Dibasuh tubuhnya lekas-lekas, dibersihkan dari noda darah yang mulai berkerak. Entah sudah berapa lama ia menangis di apartment Lisa.
Lisa atau Luisa? Pikirannya terasa kacau. Ia masih bertanya-tanya, apakah wanita itu sudah mati? Dia harus mati agar tidak ada yang bisa menggoda suaminya, suaminya yang tampan dan hanya mencintainya.
Sebuah jubah mandi dikenakannya sambil meninggalkan kamar mandi dan bergerak ke dapur. Windy menuang asal butiran pil penenang yang tadi siang belum sempat diminumnya. Kemudian matanya meremang, bayi itu mati.
Ketukan halus membuatnya kembali terjaga dari lamunannya. Dengan lemah ia menggerakkan tubuhnya untuk membuka pintu depan.
"Bi, baru datang?" Sapa Windy sambil mengunci pintu depan. Wanita tua yang biasa membersihkan apartmentnya setiap dua hari sekali itu tersenyum datar.
"Ya, Nya, tadi macet banget jalanan." Jawab si bibi sekenanya sambil masuk ke dalam lebih jauh untuk meletakkan beberapa bawaannya. Aku tau apa yang kau perbuat.
Windy terpaku di tempat, wajahnya memucat mendengar jawaban si Bibi yang menggema di pikirannya, seakan wanita tua itu berbicara melalui telepati. Tatapannya menjadi waspada, "Bagaimana Bibi tau?"
"Ya tau lah, aku kan di jalanan tadi. Gimana sih, Nya." jawab si Bibi lagi. Dengan sebal si Bibi mendelik menatap Windy. Pembunuh! Kau membunuh ibu dan janin itu!
"Tidak! Bukan aku! Dia yang mencari gara-gara denganku! Dia yang mau merebut suamiku!"
Nafasnya terasa sesak sekarang, dadanya naik turun namun tidak ada oksigen yang masuk ke dalam paru-parunya. Windy segera berlari ke kamarnya, membuka jendela besar yang menuju balkon untuk mendapatkan udara segar.
"Nya! Nyonya kenapa? Siapa merebut apa? Aku ndak ngerti Nyonya ngomong apa?" Bibi berteriak sambil membuntutinya. Pembunuh! Dan sekarang suamimu akan tau siapa kau sebenarnya, seorang psikopat dan pembunuh!
Windy menutup telinganya dan menggeleng keras, ia tidak tahan lagi terhadap tuduhan si Bibi. Bersandar pada railing balkonnya, Windy berbalik cepat menatap wajah tua itu dengan perasaan ngeri, "Siapa kau?!"
Bola mata Bibi melotot, menatapnya tak percaya, "Aku Bibi Siti Ningrum, Nya!" Aku adalah karma.
"Karma? ... Karma, seperti kata Tony."
Windy membalikkan tubuhnya terlalu cepat dan dengan segera merasa pusing ketika pandangannya menatap ke pelataran parkir serta lalu lalang kendaraan di bawahnya. Tulangnya tiba-tiba terasa lemas dan keseimbangannya hilang. Tubuhnya terdorong ke depan tanpa bisa dicegah. Ia merasa ringan, seringan angin yang menyelubunginya.
Wajah bibi yang berwarna seputih awan di belakangnya terlihat meneriakkan sesuatu dari atas balkon, masa bodo sekarang. Ia memejamkan matanya, belum pernah ia merasa setenang ini, tanpa rasa takut dan tanpa rasa khawatir.
Sebulir air matanya lolos dan melayang di udara, mungkin setelah ini ia dapat mengulang lagi kisah hidupnya dengan benar.
@ellyzabeth_marshanda it's real beib <3
Comment on chapter 02.