Teriakan memenuhi tempat di mana papan mading sekolah berada. Beberapa detik yang lalu, bagian tata usaha menempelkan kertas yang di mana berisikan pembagian kelas untuk siswa-siswi kelas dua belas yang baru saja selesai melaksanakan kegiatan upacara. Iya, hanya kelas dua belas. Karena untuk pembagian kelas sepuluh dan sebelas sudah ditempelkan di mading yang berbeda.
Anya Revana, duduk di sebuah teras yang berhadapan langsung dengan papan mading. Menyaksikan betapa banyaknya orang yang berebut melihat di kelas manakah namanya berada. Bagi Anya itu tidak penting, toh ia juga tahu jika dirinya akan memasuki kelas dengan populasi orang-orang pintar di dalamnya.
"Demi apapun, lo masuk kelas D Nya!"
Anya sedikit mengalihkan pandangannya kepada Reta—teman dari semasa kelas sepuluh—yang sudah keluar dari kerumunan orang-orang di depan mading. Iya, salah satu alasan kenapa Anya tidak mau ikut bergabung di kerumunan tersebut karena sudah ada Reta yang mewakilinya.
"Kelas D? Ah masa?" tanya Anya tidak percaya.
Reta yang masih kelelahan setelah berdesak-desakan itu hanya manggut-manggut sambil sesekali mengibas-ngibaskan telapak tangan di depan wajahnya.
Anya berdecak, "Masa iya? Kenapa bisa gitu? Perasaan nilai gue nggak pernah ada masalah," katanya.
"Ya udah sih, toh kita juga masih sekelas, Nya," pungkas Reta.
"Tapi gue masih bingung deh ya, kenapa gue dan lo di kelas D?"
Reta mengangkat bahunya, lalu berkata, "Ya mana gue tahu, Nya."
"Hm, yaudahlah langsung ke kelas aja," kata Anya.
Reta pun menganggukkan kepalanya dan mengikuti langkah Anya.
"Eh, Nya!" Panggil Reta.
Anya berhenti, lalu bertanya, "Kenapa?"
"Emang lo tahu kelas kita di mana?"
Anya hanya cengengesan, lalu melangkah ke belakang kembali. Menarik lengan Reta untuk melangkah. Anya malu juga, karena kelas aja baru di kasih tahu. Masa iya dia udah tahu duluan di mana letaknya.
**
Anya pikir, kelasnya masih akan tetap diisi oleh manusia-manusia pengejar nilai tinggi—seperti dia—layaknya di kelas sepuluh dan sebelas dulu. Nyatanya tidak sama sekali. Teman-temannya di kelas dua belas sekarang, berbanding terbalik dengan teman-temannya dulu.
Jika teman-temannya dulu menyempatkan diri untuk membuka buku, teman-temannya sekarang lebih memilih membuka ponsel lalu berselfie ria. Dan jika teman-temannya dulu lebih memilih untuk membuat kelompok belajar lalu membahas soal, teman-temannya sekarang malah membuat lingkaran lalu bergosip. Begitu besarnya perbedaan di kelas unggulan dan kelas biasa.
Yang baru Anya tahu juga, ternyata sistem pembelajaran di sekolah sekarang adalah mentiadakan kelas unggulan. Maka dari itu, sekarang semua siswa-siswi pintar dan biasa saja digabungkan dalam satu kelas untuk satu tujuan : saling membantu jika salah satunya kesusahan. Karena jika menggunakan kelas unggulan, semua orang mengira hanya ada persaingan di kalangan anak pintar. Sedangkan para siswa-siswi biasa hanya tahu yang namanya bermain dan membuat keonaran.
"Wah kita sekelas sama mantan ketos!"
"Princess nya Alvin ternyata di kelas ini!"
"Kelas kita bakal jadi kelas unggulan nih kayaknya."
"Oh jadi Anya Revana yang terkenal seantero sekolah dengan kepintarannya sekarang ada di kelas kita."
Serentetan teriakan yang Anya terima saat pertama kali memasuki ruang kelas dua belas D bersama Reta di sampingnya. Teriakan yang entah kenapa membuat Anya semakin asing untuk berada di kelas tersebut, karena pada dasarnya Anya tidak pernah merasa diagung-agungkan seperti itu. Anya terkenal, itu sudah pasti. Anya pintar, apalagi. Tapi Anya tidak biasa mendapatkan teriakan seperti itu, karena di kelas unggulan tidak ada yang namanya saling mengagungkan. Semua anak kelas unggulan berlomba-lomba menjadi yang paling dibanggakan.
Jika mengatakan Anya terkenal karena kepintarannya tidak benar juga, karena ia merupakan bagian dari beberapa organisasi yang ada di sekolah. Apalagi saat kelas sebelas, bisa dikatakan merupakan masa keemasan seorang Anya Revana.
Anya banyak mengikuti olimpiade dan berhasil menenangkannya. Ia juga merupakan ketua osis, yang bersamaan dengan itu ia menjabat sebagai ketua paskibra di sekolahnya. Anya merupakan siswi yang aktif di sekolah. Maka dari itu, tidak ada yang tidak mengenal Anya di sekolah.
Ya, itu mungkin pikiran Anya, sebelum seorang laki-laki yang baru saja memasuki kelas mendorong tubuh Anya dengan santai, lalu berkata, "Minggir dong, dikata artis ya berdiri di depan pintu sambil diteriakin."
Anya menatap laki-laki tersebut kesal, hei! Memang dia siapa?
"Heh!" panggil Anya kesal.
Laki-laki tersebut membalikan tubuhnya, mengangkat alisnya tanda bertanya.
Tapi bukannya melanjutkan perkataannya, Anya malah bungkam. Bukan apa-apa, sepertinya ada yang salah di sini.
"Kenapa? Tadi lo manggil gue, kan?" kata laki-laki tersebut, sambil menaik turunkan alisnya.
Anya menggeleng. Ia tidak menjawab, lalu melangkahkan kakinya dengan menarik lengan Reta. Mengajak Reta duduk di salah satu kursi dekat jendela.
Belum sempat Anya melewati tubuh laki-laki tersebut, tanpa disadari lengannya sudah ditahan dengan pelan. Dilanjutkan dengan bisikan halus yang menghampiri telinganya, "Ketemu lagi, Nona ujung koridor."
Secepat mungkin Anya melepaskan lengannya yang ditahan laki-laki tersebut, melangkah cepat lalu mendudukan dirinya. Berusaha biasa saja, walaupun semua teman kelasnya—termasuk Reta—sudah memperhatikan dirinya juga laki-laki itu.
Laki-laki itu melangkah untuk duduk, yang Anya harapkan semoga dia tidak duduk di belakangnya yang memang masih kosong. Ia bernapas lega, karena laki-laki itu memilih duduk di belakang. Yang berbeda sekitar dua meja dengan dirinya. Cukup jauh, dan itu aman untuk Anya.
"Ada apa lo sama Rega?" Anya tersentak, langsung mengalihkan pandangannya kepada Reta.
"Emang gua terlihat ada apa-apa sama dia?" tanya Anya.
"Entahlah, gue merasakan ada yang aneh di sini," Reta menatap Anya, lalu beralih menatap Rega dan kembali lagi ke Anya, "ah! Apa lo punya hubungan sama dia?"
"Gila lo!" tandas Anya.
"Ya lagian, lo kelihatan aneh gitu. Anya dan Rega? Cocok nggak sih?"
"Bodo amat." Anya langsung meletakan tasnya di atas meja, mengubur dalam-dalam kepalanya. Berusaha tidak mendengar apa yang Reta, bahkan teman-temannya bicarakan tentang dirinya dan Rega. Karena memang tidak ada yang perlu dibicarakan tentang mereka.
Yang pasti, Anya dan Rega kenal hanya karena sebuah kesalahan. Kesalahan yang Anya lakukan di ujung koridor beberapa bulan lalu. Iya, kesalahan Anya karena mendengar rahasia besar seorang Rega si bandar kunci jawaban di sekolahnya.
**
Tbc.
Lanjutttttt!!!!