Penghujung tahun yang selalu sama. Aku dan pekerjaan-pekerjaan kantorku.
Mungkin ini risiko karena aku memilih Jakarta dan sebuah perusahaan besar untuk tempat bekerja. Jika aku memilih bekerja di sebuah kota kecil, di suatu perusahaan yang lebih kecil, tentu ceritanya akan berbeda―kurasa.
Aku menghela. Jika aku tidak punya sesuatu yang bernama tanggung jawab maka aku sudah pergi meninggalkan semua pekerjaan yang menumpuk itu sekarang dan menyanggupi acara jalan-jalan dengan teman-teman.
Jika ada yang berpikir bahwa pekerjaan-pekerjaan yang menumpuk di akhir tahun adalah akibat kemalasanku, itu salah besar. Laporan-laporan itulah yang datang sangat terlambat ke mejaku. Aku pernah memaksa rekan kerjaku untuk mengirimkan laporan lebih cepat, namun itu percuma, tetap sama, laporan-laporan itu tetap terlambat dengan segala bentuk alasan yang membuatku sakit kepala saja.
Jadi, setiap akhir bulan atau akhir tahun seperti sekarang, aku harus berusaha keras agar semua pekerjaan yang dilaporkan terlambat kepadaku itu bisa selesai tepat waktu. Sepertinya tidak seorang pun mengerti dan mengetahui seberapa keras aku bekerja, tidak ada. Dan bodohnya, aku tidak peduli akan itu, aku tidak memikirkannya karena yang kupikirkan hanyalah bagaimana aku harus menyelesaikan pekerjaanku tepat pada waktunya, hanya itu.
“Oh, bodohnya kamu Archie! Kapan kamu akan punya waktu untuk dirimu sendiri kalau terus begini?” Aku bicara dengan diri sendiri. Tentu hanya itu yang bisa kulakukan jika sedang sendirian seperti sekarang.
Aku menghela kesekian kali. Lorong lantai tujuh belas begitu sunyi malam ini. Hanya ada aku dan suara hak sepatuku yang berdetak-detak menabrak lantai.
“Mbak.”
Aku nyaris berteriak saat sebuah suara tiba-tiba terdengar di belakangku dan ketika berbalik dengan segera kudapati seorang perempuan berambut tergerai panjang di sana.
Aku menghela, lagi. “Kara? Ngegetin, aja, kamu. Tiba-tiba muncul di belakang kayak gitu. Gak kedengaran langkahnya pula...”
Dia teman satu kantorku, beda divisi.
Kara tersenyum. “Hehehe, sorry, Mbak. Tadi dari toilet,” ujarnya. “Sekarang mau balik. Kerjaan udah selesai.”
Oh, beruntungnya dia.
“Mbak mau lembur lagi?”
“Iya.”
“Semuanya sudah pulang, lho, Mbak. Begitu rapat selesai jam sembilan tadi, semuanya langsung balik,” jelas Kara.
Sendainya aku juga bisa pulang cepat.
“Mbak!”
“I, iya?” Entah dia suka sekali membuat kaget atau aku yang terlalu lelah hingga menjadi sering sekali terkaget-kaget, tapi suaranya itu benar-benar mengusikku. Baru saja aku membayangkan bisa pulang lebih cepat agar dapat menghabiskan waktu dengan diri sendiri atau beberapa teman dan suara Kara segera menghancurkan bayangan indah itu.
“Mbak, kantong belanjaannya bolong, tuh.” Kara menunjuk ke arahku.
Aku mengangkat alis dan segera menoleh ke arah kantong plastik putih di tanganku. Bagian bawah kantong plastik itu sepertinya bocor. Beberapa isinya sudah keluar.
“Ke, ke mana? Di mana?”
“Itu.” Kara menunjuk ke sepanjang lorong di belakangnya.
Mataku melebar menatap beberapa pakaian tercecer di lantai. “Kara! Kok, nggak bilang dari tadi?”
Kara garuk-garuk kepala. “Lagian kenapa bawa-bawa pakaian ke kantor, sih, Mbak?”
“Bukannya bantuin malah ngajak ngobrol melulu,” aku protes sembari menghampiri pakaianku yang tergeletak manis di lantai dan memungutinya.
Kara cekikikan. “Sorry, Mbak. Saya balik duluan, ya.”
“Iya, iya, sana balik!”
Kara nyengir dan melenggang pergi.
“Bikin kesal, aja,” aku bicara sendiri sembari menyusuri lorong yang tadi kulewati, mencari pakaianku yang tercecer.
Membawa pakaian ke kantor. Ini bukan bagian pekerjaan. Aku berada di kantor ini siang dan malam demi menyelesaikan pekerjaan. Dan aku perlu mengganti pakaianku setiap enam jam―aku tidak ingin menghabiskan waktu dengan pakaian kantor sehari semalam, jadi kubeli saja beberapa dari Mall terdekat karena aku tidak punya waktu untuk kembali ke rumah.
Bagaimana bisa kantong belanjaanku bocor seperti ini, sih? Untungnya karyawan yang lembur malam ini hanya aku, tidak akan ada yang melihat pakaianku berceceran di lantai kantor kecuali aku, dan Kara yang selalu berada paling akhir di kantor dan dia baru saja pamit pulang dan meninggalkan aku sendiri di sini. Kecuali jika aku salah—
Langkahku terhenti seketika, saat hendak berbelok menuju ke arah lift. Tampak olehku pintu lift tiba-tiba terbuka. Aku mengurungkan niat untuk mengambil pakaian yang tercecer tepat di depan lift dan menunggu di persimpangan lorong di balik tembok.
Sembari mengintip dari balik tembok, aku berharap siapa pun yang keluar dari lift itu tidak melihat ke bawah dan terus saja melangkah maju. Pergi secepatnya dari sana.
Namun, sepertinya memang tidak pernah ada apa pun yang akan sesuai dengan harapanku.
Sepasang kaki melangkah keluar dari dalam lift. Kaki yang panjang, bersepatu kets dan bercelana jins. Mataku melebar dan jantungku berdebar-debar ketika melihat siapa yang datang.
Dia?! Si Bos para IT!
Pria itu keluar dari lift dan—
TIDAK! JANGAN INJAK!! Aku nyaris memekik.
Mati aku! Dia menginjak pakaian yang tergeletak di depan lift itu. Dan menghentikan langkahnya. Aku menepuk jidat sendiri ketika ia menurunkan pandangannya ke bawah.
Sial!
Dia membungkuk dan meraih apa yang ada di bawah kakinya. Alisnya terangkat saat melihat apa yang ada di genggamannya saat itu. Celana dalam motif Leopard berwarna merah muda bercampur hitam yang lucu.
DUARR!!! Aku seperti kejatuhan rudal di atas kepalaku. Dan dengan langkah-langkah panjang aku berlari dari tempatku berdiri semula. Kabur, ngacir, minggat!!
Sebaiknya aku berpura-pura tidak tahu apa-apa.
***
ceritamu unik dan lucu juga keren anti mainstream ngakak pas baru baca deskripsinya.
Comment on chapter SatuOh ya kamu juga boleh lho kasih saran dan kritik di cerita aku, judulnya When he gone. aku tunggu ya trims