“Rei! Reinaaa!” seru Citra memanggil. Suaranya berasal dari arah dapur.
Reina membuka kedua kelopak matanya dengan malas. Panggilan kakaknya benar-benar berhasil mengganggu tidurnya.
“Rei! Bantuin Kakak dong buat roti! Kakak kewalahan nih buat pesanan rotinya sendirian!”
Reina mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Gelap. Kata itulah yang terlintas di otaknya ketika membuka kedua matanya. Dia heran sekali. Tak biasanya dirinya tidur terlalu lama hingga malam seperti ini.
“Rei! Bantuin Kakak dong buat roti!” seru Citra kembali dengan suara yang tinggi.
“Iya, Kak! Tunggu sebentar!” jawabnya dengan suara yang tak kalah tingginya.
Reina lantas bangkit dari kasurnya. Dia lalu melangkahkan kedua kakinya dengan pelan. Tangannya meraba-raba, mencoba menggapai saklar lampu. Saklar lampu dia tekan-tekan layaknya sebuah mainan. Tetapi, kedua matanya sama sekali tak melihat cahaya lampu yang menerangi kamarnya. Semuanya masih saja terlihat gelap.
Terdengar sangat jelas suara langkah kaki seseorang di luar kamarnya. Dia bisa menebak kalau kakaknya itu sebentar lagi akan masuk ke kamarnya dan memarahinya karena tak kunjung membantunya di dapur.
Reina menghela napas. Sejak tadi dia tak melihat sedikit pun cahaya di sana. Sepertinya terjadi pemadaman listrik saat ini di lingkungan sekitar rumahnya. Dia kembali menekan saklar lampu. Tetapi hasilnya sama saja, hanya kegelapan saja yang terus terlihat di matanya.
Citra berdiri di depan pintu kamar Reina. Dia sedikit kesal kepada adiknya itu. hampir 30 menit dia menunggunya di dapur, tetapi yang dipanggil-panggil tak kunjung datang menemuinya. Citra pun mengetuk-ketuk pintu kamar Reina seraya berkata, “Rei, kamu ngapain sih di kamar? Betah banget. Bantuin Kakak dong buat pesanan roti. Kakak kewalahan nih buatnya. Besok lagi pesanan rotinya mau diambil.”
Reina melangkahkan kakinya dengan pelan menuju pintu kamarnya. Tangannya meraba-raba agar dirinya tak tersandung dengan benda-benda yang ada di dalam kamarnya. Dia lantas membuka pintu bercat biru itu. Aneh sekali. Dia sama sekali tak bisa melihat Citra. Semuanya gelap gulita. Tak biasanya Citra tak membawa lilin ataupun senter sebagai penerangan saat mati lampu. Dan yang lebih membuatnya bingung, Citra terus saja memintanya untuk membantunya membuat roti. Padahal jelas sekali kalau sekarang sedang terjadi pemadaman listrik, itu berarti alat yang digunakan untuk membuat roti tak akan bisa digunakan.
“Ya ampun, Rei. Kamu ngapain sih di dalam? Kakak panggil-panggil, kamu nggak datang-datang ke dapur. Memangnya kamu sudah nggak mau lagi apa bantuin Kakak?” omel Citra berdiri di ambang pintu.
“Bukannya begitu, Kak. Aku sudah mau ke dapur, tapi di sini gelap banget. Sepertinya bakalan lama nih mati lampunya,” jelas Reina. “Lagi pula Kakak ini aneh deh. Listriknya mati begini gimana caranya buat rotinya? Trus malam begini lagi. Kenapa nggak sore tadi aja sih buat rotinya?”
“Malam? Listrik mati?” tanya Citra menatap bingung pada adiknya itu. Dia sama sekali tak mengerti dengan perkataan Reina. Pandangan matanya dia arahkan ke dalam kamar. Dia semakin bingung. Tak biasanya Reina menyalakan lampu kamarnya pada sore hari.
“Kak!” seru Reina. “Malah bengong? Gimana nih buat rotinya kalau mati lampu seperti ini?”
Citra menggerak-gerakkan telapak tangannya tepat di depan kedua mata Reina. Tetapi, kedua mata coklat Reina sama sekali tak merespon gerakan telapak tangannya. Citra mulai curiga dengan tingkah Reina. Perasaan takut dan curiga pun perlahan-lahan mulai menyelimuti hati Citra.
“Kak!” seru Reina kembali.
“Rei, kamu jangan menakut-nakuti Kakakmu ini, Rei! Ini sama sekali nggak lucu.”
“Apa maksud Kakak? Aku sama sekali nggak ngerti? Lagi pula untuk apa aku menakut-nakutin Kakak sekarang? Seperti nggak ada kerjaan aja,” tanyanya bingung.
“Kamu baik-baik saja kan, Rei?” tanya Citra khawatir.
“Tentu saja aku baik-baik saja. Memangnya kenapa sih?” Reina semakin dibuat bingung dengan perkataan Citra. Apalagi, dia mendengar suara Citra terdengar seperti sedang ketakutan, membuatnya otaknya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan.
“Beneran, Rei?” tanya Citra kembali.
“Beneran, Kak. Aku nggak bohong,” ucap Reina meyakinkan.
“Apa kamu tahu jam berapa ini?”
“Mungkin jam sembilan malam,” tebaknya asal.
Mata Citra berkaca-kaca mendengar perkataan dari Reina. Dia lalu berkata, “Rei, ini bukan jam sembilan malam, tapi jam empat sore. Nggak ada pemadaman listrik sama sekali hari ini. Kamarmu juga sama sekali nggak gelap, malahan terang benderang karena lampu di kamarmu sedang menyala sekarang.”
Reina kaget mendengar perkataan dari kakaknya itu. Apa yang dia takutkan selama ini akhirnya terjadi juga. Buta. Kata itulah yang sekarang memenuhi otaknya. Dia sama sekali tak menyangka kalau dirinya akan kehilangan penglihatannya secepat ini. Perkiraan dr. Chika akan penglihatannya ternyata salah. Kedua matanya kini buta hanya dalam empat bulan setelah dia memeriksakannya. Dia hanya bisa pasrah menerimanya. Mungkin inilah, jalan terbaik yang diberikan Allah kepada dirinya.
“Rei, apa kau—”
“Ya, Kak. Aku buta,” ucap Reina cepat.
Citra tak lagi dapat menahan air matanya. Hatinya masih tak bisa menerima kenyataan pahit itu. Dia sama sekali tak menyangka kalau adik satu-satunya itu harus kehilangan penglihatannya di usianya yang muda.
“Kau jangan bercanda pada Kakakmu ini, Rei? Bagaimana mungkin kau bisa buta? Bukankah selama ini kau baik-baik saja?” tanya Citra terisak.
Tak satu pun kata yang keluar dari mulut Reina. Reina sama sekali tak tahu harus berkata apa kepada kakaknya itu. Dia tak lagi bisa menghindar. Sepertinya, inilah saatnya dia harus berterus terang kepada Citra.
“Jawab aku, Rei! Apa yang sebenarnya terjadi kepadamu?”
“Maafkan aku...” ucap Reina pelan.
“Rei, jelaskan padaku kenapa kamu bisa buta seperti ini? Apa yang kau sembunyikan dari Kakak? Jawab, Rei! Jawab!” tanya Citra mendesak.
“Sebenarnya selama ini, aku menyembunyikan penyakitku dari Kakak. Kata dokter, aku di diagnosa terkena penyakit glaukoma, penyakit yang membuat aku buta seperti yang Kakak lihat sekarang,” jelas Reina terisak. “Maafkan aku karena selama ini aku sudah menyembunyikan hal ini dari Kakak.”
“Seharusnya kamu bilang sama Kakak, Rei. Kita bisa ke rumah sakit untuk mengobati penyakitmu itu.”
Reina menghembuskan napasnya dengan berat. Dia lalu berkata, “Aku nggak ingin menyusahkan Kakak. Selama ini, Kakak selalu bekerja keras untukku. Seharusnya saat ini aku sudah bisa membalas semua pengorbanan Kakak kepadaku, tapi aku malah menambah beban Kakak dengan penyakitku ini.”
Reina tahu kalau dirinya sudah mengecewakan Citra. Tetapi, apa yang dia lakukan selama ini semata-mata karena dirinya menyayangi kakaknya. Dia tak mau Citra kembali bekerja keras untuk biaya pengobatan matanya.
Air mata Citra mengalir semakin deras mendengar perkataan yang keluar dari mulut Reina. Dia tak mengerti mengapa Allah memberikan cobaan yang berat ini kepada adiknya itu. Dia langsung memeluk adiknya itu dengan erat seraya berkata, “Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu, Rei? Kamu sama sekali bukan beban bagi Kakak. Maafkan Kakakmu ini, Rei. Bila Kakak punya banyak uang, kamu nggak perlu hidup susah seperti ini. Kamu juga bisa melakukan pengobatan tanpa harus memikirkan uang. Maafkan Kakak, Rei. Ini semua salah Kakak.”
Reina tak kuasa menahan air matanya. Dia pun langsung memeluk Citra dengan erat seraya berkata, “Ini semua bukan salah Kakak. Selama ini, Kakak sudah banyak berkorban untukku. Anggap saja, kebutaanku ini adalah ujian yang diberikan Allah untukku agar menjadi perempuan yang lebih baik.”
“Tapi, Rei—”
“Nggak apa-apa. Ini semua sudah menjadi kehendak Allah. Aku harus bisa menerimanya.”
Di ambang pintu bercat biru itu, kakak beradik itu menangis sejadi-jadinya. Entah kenapa Allah lagi-lagi memberikan cobaan berat bagi mereka berdua. Tetapi apa pun itu, mereka yakin bisa melewati semua ini bersama-sama.
***
Keesokan harinya, Sheila sengaja menyempatkan dirinya datang ke rumah Reina. Selama empat bulan ini, hatinya terus saja gelisah. Perasaan bersalah terus saja menyelubungi batinnya. Dia sudah tak kuat lagi menyimpan rahasia akan kondisi kedua mata Reina lebih lama. Menurutnya, Kak Citra berhak tahu akan kondisi Reina saat ini. Walau bagaimanapun juga, Kak Citra adalah kakak Reina dan satu-satunya keluarga yang Reina punya. Jadi sudah sepantasnya Kak Citra mengetahui kebenarannya.
Tok... tok... tok...
Pintu kecil bercat biru itu diketuknya berulang kali. Dan berulang kali itu pula, dia menghembuskan napasnya, mencoba untuk menenangkan dirinya yang kacau. Dia sama sekali tak bisa menebak apa yang akan terjadi kepadanya setelah ini. Tapi yang jelas, dia sudah siap bila nanti dirinya harus menerima kemarahan dari sahabatnya itu.
Pintu kecil itu akhirnya terbuka lebar. Seorang gadis cantik dengan rambut hitam panjangnya yang dibiarkan terurai keluar dari pintu itu. Dia menatap kaget saat melihat Sheila.
“Sheila!” sapanya tak percaya. “Ayo masuk, Sheila! Ayo masuk!”
Sheila pun melangkah masuk ke dalam rumah. Jantungnya semakin berdetak cepat. Perasaannya pun semakin tak karuan. Perasaan cemas dan takut terus saja menghantuinya. Dia lantas duduk mengikuti si tuan rumah.
“Ya ampun, Sheila. Kamu makin cantik aja.”
“Ah, Kak Citra bisa saja,” ucapnya tersenyum kecil menatap Citra.
“Kamu kemana aja sih, Sheila? Udah lama loh kamu nggak main ke sini.”
“Maaf ya, Kak. Akhir-akhir ini kafe lagi lagi ramai banget. Tapi Kak Citra tenang aja, nanti kalau ada waktu luang lagi, aku pasti main-main ke sini.”
“Kamu pasti ingin ketemu sama Reina. Reina ada kok di kamarnya. Sebentar ya, Kakak panggilkan dulu Reina.”
Sheila segera mencegah Citra yang hendak memanggil Reina. Citra menatap bingung kepada Sheila. Dilihat dari raut wajah Sheila, Citra merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan Sheila kepada dirinya. Mau tak mau, Citra pun kembali duduk.
“Ada apa, Sheila? Apa ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan sama Kakak?”
Sheila menghirup udara dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan perlahan. Dengan gugup, dia berkata, “Sebenarnya, aku ke sini mau membicarakan tentang Reina, Kak.”
“Memangnya ada apa dengan Reina?”
“Sebenarnya aku sudah janji sama Reina untuk nggak memberitahukan hal ini sama Kakak, tapi bagaimanapun juga, Kakak berhak tahu hal ini,” ucap Sheila merasa tak nyaman. “Sebenarnya… Reina….”
“Kamu nggak perlu mengatakannya, Shil. Kakakku sudah tahu yang sebenarnya,” ucap Reina tiba-tiba. Reina melangkahkan kakinya dengan pelan menuju ruang tamu. Tangannya terus menyentuh dinding.
Sheila kaget begitu melihat Reina. Reina sama sekali tak menatap ke arahnya. Pandangannya terus mengarah lurus ke luar pintu depan rumah. Melihat adiknya itu, Citra langsung beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Reina. Dia lantas menuntun Reina dan duduk tepat di depan Sheila.
Sheila mulai curiga. Tangan kanannya sontak dia gerak-gerakkan tepat di depan mata Reina. Tetapi, Reina sama sekali tak merespon gerakan tangannya.
“Rei, apa kau… buta?” tanyanya tak percaya dengan penglihatannya sendiri.
Reina tersenyum kecut. Dia kemudian berkata, “Ya, Shil. Aku buta. Akhirnya apa yang aku takutkan selama ini terjadi juga. Terima kasih karena selama ini kamu sudah banyak membantuku.”
Sheila semakin dilanda oleh rasa bersalah yang mendalam. Andai saja sejak awal dia melakukan sesuatu, hal yang ditakutkan oleh sahabatnya itu tak akan pernah terjadi. Apalagi, dia sangat kenal dan tahu akan kehidupan Reina yang tak seperti anak-anak lainnya, membuat hati Sheila semakin merasa bersalah.
“Maafkan aku, Rei. Andai saja sejak awal aku melakukan sesuatu untukmu, kau mungkin tak akan buta seperti ini,” ucapnya menyesal.
“Kenapa kau harus minta maaf padaku, Shil? Kau sama sekali nggak bersalah. Aku malah berterima kasih kepadamu karena sudah bersedia menyimpan rahasia ini,” ungkap Reina tersenyum.
“Tapi… tetap saja aku merasa bersalah.”
“Kamu nggak perlu merasa bersalah. Nggak apa-apa, Shil. Aku buta bukan karena salah siapa pun. Ini memang takdir yang harus kuterima dari Allah.”
Sheila lantas menatap wajah Citra yang terlihat sedih menatap adiknya itu. Dia kemudian berkata, “Maafkan aku, Kak Citra. Seharusnya sejak awal aku memberitahukanmu tentang hal ini.”
“Nggak apa-apa, Shil. Kamu nggak perlu merasa bersalah seperti itu. Mungkin Allah mau memberikan kami sesuatu yang indah di balik semua ini. Reina sudah ikhlas menerimanya. Kakak pun juga harus iklas menerimanya,” terang Citra berusaha menghibur Sheila.
Sheila tak tahu harus bersikap seperti apa pada kakak beradik itu. Apa yang dia lakukan ternyata sudah terlambat. Kedua mata Reina telah buta sebelum dia sempat memberitahukan hal itu kepada Citra. Rencana Allah memang tidak dapat diprediksi. Sheila berjanji di dalam hatinya, dirinya tak akan pernah meninggalkan sahabatnya itu bagaimanapun kondisinya.
***
suka ceritanya ..semangat
Comment on chapter BAB 1 MIMPI BURUK