“CANDRA”
Pria itu melonggarkan dasi yang dikenakan sembari berjalan pelan. Melewati lorong kecil dengan pencahayaan minim. Kemeja putih yang membalut tubuh jangkungnya terlihat telah kusut karena menemaninya sejak pagi tadi. Sementara jasnya sengaja ditinggal dimobil. Ia ingin sekali mencari udara segar setelah berkutat dengan urusan perusahaan yang tidak ada habisnya. Bukan tubuhnya saja yang pegal tapi otaknya ikut protes karena kelelahan. Bahkan melangkahkan kaki saja rasanya berat sekali.
Tujuannya adalah taman bermain dikompleks dekat perusahaannya. Setiap merasa penat atau lelah, ia terbiasa mampir kesana untuk sekedar duduk menikmati suasana malam. Seperti malam ini.
"Astaga!" Pria itu memegang dadanya kaget.
Lututnya semakin lemas setelah melihat seorang perempuan dengan rambut panjang tergerai duduk diayunan taman. Hantu? Ia tidak bisa memastikan karena posisi perempuan itu membelakanginya. Tapi.. Perempuan itu bersenandung sambil menggoyangkan kepala. Pria itu menggeleng keras dan menghela napas. Mungkin karena kelelahan, ia jadi berpikir yang tidak-tidak. Setelah cukup berani, ia kembali melangkah. Disana masih ada satu ayunan kosong tepat disamping perempuan atau hantu itu.
"Maaf.."
Perempuan itu berhenti menjilati ice cream coklatnya. Bersama dengan itu, pria itu bernapas lega karena perempuan itu manusia bukan hantu seperti dugaannya.
"Boleh aku duduk disini ?" Tanya pria itu hati-hati.
Perempuan itu mengangguk. "Tentu saja.. Inikan tempat umum." Kemudian kembali sibuk dengan ice creamnya.
Pria itu tersenyum tipis memperhatikan tingkah perempuan disampingnya, seperti anak kecil. Sesekali perempuan itu menggerakkan ayunan dan pria itu masih setia mengamati.
"Mau ?"
Pria itu diam beberapa saat. "Kau terus melihatku, kau mau ice creamkan ?"
Lagi-lagi pria itu tersenyum dan akhirnya menerima ice cream yang ditawarkan padanya. Ia baru sadar kalau perempuan ini memegang dua ice cream. Kebetulan, malam ini juga udara agak panas jadi pas.
"Kalau malam saja panas, bagaimana siangnya ?" Tanya perempuan itu memandang langit.
Pria itu ikut memandang langit, sekali lagi tersenyum karena perempuan itu tanpa canggung mengajaknya bicara. "Jauh lebih panas. Jangan bertanya seolah kau tidak pernah terkena matahari."
Senyum diwajahnya semakin mengembang, ternyata duduk dengan seseorang jauh lebih menyenangkan. Selama ini, setiap kesini ia selalu sendiri.
Pria itu memindahkan ice cream ke tangan kiri dan merogoh saku celananya. Ponselnya berbunyi nyari sekali sampai perempuan itu ikut memperhatikannya.
"Hallo.."
"Iya iya.. Aku pulang sekarang."
Perempuan itu masih memandangnya. "Aku duluan, terima kasih ice creamnya."
Keduanya tersenyum tulus, saling menatap sebelum akhirnya pria itu pergi.
"Candra!"
Namun sebelum benar-benar meninggalkan taman, pria itu kembali berbalik. Meski jauh, ia masih bisa mendengar pembicaraan perempuan itu dan seorang laki-laki yang tiba-tiba menghampirinya.
"Kak Rio ada apa ?"
"Ini sudah hampir tengah malam, ayo pulang."
Pria itu kembali berbalik dan melanjutkan perjalanan. Jadi namanya Candra?
Sebelum mengikuti kakak laki-lakinya, Candra melihat sebuah kertas persegi yang sepertinya adalah kartu nama. "Agam Nagara ? Apa punya laki-laki itu ?"
"Candra! Ayo pulang."
"Iya kak!" Teriak Candra kemudian berlari mengikuti kakaknya.
* * *
Agam sejenak memejamkan mata, memijit pelipisnya yang terasa sakit. Pekerjaannya hari ini sama saja seperti kemarin bahkan lebih sibuk. Yang terpikir olehnya sekarang adalah pulang kemudian tidur. Ia pun bangkit dari duduknya, saatnya meninggalkan kantor.
Tapi, sebelum Agam melajukan mobil. Ia teringat perempuan kemarin malam, Candra. Entah mengapa ia berharap Candra ada di taman meski sebenarnya sedikit mustahil karena ini sudah hampir tengah malam. Namun Agam tetap ingin ke taman. Sebelum sampai kesana, Agam terkejut bukan main ketika berpapasan dengan Candra yang keluar dari kios kecil dekat taman. Agam tersenyum melihat Candra menenteng kantongan yang berisi ice cream.
"Kau yang kemarin ?"
"Ohh. Hai.." Ucap Agam canggung
"Ohh iya." Candra merogoh saku sweater abu-abunya. "Kemarin aku menemukannya didekat ayunan. Kartu nama ini punyamu kan ?"
"Benar, itu punyaku. Tapi kau bisa menyimpannya, aku punya banyak." Senyum Agam mengembang dan tidak disangka Candra ikut tersenyum bahkan tertawa ringan.
"Untuk apa ?"
"Kau mungkin bisa menghubungiku ?" Agam mengendikkan bahu.
"Nanti ku pikirkan." Candra tersenyum.
"Malam ini dingin tapi kau masih menikmati ice cream ?" Agam melirik kantongan ice cream milik Candra.
Candra mengangkat kantongannya ke udara. "Kalau siang, aku tidak bisa makan ice cream."
"Kenapa ?"
Masih dengan senyum diwajahnya, Candra kembali menyimpan kartu nama dibalik sakunya.
"Kau mau ? Ice cream." Tanya Candra mengalihkan pembicaraan.
Agam menunduk, menyembunyikan senyum merekahnya.
"Ada yang lucu ?" Tanya Candra dengan kening berkerut.
Agam mengibaskan tangan ke udara. "Tidak, bukan begitu." Sebelum menjawab, Agam lagi-lagi tersenyum lebar. "Kau tahu ? Kita baru bertemu kemarin tapi rasanya seperti teman dekat. Bahkan kita belum secara resmi saling mengenal nama."
"Kalau begitu." Candra mengulurkan tangan.
"Namaku Candra."
Tidak lama, Agam membalas uluran tangan Candra. "Agam."
"Aku ingin ke taman, kau mau ikut ?" Tanya Candra yang lebih dulu melangkah. Agam mengangguk kemudian mensejajarkan langkah dengan Candra.
"Kau tidak bertanya tentang namaku ?"
"Maksudnya ?"
"Biasanya kalau orang mendengar namaku, mereka semua pasti bilang namaku lebih cocok untuk laki-laki."
"Tidak juga.. Itu tergantung arti dari namamu dan maksud orang tua memberimu nama itu."
"Hmm.. Kau tahu, Candra artinya bulan. Ibuku bilang aku lahir saat bulan purnama. Dan ibu ingin aku bersinar seperti bulan diantara orang-orang yang menyayangiku."
"Kau bahkan sangat bersinar." Gumam Agam tanpa sadar.
"Apa ?"
"Hah ? Bukan apa-apa."
"Candra ?"
Keduanya bersamaan berbalik mencari asal suara yang memanggil Candra.
"Kak Rio ? Kenapa baru pulang ?"
Pria yang dipanggil Rio itu justru tak menggubris pertanyaan adiknya, pandangan tertuju pada Agam.
"Pak Agam ?”. Tidak mendapat respon dari Agam, Rio beralih pada adiknya. "Kau kenal pak Agam ?"
Candra mengangguk. "Kakak kenal ?"
"Pak Agam ini anak CEO di perusahaan kakak kerja."
"Ohh kau kerja disana ? Maaf aku tidak mengenalmu, aku juga cuma sementar menggantikan posisi ayahku disana." Ujar Agam cepat sembari tersenyum. "Ohh iya, tidak perlu panggil pak. Ku pikir kita seusia."
Ketiganya pun tertawa ringan mendengar kata Agam, menikmati suasana malam dengan saling berbincang.
* * *
Mengetahui hubungan Candra dan salah satu karyawannya, Agam tanpa sungkan mengajak Rio berserta adiknya untuk makan siang bersama yang rencananya besok. Tapi sayang, justru Candra yang ingin Agam temui tidak hadir siang itu. Rio beralasan jika adiknya sedang ada urusan mendadak yang tidak bisa dibatalkan. Agam sedikit merasa aneh tidak bertemu dengan perempuan itu seharian, apalagi malam sebelum janji makan siang Candra tidak ada di taman. Hingga beberapa hari selanjutnya, Agam tidak pernah absen untuk sekedar mampir di taman. Berharap disana ia bisa bertemu Candra namun nyata nihil. Bahkan dijam istirahat kantor, Agam berusaha kesana tapi sama saja. Candra tidak disana.
Jujur saja, Agam rindu. Ia tidak munafik untuk menutupi rasa dihati. Beberapa kali ia jatuh cinta dan mengerti apa itu cinta dan segala tetek bengeknya. Hingga dua minggu setelah itu, akhirnya Agam bertemu lagi dengan Candra di taman. Ia sampai merasa sedikit canggung untuk sekedar menyapa perempuan yang dirindukannya itu. Apalagi malam itu, Candra lebih banyak diam. Tidak biasanya. Padahal banyak yang ingin Agam katakan selama mereka tidak bertemu.
"Candra, tunggu!" Agam menghentikan langkah Candra dengan memegang tangannya.
Candra yang memang ingin segera pulang kembali berbalik.
Berat hati Agam melepas genggaman tangannya. "Besok siang, kau bisakan datang kesini ? Ada yang ingin aku katakan."
Tidak ada kata keluar dari mulut Candra, yang ada hanya sebuah anggukan pelan. Setelah itu, perempuan itu pergi tanpa ada salam perpisahan. Agam memandang punggung Candra hingga perempuan itu hilang. Sebenarnya, malam ini juga ia ingin menyatakan perasaannya pada Candra. Tapi waktunya tidak tepat, suasana hati Candra sepertinya tidak baik.
* * *
Entah berapa kali ponsel Agam berdering minta diangkat. Ia tahu, panggilan itu pasti dari kantor dan Agam memang sengaja tidak mempedulikannya. Hari mulai sore tapi Candra tidak kunjung datang. Agam sedikit kecewa, padahal semalam Candra setuju akan datang.
Seminggu setelah itu pun, Agam tidak lagi bertemu Candra. Siang maupun malam, Agam tidak pernah absen ke tanam untuk sekedar memastikan apakah Candra ada disana atau tidak. Dan malam ini, Agam secara tidak sengaja melihat Candra berjalan menjauh dari taman. Tentu saja, ia segera berlari menghampiri Candra dan berdiri tepat dihadapannya.
"Kenapa ? Kenapa kau tidak datang ?"
Candra mengalihkan pandangan. "Siang itu, aku tidak bisa."
"Candra.."
"Ja jangan menemuiku lagi." Ucapnya terbata.
Agam mengerutkan kening. "Apa ?"
Candra mengangkat kepala dan menatap Agam tepat dikedua bola matanya. "Jangan menemuiku lagi atau datang ke taman itu."
Agam tersenyum pahit dan mengangguk. Ia mundur selangkah. "Baik.. Aku tidak tahu apa alasanmu tidak mau lagi melihat. Tapi ada yang sangat ingin aku katakan, besok datanglah taman."
Agam menelan ludah dengan susah payah. "Kalau kau tidak datang, aku janji ini terakhir kalinya kita bertemu."
***
Seperti yang Agam janjikan, ia tidak pernah lagi bertemu maupun ke taman itu lagi setelah Candra tidak datang menemuinya. Hatinya benar-benar sakit, ia harus berpisah bahkan sebelum menyatakan perasaan. Agam langsung tersadar dari lamunan ketika seseorang dengan brutal mendobrak pintu ruangannya, sekilas ia masih bisa melihat siapa itu. Sampai akhirnya pria yang tingginya hampir sama dengannya itu menarik kerah bajunya.
"Aku tidak peduli meski kau bosku! Tapi ini sudah keterlaluan, gara-gara kau adikku sampai tidak sadarkan diri!" Rio berteriak tepat didepan wajahnya.
Agam menepis tangan Rio. "Apa maksudmu ?"
Rio berteriak histeris, entah sadar atau tidak laki-laki itu telah bercucuran air mata. "Kau harus ke rumah sakit." Ucapnya mulai tenang.
Agam mengusap kasar wajahnya, ia merasa tidak kuat mendengar penjelasan dari Rio. Rio bilang siang itu Candra datang menemuinya, malam-malam sebelumnya pun Candra tidak pernah absen berkunjung ke taman. Berarti selama ini, Candra hanya memperhatikannya dari jauh. Didalam hati, Agam terus berdoa tanpa henti sembari menunggu Candra keluar dari ruang operasi.
Rio menghela napas. "Matahari seperti musuh baginya. Candra terkena penyakit xeroderma pigmentosum, sedikit saja kulitnya terpapar sinar matahari bintik-bintik pasti akan memenuhi tubuhnya. Dokter bilang itu termasuk kanker, itu kenapa Candra cuma bisa keluar dimalam hari. Untuk sekolah saja, Candra cuma bisa home schooling. Aku tidak tahu bagaimana Candra bisa kuat menghadapinya. Apalagi operasi hari ini adalah operasi ke 15 kalinya, dia perempuan tapi tidak kusangka sangat kuat." Jelas Rio panjang lebar, tanpa ia sadari air mata mulai mengalir.
"Kau pasti tahukan alasan Candra melawan rasa sakit dan takutnya pada matahari hanya karena ingin melihatmu ?"
Tentu saja, rasa bersalah menyelimuti Agam. Candra tidak mungkin terbaring diruang operasi kalau saja ia tidak memaksa perempuan itu untuk keluar disiang hari.
Esok harinya, ketika Candra sadarkan diri Agam yang setia menemani merasa sangat lega.
"Agam ?" Ucap Candra lemah.
Agam tersenyum tipis, sekali lagi matanya menatap tubuh Candra yang dipenuhi bintik-bintik merah. "Iya.. Ini aku."
Candra memejamkan mata saat Agam mengusap lembut rambutnya. "Siang itu aku datang, aku datang. Kita masih bisa bertemu kan ?" Tanyanya dengan bercucuran air mata.
Agam sampai tidak kuat menahan air matanya sendiri, ingin sekali ia menggenggam tangan Candra. Namun tidak bisa, perempuan ini pasti akan merasa kesakitan.
"Iya Candra, kita akan terus bertemu. Aku janji."
Rio yang menyaksikan bos dan adiknya ikut menangis, apalagi Candra mulai terisak.
"Candra.." Agam mengusap sisa air mata dipipinya. "Nanti sore, dokter bilang kau harus ke luar negeri untuk operasi selanjutnya."
"Kenapa ? Kau tidak mau melihatku lagi ?" Candra mulai meneteskan air matanya lagi.
Agam menggeleng cepat. "Bukan. Bukan begitu, penyakitmu parah karena terpapar sinar matahari terlalu lama. Ini supaya kau sembuh, kau maukan ?"
Candra memejamkan mata kuat-kuat, ia kembali terisak sambil mengangguk lemas.
"Aku janji akan menunggumu pulang, setelah itu sepulang kerja kita bertemu di taman dan malam-malam selanjutnya."
Keduanya saling bertatapan lama, menyalurkan rasa rindu setelah tidak bertemu dalam waktu yang lama. Dan sebentar lagi, mereka akan berpisah. Entah kapan akan bertemu lagi, tidak ada yang tahu. Tapi satu yang Agam janjikan dalam hati, ia akan menunggu sampai Candra kembali. Candra yang dicintainya.
TAMAT
wow