dari kejauhan hayam wuruk datang dengan pakaian khas kerajaanya. lengkap dengan perhiasan di di tangan, kaki bahkan dengan mahkota kerajaan. hayam wuruk mengemudikan kudanya dengan perlahan, namun gagah. menghampiri kami yang berdiri diantara prasasti-prasasti yang berjejeran di depan rumah seorang seniman
"Dyah, Sarah.." Hayam Wuruk menyapa kami ketika kami turun dari kuda. Lalu Hayam Wuruk memandangku aneh.
"Dyah.. Kenapa tidak menyanggul rambut Sarah?" itulah pertanyaan pertama hayam wuruk ketika turun dari kuda
"Heheh.. Maaf Raka, Dyah tidak pernah menyanggul rambut seseorang, bagaimana kalau Raka yang menyanggul rambut Sarah?" dyah memohon kepada kakaknya dengan manja
"Tidak.. Tidak perlu Dyah, baginda raja. Biar begini saja sudah bagus." Aku berkilah, sambil memandang Dyah yang tersenyum kepadaku. Sepertinya dia merencanakan ini semua.
"Tidak apa. Berikan aku sisir dan tusuk rambut yang kamu bawa, Dyah. Sarah, kamu duduklah. Aku akan menyanggul rambutmu."
Dengan terpaksa aku duduk di sebuah bongkahan batu besar yang digunakan sebagai bahan untuk membuat prasasti, perlahan Hayam Wuruk menyisir rambutku dengan lembut. Aku yang merasa malu dan kikuk hanya bisa duduk diam terbawa rencana Dyah yang memiliki maksud itu. Sekilas aku memandang nya dengan tatapan kecut, namun yang ada hanyalah balasan senyum bahagia darinya.
dyah meninggalkan kami berdua, berbicara dengan salah seorang seniman dengan sarung putih di pinggangnya, tanganya memegang alat pahat.
"Beliau bernama ki ageng" hayam wuruk membuka pembicaraan. Tampaknya dia tahu aku menatap lama pria berjenggot itu.
"Apakah beliau yang akan membuat prasasti kita,baginda raja"
"Iya sarah."
Guratan - guratan keriput nampak samar di wajah ki ageng, penampilan yang bersahaja, namun yang sebenarnya adalah seorang maestro seni di majapahit. Puluhan prasasti dan ukiran yang beliau ciptakan begitu mengagumkan. Inilah karya seni majapahit.
Aku kembali menoleh ke depan, tanpa sadar baginda hayam wuruk menundukkan wajanya,menatapku lama disamping, aku terhentak
"Hmmm... "
hayam wuruk hanya tersenyum melihat ekspresi kagetku. Lalu dia kembali menyisir rambutku
"Sarah.. tampaknya kamu sedang gundah. Apa ada perkara yang bisa kubantu" hayam wuruk berbicara dengan kata kata kiasan seperti biasanya
"Tidak ada... baginda raja" aku menjawab lirih
"Sarah.. aku tau masalah apa yang akan kita hadapi nanti. Tapi setidaknya kita hadapi bersama sampai kamu kembali."
Aku menoleh ke arah hayam wuruk. Kami saling memandang.
"Baginda rajasa.. apakah kamu tau berita yang tersebar di masyarakat sekarang?" Aku bertanya
"Bahkan berita tentang kelahiran sapi majapahit,akupun tau sarah" hayam wuruk mengangguk, mencoba mencairkan suasanya.
"Setidaknya.. tunggu sampai aku menemukan siapa pelaku yang menyebarkan berita" hayam wuruk melanjutkan.
Setelah selesai, Hayam Wuruk memberikanku kaca. Dan aku melihat diriku yang dengan tatanan sanggul yang rapi, namun sebagian terurai. Ah, rupanya Wayam Wuruk sudah terbiasa menyanggul rambut seorang perempuan.
"Raka sudah terbisa menyanggul rambutku, Sarah. Jadi jangan heran melihat tatanan rambutmu yang rapi." Ucap Dyah, sepertinya dia tahu bahwa aku tertegun melihat Hayam Wuruk yang bisa menyanggul rambutku.
"Adik yang manja." kilah Hayam Wuruk sambil memalingkan tubuhnya untuk berbicara ki Ageng yang sedang mempersiapkan peralatan untuk memahat.
"Jadi, kamu nak Sarah yang dibicarakan orang-orang?" ucap ki Ageng, rambut, kumis dan janggut panjangnya benar-benar membuktikan bahwa dia seniman sejati.
"Iya ki, salam kenal." Aku menundukkan kepala salam hormat.
"Kalian silahkan duduk bertiga, baginda raja mohon ditengah." Ki Ageng mencoba menata posisi kami bertiga, dengan Hayam Wuruk ditengah.
Suara dentingan pisau pahat beeradu dengan batu mulai terdengar, sekilas ki ageng menoleh ke kami, dan kemudian memahat. Inilah cara Majapahit mengabadikan suatu momen penting, membuat arca dan terkadang relief –relief yang menempel indah di setiap dinding candi atau kerajaan.
Ah sama. Aku pun tak suka sejarah. :D
Comment on chapter Sejarah, pelajaran yang membosankan !