Sesaat kami tertawa, sosok gadis cantik yang sebagian rambutnya terurai turun dari delman yang ia tumpangi, memanggilku dengan senyuman manisnya,
"Saraah.." Dyah memanggilku sambil melambaikan tanganya. Mbok Darmi dan Wulan yang menghentikan obrolanya dan seketika langsung turun dari pendopo dan membungkuk menghadap sang putri.
"Oh, Dyah.." Aku pun juga langsung bergegas turun dari pendopo menyambut sang putri yang tiba –tiba memasang raut wajah sedih dibalik senyum cerianya.
Kami berpamitan dan pulang menuju rumah baruku. Aku mengajak Sarah memasuki kediamanku, duduk bersama menyaksikan tenggelamnya sang surya di ufuk barat.
"Bagaimana dengan tempat tinggal barumu Sarah, apakah kamu suka?" kakinya menggantung di bawah pendopo dan berayun-ayun.
"Hmm.. Trimakasih Dyah. Tetangga disini sangat baik dan saling membantu. Aku senang tinggal disini."
"Beruntung kamu bisa dekat dengan rakyat kawula (rakyat biasa)." Dyah menghela nafas panjang, kepalanya menunduk ke bawah, menghalau siluet senja.
"Hmm.. Memangnya kenapa Dyah?"
"Aku ingin seperti kamu Sarah, mempunyai banyak teman dan bercengkrama di istana. Selama ini aku selalu di dalam istana. Temanku hanyalah seseorang dari kasta ksatria, dan itupun mereka selalu bersikap kuasa."
Saat itu aku langsung memegang bahu Dyah, dan menghibur dirinya " kamu kan punya aku Dyah,hehe.. Sambil menunggu saat itu tiba kembali ke masa depan, aku bisa menemanimu dan menjadi temanmu Dyah. Aku juga ingin pulang."
"Sarah.. Tidak bisakah kamu tinggal disini?" tanganya menggenggam tanganku. Semerbak wewangian bunga kenanga dan melati merasuk di dalam hidungku. Wangi yang menenangkan itu menyampaikan rasa sedih Dyah yang selama ini tidak memiliki seorang teman dekat.
"Aku juga harus kembali ke duniaku, Dyah.. kita berbeda dunia, kita juga Tidak bisa terus bersama. Aku juga mempunyai banyak hal yang dilakukan di duniaku. Menuntut ilmu, dan meraih masa depan untuk kehidupan yang lebih baik."
Air matanya tiba tiba membasahi pipi yang perlahan memerah. Dyah menangis, Tidak ingin kehilangan seorang teman yang selama ini memandang Dyah apa adanya. Lalu aku mengangkat kepalanya dan mengusap air mata yang menutupi keindahan wajahnya.
" Mari kita membuat kenangan yang indah disini, Dyah. Berfoto bersama, dan berkeliling di negri ini. Tampaknya, tuhan punya rencana lain untukku yang kembali di masal lalu, Dyah. Untuk menerima karma, dan bertemu dengan putri sebaik dirimu."
"Karma.. Karma apa Sarah? apakah kamu mempunyai kesalahan di masa depan?"
"Iya, aku menghiraukan sebuah sejarah. Padahl dibalik itu semua, pasti ada kisah dan makna di dalamnya."
"Ow... Dewa selalu menyayangi makhluknya." Senyum Dyah yang kembali merekah.
"Kamu benar, Dyah.. "
Sang bulan muncul dari peredaran, disambut dengan jutaan gugusan bintang yang menyala terang di langit, berkelap-kelip menyihir siapapun yang melihatnya.
"Cantik sekali bintang bintang dilangit.. Baru pertama kali ini aku melihatnya." Lihatku ke atas langit, suatu pemandangan yang tidak akan pernah kulihat di kehidupanku.
Nyanyian jangkrik di malam hari mulai ber sahut-sahutan satu sama lain, kini kampung menjadi gelap, hanya nyala obor yang menerangi setiap rumah penduduk.
Dyah tersenyum, "Apa di zamanmu tidak ada pemandangan seperti ini Sarah?"
"Ya,, hanya nyala lampu dan gedung-gedung tingi yang menutupi keindahan malam yang seperti ini Dyah."
"Lampu.. ? apa itu?"
"Lampu adalah cahaya yang di hasilkan dari suatu elemen listrik." Aku bergegas mengambil tas yang ada di dalam rumah, dan menunjukkan handphone milikku kepada Dyah.
"Tidaakk !! apakah itu sihir Sarah??!!" Dyah lantas menutup mukanya dan berteriak keTidakutan. Aku yang melihat ekspresinya itu langsung tertawa.
"Hahaha.. Tenang Dyah, bukalah matamu, dan lihat ini." Aku memegang tangan Dyah yang menutupi wajahnya itu, kini pandanganya tertuju pada layar handphone yang menampilkan galeri fotoku.
"Ini fotoku.. Alat ini bisa mengabadikan gambar Dyah, seperti kamu, baginda raja, ataupun kerajaanmu."
"Wah.. Luar biasa. Ini seperti sihir." Matanya yang seindah bulan itu terbelalak, menggeleng-gelengkan kepalanya seolah-olah Tidakjub dengan smartphone ini.
"Bagaimana kapan-kapan kita coba foto bersama? Oke.. Tos dulu."
Akupun mengangkat tanganku dengan maksud high five. Namun Dyah yang masih belum mengerti itu malah menutupi kepalanya. Aku mengangkat tangan Dyah, dan menepuknya di telapak tanganku
"Begini high five, tos dulu.. Tanda kalau kita sepakat akan suatu hal."
"Oo.." Dyah mengangguk-anggukkan kepalanya.
Suara langkah kaki kuda memecah kegelapan malam. Menghentikan nyanyian jangkrik yang menghibur kami berdua. Seorang pemuda yang memakai baju lengan panjang dan ikat kepala berhenti tepat di depan rumahku, ditemani seorang pria tua berwajah garang dan bertubuh kekar. Aku lekas menyembunyikan handphone ke dalam tasku.
"Dyah,, darimana saja kamu? Raka menemukanmu tidak ada di dalam kamar. Hulubalang istana mengataakan kalau kamu sedang menuju pemukiman Mleccha."
Tegur seorang pemuda tampan itu, yang tidak lain adalah raja muda Hayam Wuruk. Beliau selalu pantas mengenakan pakaian apapun. Dibelakangnya terdapat senopati Manggala yang menatapku tajam.
"Maaf, Raka,, aku bertemu Sarah sebentar. Tapi waktu Tidak terasa sampai bulan muncul di atas langit. tapi.. Dimana sang mahapatih Raka?" Dyah mengalihkan pembicaraan.
Sang raja tersenyum, tanganya membelai rambut Dyah dan merapikan gulungan rambut yang sempat beranTidakan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa Hayam Wuruk adalah seorang penyayang adiknya.
"Jangan mengalihkan pembicaran adikku, mahapatih sedang melakukan ritual untuk ekspedisi esok hari. Gajah Mada akan berlayar di laut Jawa. Ajaklah Sarah untuk mengikuti upacara pemberkatan mahapatih."
"Trimakasih baginda raja Hayam Wuruk." Aku tersenyum sambil menundukkan kepalaku sebagai tanda terima kasih.
"Terima kasih telah menjadi teman Dyah, yang baik. Kini kamu sekarang juga menjadi temanku, Sarah. Teman adikku, adalah temanku."
Hayam Wuruk berpamitan, Kini Dyah menaiki kuda berdua bersama sang Raka, meninggalkanku sebatang kara. Sesaat setelah mereka berdua pergi, senopati Manggala menatapku tajam.
"Tidak pantas orang rendahan sepertimu berteman dengan sorang putri raja." Tuturnya pedas.
"Kenapa emangnya kisanak?? " jawabku kecut.
"Jangan panggil aku kisanak ! aku adalah senopati Manggala, patih dibawah Gajahmada. Tunggu sampai aku mengungkap siapa kamu sebenarnya!" setelah itu sang senopatih mulai munjalankan kudanya. Kata-kata itu seperti sebuah ancaman .
"Tidak apa-apa kisanak, coba saja dicari. Toh, sampai kapan pun kisanak tidak akan pernah menemukanya." Jawabku kecut, senopati yamg enggan mendengarkan, memacu kudanya berlari, memecah kegelapan malam.
Lalu akupum memasuki rumah, menjauhi jejak mulia sang raja. Menikmati kesendirian dibalik riuhnya nyanyian malam. Merebahkan tubuhku diatas kerasnya barisan kayu, cahaya lembut lampu minyak seolah memelukku, menemaniku menghabiskan malam pertama di Majapahit.
Ah sama. Aku pun tak suka sejarah. :D
Comment on chapter Sejarah, pelajaran yang membosankan !