Suara ketoplak sepatu kuda mengantarkan kami menyusuri jalan – jalan di ibukota. Kanal – kanal yang mengelilingi setiap sudut kota Majapahit digunakan oleh sebagian warga untuk transportasi air menggunakan sampan, air yang bening itu seolah bisa menjadi sebuah cermin bagi seseorang yang kehilangan kaca. Kali ini aku Tidak menaiki delman, tapi aku naik sebuah kereta kencana milik kerajaan. Dyah yang terlihat cantik dengan mahkota kecil yang bersandar di gulungan rambutnya itu melihat di balik jendela kecil kereta,menyapa setiap warga yang berjajar rapi menunduk menghormati datangnya sang putri.
"Dyah, apa itu pemukiman Mleccha?" tanyaku kepada Dyah, dia menoleh kearahku, menghiraukan salam hormat rakyat jelata.
"Itu pemukiman warga asing Sarah, kami menyediakan rumah bagi para orang asing selain penduduk asli majapahit tinggal disini. Selain itu mereka dapat bekerja disini, sebagai pelayan." Terangnya sambil tersenyum.
Bekerja, ya.. Hanya itu yang harus aku lakukan untuk mencari nafkah di kota kuno ini. berbeda dengan masa depan, aku harus menggantungkan hidupku kepada orang tua. Hanya bapak yang bekerja untuk mencari sepeser uang, lain hal dengan disini. Aku harus benar-benar mandiri.
Sebuah peradaban yangsangat indah, menurutku. Gambaran jelas sebuah negara maritim dan agraria sudahtampak sangat jelas di kota Majapahit ini.
Sawah, pasar ,dan pemukiman penduduk sangat tertata rapi. Perairan juga mereka manfaatkan untuk dibuat sebuah kanal buatan, mengalir jernih air di dalamnya. Dan juga terhubung dengan kanal-kanal kecil yang terhubung dengan setiap rumah sebgai sumber air. Mungkin ini salah satu strategi mereka untuk mencegah banjir, keren.
Lalu kami tiba di suatu kampung penduduk Mleccha, benar apa yang dikatakan Dyah, kebanyakan penduduk disini adalah warga asing. Ada etnis Cina, Melayu dan ada pula etnis India. Kereta berhenti di suatu rumah kosong Tidak jauh dari pintu masuk pemukiman. Halamanya terdiri dari batu kerikil yang tertata rapi dengan paving batu bata. Fondasi rumah terdiri dari batu bata setinggi 1 meter yang direkatkan oleh tanah liat. Tiang rumah pun terdiri dari kayu-kayu pohon yang berdinding anyaman bambu berlapis. Atap rumah yang berbentuk limas itu juga terdapat genteng yang juga terbuat dari tanah liat. Dyah menuruni kereta kencana, kaki nan halus dan lembut itu menuruni satu persatu anak tangga kereta kencana. Disambut oleh kerumunan penduduk yang menunduk atas kehadiran sang putri. Dyah berjalan melewati pagar rumah yang terbuat dari susunan batu bata merah, halaman yang tertata rapi dengan paving segi enam sepertinya memang sudah disediakan oleh pihak kerajaan untuk penduduk.
"Kamu bisa tinggal disini Sarah,.. Semua kegiatan memang umumnya dilakukan diluar rumah, sumur jobong ini airnya terhubung langsung dengan kanal kota, kamu bisa menggunakan bejana dan kendi untuk menyimpan air. Sedangkan pendopo kecil di depan rumah biasanya digunakan untuk bersantai." Dyah menunjukkan satu persatu bagian rumah, setiap rumah dibatasi oleh batu bata merah.
"Mmm... terima kasih Dyah." Jawabku tersenyum.
Dyah mendekatkan bibirnya yang berwarna merah muda ke telingaku,berbisik lembut,
"Aku akan selalu mengunjungimu.."
"Trimakasih Dyah.." Bisikku balik. Dyah yang kini berhadapan denganku melambaikan tangan dan mulai berjalan menjauhiku menaiki kereta kencana.
Kerumunan warga perlahan memudar, meninggalkan kediamanku, terkecuali seorang pria tua berkumis tipis di kanan-kirinya, kini dia berdiri di hadapanku.
"Siapa namamu anak muda,?"
"Mm.. Sarah, kisana." Aku sedikit menundukkan kepala kepada pria tua yang sedikit bungkuk itu.
"Aku tinggal di sebelah kiri rumahmu, kamu boleh memanggilku ki Waluyo." Matanya yang sipit itu melihat penampilanku dari atas kebawah, mungkin beliau mengira pakaanku sangat aneh.
"Baik ki Waluyo. Mohon bantuanya.."
Ki Waluyo menganggukkankepalanya
"Hmm.. Besok saat matahari terbit dari sebelah timur, ikutlah denganku. Aku akan mencarikanmu pekerjaan."
"Mm.. Ma'af ki, saya tidak tahu kapan matahari terbit. Mungkin saat itu saya masih tertidur."
"Saat ayam mulai berkokok, saat itulah matahari mulai terbit. Kamu bisa mendengar ayam jago milikku. Suaranya terdengar keras saat berkokok." Jawab ki Waluyo sambil menunjuk arah rumahnya.
Setelah itu ki Waluyo berpamitan kepadaku dan kembali menuju rumahnya, langkah kaki yang pelan dan jalannya yang membungkuk itu perlahan menghilang di balik pagar batu bata.
Aku pun membuka pintu kayu dan memasuki rumah seluas 5x3 m itu. Rumah memiliki lantai batu kali itu hanya berisi dipan kayu dan sebuah lampu minyak menggantung di atap kayu. Diatas dipan terdapat lampu minyak kecil dengan gagang yang terdapat bentuk naga diatasnya menyangga sebuah mangkuk. Aku menaruh tasku di atas dipan dan memegang lampu itu, hanya ada sedikit minyak dan akar sumbu di dalamnya.
Lalu aku melihat sekeliling, melihat sepasang batu alam, mungkin ini digunakan untuk membuat api. Aku memegangnya dan mencoba menggesek sekuat tenaga, dan taraa!! Api muncul di ujung batu dan aku mulai meleTakkanya di atas lampu minyak tersebut. Kembali ke primitif, itu yang ada di benakku.
Ah sama. Aku pun tak suka sejarah. :D
Comment on chapter Sejarah, pelajaran yang membosankan !