwa aku menyesal setiap waktu, bahwa aku menghukum diriku dengan mengingat kesalahanku sepanjang waktu. Tetapi saat berhadapan denganmu dalam suasana yang nyata itu, entah mengapa bibirku tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Aku tidak tahu bagaimana caranya memulai, aku pun tidak tahu bagaimana menggungkapkan semua itu. Aku merasakan kecangggungan dan kegugupan yang tiada berakhir.
“Bagaimana Jakarta?” pertanyaan bodoh. Seharusnya aku menanyakan kabarmu setelah sekian lama. Tapi betapa bodohnya aku hingga pertanyaan itulah yang muncul pertama kali.
“Sama saja! Tidak begitu banyak berubah…” suaramu yang tenang membuat dadaku berdesir. Seingatku dulu kau selalu berteriak dan memakiku. Lalu kemana Rienna yang kukenal itu? mungkinkah waktu telah mengubah segalanya tentangmu.
“Kenapa menetap di Jepang?” kali ini kau yang memulai pertanyaan. Membuatku terpaku untuk beberapa saat. Jari-jari tanganku pun gelisa dan aku harus menahan kegugupanku untuk menjawab pertanyaan itu. Haruskah aku mengatakan yang sejujurnya?
“Aku jatuh cinta… pada Yuiko! Jadi aku memutuskan menetap di Jepang bersamanya walaupun orang tuaku sudah menyelesaikan masa kerjanya.”
Meskipun kata-kata yang kuucapkan bukan kebohongan, namun aku merasa bersalah karena mengatakan semua itu padamu. Dengan segala perubahan yang terjadi padamu, dengan sikap tenangmu dan dengan tatapan matamu yang seolah telah melupakan segala hal diantara kita, kupikir kejujuranku tak lagi berguna untuk memperbaiki keadaan kita. Sampai kemudian aku melihat bayangan wajahmu dahulu muncul kembali dengan samar-samar, bayangan yang serupa, dengan ekspresi yang serupa pula.
“Kau sendiri bagaimana? Apa yang membuatmu kembali ke Jepang?” jantungku semakin berdetak kencang saat rasa bersalah kembali menggerogoti diriku. Namun aku berusahanya untuk memastikan apa yang kulihat itu adalah kebenaran. Aku ingin kau mengatakan kata-kata yang memang ingin kudengar agar aku dapat melepaskan topeng yang kukenakan.
“Aku tidak kembali ke Jepang, aku hanya datang untuk mengunjungi kak Kenzo…”
Namun jawaban yang kau berikan itu seolah meleparkan harapanku. “Kenzo?” aku mengulang nama itu dengan perasaan yang tak pernah kubayangkan. Nama yang kau sebut itu justru membuat kepalaku membara.
“Yah… kak Kenzo! Dia masih tinggal di kawasan ini.” penjelasanmu yang tak lagi ingin kudengar. Aku lebih memilih menulikan telingaku.
“Hm… Jadi kalian masih saling berkomunikasi selama sepuluh tahun terakhir ini?” pertanyaan yang menunjukan tingkat kebodohanku, karena tanpa bertanya pun aku telah mengetahui jawabannya.
“Yah…” sahutmu mempertegas segalanya.
Kupikir kau telah melupakan segala hal di negara ini karena aku. Tetapi aku salah. Satu-satunya yang kau lupakan hanyalah aku. Itulah alasan mengapa suasana dingin dan kaku menyelimuti hatimu sejak pertamakali kita bertemu. Kau datang dengan membawa semua perubahan, walaupun aku berusaha mengabaikannya sejak awal. Bahkan sosok yang tergambar di wajahmu itu seperti bukan Rienna yang kukenal dahulu.
Cukup lama kita terdiam dalam suasana yang terasa asing. Aku telah kehilangan kata-kata yang ingin kuucapkan sejak awal. Begitu pula denganmu yang tampak ingin segera mengakhiri pembicaraan ini. Lalu dering dari ponselku memecah keheningan itu. Ada nama Yuiko yang terterah di layar, aku tak terkejut karena selama seharian aku tak menghubunginya sekalipun. Dia mungkin cemas atau mengira ada sesuatu terjadi dalam perjalananku. Namun entah mengapa semua pemikiran itu tak lagi penting bagiku hingga aku memutuskan untuk mematikan ponselku dan mengabaikan segala hal tentang Yuiko untuk beberapa saat.
“Kapan-kapan bisakah kita bertemu lagi? Aku ingin mengajakmu dan Kenzo makan malam bersama dan tentunya di tempat yang lebih baik, itu pun jika kau tak keberatan…”
“Yah, aku tidak keberatan…”
“Aku juga akan mengenalkan Yuiko padamu!” kata-kata itu terlontar begitu saja tanpa terpikir olehku bagaimana perasaanmu.
“Hm… tentu, aku juga ingin menyapanya.” Jawabmu dengan nada biasa. Kupikir aku tidak perlu mencemaskan apapun lagi karena kau selalu terlihat baik-baik saja kini.
Setelah matahari tenggelam, kau dan aku meninggalkan kedai. Aku menawarkan diri untuk mengantarmu tapi kau menolak. Aku tidak bisa memaksamu seperti dulu karena aku merasa ada suatu pembatas diantara kita yang tak kasat mata. Kau berbalik setelah mengucapkan selamat tinggal. Berjalan lebih dulu dariku. Sementara aku masih menatap punggungmu hingga jauh. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku ingin bertemu denganmu lagi meskipun aku telah bertekad untuk melupakanmu.
“Moshi… moshi…”
“Yah… maafkan aku! Aku lupa membawa charger, yah… aku akan menghubungimu lagi setelah sampai di Apartemen. Maafkan aku…”
(To be Continue)
Note: Hallo Reader, terima kasih sudah membaca kisah cinta biru Memorabillia.
Untuk kelanjutannya, jangan lupa komen!! Dan mohon review-nya ^^
@aiana kira-kira seperti itulah hehe
Comment on chapter AuntumSenang banget di komen, terima kasih banyak ^^
Aku juga suka "27 Syndrome" kayak aku banget itu ceweknya wkwk