sinar - sinar mentari pagi berhimpitan masuk ke dalam dinding-dinding anyaman bambu rumahku. menerangi mataku yang tak kunjung kembali dari alam mimpi. sudah pagikah hari ini? haruskah aku pergi ke sawah lagi? bukankah beberapa hari lagu sudah panen raya? pertanyaan- pertanyaan itulah terus berputar-putar mengelilingi ingatanku. menarikku menuju alam sadarku. hingga suara ketukan pintu menjawab itu semua.
"nak sarah.." suara ki waluyo memaggilku di balik pintu.
"iya ki waluyo..."
dengan berat hati aku menarik tubuhku dari tempat tidur. berjalan gontai menuju pintu. seorang pria tua dengan kumis tipis memandangku kecut. ki waluyo sekilas menggelengkan kepalanya.
"bagaimana bisa gadis perawan sepertimu masih terlelap saat surya sudah terbit di sepertiga langit? lihatlah mbok darmi, dia bahkan selesai pergi kepasar dan menyapu halaman"
ceramah ki waluyo lantas membuat mataku terbuka lebar. bukankah ketika dirumah jika aku libur sekolah aku selalu bangun siang? atau mungkin anak muda jaman sekarang mengalami revolusi bangun pagi , ketika jaman dulu gadis perawan seumuranku bangun sebelum matahari terbit. mungkin saja.
"iya ki.. bukankah hari ini kita sudah tidak pergi kesawah lagi? kan sudah panen raya. lagipula menanam padi setahun hanya dua kali."
"kamu kira setelah panen raya akan membiarkan lahan padi kosong begitu saja sarah?"
"iya.. aku kira seperti itu ki, lalu?"
"kalau itu perkiraanmu, kamu salah besar sarah. setelah panen raya, kami menanam tanaman lain selain padi, itu agar tanah tidak menjadi tandus"
"oo.. seperti itu ki" aku menganggukkan kepala
"bergegaslah, aki akan kembali lagi setelah memberi makan ayam-ayamku" ki waluyo membalikkan badan, kembali menuju rumah.
Aku lekas bergegas mengambil air di dalam sumur jobong, membasuh wajahku kemudian mandi. lalu bersiap -siap menemui ki waluyo yang mungkin telah menungguku sedari tadi.
"mbak yu...!!" suara kecil menyapaku dari sebrang rumah
"iya wulan.." aku melambaikan tangan ke arah wulan, dia sempat menyapaku meskipun sedang bermain gamelan kecil.
aku segera berlari kecil, menyusul langkah ki waluyo yang berjalan mendahuluiku. sampai pada depan pemukiman, ki waluyo memanggil delman.
"kita naik ini saja" kata ki waluyo.
"kenapa kita tidak naik perahu ki?" tanyaku menyusul ki waluyo duduk di belakang pak kusir.
"apa kamu tidak merasa orang-orang di luar pemukiman melihatmu semua? itu sangat mengangguku" jawab ki waluyo ketus.
aku menghela nafas, memang benar akhir-akhir ini setiap warga menatapku aneh. tapi aku juga tidak terlalu menghiraukanya. memang terkadang aku merasa risih.
"apa yang kamu tanam, itulah yang kamu panen" ki waluyo menatapku.
"maksud aki?"
"bukankah aku sudah memperingatkanmu agar tidak terlalu dekat dengan baginda raja ?! Seseorang mengatakan bahkan kamu berani berdiri disamping raja di telaga segaran ketika kami semua warga majapahit saja menunduk ketika raja akan lewat. Ingat sarah, kita rakyat jelata tidak pantas berdiri di samping raja!" Ki waluyo menatapku serius.
Aku hanya bisa menunduk, terdiam.
"Terimalah jika di sawah nanti orang-orang mengucilkanmu" lanjut ki waluyo
"Iya ki.." aku menjawab lirih
Ah sama. Aku pun tak suka sejarah. :D
Comment on chapter Sejarah, pelajaran yang membosankan !