LEAD TO YOU – PART 18
*****
Aku membuka mata ketika samar-samar mendengar suara orang mengaji di kejauhan. Tidak seperti biasanya aku merasa kedinginan kali ini. Ternyata aku tidak menemukan Alghaz di samping tempat tidurku. Pantas saja aku merasa kedinginan, karena biasanya aku tertidur dan terbangun dalam pelukannya. Aku melihat Alghaz bergerak di sofa dengan selimutnya. Dahiku berkerut heran melihat Alghaz tertidur di sofa.
Aku berjalan menghampirinya dan bersimpuh di depan wajahnya, mengamatinya sesaat dan memberanikan diri memberi kecupan sayang seorang istri pada suaminya. Mata Alghaz membuka tepat saat bibirku menyentuh hidungnya. Matanya melebar syok dan berkilat dengan ekspresi marah. “Apa-apaan sih!” hardiknya, “jangan lakukan itu lagi!” ujarnya sambil bangkit dari sofa dan menyingkirkan selimutnya dengan kasar.
Aku menelan ludah merasa sangat bersalah, apa aku salah menciumnya? Atau dia marah karena kaget melihatku saat membuka matanya? Atau dia tidak suka aku mencium hidungnya? Ya Allah kenapa tatapan Alghaz begitu menusuk hatiku? Dia kelihatan marah sekali. “Maaf, Al” ujarku. Aku pikir dia akan menyukai tindakanku tadi.
Ia membaringkan dirinya di atas tempat tidur dengan gestur kesal dan kembali memejamkan matanya. Aku memilih membiarkannya dan ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Setelah shalat subuh, aku melihat Alghaz sudah tidak di tempat tidur lagi, tidak juga di kamar mandi.
Kemana dia?
Tidak lama kemudian Alghaz kembali masuk kamar sudah dengan jubah handuknya, apa dia mandi di luar kamar? Dia melewatiku begitu saja dengan tatapan dinginnya. Ada apa sebenarnya? Kesalahan apa yang kubuat sehingga membuatnya begitu marah padaku? Aku mengikutinya masuk ke kamar pakaian, dan aku memang terbiasa menyiapkan pakaian untuk Alghaz pada malam hari sebelum tidur, aku juga sudah menyusun pakaiannya pada tempat biasanya. Tapi ia memilih mengambil baju yang lain dari lemari bajunya. Memilih dasinya sendiri dan juga kaos kaki. Yang aneh lagi, di luar masih gelap, tapi Alghaz sudah rapi berpakaian untuk ke kantor. Aku masih belum berani menegurnya sebelum ia selesai berpakaian.
Aku mendekatinya dan berniat membantunya memakaikan dasinya, namun gestur tubuhnya memutar dan menjauhiku, “Aku bisa sendiri...” katanya. Dadaku seketika seperti ditusuk sembilu.
“Alghaz, apa aku berbuat kesalahan? Kenapa kau bersikap sangat dingin padaku?”
Alih-alih menjawabku, ia menyambar jasnya dan menggunakannya sambil jalan keluar kamar pakaian. Aku mengekorinya lagi.
“Apa salahku, Al?” aku menelan ludah, “tolong katakan---“
“Aku berangkat, tidak usah menungguku, sepertinya aku akan meeting sampai malam!” cetusnya dingin, sangat dingin. Mata coklatnya tidak sehangat biasanya, bahkan lebih menakutkan dari saat pertama kali aku melihat sepasang mata itu.
Aku mengangguk, “Baiklah, ” ucapku pasrah.
Alghaz tidak menjawab, ia juga tidak membiarkanku mencium tangannya seperti biasa, ia juga tidak menciumku seperti biasa sebelum berangkat kerja. Alghaz memperlakukanku sangat berbeda sekarang. Dan aku tidak tahu apa penyebabnya. Tapi aku yakin ia akan menjelaskan padaku nanti, saat suasana hatinya sudah membaik.
Waalaikumsalam, jawabku dalam hati, walau Alghaz tidak mengucapkan salam. Aku terduduk di tepi tempat tidur sambil menangis. Bu Ami memanggilku dari luar pintu dan aku mempersilakannya masuk. Bu Ami menghampiriku dan bersimpuh di depanku, ia pasti tahu ada yang terjadi antara kami. Tangannya meraih tanganku dan menggenggamnya, aku ikut bersimpuh di depannya, menyamakan diriku dengannya dan mengharap pelukannya, kemudian terisak di dadanya.
“Yang sabar, Gadis” katanya.
Aku mengangguk, “Gadis tidak tahu apa yang terjadi Bu...Alghaz tiba-tiba berubah menjadi sangat dingin, dia menghindariku, tidak menyentuhku dan tidak mau menatapku. Seakan-akan aku adalah kotoran yang harus dihindari. Ada apa Bu?”
Bu Ami menggeleng dengan ekspresi sama bingungnya denganku. “Berdoa selalu sama Allah SWT Nak, Dia Maha Tahu Segalanya”
“Iya Bu...”
“Kira sarapan dulu yuk” ajak Bu Ami dan aku mengangguk.
Seharian ini aku di rumah, menunggu kabar dari Alghaz sampai jam 10 malam. Tapi tidak ada telepon atau pesan darinya. Telepon dan pesanku tidak dibalasnya. Tadinya aku berniat menelepon dan mengirim pesan pada Omar, tapi aku tidak mau melibatkan orang lain dalam urusan rumah tanggaku. Biarlah malam ini berlalu tanpa aku harus tahu sedang apa suamiku di luar sana.
Sebenarnya siang tadi, aku bermaksud mau menjenguk ayah di rumah sakit, tapi Alghaz tidak bisa dihubungi dan aku tidak mau pergi tanpa dia tahu atau tanpa izinnya.
Sampai jam 12 malam Alghaz belum muncul juga, dan aku hampir tidak sanggup lagi melawan kantukku. Tapi tiba-tiba suara pintu kamarku terdengar, Alghaz muncul dari baliknya dan berjalan dengan sempoyongan. Mataku melebar melihatnya menatapku dengan penuh kebencian. Ia mendekatiku, kemudian mencekal tanganku, “Apa yang kau lakukan, huh?” tanyanya dengan mulut yang bau alkohol. Alghaz baru saja mabuk.
Kenapa dia sampai seperti ini?
“Alghaz, kenapa kamu mabuk?”
“Kenapa kau masih ada di sini? Kau harusnya pergi! Kau tidak pantas ada di sini!!” tukasnya marah dengan mata yang menyorot tajam padaku.
Dahiku berkerut menatapnya, Dia sangat marah padaku, “Apa salahku Al? Tolong kasih tahu, supaya aku bisa memperbaikinya!” jeritku putus asa. “Apa kamu benar-benar ingin aku pergi?”
“YA! Aku tidak mau melihatmu lagi!!” hardiknya. Darahku berdesir dan dadaku sakit sekali. Mataku panas dan berair, dan cairan hangat itu mengalir dipipiku walau aku sudah menahannya sedemikian rupa. “JANGAN MENANGIS DI DEPANKU!” teriaknya keras sambil menyingkirkanku dari hadapannya. Ia menjatuhkan dirinya di sofa, terkulai lemas dengan mata terpejam. Aku seharusnya tidak sakit hati menghadapi orang mabuk. Alghaz tidak sadar dengan apa yang tadi dikatakannya. Aku menghampirinya, mencopot sepatu dan kaos kakinya, merapikan jasnya dan mengambil dasinya yang sudah terbuka. Besok pagi, pasti semuanya akan baik-baik saja.
Ya, besok dia akan baik-baik saja.
Aku terbangun tepat saat adzan subuh, dan Alghaz sudah tidak ada di sofa tempatnya semalam tertidur. Aku mencarinya ke kamar mandi, tidak ada, ke kamar pakaian juga tidak ada. Alghaz sudah pergi lagi? Sebelum subuh? Aku bergegas shalat dulu, setelah itu aku akan meneleponnya atau mencarinya keluar.
Teleponku tidak dijawabnya. Akhirnya aku mengirim pesan.
Assalamualaikum Alghaz, hari ini aku berniat mau besuk Ayah, apakah boleh?
Aku tidak yakin Alghaz akan membalas pesanku.
Ketika waktu dhuha, pesanku belum juga dibalasnya, aku mencoba menelepon lagi. Tapi hasilnya sama saja. Alghaz tidak menjawabnya. Kemudian aku memutuskan untuk menelepon Lidya di kantornya dan dia menjawab teleponnya di dering kedua.
“Assalamualaikum, Lidya”
“Waalaikumsalam, Gadis...”
“Lidya, apa Alghaz ada di kantor?”
“Mr. Devran sedang ada meeting di lantai atas, Dis, jadi sekarang tidak ada di kantornya. Tapi nanti setelah selesai aku akan kabari Anda meneleponnya”
Oh, mungkin karena itu Alghaz tidak bisa menjawab teleponku dan membalas pesanku. “Lidya, apakah kamu tahu informasi di mana ayahku di rawat?”
“Ya,tentu saja, aku kirim alamat rumah sakitnya via whatsapp ya, Anda mau ke sana?”
“Iya, tolong sampaikan pada suamiku, kalau aku mau besuk ayahku bersama Bu Ami ya, terima kasih banyak, Lidya”
“Iya, aku akan sampaikan, sama-sama”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Aku menutup teleponnya dan menghela napas lega. Mungkin aku terlalu berpikiran yang bukan-bukan mengenai Alghaz. Mungkin saja ia terlalu sibuk di kantor dan merasa sangat penat dengan semua hal, sehingga aku menjadi pelampiasan amarahnya.
Aku rela, asalkan itu bisa mengurangi beban pikiran Alghaz.
*****
@yurriansan terima kasih ya, oke aku mampir
Comment on chapter Lead To You - Part 2