Di suatu senja yang dihiasi gerimis tanpa jeda, kubiarkan sepasukan kutu pergi meninggalkan tubuhku yang sudah sekian lama dijajahnya. Tak hendak aku berisi mencegah kepergiannya sebab keberadaan kutu-kutu yang selama ini menguasai hati dan pikiranku sudah cukup membuatku begitu tersiksa. Mungkin inilah awal kemerdekaan yang selama ini aku rindukan kehadirannya. Terbebas dari tekanan para kutu akan memberiku ruang bebas untuk bertindak sesuai kehendak. Aku bosan disetir. Aku muak didikte. Aku ingin mengaktualisasikan diri sesuai dengan bakat dan kemampuanku.
Selama ini kutu-kutu itu telah merampas ruang ekspresiku. Saban hari hidupku yang dijejali celoteh kutu kata yang kadang tak kupahami maksudnya. Sebagai perangkai kata, aku merasa nyaris kehilangan kata-kata selama kutu membombardir otakku dengan celotehannya yang tak bermutu. Senyumku serta merta merekah menyaksikan kutu yang pergi dengan langkah tanpa gairah. Tak sudi aku tanyakan alasan kepergiannya. Sebab bagiku, ketidak-beradaan kutu akan menjadi waktu yang berharga.
Tapi ternyata aku salah. Belum lagi jauh kutu-kutu itu mengayuh, mereka kembali menjatuhkan sauh dan siap berlabuh. Dengan posisi tubuh yang bersimpuh, kutu itu mengelap peluh untuk kemudian mengucap kata pamit karena mereka hendak menggapai langit.
“Aku bukanlah pujangga yang pandai merangkai kata-kata. Aku hanyalah kutu kata yang gemar berceloteh untuk membodohi manusia. Setiap kata yang kuucap memanglah tidak bermakna, tapi aku yakin akan selalu ada orang yang terpesona oleh kehalusan kata yang menyimpan tuba. Tapi ingat, tak sekalipun aku pernah bicara soal cinta. Aku hanya menebar jaring-jaring angkara agar manusia tersesat dalam perjalanan hidupnya. Jadi jangan pernah kau tanyakan bagaimana menuliskan syair indah tentang cinta sebab kutu kata tak butuh cinta dalam celotehannya.”
Sesaat kutu itu terdiam. Pandangannya terpusat ke mataku yang berpaling darinya. Bisa jadi kutu itu tersinggung dengan sikap diamku. Aku yang dikenal sebagai perangkai kata, yang telah menuliskan berpuluh buku cerita, tak pantas rasanya berdiri ternganga di hadapan seekor kutu kata.
“Aku bukanlah pelukis yang pintar membuat perpaduan warna dengan gradasi memikat mata. Bagiku lukisan yang jelas dan indah hanyalah ketakutan manusia yang telah kehilangan kata-kata. Melihat manusia yang pandai bermain kata untuk menipu sesamanya, kutu sepertiku sudah merasa sukses menggapai langit. Jadi jangan kau pernah tanyakan padaku bagaimana menorehkan tinta untuk melukiskan pelangi di atas kanvas. Aku tidak akan tahu jawabannya. Yang kutahu hanyalah bagaimana cara mengaburkan makna kata hingga manusia tanpa sadar menebar dusta dalam kehidupannya.”
Aku bergeming di tempatku berdiri. Tak sanggup kutatap wajah kutu yang coba mengucap pamit untuk menggapai langit. Seumpama rumput yang bergoyang di padang ilalang, aku ikuti saja ke mana angin menggerakkan. Gesekan hidup yang akrap dengan keterbatasan membuatku apatis dalam menyikapi keadaan. Terlebih kehadiran kutu yang terlalu lama menguasai otakku. Selama itu aku menjdi robot berbahan bakar nafsu. Dalam setiap gerakku, kutu senantiasa mengarahkan langkah kakiku menuju maksiat.
“Aku seumpama daun kering di atas sungai yang tak pernah berhenti mengalir. Kemana pun arus tertuju, ke sanalah aku melaju. Tanpa mempertimbangkan baik dan buruk dampak yang tercipta untukmu, celoteh kutu kata yang kusampaikan padamu, tak lebih semacam akal bulus untuk mengelabuhimu. Kau adalah perangkai kata yang telah banyak menuliskan kisah dengan beragam amanat yang kau bawa. Sedang celotehku tak lebih dari ampas bubuk kupi yang telah diseduh tanpa gula lagi. Pahit dan teramat pahit. Karena itulah, hari ini aku pamit untuk menggapai langit. Sebab hanya dengan berada di ketinggian, bangsa kutu bisa mendapatkan kenyamanan. Terima kasih, selama ini kau mau memberi tumpangan sehingga aku mampu hidup dengan serba berkecukupan.”
Hahaha! Aku tertawa riang. Rasanya sudah terlalu lama aku menangis dan merasakan kepedihan. Mulai sekarang aku akan hidup di mana orang lain hidup. Kakiku akan berpijak di mana orang lain berdiri tegak. Setelah kutu pamit hendak menggapai langit, aku akan terbebas dari segala persoalan yang menghimpit.
“Untuk terakhir kalinya aku harap, jangan kau tanyakan siapa aku, karena aku hanyalah kutu kata yang senantiasa berceloteh dengan menggunakan kata-kata tanpa makna. Setiap diksi yang kucuri dari memori di otakku telah aku gubah menjadi bermajas hiperbola untuk meninabobokan manusia. Setiap kerangka pemikiran yang rampas dari benakmu, telah aku salin menjadi sederet satire untuk mentertawakan ketidakberdayaanmu. Sekarang ijinkan aku pamit untuk menggapai langit. Semoga semua kata-kata yang pernah kuubah makna dan pengertiannya bisa dengan cepat kau rangkai kembali sesuai hakekatnya yang asli.”
Bedebah! Tak salah rasanya jika aku menyumpah serapah. Enak saja! Setelah sekian lama memplagiat ide-ide dari otakku, kini kutu-kutu itu pamit hendak pergi tanpa memberikan kompensasi. Apa dia pikir mudah menggabungkan deretan kata menjadi sebentuk kalimat yang mampu memberikan manfaat pada umat.
Tapi aku bisa apa? Kutu-kutu itupun melangkah pergi menggapai langit yang sore itu sedang cerah. Warna biru yang merupakan bias dari warna air di lautan, seketika berubah menghitam tatkala kutu berbondong-bondong terbang meninggalkan daerah jajahan. Kepak sayapnya meninggalkan suara bising melebihi deru helicopter yang sedang memutar baling-baling.
Meski dengan kepala agak terasa pening, aku tatap langit yang mulai gelap tertutup kutu dengan mata terpicing. Biarlah! Biarkan saja kutu pamit menggapai langit. Dengan begitu aku memiliki kesempatan untuk menjadi perangkai cerita tanpa tekanan dari siapa-siapa.
Akan kutulis banyak kisah tentang kehidupan yang kadang berjalan tak sesui dengan yang diharapkan. Akan kutulis setiap kejadian yang membuat makhluk bernama manusia berhasil mencapai titik kedewasaan baik dalam perilaku maupun kata-kata yang diucapkan.
“Selamat jalan celoteh kutu kata. Celotehmu akan kugantikan dengan jalinan kisah tentang aku dan sebuah nama yang tak akan kusebutkan hingga kapan saja.”
@[dear.vira] trims sudah mampir, tunggu kunjunganku ya
Comment on chapter PRAKATAKUTU