Ampas kopi yang merenung di dasar gelas, mematung tanpa makna yang jelas. Air hangat yang tadi menyelimuti telah habis diseruput bibir monyong tanpa kompromi. Ampas kopi yang telah ditinggal pergi, terpaku tanpa kata-kata lagi. Dingin yang memeluk erat perwujudtannya membuat ampas kopi membeku dalam kesendiriannya.
Pun demikian dengan pikiranku. Pikiran yang biasanya tak henti berkelana guna mencari ide-ide gila yang kusuka, kini diam terpaku di pojok otakku. Tak ada geliat kreatif yang memunculkan aneka pemikiran komunikatif. Semua terdiam di sisi negatif. Terlena oleh aura-aura persuasif yang berkelebat secara atraktif.
Seperti tiada bedanya antara ampas kopi dan pikiranku ini. Entah kemana perginya para kutu yang biasanya mengusik kebisuanku. Kiranya ampas kopi yang dingin telah sukses membuat kutu menjadi jemu. Diam tanpa kata-kata. Tercenung tanpa sebuah makna.
Ya kutu yang diam tanpa kata telah menjadi kutu tanpa makna. Terlambat aku menyadari bahwa segala sesuatu bila berbuat tak seperti biasanya maka akan menjadi suatu hal yang tanpa arti. Kutu yang biasanya begitu liar bermain dalam ruang hati dan pemikiranku, hari ini telah kehilangan kicauan beonya. Aku yang kala berada di puncak kesadaran terkadang sangat membenci pada kelakuan kutu yang kuanggap kurang bermutu dan hanya datang sebagai pengganggu, kali ini baru menyadari arti lain dari kehadiran kutu-kutu itu.
Tanpa tingkah usil para kutu, nyatanya aku merasa terbenam di dasar kesepian. Kutu yang tanpa kata membuatku kehilangan gairah. Kutu yang tanpa makna memaksaku untuk mencecap lembar kenangan yang kerap kuanggap sampah.
Secara normal, harusnya aku merasa merdeka bebas dari gangguan usil para kutu yang suka jahil. Tapi nyatanya aku justru merasa terkucil. Seakan aku terdampar di sebuah pulau terpencil. Karena tiada yang bisa aku perbuat, dentum kenangan jadi menggedor-gedor pintu kalbu yang sebagian sudah berkarat. Lembaran masa silam itu kembali mencuat meminta tempat untuk dikerat.
Kutu tanpa kata, kutu tanpa makna hanya menatapku sekilas tanpa rasa iba. Dibiarkannya aku menggelepar di atas lembaran kenangan yang bergerak liar ingin menggulung tubuhku agar terkubur di lembah kenangan. Dunia kenangan yang didominasi warna hitam. Gelap dan pekat.
Masih tanpa kata-kata, kutu itu berenang dalam ampas kopi yang sudah kehilangan aroma khasnya. Hanya sesekali kutu itu mencibir kepadaku seolah mengejek ketololanku yang terdampar di ruang sepi tanpa adanyakejahilan yang mewarnai. O, apakah sudah sedemikian dalam pengaruh kutu pada diriku? Kehadiran kutu menjadi semacam candu yang membuatku ketagihan untuk berbuat hal-hal yang berbau urakan.
Dengan pandangan tanpa arti, kuamati kutu yang masih saja berenang pada ampas kopi hitam. Kubayangkan kutu itu sedang berenang-renang dalam cairan otakku yang merah merona. Otak porno yang dipenuhi pemikiran-pemikiran bugil berbau mesum. Dalam gelap pemikiran yang tanpa arah, kutemukan gairah hidup yang berlimpah.
Persetan jika ada orang yang mencap aku sebagai orang gila. Sebab bagiku segala hal akan terasa lebih gila ketika kutu diam tanpa kata. Hal itu menjadikan kehidupanku tak bermakna. Seperti ampas kopi yang sudah kehilangan aroma.
@[dear.vira] trims sudah mampir, tunggu kunjunganku ya
Comment on chapter PRAKATAKUTU