Chapter 7 - Case Report
Juna dan Hana tiba di sebuah perkampungan, di pinggiran kota. Jalanan di sekitarnya terlihat basah karena hujan yang turun semalam sehingga tak banyak warga yang terlihat beraktifitas di luar meski matahari mulai tinggi.
Sesuai dengan alamat yang tercatat di buku catatan ayahnya, Hana bersama Juna menghampiri sebuah rumah dengan cat berwarna krem yang terlihat sepi. Juna membuka payung hitam yang ada di mobilnya untuk menutupi Hana yang tengah memastikan alamat pada secarik kertas dari rintik-rintik gerimis yang turun.
"Permisi" Juna memanggil pemilik rumah sambil menggerak-gerakkan handle pintu pagar rumah hingga mengeluarkan suara yang cukup keras.
Hana berjengket melihat ke dalam rumah nomor 13 itu.
"Kayaknya gak kedengeran. Kita masuk aja coba"
Hana membuka pintu pagarnya yang hanya berjarak sekitar 2 meter dari pintu utama. Mereka pun langsung mengetuk pintu rumahnya.
"Permisi" Juna kembali memanggil pemilik rumah sementara Hana berkeliling di sekitar jendela untuk mencari tahu apakah pemilik rumah itu memang ada di rumah.
"Jun, tv-nya nyala, kok" Hana mulai merasa cemas.
"Berarti ada orang di dalam. Tapi kenapa ga keluar-keluar ya?" Juna juga mulai merasa khawatir. Ia lalu kembali mengetuk pintu dengan keras. Namun masih belum ada jawaban.
"Kayaknya harus didobrak aja. Kita gak akan tau, kalau gak kita cek langsung"
"Tunggu Ha-"
CEKREK
Gerakan Hana lebih cepat dari Juna. Hana pun membuka pintunya tanpa menunggu aba-aba. Juna yang mencoba mencegahnya pun gagal karena Hana lebih dulu meraih knop pintunya.
Saat pintu terbuka, Hana dan Juna saling bertatapan. Hana memiringkan kepalanya seolah menanyakan pendapat pria di hadapannya, apa ia boleh masuk ke dalam. Juna yang paham akan tatapan Hana, mengangguk perlahan mengiyakan.
"Jangan sembarangan sentuh barang-barang ya" bisik Juna.
"Iya, aku tau" jawab Hana sambil memperhatikan sekitarnya.
Juna yang mengikuti langkah Hana dari belakang sedikit terheran melihat sosok wanita di hadapannya saat ini. Wanita yang sangat ingin tahu dan tidak ada rasa takutnya sama sekali.
Tidak ada siapa pun di ruang tengah meskipun televisinya menyala dan berbunyi cukup keras. Bantalan sofa yang bergeletakkan dimana-mana, meja makan dengan beberapa piring yang belum dirapikan, juga dapur yang masih berantakan menunjukkan bahwa memang ada aktifitas di rumah tersebut. Namun Juna yang mencari di berbagai sisi tetap saja tidak menemukan pemilik rumahnya. Hana melihat satu pintu yang tertutup rapat. Instingnya tahu, ia harus ke sana. Dengan langkah hati-hati, Juna dan Hana melangkah menuju ruangan tersebut.
Pintu ruangan tersebut berderit panjang seiring Hana yang mendorongnya perlahan. Mengubah atmosfer ruangan yang seketika berubah menegangkan. Mereka terperanjat tepat saat pintu tersebut terbuka lebar. Apa yang ditemukan Hana dan Juna dalam ruangan tersebut adalah hal yang paling mereka tidak inginkan.
Sesosok wanita tergantung dengan sebuah tali tambang yang terikat di lehernya. Juna yang tersentak kaget langsung bersikap cepat dengan mengangkat tubuh wanita tersebut yang mulai terlihat pucat. Ia menahannya dari bawah agar tidak lagi tergantung.
"Telpon ambulan cepat!!" seru Juna sambil menyodorkan ponsel dari sakunya pada Hana yang masih mematung.
Suasana tegang itu seketika berubah menjadi kepanikkan. Dengan tangan gemetar, Hana meraih ponsel tersebut dan menekan 119. Baginya yang seorang reporter entertainment, menjadi orang pertama yang menemukan sosok mayat tepat di tempat kejadian perkara adalah hal pertama baginya, dan menimbulkan kepanikan yang mulai menggerogoti tubuhnya. Namun begitu, Hana masih mampu menyebutkan alamat rumah kepada nomor darurat tersebut. Meskipun banyak hal yang sebenarnya terpikirkan oleh Hana namun ia berusaha tetap fokus dan melakukan instruksi sesuai yang diarahkan Juna.
Tak berapa lama kemudian, sebuah mobil ambulan dan mobil polisi pun datang. Lingkungan perkampungan yang semula sepi karena gerimis yang tak kunjung berhenti, seketika berubah ramai. Beberapa orang pun mulai berkumpul di depan rumah korban kedua yang diketahui bernama Jihan. Hana yang sedari tadi menunggu ambulan, langsung bergegas untuk mengarahkan tim medis dan anggota polisi yang datang.
"lho, mas Juna kenapa bisa di sini? Terus mbak yang ini siapa?" seorang pria paruh baya datang menghampiri Juna yang baru saja mengenakan sarung tangannya.
"Oh, Pak Firman! Apa kabar?" Juna segera menyapa pria paruh baya bernama Firman tersebut.
"Baik. Kok bisa di sini mas?"
"Ergh.. panjang ceritanya pak. Ini kenalin, partner saya, Hana. Gini pak, kita sebetulnya lagi nyelidikin kasus yang entah secara kebetulan ternyata berkaitain dengan pemilik rumah ini. Tadinya, kita mau minta keterangan-keterangan. Tapi sesampainya di sini, ternyata malah begini."
"Wah, timingnya bisa pas banget ya" Pak Firman terlihat takjub. "Terus apa yang bisa saya bantu?" lanjutnya.
"Minta tolong ya pak, untuk periksa detail TKP nya. Dan saya butuh laporan penyelidikannya. Karena sepertinya kematian si pemilik rumah ini ada kaitannya dengan kasus yang sedang saya selidiki" ujar Juna.
"Jika memungkinkan, autopsi juga kayaknya perlu dilakukan, Jun" timpal Hana yang langsung disambut anggukkan Juna.
Setelah menjelaskan beberapa hal lainnya, Pak Firman pun setuju dan akan kooperatif membantu melaporkan segala hasil penyelidikannya kepada Juna.
Tiba-tiba Juna merasakan getaran dari saku celananya.
Dimas memanggil.
Begitulah yang tertulis di layar ponselnya. Juna pun melangkah menjauhi Pak Firman untuk mengangkat telpon dari Dimas. Sementara Hana dengan sigap mengambil alih dan melanjutkan pembicaraannya seputar kematian Mira kepada Pak Firman.
"Kenapa Dim?"
"Bang, buruan ke kantor! Penting!"
"Kenapa?"
"Hasil autopsi Mira udah keluar! Cepetan ke kantor ya!" ujar Dimas dari sebrang telpon begitu menggebu-gebu.
"Oke, oke gue segera ke sana!" Juna menutup telponnya dengan cepat.
"Pak, mohon maaf ya saya gak bisa lama di sini Saya harus ke bagian forensik nih" ujar Juna yang segera kembali kepada Pak Firman dan Hana. "Tolong ya Pak Firman, karena TKP nya di luar dari area wilayah saya, kemungkinan kasus ini akan dibawah kendali bapak" tambah Juna.
"Kenapa Jun?" Hana terlihat bingung
"Hasil autopsi Mira udah keluar. Kita gagal atau nggak, akan tergantung dari hasil penyelidikan-penyelidikan ini"
Kata 'gagal' yang diucapkan Juna terasa bagaikan sebuah pisau yang menodongnya tepat di leher Hana. Hana mematung berharap kata 'gagal' tidak akan muncul dari bibir Juna lagi. "Aku harus balik ke kantor, Han. Kamu kan reporter, coba cari informasi dari warga sekitar sini ya. Mungkin ada informasi tambahan. Nanti sore kita ketemu, kabarin follow-up nya" lanjutnya.
"Baik" nada suara Hana terdengar kaku. Ekspresinya juga berubah seketika. Ia terlihat pucat dengan pupil mata yang terus bergerak, menahan air matanya. Tidak, semua ini tidak boleh gagal, batinnya.
***
Juna tiba di kantor dan langsung bergegas ke ruangannya. Di sana, Dimas sudah menunggunya dengan laporan dari tim forensik. Juna langsung meraih laporan yang sudah dipersiapkan Dimas tersebut, sementara pria bertubuh gemuk itu menjelaskan isi laporannya.
"Dari hasil autopsi Mira, ternyata penyebab kematiannya bukan karena tenggelam ataupun benturan di dalam sungai. Tapi karena dosis morfin berlebih yang jumlahnya gak wajar." ujar Dimas.
"Lo yakin? Apa dia ada riwayat pake morfin sebelumnya?"
"Kata dr. Hosae, kalo ada riwayat penggunaan morfin sebelumnya, misalnya kayak kesehatan mental kayak dugaan lo, akan kelihatan efeknya di tubuh korban. Lagian kalau morfin dari rumah sakit pun dosisnya akan diatur dan cenderung kecil. Tapi saat autopsi, tubuh Mira gak ada tanda-tanda kayak gitu. Jadi kemungkinan besar, ini penggunaan pertama. Penjelasan detailnya udah gue tulis di laporan" jelas Dimas.
"Oke, thanks banget Dim" Juna menepuk bahu Dimas sambil tersenyum. Dimas memberikan hormat lalu meninggalkan ruangan tersebut.
Juna membaca laporan itu satu per satu dengan seksama. Banyak sekali petunjuk yang mencerahkan teka-teki kematian Mira yang dapat membantunya memecahkan keraguan yang ada dalam dirinya. Fakta-fakta tersebut seolah menarik benang kusut yang perlahan terbuka.
***
Malam tiba dengan cepat. Seperti biasa, hujan turun cukup deras. Namun untungnya, Juna dan Hana sudah berada di rumah karena banyak yang harus mereka diskusikan. Ara datang dari balik tirai dapur membawakan dua gelas teh hangat.
"Eonni, pasti belum pernah cobain teh tarik kan? Nah ini aku bikinin nih"
Ara meletakkan dua gelas teh tarik di nampannya ke meja.
"Sering-sering dong kalo Mas Juna dibikinin minum kayak gini" Juna nyeletuk sambil meraih salah satu gelas teh tarik di meja.
"Eh jangan ge-er deh. Ini karena ada Hana Eonni tau!"
"Makasih ya" kata Hana menepuk pelan bahu Ara yang dibalas ancungan jempol gadis muda tersebut.
Ara berlalu meninggalkan ruang tengah, menyisakan Juna dan Hana yang masing-masing terdiam bingung mau memulai pembicaraan darimana.
"Bagaimana hasil autopsinya?" Hana akhirnya mulai bertanya. Ekspresinya terlihat kelelahan setelah seharian ini berkeliling di sekitar TKP Jihan mencari petunjuk.
"Seperti katamu, ini bukan bunuh diri. Penyebab kematiannya karena suntikkan morfin dosis tinggi. Tapi dengan bukti-bukti lain yang ditemukan, bisa disimpulkan ada kemungkinan Mira juga gak melakukannya sendiri"
"Dia dibantu orang lain?"
"Bisa dibantu atau bisa juga dibunuh."
"Terus kenapa kamu bilang, variabelnya mungkin ga berubah...?" Hana akhirnya memberikan pertanyaan yang paling ingin ia dengar jawabannya. Pertanyaan tersebut terus-terusan mengusik kegiatannya seharian tadi.
"Jadi gini Han, kita asumsikan kalo Mira memang bunuh diri. Tapi dari hasil autopsi ternyata dia meninggal karena suntikkan morfin dosis tinggi, bukan tenggelam ataupun luka benturan di sungai. Padahal setelah di autopsi, tidak ada indikasi kalau Mira adalah pengguna morfin" Juna menghentikkan pembicaraannya untuk menengguk teh.
"Ada bekas alat suntik dan tabung morfin yang ditemukan di tempat sampah rumahnya. Tapi setelah diperiksa Dimas, gak ditemuin sidik jari siapa pun. Padahal penggunaan morfin itu kan gak sembarangan, orang gak bisa beli dan memakai morfin secara bebas karena penggunaannya sangat diawasi oleh rumah sakit. Tapi coba kamu pikir, bagaimana seorang Mira yang bukan pengguna morfin bisa memilikinya?"
"Itu gak masuk akal" Hana mengangguk sambil fokus memperhatikan sebuah foto jarum suntik dan tabung bertuliskan Morphine Sulfate Inj. " Lalu ada apa lagi?"
"Selain itu, menurut dokter, Mira juga seharusnya gak akan mampu bertahan lama dengan dosis morfin sebanyak itu. Tapi kita tahu, jarak dari rumahnya ke jembatan cukup jauh. Jadi bisa diasumsikan kemunkinan ada orang lain yang menyuntikkan morfin lalu membantunya pergi ke jembatan. Dengan kata lain ada pihak ketiga yang membantu Mira.
"Atau bisa juga memaksanya" Hana menambahkan.
Bingo! Juna menjentikkan jarinya.
"Jika Mira memang bunuh diri, dia tidak perlu repot-repot melompat dari jembatan atau menghapus sidik jarinya sendiri dari botol morfin, karena suntikkan morfin yang dia punya saja sudah cukup untuk menewaskannya."
"Kamu benar. Orang-orang yang berniat bunuh diri tidak akan merepotkan dirinya seperti itu. Di saat kebanyakan orang-orang yang ingin bunuh diri mencari jalan pintas tercepat untuk mengakhiri hidupnya, usaha bunuh diri Mira terasa terlalu menyusahkan, jika dia memang sudah berniat mati" Hana merasa semakin yakin.
"Selain itu, surat terakhir yang kamu sebut waktu itu juga janggal. Tulisan tangannya tidak sama dengan tulisan-tulisan yang ada di buku catatan Mira"
"Iya, itu ada di catatan ayahku. Satu-satunya detail yang tertulis tentang kematian Mira. Suratnya seperti ditulis oleh orang lain kan?"
Juna mengangguk. "Aku juga sempat ke TKP Mira lagi untuk mencari tau hal-hal lainnya. Satu tetangganya yang menemukan tubuh Mira pertama kali bilang, saat itu dia sedang kembali dari minimarket. Awalnya saat itu sempat terjadi hujan deras dan arus sungai menjadi cukup kuat meskipun hujannya cuma sebentar. Tapi saat itu masih tidak terlihat apa-apa di sungai. Tapi beberapa saat setelah hujan berhenti, orang tersebut kembali dari minimarket melewati jembatan itu lagi dan Mira sudah tergeletak di pinggir sungai." Jelas Juna.
Hana meraih lembaran-lembaran laporan yang di bawa Juna dan langsung membaca detail waktu kejadian ditemukannya Mira.
"Kalau begitu, jika waktu ditemukannya sekitar pukul 16.35, dan hujan berhenti sekitar pukul 16.20, berarti hanya dibutuhkan waktu 15 menit untuk Mira tiba dari rumah ke jembatan. Dan itu sangat gak mungkin dilakukan sendirian dengan dosis morfin yang disuntikkan ke tubuh Mira. Begitu kan?"Hana menyimpulkan penjelasan Juna.
Bingo! Pria itu tersenyum lalu menjentikkan jarinya lagi, kagum dengan Hana yang cepat menangkap maksudnya.
"Kau benar, dengan kata lain. Ini bisa menjadi kasus pembunuhan berencana. Namun dengan pembunuhan yang dibuat seolah menjadi kasus bunuh diri. Seperti apa yang kamu katakan sejak awal" ujar Juna. "Dan karena itu, aku asumsikan variabelnya tidak berubah. Karena dengan munculnya korban kedua, ini membuktikan kalau kita gagal". lanjut Juna yang membuat Hana merasa tercekat.
"Lalu bagaimana dengan laporan tentang kematian Jihan?" tanya Hana
"Pak Firman bilang akan dikirimkan tengah malam. Kamu istirahat aja dulu. Nanti ku panggil lagi" ujar Juna. Hana menuruti Juna. Ia meneguk habis tehnya dan beranjak dari sofa. Dengan langkah berat, Hana pergi ke kamar Ara. Juna memperhatikan gadis itu, ia merasa ada hal lain yang disembunyikan Hana.
***
Waktu semakin berlalu dan sudah menunjukan pukul 2 pagi. Namun Hana hanya terbaring dan masih terjaga di atas kasurnya bersama dengan Ara yang sudah nyenyak di alam mimpi. Otaknya terus berputar mencari cara lain untuk menghentikan variabel yang menurutnya masih bisa berubah. Hana tidak ingin kesempatannya berada di dimensi waktu yang berbeda ini berlalu begitu saja. Ia ingin menyelamatkan ayahnya. Ia harus menyelamatkannya.
Keheningan di kamarnya seketika terpecah begitu terdengar suara derap kaki yang disusul dengan suara ketukan pintu dari depan kamar.
"Masih bangun gak Han?" terdengar suara Juna dari luar.
"Iya" Hana segera beranjak dari kasur dan membuka pintu kamar. "Kenapa?" tanya Hana.
"Laporan dari TKP Jihan udah keluar nih. Sebentar yuk, ada yang mau gue diskusiin. Gapapakan pagi-pagi gini?"
Hana mengangguk. Timingnya tepat sekali. Ia pun tidak bisa tidur dan ingin menjelaskan apa yang ia dapatkan di TKP Jihan seharian tadi. Hana pun menutup pintu perlahan, takut membangunkan Ara yang kini sudah berganti pose tidur.
"Gimana?" tanya Hana yang kini sudah terduduk di sofa bersama Juna.
"Dari hasil laporan, Jihan memang bunuh diri. Penyebab kematiannya memang karena kekurangan oksigen."
"Jadi dia ga dibunuh?"
"Belum tentu" Juna menyerahkan lembaran-lembaran kertas laporan dari Pak Firman yang sudah ia print. "Penyebabnya kematiannya memang karena kekurangan oksigen, tapi bukan karena gantung diri"
Hana meraih lembaran laporan tersebut untuk membacanya sendiri sambil terus mendengarkan penjelasan Juna.
"Pelaku bunuh diri dengan cara gantung diri akan meninggalkan bekas jeratan tali di sekitar leher dan belakang kepala pelakunya, wajahnya juga akan membiru, lidahnya menjulur dan matanya membelalak. Tapi kau lihat sendiri tadi pagi, tidak ditemukan luka seperti itu pada Jihan. Dari hasil autopsi malah ditemukan luka memar bekas cekikan jari tangan di sekitar tenggorokan di rahang bawahnya. Selain itu, jika dia bunuh diri biasanya TKP nya cenderung rapi. Tapi kita tahu, kemarin kamarnya terlihat berantakan. TV di ruang tengahnya pun masih menyala" jelas Juna panjang lebar.
"Jun, sebetulnya ada yang aku ingin omongin juga" Hana menatap mata Juna dalam-dalam. "Aku juga nemuin hal aneh"
"Apa?"
"Aku wawancara beberapa tetangganya tadi. Kamu liat kan kalau Jihan juga pakaiannya rapi?"
Juna mengangguk dan menatap Hana serius.
"Kata tetangganya, Jihan itu kerja di industri film sebagai video editor. Dia jarang pulang, dan kalau pulang biasanya malam. Tapi, pagi itu tetangganya ngerasa berbeda karena Jihan keliatan ada di rumahnya pagi-pagi bahkan sudah rapi. Tetangganya itu juga sempat nanya sama Jihan dia mau kemana. Jihan cuma bilang, dia cuti dan mau pergi"
"Clear! Ini bukan bunuh diri. Gue yakin banget" Juna menjentikkan jarinya lagi.
"Selain itu.. ada lagi.."
"Apa?"
Hana terlihat ragu. Sebenarnya ia enggan untuk mengatakannya karena ia merasa, dengan mengatakannya ini berarti ia harus mengakui kalau variabelnya memang tidak berubah.
"di TKP Jihan tadi siang..... dia dateng lagi"
"Siapa?"
"Ayahku. Kau benar... kita mungkin memang sudah gagal mengubah variabelnya"
Suasana ruang tengah terasa semakin hening. Hana benci mengatakannya, tapi semua petunjuknya mengarah ke satu titik, kalau mereka memang gagal menghentikan variabelnya. Karena nyatanya, ayahnya tetap datang lagi. Tetap menyelidiki kasus yang sama lagi, dengan atau tanpa bantuan Arjuna.
"Kalau gitu, hanya tinggal satu cara lagi"
"Maksdmu?"
"Kalau menyingkirkan ayahmu dari penyelidikan kasus ini gak berhasil mengubah variabelnya, berarti dia memang harus terus menyelidikinya sampai akhir... dan harus berhasil." ujar Juna. "Dan saat hari menghilangnya itu tiba, baru kita menjauhkan ayahmu dari kasus ini sejauh mungkin. Dengan kata lain, kita harus menjadi satu tim dengan ayahmu.Dengan begitu, pergerakkan ayahmu akan lebih terkendali dan akan selalu dalam pengawasan kita." lanjut Juna yang memberikan Hana satu lagi secercah harapan baru.
*To Be Continued
Mantap thor. lanjutkan ceritanya
Comment on chapter Chapter 1 - Timeline