Suara ketukan pintu membuat Ello mendongak sebentar dari pekerjaannya. Dia bergumam lirih memberi izin pada sang pengetuk, lalu kembali menekuri hasil lab di tangannya.
“Siang Dokter Arviello, mau lunch bareng?”
Ello melirik lagi. Bola matanya melebar melihat Rio berdiri dengan senyum menawan di ambang pintu. Cepat dia bangkit dan berjalan mendekat ke arah Rio. Cowok itu tengah tersenyum bangga.
“Kok lo udah disini sih, Ri?”
Rio menggerak-gerakkan alisnya bangga. “Udah dong.”
“Gimana Riska? Proses lahirannya sukses kan?”
“Sukses dong. Bayinya cewek. Cantik banget kayak mamanya. Nggak rewel lagi.” Rio menjelaskan sambil senyum-senyum. “Sumpah deh, rasanya jiwa gue udah bapak banget.”
Ello menatapnya jijik. “Diih najis! Apa banget tuh muka lo?” katanya sinis.
Rio terkekeh. Seakan mengabaikan wajah mengejek di hadapannya. “Lo kapan nih? Tinggal elo yang belum ngapa-ngapain, El. Masak stuck aja sih?”
“Jangan ngehina gitu, deh.”
“Eh, gue nggak ngehina. Gue serius. Gini nih ya gue jelasin...” Rio tampak menghitung-hitung. “Erro kan sekalinya bikin anak langsung dua tuh. Bang Izzy otw dua. Fathur istrinya lagi hamil. Gue juga baru kemarin dapet baby. Sedangkan lo? Nikah aja belum, El. Astaga.”
Ello mendengus. Tampak tak menghiraukan cerocosan rekan kerjanya. Dia memilih sibuk membereskan dokumen. “Berisik! Gue laper! Jadi makan nggak, nih?”
“Jadilah. Jam makan siang bentar lagi abis, nih. Buruan. Pasien gue juga banyak.”
Ello mengangguk sekilas. Kemudian melangkah keluar dari ruangannya disusul oleh Rio. Mereka hanya berbincang sekilas tentang beberapa pasien yang bermasalah, penyakit yang banyak dielukan, dan obat-obatan yang dipakai pasien mereka. Tapi lagi-lagi pembicaraan Rio berhenti pada masalah itu.
Ello mendesah jengkel. “Kenapa bahasnya itu lagi?”
“Yah gue serius. Mending lo buru-buru ngelamar si Nasha. Terus kalian nikah. Abis itu bikin kerajaan kayak kita-kita.”
“Lo bahas itu lagi gue hajar nih!”
“Hajar aja, ayo...” Rio terkekeh. Segera mengambil tempat di pojok kantin.
Ello mendesah frustasi. Tiba-tiba nafsu makannya hilang. Melihat Rio yang masih terus bersemangat dan menceritakan kelahiran bayi pertamanya dan Riska membuatnya kehilangan selera. Sumpah dia malas sekali mendengar hal yang sama diulang berkali-kali. Membosankan. Atau bisa saja dia tak mau dengar karena—cemburu?
“Nih, fotonya. Cantik banget kan?”
“Iya, Ri. Cantik kayak badut.” Ello menjawab dengan kejam.
“Jahat banget sih!” timpal Rio tak terima. Dia masih terus memandangi foto bayinya di ponsel. “Papi kangen sama kamu. Pengen buru-buru pulang.”
Ello meliriknya malas. Tangannya sibuk memainkan ponsel. Apa saja boleh asal tidak mendengar celotehan Rio.
Rio menceletuk tiba-tiba. “Eh, malem ini free nggak El? Temenin gue ke tempat Erro yuk. Mau berguru nih sama dia. Gue kan belum paham soal bapak-bapakan. Siapa tahu dia mau ngajarin.”
Ello melotot. Colla di mulutnya nyaris muncrat kemana-mana. Astaga. Barusan Rio bilang apa? Berguru? Ya ampun, Ello baru sadar kalau Rio sudah ketularan sindrom happy family yang dibawa kembarannya. Sekarang dia sudah mirip orang gesrek. Ello menyesal dulu pernah mengagumi sosoknya yang cool. Sekarang cool sama sekali tidak pantas disandang oleh orang seperti Rio—yang setiap pagi tertawa-tawa sendiri sambil memutar-mutar kursi kerjanya.
Ello begidik ngeri. Dia bisa gila dikelilingi oleh orang-orang seperti Rio dan Erro tentu saja. Terlebih mereka selalu mendesaknya untuk segera menikah. What fudge?
“Sori ya, gue sibuk. Selamat ngurusin bayi kalian berdua. Gue nggak ada waktu buat nontonin kalian ganti popok!” tandas Ello dengan tajam. “Bye, kerjaan gue menumpuk.”
Rio melongo di tempat. Ello sudah menghilang di balik kerumunan kantin Rumah Sakit Husada. Anehnya, makanan mereka bahkan belum sampai tapi cowok itu sudah pergi.
Bukannya tadi dia lapar? Sangat aneh. Kenapa juga dia sensi ketika membahas hal-hal berbau pernikahan?
Rio mengedikkan bahu cuek dan kembali tersenyum memandangi ponselnya. Tak peduli orang-orang sudah terkikik melihat ekspresi wajahnya.
***
Ello menatap jalanan ramai di hadapannya. Lagi-lagi macet. Memang nasibnya sial terus belakangan ini. Dimana-mana perasaan macet, deh. Dasar menyebalkan. Padahal dia sudah menarget jam delapan malam nanti dia sampai di apartement Nasha.
Sebenarnya Ello sudah memikirkan ini matang-matang. Tentang rencananya untuk melam26ar Nasha, pacarnya. Lagipula dia juga tidak mau jika diledek terus menerus oleh Rio selama di kantor. Atau Erro yang akan mengata-ngatainya cemen, nggak macho, nggak gentle, atau apalah itu. Dipikir-pikir banyak juga untungnya kalau dia menikah. Pastinya akan ada yang membangunkannya setiap pagi. Jadi dia tidak akan telat ke rumah sakit.
Akhirnya setengah jam kemudian dia berhasil lolos dari kemacetan Jakarta. Mobil putihnya kini masuk ke area parkir salah satu mall pusat di Jakarta. Ello terdiam sejenak. Setelah memantapkan hati dia segera masuk ke mall dan mencari-cari toko perhiasan yang pas.
“Selamat malem Mas, ada yang bisa kami bantu?” sapa seorang pramuniaga bermuka manis.
Ello tersenyum canggung. Dia menggaruk rambutnya yang tak gatal. Sialnya hal seperti ini bukan dirinya sama sekali. Harusnya sebelum memutuskan membeli cincin dia mengajak Erro saja. Sial.
“Emm, saya mau cari cincin mbak. Tapi, nggak tahu yang kayak gimana.” Ello menjawab lirih.
Pramuniaga itu menahan tawa melihat wajah gelagapan Ello. Dalam hati Ello sudah merutuki pramuniaga sialan yang menertawakannya itu.
“Oke, sebentar ya Mas, kami punya yang bagus.”
Ello tersenyum datar. Cih. Harga dirinya sebagai cowok cool hancur hanya gara-gara hal sepele seperti ini. Sial kuadrat.
Pandangan Ello kini tertuju pada beberapa cincin yang tersusun rapi di etalase. Dia menatapnya satu per satu. Kemudian tanpa sadar dia tersenyum miring menatap sebuah cincin permata yang indah.
“Mbak, coba yang ini aja deh.”
Sang pramuniga yang tengah mencari-cari cincin di etalase lain itu segera bangkit. Datang pada Erro dan tersenyum melihat pilihannya.
“Jadinya yang ini aja, Mas?”
“Hmm... saya suka.” Ello bergumam. “Saya ambil yang ini aja.”
Setelah keluar dari toko perhiasan itu, Ello terdiam di bangku panjang mall. Diam-diam mengamati kotak beludru merah di hadapannya. Seulas senyum tipis muncul dari wajahnya. Dia menghembuskan nafas panjang dan segera mengambil langkah cepat menuju parkiran.
Pokoknya hari ini dia harus membuat orang-orang gempar. Ello tersenyum lagi. Rasakan orang-orang sialan itu. Dia akan membuat mereka heboh dan merasa kalah karena tak bisa mengejeknya lagi.
Gedung apartement mewah itu sudah berada di depan mata. Ello memasuki area basement dan segera masuk ke dalam lift. Sambil menggenggam sebuket bunga dan kotak cincin di saku, dia menekan angka dua puluh. Tempat apartement Nasha berada.
Ello tidak pernah tahu melamar seseorang akan semendebarkan ini rasanya. Dia jadi tahu sekarang bagaimana perasaan kembarannya dulu. Mungkin Erro pernah merasakan hal yang sama.
Tanpa sadar pintu bernomor 105 itu sudah berada di hadapannya. Ello menahan nafas, mencoba menguatkan diri. Namun perasaan tegangnya berubah saat dia melihat sebuah celah dari pintu itu. Aneh, kenapa pintunya seperti tidak di kunci.
Ello mengedikkan bahu cuek. Cepat dibukanya pintu itu dan melangkah masuk. Dia sudah sering kesini, jadi dia tahu persis tempat ini. Sayangnya sebuah kecurigaan datang ketika dia melihat sepasang sepatu asing ada di muka rumah.
Ello menyipitkan mata. Seakan tak percaya dengan penglihatannya. Sialan. Dadanya jadi bergemuruh hebat. Sungguh baru kali ini dia melihat sepatu asing di rumah Nasha. Parahnya itu sepatu cowok.
Dengan sangat penasaraan, Ello berjalan mengendap ke dalam apartement. Langkahnya terhenti begitu dia melihat pintu kamar Nasha. Pintu itu sedikit terbuka menampilkan—Astaga. Dia bisa melihat Nasha hanya dengan selimut menutupi tubuhnya. Juga seorang cowok asing yang topless dengan sebuah boxer hitam sebagai bawahan.
Ello menahan nafas. Perasaannya sangat kacau. Terlebih dia bisa mendengar suara-suara aneh dari dalam sana seperti desahan. Ya ampun, Ello benar-benar ingin mati sekarang. Dia bahkan hanya sebatas ciuman di pipi saja dengan Nasha.
Ello menggeram. Dia semakin memundurkan tubuhnya supaya mereka yang di dalam tidak menyadari keberadaannya. Kekesalannya semakin bertambah saat mendengar percakapan mereka.
“Sayang, kamu udah putusin si dokter tembok itu belum?”
“Belum. Ihh, mana aku berani sih, Hon. Dia itu kalo marah serem banget sumpah. Udah gitu mukanya datar lagi. Berasa pacaran sama patung. Senyum cuma segaris dua garis gitu. Males banget.”
“Kasihan banget sih kamu, say. Mending udah sama aku aja, kan aku nggak kayak patung. Dan yang jelas nggak workaholic. Apalagi pacaran sama buku? Hih sori abis, pegang aja ogah.”
“Kamu bener say. Aku juga nggak mau punya suami kayak gitu. Amit-amit deh.”
Cukup. Sudah cukup. Ello tak tahan lagi. Tanpa sadar dia sudah mendorong pintu dengan kasar. Suaranya begitu keras hingga pintu itu nyaris patah kenopnya.
Seketika kedua orang yang tengah bergelung di dalam selimut tersebut melonjak kaget. Terlebih Nasha yang kini sudah ketakutan. Wajah cantiknya tampak pucat pasi melihat sosok yang datang. Ello menatapnya sekilas dan mendecih.
“Brengsek!” Ello berteriak keras dan segera melayangkan satu tinjunya pada si cowok.
“E—Ello... kamu... salah... paham...” ujar Nasha susah payah.
Ello memicing. “Salah paham lo bilang? Cih. Sori aja gue udah muak sama lo.”
BUGH...
Satu bogem balasan melayang di wajah Ello. Bingkai hitam kacamatanya patah dan lensanya remuk. Ello menggeram marah. Cepat dia membalas perlakuan cowok asing tersebut sehingga kini terjadi adu jotos yang mengerikan di dalam kamar Nasha.
Nasha meringkuk di pojokan sambil menggenggam selimutnya erat-erat. Dia sangat takut melihat Ello yang seperti ini. Baru pertama kali dia melihat cowok kalem itu sekalap iblis. Dia tidak pernah mengira.
“Dasar brengsek! Rasain lo!” Ello mengakhiri perkelahian dengan satu tendangan di perut Benny. Dia menghapus darahnya di sudut bibir dan bergerak menghampiri Nasha dengan angkuh. Nasha semakin ketakutan.
“El—akuh.... bisah... jelasin...” jawab Nasha dengan nada bergetar.
Ello tersenyum sinis. “Nggak perlu. Tadi gue juga udah denger sendiri. Mulai sekarang kita putus. Dan—selamat lo bebas dari pacaran sama PATUNG!” katanya dengan kejam.
Nasha menggeleng. Tidak. Dia berbohong. Sebenarnya dia menyukai Ello. Hanya saja. Hanya saja kadang dia jenuh dengan sifat Ello yang datar dan tanpa ekspresi. Lebih dari itu dia sangat mencintainya.
Nasha menjerit dan menangis ketika Ello sudah menghilang. Dia menjambak rambut frustasi dan mengacak-acak kamarnya seperti orang gila.
“Puas lo Ben, sekarang?! Puas hah?! Dia mutusin gue! Gara-gara elo, brengsek!”
Cowok itu—Benny, hanya tersenyum miring di balik rasa sakitnya. Dia tersenyum penuh kemenangan.
“Itu yang gue tunggu dari dulu!”
***
TBC
udah di mulai ni masalahnya. Btw si Ello agak menyebalkan juga ya inner-karakternya. tapi saya suka kok bad boy.
Comment on chapter BAB 1need more...