Memandangi langit malam yang indah bertabur bintang-bintang dari balik jendela, meski pemandangan yang mereka lihat itu tidak seindah perasaan dihatinya.
“Apa aku pantas mendapatkan semua ini?”
“Hanya karena aku berbeda, apa perlakuan kalian kepadaku juga ikut berbeda?”
“Tidak ada gunanya meminta bantuan orang dewasa, apa mereka peduli dengan keadaanku waktu itu?”
“Tentu saja tidak.”
Berbicara pada hati yang bersedih. Itu adalah kenyataan, begitulah jawaban hati mereka mengatakannya. Semua itu saling terhubung dengan perasaan, juga kejadian yang mereka alami sekarang.
Waktu yang mereka rasakan terasa tidak begitu lambat. Hal-hal yang tidak mengenakan bagi mereka terus terulang setiap hari, setiap waktu, setiap langkah kaki mereka di gerakan… Karena begitu banyaknya tekanan yang mereka hadapi, sampai, sampai pikiran mereka pun semakin lama semakin hancur dengan sendirinya.
Dua pilihan… Satu tindakan…
Pilihan pertama, bertahan lalu membiarkan dirinya hancur di makan oleh waktu yang terus berputar. Pilihan kedua, menyerah dan membuang kehidupannya.
Bagaimana mungkin cuma ada dua pilihan saja yang dapat dipilih? Tidak adil, dunia ini memang sangat tidak adil. Bagi seorang yang lemah seperti dirinya, hidup di dunia seperti ini layaknya berjalan menuju kehancuran, sama dengan dua pilihan itu yang tidaklah beda hasil akhirnya. “Sungguh menggelikan sekali, ya kan… Kalau begitu, aku pilih yang kedua.”
Tersisa seorang yang masih memilih mencoba untuk bertahan selama mungkin. Sebetulnya, yang dirasakan oleh hatinya sudah begitu menyakitkan sekali, bahkan ia sendiri tidak sanggup lagi menahannya dan ingin segera keluar dari zona itu. “Apa boleh buat. Ini kulakukan demi kehidupanku dimasa depan nanti, aku tak boleh menyerah dari cobaan kecil ini. Ya benar, aku akan pilih yang pertama.”
Terpaksa, bukan atas kehendaknya sendiri, atau pilihan yang tadi ia ambil itu berasal dari dorongan orang terdekatnya.
“Ada apa dengan mereka semua?”
“Kenapa aku harus yang merasakan hal ini?”
“Tidak adakah disini yang merasakan hal yang sama denganku?”
Diwaktu yang sama pada hari itu, langit yang cerah tanpa adanya awan hitam yang menghalangi pemandangan seindah pada hari itu. Kali ini kesedihan yang mereka alami semakin susah untuk ditahan, sampailah mereka yang tak bisa menahan kesedihan itu dengan membiarkan air mata mengalir dipipinya…
“Maaf. Aku tidak bisa menempati janjiku padamu. Maaf…”
Dipagi hari yang indah ini, burung-burung bernyayi di langit yang cerah dan begitu berwarna. Menetapkan hati yang gugup ini dengan menekankan kepercayaan pada dirinya sendiri ketika ternyata hari ini datang begitu cepat. Ia merasakan sensasi yang luar biasa dari dalam tubuhnya, berdegup kencang jantung ini seperti ingin meledak saja, lalu kedua tangan ini kenapa tidak bisa berhenti bergemetar.
Dalam beberapa menit ke depan, ia akan bertemu dengan seorang gadis manis di tempat pertemuan yang dijanjikan. Sedikit merapihkan kerah pakaian dan rambutnya yang terlihat agak berantakan, entahlah soalnya situasi ini baru pertama kalinya ia rasakan.
Mengambil napas panjang-panjang, kemudian membuangnya dengan sambil berpikir untuk tenang, itu ia lakukan secara terus-menerus sampai kegugupannya mereda. Setelah beberapa kali, akhirnya hatinya sudah siap bertemu dengan gadis itu.
“Yosh! Kepercayaan diriku telah meningkat dua kali dari sebelumnya.” Mengangkat tangan kanan, kemudian ia menekuk dan mengepalkannya dengan segenggam tekad yang berapi-api.
Baru beberapa detik berlalu, kegugupannya memang sudah merada hingga sekarang ini. Tapi genggaman tangannya tiba-tiba bergemetar dengan sendirinya dan di ikuti kedua kakinya.
Berjarak tepat dua langkah di belakang. Kiki menyadari sesuatu dan berhasil mendeteksi keberadaannya. Keberadaan seseorang yang telah di nanti-nantinya.
“Maaf kak Kiki. Aku telat…” Suara gadis itu terengah-engah, kemungkinan dia telah berlari jauh hingga sampai sini, ia yakin seperti itu karena memang cukup jauh dari tempat tinggalnya, meski berangkatnya dengan sebuah kendaraan.
Dalam hatinya ada sebuah perasaan dan keinginan yang tiba-tiba bercampur menjadi satu, dan menciptakan suatu reaksi ilmiah yang tidak diketahuinya. Rasanya ingin sekali melihat wajahnya yang cantik, tapi hatinya masih belum siap sepenuhnya. Begitulah yang terjadi.
Super gawat! Gawat, gawat, gawat! A-a-annisa sudah datang!
.
.
Ditempat lain bersama Fajrul dan Sarah. Mereka berdua mengikuti Kiki sampai ke tempat ini untuk memastikan keduanya tidak melakukan tindakan yang melewati batas. Mereka sebenarnya datang kesini bukan hanya untuk memastikan saja, tapi juga menemani Kiki yang mudah sekali gugup. Dan tebakan mereka dari jauh-jauh hari telah menjadi kenyataan.
Di suatu tempat yang tidak di ketahui Kiki, mereka berdua mengamatinya secara terus menerus dari jarak yang cukup dekat olehnya dan mereka bersembunyi di balik tempat sampah berwarna hijau yang menggambarkan di tengah-tengahnya ada sebuah tangan membuang kertas.
“Ada apa dengan Kiki?! Bukannya menyapa balik malah diam saja kayak patung, orang itu lama-lama bikin kesal,” gerutu Fajrul sambil mengigit ibu jarinya.
Sarah tertawa kecil, meski dirinya juga sama kesalnya dan sependapat dengan yang Fajrul katakan. “Sabar-sabar, mungkin kak Kiki sangat gugup. Dari kemarin sih.” Sarah mencoba menenangkannya dan juga dirinya juga.
“Kesabaranku sudah habis! Aku ingin segera bicara dengannya.” Fajrul berdiri tiba-tiba dari tempat persembunyian setelah berbicara seperti itu.
Dengan cepat Sarah menarik kembali sebagian bajunya agar menunduk dan bersembunyi kembali. “Jangan ganggu mereka!” Sarah mengancam dengan ekspresi menyeramkan, dan cara itu pun berhasil membuat Fajrul menuruti perintahnya langsung tanpa membantahnya. Sarah mengintip dari samping sambil mengingatkan kembali rencana sebelumnya. “Biarkan mereka berdua dulu yang melakukannya, kita disini bertugas mengamati saja. Kalau misalkan salah satu dari mereka berbuat hal-hal yang melewati batas, baru kita akan menampakkan diri. Tapi sepertinya tidak mungkin, sih.”
“I-iya.” Fajrul menatap Sarah yang tak lagi menatapnya seperti tadi.
.
.
Sial, sial, sial…! Aku lupa bagaimana caranya menyapa. Bagaimana ini? Apa aku harus tersenyum manis sambil berkata “Hai, Aku Kiki-” Tunggu sebentar, ini bukannya menyapa tapi perkenalan. Dasar bodoh! Ahh…! Aku tidak mengerti lagi harus berbuat apa, cuma itu yang kutahu. Dimana yang lain? Katanya mau menemani…
Gadis itu melihat tangan Kiki yang bergemetar terus menerus, dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun gadis itu langsung memegangnya. Tubuh Kiki menguap panas dan merona sampai terlihat ke belakang telinganya. Jantungnya berdegup bagai suara drum yang di pukul dengan sangat keras dan cepat, kinerja otaknya bekerja sampai berasap untuk berfikir apa tindakan selanjutnya ketika ada kejadian ini.
Terus berfikir seperkian detiknya. Kiki kembali mencoba mengingat-ingat apa yang sudah ia pernah lihat divideo anime (kartun jepang) genre romance. Jawaban dalam pikirannya muncul…
Aku tidak pernah menonton yang begituan!
Genggaman gadis itu terasa hangat dan lembut. Kiki tahu betul bagaimana rasanya sentuhan tangan perempuan karena Sarah sering kali menggenggam tangannya, tapi yang dirasakan tangannya apa sehalus ini?
“Kak Kiki. Yang kita rasakan saat ini, mungkin sama persis. A-aku juga sangat gugup.” Gadis itu berbicara seolah-olah tahu yang ada di pikiran Kiki yang sedang kacau. “Bayangkan saja yang menggenggam ini adalah tangan Sarah… Kalau sudah merasa lebih tenang, coba melihat ke sini dengan mata tertutup.”
A-apa maksudnya? Membayangkan Sarah? Dengan mata tertutup?
Kiki mengerti itu, tapi sulit baginya untuk bisa menenangkan diri dalam waktu singkat. Meski begitu ia tetap mencobanya. Tarik napas dalam-dalam, lalu ia mencoba sedikit membayangkan Sarah yang selalu berada di dekatnya. Matanya mulai menutup rapat…
“A-annisa. Ma-maaf, aku sungguh minta maaf.”
Sembari menahan malu, Annisa yang di belakang tubuh tinggi Kiki merasa kebingungan dengan yang diucapkannya. Namun, sesaat kemudian Annisa tahu kenapa Kiki mengucapkan itu. Tangan Annisa yang memegangnya dengan sangat lembut penuh perasaan, tiba-tiba saja dilepaskan oleh Kiki. “Eh?! Bu-buat apa?” Wajahnya langsung menunduk sedih melihat tindakan Kiki seperti sudah menolaknya.
Dan karena itu juga tindakan Kiki sukses membuat orang-orang yang berjalan kesana-kemari geram saat melihat detik-detik seperti itu, Sarah dan Fajrul juga melihatnya, dan terkejutlah mereka. Emosi Fajrul memuncak dimana Sarah tidak lagi bisa menghentikannya, Fajrul pun berdiri lagi dari tempat persembunyiannya yang bersama Sarah disampingnya.
“Aku tidak bisa melakukannya…”
Annisa semakin sedih dan lebih menunjukkan kepala karena tak kuat menahan perasaan di hatinya yang hancur berkeping-keping, kedua mata berkaca-kaca berkilau terkena cahaya matahari. Dimana butiran-butiran air yang terbendung di dalam kelopak mata hampir saja membasahi wajah, Kiki melanjutkan perkataannya di detik-detik itu sambil membalikan badan menghadap ke wajah Annisa yang masih menunduk.
“Karena hanya ada dirimu di dalam benak pikiranku, bukanlah Sarah…”
Sekitar dua bulan yang akan datang. Kejadian dalam cerita novel yang dibuatnya sendiri menjadi kenyataan dikehidupannya. Memang benar begitu, tapi permasalahannya jelas berbeda. Yang tak pernah merasakan kehangatan, yang selalu mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan, dan takdir seperti itu bercerita di secarik kertas putih yang tertulis di atasnya penuh dengan warna-warna gelap.
Namun, roda takdir itu akan selalu berputar hingga sampai rusak roda tersebut, kadang hanya terasa enak untuk di nikmati tanpa adanya kepahitan, tapi terkadang rasa pahitnya kopi itu bisa menghilangkan manisnya kenikmatan yang tidak terbiasa bagi orang yang baru merasakannya sekali saja…
@Saber_Darkness28 wah di grup tinlit juga, kbtulan critaku juga masih tahap revisi boleh deh kasih sarannya. dan mnrutku crtamu bagus, rajin promo aja semangat!
Comment on chapter Prolog