Read More >>"> CELOTEH KUTU KATA (BERGURU PADA KUTU) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - CELOTEH KUTU KATA
MENU
About Us  

Kali ini aku didatangi dua kutu yang benar-benar berbeda dengan kebanyakan kutu yang sudah pernah kutemui sebelumnya. Kutu-kutu yang menghampiriku kali ini menawarkan sederet kata-kata yang kata mereka akan memliki peran penting bagi kehidupanku di masa selanjutnya. Tentu saja, sebagai seorang penulis yang dikenal jadi biangnya kebohongan, aku tidak langsung percaya begitu saja dengan apa yang kedua kutu itu katakan. Aku cuma pura-pura mencermati deretan kata-kata itu sembari membandingkan dengan berbagai literature yang pernah jadi santapanku.

Satu kata yang paling mencolok mataku, bahwa Bumi berbentuk datar. Spontan mataku terbelalak. Meski pernyataan tak wajar dari kutu itu disertai fakta pendukung berupa teori dari beberapa ahli bahwa petikan ayat suci, tapi tetap saja akutertawa geli. Tapi hanya dalam hati, loh!

Akh!

Aku tercenung di hadapan dua kutu yang masih saja menatapku menghujam hingga kurasakan tatapan mereka seumpama sebilah belati yang sengaja di beenamkan ke ulu hati. Dalam kembara benakku masih saja aku mentertawakan pendapat kutu yang mengatakan kalau bumi itu datar. Aku tetap meyakini apa yang pernah meyakini pelajaran yang pernah disampaikan guru-guru di sekolahku dari SD sampai Perguruan Tinggi kalau secara teori dan fakta, bumi itu berbentuk bulat pipih atau ellip. Sulit bagiku menerima hal yang bertentangan dengan keyakinan yang sudah mendarah daging di otakku.

Tapi kedua kutu itu juga tetap berdiri kokoh pada keyakinannya. Kata mereka jika bumi ini bulat bagaimana mungkin aku dan manusia-manusia lainnya bisa berdiri tegak di atas tanah. Bisa jadi keyakinan bumi bulat itu sengaja disebarluaskan oleh negara-negara besar untuk menghalangi negara berkembang yang ingin menjelajah. Negara besar tentu tak ingin ada invasi yang masuk ke negara mereka. Terlebih dari negara kecil atau berkembang yang dulu pernah dijajahnya.

Oke, sampai di sini aku paham. Pendapat tentang bumi datar yang disampaikan kedua itu cukup beralasan. Dan seolah bisa membaca isi pikiranku, tahu-tahu kedua kutu itu secara serentak melompat masuk ke dalam otakku melalui unyeng-unyeng yang menjadi semacam pusat jalur persebaran rambut di kepala.

Dalam otakku, kedua kutu itu berselancar mencari benang-benang memori yang terkait dengan masa lalu pendidikanku. Dengan segala daya dicobanya menghapus semua keyakinan bentuk bumi bulat yang sudah sekian lama tertanam itu. Sulit memang! Tapi kedua kutu itu bukanlah jenis makhluk yang mudah putus asa. Gagal dengan satu cara, mereka coba cara lainnya. Tanpa memeperdulikan aku yang kesakitan akibat rasa pening yang hebat selama mereka menjelajah di dalam sel otakku.

Bukan rahasia lagi, otak seorang penulis itu memiliki banyak cabang pemikiran yang berbeda dengan orang kebanyakan. Kebiasaan berpikir secara imajinasi membuat otak berkembang jauh melebihi elemen yang semestinya. Sebab penulis adalah Tuhan bagi serangkaian tokoh yang diciptakannya untuk menghidupkan sebuah cerita. Penulis bebas mengatur alur hidup seorang tokoh sekehendak hatinya. Bahkan jika penulis menginginkan surge hanya tercipta bagi dirinya, itu syah-syah saja selama hanya di dalam cerita.

Tak berhasil melakukan apa yang mereka inginkan, kedua kutu itu terdiam beberapa saat di sudut otakku yang paling belakang. Di sana mereka menatap jaringan otakku yang sangat jelimet dan memiliki banyak cabang sehingga tak memungkinkan untuk ditelusuri dalam waktu seharian. Proses kreatifku yang menuntut teknik berpikir tingkat tinggi membuat jaringan otakku menjadi ribuan kali lebih rumit.

Kutu-kutu jadi kewalahan. Tenaga mereka tak sebanding dengan apa yang harus dilaksanakan. Sementara untuk keluar dari jaringan otakku tanpa membawa hasil rasanya juga mustahil. Tak ingin kedatangannya sia-sia, kutu itu terus mencari cara agar keyakinan tentang bumi itu datar sebisanya dapat tertanam dalam pola pikirku. Kutu itu yakin bahwa di dalam otak seorang penulis yang penuh imajinasi tentu tidaklah mudah untuk menanamkan gagasan baru yang belum pernah terpikirkan oleh manusia sebelumnya. Sepertinya mereka lupa kalau penulis selalu riset terlebih dahulu sebelum menuliskan sesuatu. Layaknya orang berpacaran, diperlukan pendekatan yang intens sebelum memutuskan untuk menjalin hubungan dengan berbagai konsekuen.

Sekujur tubuhku berkeringat dengan hebat. Rasa sakit yang teramat sangat akibat penjajahan kedua kutu di dalam otakku seakan sengaja dilakukan untuk memberikan siksaan verbal terhadapku. Penolakan atas kehadiran makhluk asing di dalam jaringan pola pikirku mengharuskan aku menguras tenaga. Sel otakku juga berjuang keras menolak keyakinan baru yang coba disuntikkan ke dinding-dinding keyakinan yang rentan. Darah yang mengalir di kepalau juga memberikan peringatan akan adanya bahaya yang siap mengancam. Sel darah putih sebagai benteng pertahanan serta merta memberikan kode siaga berperang.

Aku menggelepar di lantai tak bertikar. Duniaku serasa ambyar dirajam kedua kutu yang belum juga mau keluar. Jantungku terasa ingin berhenti berdenyut lataran aksi brutal kedua kutu yang terus berlanjut. Darahku jadi enggan mengalir sebab siksaan dari kedua kutu belum juga berakhir.

Terlebih saat salah satu kutu itu menyelinap masuk ke ruang hatiku. Kurasakan darah yang mengalir di sekujur tubuhku mendidih, siap melumat segala hal yang tak mau menyisih. Menyusuri lorong hatiku yang memiliki sel pembentuk lebih halus dari semua sel dan kromosom yang ada, membuat kutu itu tak bisa melakukan tindakan kasar di sana. Perlahan kutu itu melangkah, mencari dan terus mencari pusat keyakinan yang sekiranya bisa ia pengaruhi.

Lalu ia temukan sebuah ruang kosong yang dulu pernah disinggahi seseorang yang kini telah lama pergi. Di ruang hati yang telah lama berjelaga dan tak berpenghuni itu, sang kutu dengan telaten menyulamkan keyakinan tentang bumi itu datar dengan sikap sabar. Waktu menjadi penentu keberhasilan atas suatu hal yang coba ditawarkan.

Ooh! Tubuhku tersentak ketika kutu itu terantuk dinding hati yang keras sekali. Bagian dinding hati itu seolah telah membatu bersama segenap kenangan indah yang pernah terjalin bersamamu. Ya kamu, sebuah nama yang dulu sempat terukir indah di istana cinta. Kini nama dan aroma rasa yang pernah kau bawa telah menjelma jadi semacam pusara sebagai penanda pernah tersentuhnya hati oleh jamahan lembut dewi asmara.

Dalam pelukan damai yang pernah kau beri, tersimpan sebuah keyakinan diri bahwa bumi itu datar adanya, sebab yang bulat hanyalah tekadku untuk memilikimu. Tekad itu sempat bertahan beberapa lama sampai akhirnya kau robohkan keyakinanku tatkala kau pamerkan seorang kekasih baru yang tak lain adalah sahabatku. Seketika langit serasa runtuh menimpaku. Bumi tempat ku berpijak seakan digoncang badai yang super dahsyat sehingga segalanya bergulung dengan hebat.

Pada titik lemah yang pernah kau torehkan itulah, seekor kutu kini sedang berjuang mengalihkan keyakinanku itu. Tanpa kenal lelah kutu itu mencari celah untuk menemukan titik terlemah yang nantinya dapat ia pengaruhi dengan mudah.

Dalan hal kesabaran sepertinya aku memang harus berguru pada kutu. Untuk sebuah tujuan kutu mampu bertahan menghadapi berbagai tekanan sembari tetap mencari jalan agar keinginannya terwujudkan. Tak seperti manusia yang lebih sering bertindak grasa-grusu. Sikap ceroboh acapkali menjadikan manusia bertindak bodoh tanpa memikirkan akibat buruk yang siap membuat hidupnya roboh.

Sepertinya kutu cukup menyadari kalau sesal yang hadir di akhir masalah tidaklah berfaedah. Lebih baik tak mengenal kata menyerah sebelum tujuan awal dapat diraih dengan nilai pencapaian yang “wah”. Lagi-lagi aku dipaksa berguru pada kutu tentang hakekat berjuang dalam mempertahankan kehidupan.

Hingga tanpa sadar kutu yang tadi bersemayam dalam ruang hatiku telah sukses menanamkan keyakinan tentang bumi itu datar. Ya, aku mulai setuju akan hal itu. Bumi memanglah datar. Sedatar perjalanan hidup dan karierku sebagai penulis yang tak pernah meraih kata sukses seperti impianku.

Tapi aku tak akan menyesali semua itu. Aku telah berguru pada kutu soal bagaimana caranya berjuang dalam menghadapi pahit manisnya kehidupan. Aku tahu, hidup memang tak seindah mimpi. Kenyataan terkadang sangatlah jauh dari bayangan. Kalau sejenis kutu saja mampu menanamkan keyakinan di otak dan hatiku, maka aku juga harus mampu meyakinkan diri atas kemampuanku bertahan menghadapi segala cobaan.

Termasuk cobaan untuk menghilangkan jejak kehadiranmu dari dalam ruang hatiku. Kupastikan, kau hanya akan jadi masa lalu dalam kehidupanku. Tidak akan pernah lagi timbul lukisan namamu di dasar kalbu, karena aku telah berguru pada kutu yang telah berhasil menjadikan masa lalu serupa batu. Batu yang kelak akan hancur dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu.

Saat kedua kutu telah keluar dari dalam otakku, tak lagi kurasakan adanya sesuatu yang mengganjal pikiranku. Hatiku serasa plong. Lepas tanpa beban. Sekarang aku yakin seyakin-yakinnya bahwa bumi itu datar, sebab yang bulat adalah tekadku untuk melupakanmu.

Aku telah berguru pada kutu bahwa masa lalu biarlah berlalu. Tetap akan kuraih kebahagianku walau tanpa dirimu, di sisiku!

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (11)
  • dede_pratiwi

    Ceritanya keren. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' ://tinlit.com/story_info/3644 jangan lupa like. makasih :)

    Comment on chapter PRAKATAKUTU
Similar Tags