Persahabatan itu tidak seperti kepompong, persahabatan itu seperti guci porselen yang mudah pecah jika tidak dijaga baik-baik. Setidaknya itulah yang akan terjadi dengan persahabatannya – yang memiliki jejak retak sekarang – tinggal menunggu waktu kapan guci itu pecah.
Katarina sudah merasa bersalah pada teman-temannya meskipun belum terjadi apa-apa, terutama pada Cyanne yang terang-terangan mengatakan ia menyukai Josh. Katarina yakin, jika Sylvia tau, ia tidak akan segan menjambak rambutnya dan meneriakinya teman makan teman.
Mengenai perasaan Josh yang dikatakan Hadi, Katarina berpikir lelaki itu mungkin berhalusinasi. Dari sekian banyak fans yang mengantri di depannya, tidak mungkin Josh memiliki rasa terhadap dirinya yang bahkan tidak berada dalam antrian panjang itu.
Katarina tidak memungkiri bahwa ia memiliki rasa suka pada Josh, cukup Hadi saja yang tau. Ia benar-benar menghindari kedua lelaki itu sekarang dan berpikir mungkin jika ia menghilang untuk sementara waktu, perasaan apapun itu – yang dirasakannya atau Josh – akan memudar dengan sendirinya dan semuanya akan kembali seperti semula, seakan tidak terjadi apapun.
"Kat, tunggu ...," Seru Josh, kepalanya menyembul dari anak tangga teratas. Katarina mendongak, kemudian ia mempercepat langkahnya untuk melarikan diri dari lelaki itu. Josh menghentikannya di depan gerbang sekolah. "Kat, kita harus bicara."
"Gak ada yang perlu dibicarakan, Josh. Gue mau pulang sekarang." Katarina menghindar dan berbalik pergi. Josh menangkap pergelangannya dan menariknya ke sudut gang yang sepi dari lalu lalang siswa yang keluar dan masuk gerbang.
"Kat, lo sudah semingguan ini ilang-ilangan melulu. Kenapa?"
"Gak papa, gue sakit kepala."
"Gue anterin pulang kalau begitu."
"Gak mau! Gue bisa pulang sendiri!" Penolakannya yang bernada histeris, membuat Josh menatapnya lekat-lekat. Matanya yang tajam mempelajari wajah Katarina.
"Lo gak sakit kepala kan?" Josh menghela nafas panjang. "Ikut gue. Temen-temen kita mau bicara, mereka udah nunggu kita di warung bakso." Penjelasan Josh membuatnya takut, apa mereka sudah tau?
"Gue mau pulang aja, Josh, please ...." Katarina memohon di bawah tatapan Josh.
"Lo dah tau dari Hadi ya, makanya lo ilang-ilangan dari gue, gitu?" Josh menggumamkan sesuatu, lalu melanjutkan, "Jangan takut, Kat, gue bakal dampingi lo apapun yang terjadi."
"Nggak, Josh. Gue gak mau kesana, gue mau pulang!"
Josh meraih kedua lengan Katarina dan mengguncangnya, "Dengerin gue. Lo gak bisa ngindarin kita begini Kat, ngerti? Gue anterin lo, gue dampingin lo, Kat. Lo gak perlu takut."
"Lepasin gue, Josh, gue beneran pengen pulang!" Panik menyergapnya, Katarina meronta untuk melepaskan diri dari Josh dan usahanya tidak membuahkan hasil. Josh memakunya di tempat.
"Ikut gue, Kat. Percaya sama gue!"
"Nggak! Nggak ada yang bisa gue percaya lagi!" Dihentakkan kakinya dengan rasa marah, dialog itu harusnya milik Hadi, kenapa sekarang pindah ke bibir Josh?
Dadanya naik turun menahan emosi yang berkecamuk di dalam. Josh memberinya waktu, menunggunya dengan sabar hingga nafasnya teratur lagi dan otak rasionalnya kembali. Katarina menghargai itu, ia mulai berpikir bahwa kata-kata Josh benar, bagaimanapun ia harus menemui teman-temannya untuk mempertanggungjawabkan dosanya. Sekalian saja pecahkan guci itu.
"Sekali ini aja, Kat. Please ..."
Katarina mengangguk lemah dan mengikuti langkah Josh. Dibiarkan lelaki itu menggenggam tangannya dan menuntunnya menuju parkiran motor. Berdua, mereka melesat ke warung bakso dimana sahabatnya telah menunggu.
Hendra, Cyanne, Hadi, Sylvia telah duduk berjajar di barisan paling belakang dari warung bakso yang belum ramai sore itu. Ia dan Josh mengambil tempat duduk di depan mereka, rasanya seperti berada dalam persidangan. Ia tidak berani menatap mereka, matanya tertuju ke bawah.
"Kat, lo tau kenapa kita ngumpul disini?" Hendra membuka pembicaraan. Katarina mengangguk lemah, tangannya memainkan ujung kukunya.
Hening. Katarina berusaha mengumpulkan tenaganya untuk berkata-kata, "Gue mau minta maaf sama kalian ... gue salah. Maafin gue ya ...," Air matanya merebak, sebelum air mata itu jatuh, Katarina menutup wajahnya dengan tangan.
"Lo tau apa kesalahan lo?" Hendra bertanya lagi.
Ia mengangguk, "Gue udah memecah belah persahabatan kita."
"Terus?"
"Terserah lo orang gimananya, gue terima. Gue cuma mau minta maaf."
Katarina masih tidak sanggup menatap mata teman-temannya karena rasa bersalah. Tak kuasa menahan air matanya lebih lama, ditariknya tissue di meja kayu untuk menyeka matanya dan membersit hidungnya. Tulang belakangnya terasa lembek sekarang, dengan tangan masih menutupi wajahnya, Katarina menempelkan keningnya di atas meja dan mulai terisak-isak.
Suara bangku bergerak di sampingnya terdengar, kemudian sebuah suara memecah keheningan. "Salah lo sebenarnya dimana sih, Kat?"
Lelaki itu menarik tangan Katarina, membukanya dari wajahnya. Baru kali ini teman-temannya melihatnya menangis. Pasti bukan pemandangan yang sedap karena matanya sekarang sembab dengan kantung mata mungkin sebesar kepalan tangan.
"Hadi ...."