Read More >>"> Memorabillia: Setsu Naku Naru (The Last Auntum) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Memorabillia: Setsu Naku Naru
MENU
About Us  

5

 

Musim Gugur, 2017

(Rienna Arabella)

Di hari yang dingin dan berangin, aku mencoba menapaki jalan itu sekali lagi. Jalanan di sekitar Meguro river yang selalu kita lewati bersama. Angin berhembus tak begitu kencang namun cukup membuat wajahku membeku. Aku berhenti sejenak di samping jembatan Meguro lalu merapatkan scaf yang membalut leherku sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Setelah melewati jembatan, ada beberapa pertokohan dan pusat perbelanjaan. Aku pun berbelok dari jalan utama, melewati pusat pertokohan sekali lagi sebelum menghentikan perjalanan itu di depan gerbang sekolah dengan bangunan berkonsep vintage. “Hinode Senior High School” Disanalah semua kenangan itu berawal dan aku harus menghadapinya sebelum pergi.

 Empat musim yang kulalui di negeri sakura pun tidak dapat menyembuhkan diriku dengan sepenuhnya. Aku memutuskan untuk menjadikan tahun ini sebagai tahun terakhirku di negara ini. Masa-masa kelam dalam hidupku tidak akan pernah berakhir. Bahkan meskipun aku mencoba menghentikan waktu, semua tetap menunggu untuk kuhadapi. Begitu pula dengan dirimu.

“Elo orang Indonesia juga ya? Wah… gak nyangkah gue bisa ketemu orang Indonesia yang juga sekolah disini! Kenalin gue Jelfrine Kahendra, anak baru…”

Siluet itu menelusup ke dalam benakku ketika langkah kakiku menginjak gerbang sekolah. Dan sama seperti langkah pertamaku yang bermula dari gerbang sekolah, kenangan itu pun bermula dari sana pula.

“Nana~chan! Apakah kamu berteman dengan anak baru itu? Bukankah dia berasal dari negaramu juga?” seorang teman perempuan yang jarang menyapaku tiba-tiba datang satu per satu menawarkan pertemanan agar dapat dekat denganmu.

“Yah… kenalkan dia pada kami!” suara riuh mereka yang membuatku terkejut.

Seiring dengan langkahku yang semakin jauh, suasana di tempat itu pun seakan membawaku kembali ke masa lalu. Terlebih suasana sekolah kala itu telah sepi dan semua siswa telah memasuki ruang kelas masing-masing, hanya terlihat seorang guru PE yang mengajar di lapangan, mengitruksikan beberapa siswa untuk melempar bola tangan. Aku tidak mempunyai banyak kenangan selain berhubungan denganmu dan tentu saja lapangan sekolah yang tak terlalu luas itu adalah tempat faforitmu.

“Jeka! Teman-teman gue mau kenalan! Kelihatannya mereka naksir sama lo…” ujarku menghampirimu yang tengah memainkan bola tangan. Meskipun aku sebenarnya enggan mengenalkanmu pada mereka.

“Wah… parah ya! Kegantengan gue ternyata juga diakui dunia internasional! Ckck… yang mana mau kenalan? Atau gue yang harus nyamperin mereka?” dan dengan kepercayaan dirimu yang melebihi para dewa, kau pun memasukan bola tangan ke dalam ring sambil memamerkan keberhasilanmu di depanku.

Dadaku pun sesak setiap kali mengingat senyumanmu, tapi aku telah terbiasa berjalan dengan segala perasaan sakit itu. Lututku pun terasa lemas saat menaiki beberapa anak tangga yang membawaku ke lantai selanjutnya. Terlalu banyak hal yang terasa masih tertinggal di sana dan walaupun aku tak menyelesaikan tahun terakhirku, tetapi butuh waktu yang lama pula untuk membuat hatiku berdamai.

“Ngapain sih elo nempel gue terus? Sana gabung sama teman-teman lo…” suara ketusku yang mengisi sepanjang koridor.

“Yaelah…Na! Gue kan mau jagain elo…” sahutmu mengekor di belakangku, membuatku rishi karena sebagai siswa baru, kau terlalu banyak menarik perhatian siswa lain. Terutama siswa perempuan.

“Jagain dari apa? Orang gue ada di sekolah, gak kemana-mana?”

“Justru karena itu, gue mau memastikan elo gak sendirian di sekolah yang penuh dengan alien-alien ini! Bisa-bisa mereka godain lo, nyulik elo dan buang elo ke Mars…” Mungkin jika kau menggunakan Bahasa Jepang saat itu, semua siswa yang memperhatikanmu akan balik membencimu karena kau yang diam-diam mencibir mereka. Sayangnya kau membodohi mereka dengan menggunakan Bahasa kita.

“Gue baik-baik aja muka rombeng! Bahkan sebelum elo ada di sekolah ini, gue udah terbiasa sendiri. Jadi pergi sana! Hush…”

Meskipun aku juga menyadari jika tidak semua sudut di sekolah ini yang menyimpan kenangan indah, beberapa diantaranya pun menyimpan kenangan buruk. Seperti area loker yang membuatku teringat saat-saat dimana aku menjadi korban pembully-an. Ada banyak kertas sampah yang memenuhi lokerku sejak hubunganku dengan teman-teman perempuan di kelas menjadi buruk. Dan kau tidak pernah tahu itu.

“Yuri~chan! Kamu harus tahu bahwa aku tidak pernah bermaksud merebut Akira~kun! Semua ini hanya kesalahpahaman…” aku mencoba memukul pintu toilet beberapa kali sambil berharap akan segera terbuka. Tapi seseorang di luar yang adalah teman sekelasku sendiri justru sengaja mengunciku dari luar.

“Aku tahu kamu akan mengatakan itu, Nana~chan! Tapi aku sudah terlanjur kecewa padamu! Kamu yang selama ini menjadi tempatku bercerita tentang Akira dan kamu pun tahu bagaimana perasaanku padanya. Tapi aku sangat kecewa karena dia memanfaatkanku untuk dekat denganmu…”

“Sudahlah… Yuri~chan! Kamu tidak perlu memaafkan Nana! Dia juga yang membuatku putus dengan Jeka. Jadi jangan percaya kata-katanya!” Sahut suara yang lain. Disanalah aku menyadari bahwa mereka semua telah merencanakan semua itu dan teman-temanku itu tidak satu pun dari mereka yang menyukaiku.

“Mari~chan! Kenapa kamu berkata seperti itu tentangku?” aku mengenali suara mereka dan siapa saja yang berada di luar pintu toilet.

“Memang seperti itulah yang sebenarnya! Kamu adalah alasan Jeka memutuskan hubungan dengan pacar-pacarnya, termasuk itu denganku…” Dan setelahnya lampu di dalam toilet pun padam, seluruh suara yang kudengar menghilang. Sayangnya orang yang kuharapkan datang menolongku tak tahu bahwa aku membutuhkannya kala itu.

 Setelah hari yang buruk itu, aku mengalami guncangan hebat. Emosiku tidak stabil dan terkadang aku merasa takut tanpa alasan. Meskipun semua teman-temanku yang terlibat telah mendapat keadilan namun aku menyadari bahwa aku telah berbeda sejak itu. Demi nama baik sekolah, kasus pembullyan itu pun ditutup dan bahkan tidak banyak yang tahu jika korban itu adalah aku. Termasuk itu dirimu. Kau yang mungkin terlalu sibuk mengejar cintamu hingga tidak tahu bahwa aku berada dalam masa-masa sulit.

“Ngapain sih elo ngajak gue ke atap?” tukasku melepaskan genggaman tanganmu. Satu minggu setelah kasus pembullyan itu ditutup, kau tetap tidak tahu apapun.

“Gue mau nunjukin sesuatu sama lo!” ujarmu sembari merogoh kantong celanamu dan mengeluarkan sesuatu dari sana. “Lihat! Bagus gak?” Dan tanpa persetujuanku, kau melingkarkan benda berwarna yang berkilauan ke leherku, mencoba menganalisanya.

 “Ini kalung mau gue kasih buat kado ulang tahun kak Yuiko, kira-kira cocok gak ya buat kak Yuiko?” Aku menggigir bibir bawahku sembari memejamkan mata. Untuk sesaat ada sayatan tak kasat mata yang tiba-tiba menggores dadaku ketika kau menyebut nama gadis lain di hadapanku. Setidaknya aku masih berharap kau mengingat janjimu untuk melindungiku sebelum menghancurkan hatiku dengan semua ini.

“Cukup…Jeka!” desisku.

Pupil matamu melebar dan tatapan kita bertemu. Dengan perlahan aku pun mencoba melepaskan kalung itu dari leherku. Lalu melemparnya dengan asal. Hal itu pun membuatmu murka dalam sekejap.

“Rienna!” serumu “Elo udah gila ya?”

Aku memalingkan wajah. Sekeras apapun aku mencoba bertahan, hatiku tetap terasa sakit. “Yah… gue emang udah gila!” seruku tak kalah keras.

 “Rienna!”

Aku tersadar dari lamunanku, seperti sentakan kecil yang memecah dua dunia itu. Bersamaan dengan suaramu yang memanggil namaku dalam kenangan itu, suara lain juga memanggil namaku dari dunia nyata. Seorang wanita dengan rambut setengah beruban dan kacamata hitam yang membingkai matanya, berdiri mengamatiku dari kejauhan. Mencoba menyakinkan dirinya sendiri tentang sosokku yang kembali muncul di tempat itu. Dia mungkin mempunyai banyak murid yang tidak bisa diingatnya satu persatu, tetapi untuk siswa dari negara asing sepertiku tentu dia bisa mengingatnya. Terlebih aku adalah siswa yang paling sering bertanya padanya dahulu.

“Nana? Apakah itu kau?” tanyanya kembali memastikan.

“Konichiwa… Sensei![1] Benar, ini saya Rienna…” aku menyapanya sembari melangkah mendekat. Lalu membungkuk pada wanita paruh baya itu. Tidak kusangkah jika aku bisa bertemu dengannya kembali dalam keadaan ini. Namun seperti sebuah jackpot, aku pun tak hanya bertemu dengan Sensei hari itu.

“Kebetulan sekali, Jelfrine mengabariku bahwa dia akan mengunjungi sekolah dan bertemu denganku hari ini. Mungkin dia sudah tiba…”

Suara ketukan sepatumu dengan lantai terdengar nyaring di telingaku meskipun aku mendengarnya dari kejauhan. Dan seiring dengan sosokmu yang muncul dari ujung koridor, detak jantungku pun seolah berpancu menyoraki pertemuan itu. Kau terlihat semakin jakun dengan setelan celana jens dan kaos turtle neck di balik matel hitam. Rambutmu pekat dengan aksen poni yang terbelah di tengah, bibir pucat menggantung dan tatapan mata yang sendu menerawang sosokku dari kejauhan.

“Apakah ini sebuah kebetulan? Atau memang sebuah reuni yang direncanakan? Aku sungguh senang bisa bertemu kalian berdua…”

Meskipun Sensei berbicara di hadapanku tetapi suaranya memudar seiring dengan langkahmu yang semakin mendekat. Seperti slow motion dalam sebuah adegan film, waktu pun terasa begitu lambat. Aku menatap kearahmu dan kau pun menatap kearahku. Kita saling berhadapan namun tak sanggup untuk mengucapkan kata sapaan. Kau seperti sebuah bayangan yang mengalami pembentukan hingga menjadi wujud nyata. Dan hatiku meradang karena pertemuan yang tidak terduga itu.

******

(Jelfrine Kahendra)

Aku tidak lagi tinggal di kawasan Meguro city atau dekat Embassy of the Republic Indonesia, seperti sepuluh tahun yang lalu. Aku pindah ke distrik lain di pusat kota Tokyo setelah masa kerja orang tuaku berakhir. Namun kadangkala aku masih sering mengunjungi di kawasan itu, sekedar menikmati cerry blossom di musim semi atau hanya keisengan mengenang masa lalu. Setelah turun dari Meguro Station, aku pun memutuskan berjalan kaki menyusuri deretan gedung-gedung perkantoran dan toko-toko di sekitar sambil menikmati angin musim gugur.

Butuh satu tahun bagiku untuk belajar Bahasa Jepang sebelum memutuskan pindah mengikuti orang tuaku yang bekerja di kantor kedutaan. Mereka; ibu dan ayahku terlalu takut meninggalkanku di negara asal kami karena berpikir aku mungkin akan kurang kasih sayang atau tidak mendapat pendidikan yang baik. Meski begitu di awal aku berada di Jepang, aku masih kesulitan berinteraksi dengan orang lain. Sehingga saat bertemu denganmu−seseorang yang berasal dari negara yang sama−aku terlalu senang hingga tak dapat mengekpresikannya dengan kata-kata.

Setelah berjalan beberapa blok, aku sampai di kawasan Meguro dedo, kawasan yang terbentang sepanjang Meguro River. Tempat semua kenangan itu berawal. Menyimpang dari jalanan utama, aku menyusuri jalanan menurun dengan hati-hati sebelum kemudian sampai di depan sebuah gedung sekolah bergaya vintage. Dadaku selalu berpacu setiap kali menyentuh jeruji pintu gerbang berwarna hitam itu, rasanya aku kembali ke masa lalu setiap kali mencoba datang ke tempat itu. Dan rasanya aku justru mendorong diriku pada perasaan lama yang ingin kulupakan setengah mati.

“Pelan-pelan Jeka! Udah tahu jalanannya menurun, kenapa gak pakai rem sih? Ban sepeda gue lama-lama bisa tipis karena elo yang pakai!” itu suaramu yang seolah berteriak kembali di kepalaku saat aku masih terdiam membeku di pintu gerbang.

Yeh… kayak orang miskin aja! Entar gue ganti kalau perlu sepeda baru juga!”

“Elo sendiri juga miskin! Gak pernah bawa sepeda sendiri, sukanya nebeng…”

“Tapi kan gue yang boncengin elo? Siapa yang nebeng coba?”

Aku tersenyum miris sembari memandang kesekeliling bangunan sekolah, tampangku tidak lebih seperti laki-laki melakonis yang tak bisa melupakan masa lalu. Terdengar lucu pula jika selama bertahun-tahun hanya aku yang selalu tenggelam dalam kenangan itu, sementara kau yang entah dimana, mungkin telah hidup bahagia dan melupakannya.

“Rienna… tunggu!”

“Elo kenapa marah-marah gak jelas? Gue cuma minta pendapat lo tentang kalung itu!”

“Trus… menurut lo gue mau ngomentarin kalung gak penting itu buat lo?”

“Kenapa lo jadi berubah?”

“Berubah? Harusnya elo sendiri bisa paham kenapa gue berubah? Tapi elo terlalu sibuk ngejar cewek impian lo sampai elo gak tahu apa yang udah terjadi disekitar lo…”

Kata-kata itu menamparku seperti angin dingin di musim gugur, memecah kehangatan dalam hatiku dan mengubahnya menjadi kegundaan. Apa yang telah aku abaikan? Dan apa saja yang telah kulewatkan? Aku tak menemukan jawaban itu karena terlalu terpaku pada siluet tubuhmu yang semakin menjauh.

“Jeka~kun…! Apa Nana tidak masuk hari ini?” tanya salah seorang teman basketku.

“Tidak tahu! Dan tidak peduli…”

“Apa kalian bertengkar? Kenapa?” aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan itu, “Bukankah dia mendapat masalah karena teman-teman perempuannya? Kupikir kau akan menghiburnya?”

“Masalah? Apa maksudmu?”

“Kau belum mendengar kalau orang tuanya melapor karena dia mendapat pembullyan di sekolah? Dia bahkan ditemukan pingsan beberapa hari lalu di toilet yang terkunci…”

Aku berhenti memainkan bola tangan itu dan menatapnya serius. “Apa kau bercanda? Kenapa aku tidak tahu?”

“Aku juga ingin bertanya kenapa kau tidak tahu? Bukankah akhir-akhir ini kau memang suka menghilang tidak jelas?” kedua kalinya aku merasa seakan ember air es menyambar kepalaku. Membuat hatiku menjadi ngilu. Aku sungguh telah melewatkan sesuatu yang sangat penting dan tak mungkin termaafkan.

Aku berlari sekuat tenaga melewati Meguro dedo setelah jam sekolah berakhir, berlari hingga sampai di depan rumahmu. Namun yang kutemui disana justru sesuatu yang lebih membakar hatiku dibanding semua kenyataan yang tidak pernah kau ceritakan padaku.

“Jeka!”

Aku memukul wajah Akira hingga pemuda itu tersungkur. Semua berlangsung dengan cepat dan terjadi begitu saja saat melihatmu memeluknya. Aku tidak tahu mengapa hatiku terasa sangat terbakar, kemarahan dalam diriku bercampur hingga aku tak mampu mengenali perasaan yang kumiliki.

“Ini semua gara-gara elo! Rienna dibully teman-temannya karena elo yang pengecut!” aku meluapkan kata-kata itu tanpa terkendali meskipun aku yakin seseorang yang telah kubuat babak belur tidak memahami bahasaku.

“Jeka!” sergahmu. Kau menahan lenganku untuk mencegaku memukulnya lagi tapi aku menepisnya.

“Setidaknya dia ada saat gue butuh bantuan! Dan Akira adalah orang yang datang hari itu, bukannya elo…”

Tubuhku mendadak kaku saat kau mengucapkan kata-kata itu. kepalan tanganku pun hanya tertahan di udara. Benarkah dia lebih baik dariku? Aku masih membeku ketika kau bergerak membantu pemuda itu bangkit. Mungkin dimatamu memang dia lebih baik dari seorang teman yang tidak pernah menepati janjinya sepertiku.

Berhari-hari sejak hari itu, kita pun saling membisu. Hati kita sama-sama terluka, hati kita merasakan sakit yang sama. Dan kesalapahaman diantara kita membuat kedua hati itu tak lagi dapat disatukan kembali.  Hingga hari dimana aku mendapat kabar bahwa kau dan keluargamu telah memutuskan untuk meninggalkan negara itu, aku merasa dunia sungguh telah runtuh. Aku kehilangan dirimu dan kau pun menghukumku dengan tak mengucapkan sepatah katapun tentang kepergianmu. Tidak peduli bagaimana aku mengamuk di depan ayahku agar memberitahuku kemana kau dan keluargamu pindah, semua itu tidak akan pernah membuatku memutar waktu. Kau akan tetap membenciku.

“Kebetulan sekali, Jelfrine mengabariku bahwa dia akan mengunjungi sekolah dan bertemu denganku hari ini. Mungkin dia sudah tiba…” suara yang samar-samar kudengar dari ujung koridor lantai dua itu membuatku tersadar bahwa aku telah melewati semua kenangan menyakitkan itu. Kenangan yang melekat kuat di setiap sudut sekolah ini. “Nah… itu dia!”

Saat aku mengangkat kepalaku untuk mencari sumber suara itu, justru sosokmu yang muncul disana. Seperti bayangan fatamorgana yang menghimpit dadaku. Nyata namun aku tak meyakini itu. Semakin kakiku menapak, semakin dekat langkahku, semakin tak sanggup aku menatap penyesalanku. Namun sekali lagi, tubuh dan pikiranku tidak pernah saling memahami. Aku merasa tak sanggup untuk memandang wajahmu setelah sekian lama tapi kedua bola mataku tak mampu melepaskan tautannya. Kita saling menatap tapi tak mampu untuk saling bertegur sapa satu sama lain.

“Apakah ini sebuah kebetulan? Atau memang sebuah reuni yang direncanakan? Aku sungguh senang bisa bertemu kalian berdua…” suara sensei mengalun diantara kita. Tapi aku justru merasa semua orang menghilang dan hanya kita berdua yang masih menghuni bumi.

 

[1] Selamat siang… bu!

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • sylviayenny

    @aiana kira-kira seperti itulah hehe
    Senang banget di komen, terima kasih banyak ^^
    Aku juga suka "27 Syndrome" kayak aku banget itu ceweknya wkwk

    Comment on chapter Auntum
  • aiana

    ini dari sudut pandang si cowok ya? dududududu...
    btw si cowok seolah memberikan racun sekaligus obat deh. jahat amaattt. huweee T.T

    Comment on chapter Auntum
  • sylviayenny

    @yurriansan terima kasih banyak sudah comen ^^
    sangat butuh saran & masukannya

    Comment on chapter Auntum
  • yurriansan

    baru awal baca, langsung kena di hati. bikin mello :(

    Comment on chapter Auntum
Similar Tags
Niscala
299      190     14     
Short Story
Namanya Hasita. Bayi yang mirna lahirkan Bulan Mei lalu. Hasita artinya tertawa, Mirna ingin ia tumbuh menjadi anak yang bahagia meskipun tidak memiliki orang tua yang lengkap. Terima kasih, bu! Sudah memberi kekuatan mirna untuk menjadi seorang ibu. Dan maaf, karena belum bisa menjadi siswa dan anak kebanggaan ibu.
UnMate
917      525     2     
Fantasy
Apapun yang terjadi, ia hanya berjalan lurus sesuai dengan kehendak dirinya karena ini adalah hidup nya. Ya, ini adalah hidup nya, ia tak akan peduli apapun meskipun...... ...... ia harus menentang Moon Goddes untuk mencapai hal itu
Bisakah Kita Bersatu?
561      311     5     
Short Story
Siapa bilang perjodohan selalu menguntungkan pihak orangtua? Kali ini, tidak hanya pihak orangtua tetapi termasuk sang calon pengantin pria juga sangat merasa diuntungkan dengan rencana pernikahan ini. Terlebih, sang calon pengantin wanita juga menyetujui pernikahan ini dan berjanji akan berusaha sebaik mungkin untuk menjalani pernikahannya kelak. Seiring berjalannya waktu, tak terasa hari ...
Mapel di Musim Gugur
412      289     0     
Short Story
Tidak ada yang berbeda dari musim gugur tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya, kecuali senyuman terindah. Sebuah senyuman yang tidak mampu lagi kuraih.
Melody of The Dream
376      238     0     
Romance
Mungkin jika aku tidak bertemu denganmu, aku masih tidur nyenyak dan menjalani hidupku dalam mimpi setiap hari. -Rena Aneira Cerita tentang perjuangan mempertahankan sebuah perkumpulan yang tidak mudah. Menghadapi kegelisahan diri sendiri sambil menghadapi banyak kepala. Tentu tidak mudah bagi seorang Rena. Kisah memperjuangkan mimpi yang tidak bisa ia lakukan seorang diri, memperkarakan keper...
Dari Sahabat Menjadi...
490      334     4     
Short Story
Sebuah cerita persahabatan dua orang yang akhirnya menjadi cinta❤
Crashing Dreams
221      188     1     
Short Story
Terdengar suara ranting patah di dekat mereka. Seseorang muncul dari balik pohon besar di seberang mereka. Sosok itu mengenakan kimono dan menyembunyikan wajahnya dengan topeng kitsune. Tiba-tiba sosok itu mengeluarkan tantou dari balik jubahnya. Tanpa pasangan itu sadari, sosok itu berlari kearah mereka dengan cepat. Dengan berani, laki-laki itu melindungi gadinya dibelakangnya. Namun sosok itu...
Hujan Paling Jujur di Matamu
5404      1483     1     
Romance
Rumah tangga Yudis dan Ratri diguncang prahara. Ternyata Ratri sudah hamil tiga bulan lebih. Padahal usia pernikahan mereka baru satu bulan. Yudis tak mampu berbuat apa-apa, dia takut jika ibunya tahu, penyakit jantungnya kambuh dan akan menjadi masalah. Meski pernikahan itu sebuah perjodohan, Ratri berusaha menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik dan tulus mencintai Yudis. Namun, Yudis...
PROMISES [RE-WRITE]
5242      1480     13     
Fantasy
Aku kehilangan segalanya, bertepatan dengan padamnya lilin ulang tahunku, kehidupan baruku dimulai saat aku membuat perjanjian dengan dirinya,
A Broken Life
492      339     8     
Short Story
Why does it have to be my life?