"Mampir yuk!" ajak Wulan pada Candra saat motor mereka mulai memasuki wilayah pusat kota. Deretan toko dan kedai kopi biasa untuk tempat nongkrong anak muda berjejer di sana.
Telinga Candra yang tertutup helm mungkin tak mendengar ajakan dari adik kembarnya itu hingga Wulan terpaksa mengulang kalimatnya.
"Mas, mampir yuk!"
"Mas?"
"Candra woi! Budeg ya!"
"Sekali lagi kamu manggil kaya gitu aku pastikan uang jajanmu Bunda potong seminggu."
"Makanya ayo mampir.." rengek Wulan sekali lagi. Candra yang kurang paham dengan apa yang Wulan mau hanya menepikan motornya di depan toko kelontong.
"Lho, kok toko kelontong sih?”
" Aku ngga tahu kamu mau apa." jawab Candra jujur. Memang benar ia memberhentikan motornya daripada nantinya Wulan akan berteriak dan tentu saja bisa mengundang perhatian pengguna jalan yang lain.
"Ke mall depan itu lho."
"Bunda udah pulang. Katanya makan di rumah aja."
"Siapa juga yang mau makan? Mau beli something, lah."
Candra mendecak, untung saja hari ini belum ada tugas yang diberikan guru untuk kelasnya.
"Yuk! Choco cone nanti jangan lupa ya!"
Wulan mendecih tapi tak lama kemudian ia segera naik ke motor matic putih itu. "Tarik maang!!" seru Candra yang dihadiahi sebuah jitakan keras pada helm oleh Wulan.
Kondisi jalanan yang tidak terlalu ramai membuat Candra leluasa melajukan motornya. Mungkin bagi sebagian orang yang tidak mengenal mereka akan menganggap keduanya seperti remaja yang sedang di mabuk cinta.
Lihat saja cara Wulan memeluk pinggang Candra tanpa jarak, pasti akan mengundang banyak cibiran jika keduanya bukanlah sepasang kembar.
"Jangan cepet-cepet ih!" ujar Wulan saat tahu jarum di speedometer motor menunjuk angka 80.
"Biar Bunda ngga curiga!!" teriak Candra saat menyelip satu mobil box di dekat lampu merah. Sontak saja pengendara mobil box itu mengklakson kedua remaja yang masih memakai seragam putih abu-abu itu.
"Gila kamu ya!!"
Wulan masih menormalkan detak jantungnya saat motor Candra berhenti tepat di depan salah satu pusat perbelanjaan di Yogyakarta. Tak biasanya Candra akan mengebut sampai beberapa kali ia memejamkan mata karena tak kuat melihat motor Candra akan menabrak sesuatu yang di selipnya.
"Udah sana, daripada Bunda marah kita mampir."
Wulan mengangguk, tanpa kata meninggalkan Candra yang memarkirkan motornya. "Aku ngga di ajak?" Wulan membalikkan badannya,
"emang mau?"
"Ngga."
Lagi-lagi Wulan mencibir kakaknya itu. Si cunguk Candra mana mau diajak jalan ke mall masih memakai seragam putih abu-abu? Dirayu pakai choco cone ditambah Roti'O pun sepertinya tidak mengubah pendiriannya. Takut wibawanya hilang, katanya.
Kurang nyambung memang. Tapi begitulah sikapnya sejak menjabat sebagai wakil ketua OSIS. Jaim.
π
Wulan menyeruak ke dalam salah satu gerai khusus coklat di mall itu. Senyumnya melebar seiring netranya melihat tulisan diskon up to 20% pada coklat keluaran terbaru. Padahal valentine masih lama, kok udah main diskon aja ya?
Salah satu pelayan di kedai itu melihat Wulan melihat-lihat coklat batangan di rak jadi menghampirinya.
"Silahkan kak, coklat batangnya baru aja dateng dari suplier,"
Wulan mengangguk-anggukkan kepala, matanya masih sibuk memilih coklat yang setahunya masih satu perusahaan dengan gerai ini.
"Kalau yang ini lagi ada promo dari kami, coklat keluaran terbaru dengan campuran kopi makanya diskon up to 20% kak"
"Kopi?" tanya Wulan memastikan. Pasalnya baru kali ini dia menemukan coklat batangan rasa kopi. Kalau es krim mungkin ia dan Candra sudah pernah mencicipinya. Masalahnya ini coklat batangan, gimana rasanya?
"Yang ini dua ya mba, terus sama coklat almond deh.." Wulan berhenti mengambil jeda untuk memikirkan jumlah coklat almond yang akan dia beli. "Lima." putusnya.
Sang pelayan mengangguk mantap dan segera membawa coklat yang dipilih Wulan untuk dibungkus.
"Buket, kak?"
"Ngga, bungkus biasa aja."
Pelayan itu berjalan kembali. Wulan mengeluarkan ponselnya, tampak foto pemuda yang akan ia beri coklat itu. Tiba-tiba saja ia teringat dengan pesanan Candra.
"Mba, choco cone satu, ya?"
"Siap kak!"
Wulan pun memilih duduk di kursi yang sudah disediakan tanpa peduli ada sepasang kekasih sedang memilih kue coklat. Hanya saja telinganya masih bisa mendengar jelas obrolan keduanya.
"Ini anniv kita yang pertama lho sayang. Harus yang spesial gitu." ujar si cewek masih memakai seragam putih abu-abu sama dengannya, yang membuat berbeda hanya badge logo sekolah menandakan si cewek tidak satu sekolah dengannya.
"Anniv? Ini baru satu bulan, sayang. Kita beli yang ini aja ya? Khusus buat kita berdua."
Mau tak mau Wulan mendongakkan kepalanya dari ponsel lalu memandang sepasang kekasih itu sambil menahan tawanya. Satu bulan sama dengan anniv pertama?
Alay!
Kemudian Wulan hanya geleng-geleng kepala tanpa tahu si cewek melirik sinis padanya. Kalaupun tahu ia juga tak mau berurusan dengan cewek itu.
Buang waktu!
Wulan tersenyum, menatap mata seseorang yang ada di galeri ponselnya tanpa sadar ada orang aneh yang tiba-tiba menghampirinya.
"Ayunda?"
π
"Bentar, bro. Ada bisnis bentar," ujar Aditya pada Miko dan Bobi saat keduanya masih berada di McD untuk makan siang yang tertunda. Dirinya langsung meninggalkan keduanya yang masih sibuk mengunyah chicken yang ditraktir olehnya.
"Si Adit mau kemana?" tanya Bobi pada Miko sambil melihat Aditya sedikit berlari menuju gerai coklat di samping eskalator.
"Tahu, biasanya kan dia modusin cewek." kata Miko dengan mulut penuh nasi dan daging ayam sedang kulitnya ia sisihkan untuk ia makan di akhir nanti.
Keduanya tampak acuh kembali dengan Aditya yang berjalan mendekat ke gerai coklat walau diam-diam Bobi mengembuskan napas panjang tanpa Miko sadari.
"Ayunda?"
Wulan mendongak, tahu-tahu sudah melihat Aditya dengan senyum lebar berdiri persis di depannya.
"Aditya Anarghya, udah lupa?"
Wulan mengerjap. Bumi sesempit daun kelor ya?
"Kayaknya kita emang jodoh deh ketemu di sini. Kamu beli apa?" tanya Aditya yang hanya di balas dengusan dari Wulan. Dia sedang berada di gerai coklat, harusnya si aneh ini tidak bertanya Wulan beli apa kan?
Tidak mungkin dia membeli baju di gerai coklat.
"Kok sendiri? Mau saya temani ngga?"
"Ngga usah."
"Tapi saya mau temani kamu,"
"Apa sih?"
Wulan mendecak, tiba-tiba ia menganggap pelayan di gerai coklat ini bekerja dengan lambat. Atau waktunya melambat otomatis saat ia dekat dengan si aneh Aditya?
Entahlah. Tapi kedatangan Candra di lantai dua mall itu seolah menjadi malaikat berjubah putih bagi Wulan, padahal Candra hanya memakai kemeja putih khas anak SMA pada umumnya.
"Kenapa lama?" tanya Candra langsung saat Wulan sudah memasang wajah sedikit memelas.
"Ini kak, totalnya seratus empat puluh lima ribu. Nota ada di dalam bungkusan." Wulan pun langsung mengeluarkan selembar uang ratusan dan selembar uang lecahan lima puluh ribuan dari dalam saku kemejanya tanpa menjawab pertanyaan dari kakaknya. Candra mendelik seketika.
"Bunda tahu ini?" Wulan menggeleng dengan senyum di wajahnya yang nampak tak berdosa itu.
"Jangan bilang Bunda, ya? Choco cone-nya udah ready kok."
"Pulang."
Candra langsung berjalan meninggalkan Wulan yang masih menunggu uang kembalian.
"Makasih mba"
"Sama-sama. Sering-sering mampir ya kak.." ucap pelayan itu sebab tak biasanya anak SMA membeli coklat sebanyak itu jika bukan hari valentine.
Wulan mengayunkan kakinya cepat. Candra sudah pasti marah sekarang.
Aditya tersenyum samar, lalu memanggil pelayan yang melayani Wulan tadi.
"Dia tadi beli apa aja?"
π
"Sejak kapan doyan manis?" Bobi langsung menegak saat melihat Aditya kembali ke McD sambil membawa satu goodie bag berisi coklat beragam varian rasa.
"Sejak hari ini, mungkin." jawabnya jutek. Aditya duduk dan kembali memakan makan siangnya yang sempat tertunda karena melihat Ayunda-nya.
"Cewekmu suka coklat?" tanya Miko. Aditya diam, menyelesaikan kunyahannya. Sedang Bobi kembali fokus dengan Mobile Legends diponsel miliknya.
"Belum jadi pacar." jawabnya enteng dan meminum air bening yang habis dalam sekali tandas. Dan jawabannya membuat Bobi mengerutkan keningnya.
"Ayunda Wulandari, kalian pasti tahu kan?" tanya Aditya. Keduanya mengangguk kompak. "Adiknya Candra."
Aditya mengangguk-anggukan kepalanya.
"Kalian tahu kan seorang Aditya ngga akan nraktir kalian tanpa alasan bahkan setelah menunggu kalian nyolong pulpen di kolong meja kelas sebelah sekian lama?"
Keduanya mengangguk kembali dengan mulut terkunci rapat menunggu kalimat lanjutan dari Aditya.
"Kalian sekelas sama Ayunda, pasti punya info tentang dia."
Miko mengangguk kembali, dia menyadari bahwa dia adalah gudangnya informasi SMAN Insan Cendekia. Ikan koi Pak Diman guru BK mati saja dia tahu, apalagi info tentang Ayunda Wulandari, kembaran si waketos itu.
"Kenapa?"
"Minta nomor WA." jawab Aditya membuat keduanya mendelik sempurna.
"Tumben, biasanya minta sendiri ke cewek-cewek."
"Yakin mau modusin dia? Judesnya minta ampun, Dit. Mending jangan daripada si Candra nanti ikut maju."
Aditya tersenyum miring, kedua sahabatnya masih saja meragukan kemampuannya.
"Ngga lah, kalaupun aku ada nomornya juga ngga bakal aku kasih. Takut taringnya keluar." ujar Bobi. Miko mensetujui.
"Makanya dia jadi bendahara kelas, cowok kelas aja kelihatannya deket sama dia mengkered. Serem pokoknya" tambah Miko, si ketua kelas XI MIPA 4.
Aditya terdiam, kedua sahabatnya sedang tidak berpihak dengannya. Bobi menegak, menatap mata kenari bermanik coklat terang Aditya,
"Gimana ceritanya kamu naksir Wulan?"
πππ
@AriSetya006 sip.. semangat ya..
Comment on chapter 1. Aditya Anarghyaceritmau menarik, mmpir juga k story Guruku "Bagus" ya...