-Andai saja aku bisa menentukan takdirku sendiri mungkin aku tak akan memilih jalan seperti ini, tapi hal yang menimpaku sekarang adalah takdir yang dipercayakan tuhan kepadaku-
"Aduh Kira soal segampang ini kamu masih salah? Kamu niatkan belajar?" tanya Pak Suharjo.
Aku mengangguk lemas, untuk keempat kalinya dalam sehari ini aku dimarahi guru. Semua soal yang aku jawab salah, entah aku yang terlalu jenius atau terlalu goblok. Aku hanya tertunduk mendengar ceramah Pak Suharjo yang sama persis dengan ceramah Bu Dewi tadi.
"Baik Pak saya akan berusaha semaksimal mungkin, " jawabku.
"Ingat Kira 3 bulan lagi kamu akan Ujian Nasional, jika tidak ada perkembangan dari dirimu bapak tidak bakalan jamin kamu bisa lulus."
Aku mendesah pelan, semangatku luntur seiring dengan nasehat-nasehat bapak dan ibu guru. Benarkah aku sebodoh itu? Tidak ada satu pun soal yang mampu aku selesaikan. Aku pamit meninggalkan kantor Pak Suharjo, melangkah lesu menuju perpustakaan yang kini menjadi rumah keduaku.
Tumpukan buku di salah satu meja sebelah barat dari rak utama telah menungguku, meja yang setia menemaniku belajar untuk Ujian Nasional. Terkadang aku bingung dengan diriku sendiri, apa lagi yang mesti aku lakukan agar bisa menjawab soal-soal yang diberikan oleh bapak ibu guru.
Manik mataku tak berhenti memindai sekitaran tempatku duduk. Ada sosok yang membuat mataku tak mau berkedip, cowok terpintar dan terkeran sesekolahan sedang duduk dilantai sambil membaca buku. Aku sempat terpana saat dia tersenyum-senyum sendiri. Pantas saja banyak yang suka dengan dia, senyumnya begitu manis dan menggoda.
Tanpa berfikir panjang aku melangkah mendekat. Aku tersentak kaget saat terdengar suara buku ditutup dengan keras, dia sepertinya tidak menginginkan aku tuk menghampirinya. Senyum manisnya berubah kecut, tatapan sendunya berganti menghujam. Aku menelan air liurku yang mulai pahit, ternyata dia hanya manis di awal saja.
"Ada apa kamu menghampiri saya? " tanyan ya dengan tatapan menyelidik, kini jarak kami hanya berkisaran 2 meter.
Aku segera melemparkan pandanganku ke rak buku, bersiul seolah tak mendengar. "Ada apa kamu kesini? " dia berkata dengan penuh penekanan.
"Ini masih ruang perpustakaan bukan, jadi kamu tahu dong alasan aku kesini? " tanyaku.
Dia diam, diraihnya kembali buku yang dia sempat baca. Dia kembali sibuk dengan aktifitasnya, membaca seraya tersenyum sendiri. Aku makin tertarik dengan buku yang sedang dia nikmati. Lama memperhatikan dirinya aku tersentak saat dia berdehem, sepertinya dia mengetahui maksud kehadiranku kesini.
"Kamu cewek yang selalu dapat nilai nol saat try outkan?" tanyanya dingin sehingga membuatku makin terdiam.
"Lain kali kalau masih berencana mendapatkan nilai nol mending nggak perlu ujian deh, buat rengking sekolah anjlok aja! " ujarnya yang menusuk hatiku.
Aku berusaha menahan tangis agar tidak pecah dihadapannya, cepat-cepat aku berbalik menuju mejaku tadi. Di sana aku tertunduk, manangis menumpahkan kesedihanku. Bukan mauku begini, tak ada sedikit pun aku berencana tuk mendapatkan nilai nol.
Tetes demi tetes air mataku jatuh membasahi buku latihan matematikaku. Semenjak kejadian enam bulan yang lalu otakku selalu ngeblank. Benturan hebat mengakibatkan aku tidak bisa mengonsentrasikan pikiranku seperti dulu.
"Maaf kata-kata saya tadi begitu kasar sehingga menyakitimu, " suara lembut tersebut membuatku menengadahkan kepala, cowok tadi dengan tisu ditangannya. Tanpa menunggu aba-aba dia menghapus air mataku yang membasahi pipi.
"Saya yang membuat kamu menangis jadi hanya saya yang berhak menghapus air mata kamu. Maafkan kata-kata saya yang tak terkontrol tadi, saya tidak berfikir terlebih dahulu sebelum berbicara. "
Aku tersenyum, "Nggak apa-apa kok. "
Dia kembali memasang tampang mengerikannya, menarik kursi dihadapanku dan mendudukinya. Tatapanya yang tajam mematikan pergerakanku. "Jadi apa saya boleh memperbaiki kesalahan saya? " tanyanya.
Aku masih belum mengerti dengan sifatnya, dalam waktu yang sangat singkat dia bisa berubah menjadi pribadi yang bertolak belakang.
"Datanglah esok ke sini, saya tunggu jam 2 siang. Jangan lupa bawa buku dan alat tulismu. Mungkin dengan ini saya dapat membantumu, " ujarnya.
Dia melangkah meninggalkanku sendirian, sebelum pergi tak lupa dia memberi senyumannya padaku meski itu bisa disebut senyum mengejek. Aku menghelakan napas berat, antara percaya dan tidak. Cowok yang jadi idola para perempuan, menutup diri dari lingkungan, dan selalu berkata tajam malah mengajakku ketemuan esok. Entah apa lagi niatnya, tapi senyumnnya mendesakku untuk memenuhi keinginannya.
@aiana calon2 bucin keknya kak πππ
Comment on chapter Prolog