KUTU PIKIRAN
Kopi hitamku masih kental, sama seperti pikiran kolot peninggalan kaum feudal. Di otak liarku, serangkaian ide binal tebar pesona, layaknya sosok wanita bergincu tebal. Banyak kritik social yang ingin aku obral untuk meninju barisan orang berotak bebal yang menganggap hidup sekadar tempat membual. Hingga aku menjadi mual. Terlalu tolol rasanya menilai hidup tak lebih baik dari barang abal-abal.
Pernah terlintas dalam pikiranku untuk berjuang menggenggam dunia yang tak kekal. Sampai akhirnya aku gagal. Langkahku terjungkal. Dalam pikiranku yang semakin nakal, menikmati hidup haruslah total. Layaknya orang meneguk secangkir kopi kental, bukan untuk menjadi terkenal, tapi sekedar mendatangkan pemikiran-pemikiran astral.
Aku tak peduli, meski sepasukan kutu mencoba meracuni pikiranku tentang kabar akan datangnya kemakmuran. Bagiku kemakmuran tak lebih setumpuk jerami busuk yang sengaja didengungkan sebagai sarana membujuk. Dalam kopi kentalku tak pernah sekalipun aku temukan aroma kemakmuran yang selama ini digembar gemborkan. Aku lebih percaya pada pahit dan manis dalam racikan kopi yang tersaji. Perpaduan rasa itu membuat mataku melek bahwa kutu yang coba meracuni otakku adalah sebuah doktrin jelek.
Menikmati kopi kental selagi hangat, akan menjungkirbalikkan pandangan dan pemikiran sesat. Aroma kopi yang mengepul akan mengusir kutu-kutu pikiran coba berkumpul dalam otak yang tumpul. Racikan kopi yang pas akan menumpas dan melibas setiap kutu pikiran yang mengajak hati bertindak keras. Jangan paksakan diri untuk melakukan suatu hal di luar kekuatan. Jangan menentang arus jika diri tak bisa berenang. Sebab tenggelam itu menyakitkan.
Menyedah secangkir kopi dengan sedikit gula, adalah sarana yang tepat untuk menggambarkan pahitnya nostalgia. Jarang aku menyadari bahwa hidup hanyalah sekedar numpang lewat. Aku terus menggeliat, melakukan sesuatu walaupun minim manfaat. Persetan jika ada orang menghujat. Aku akan tetap lewat meski kau halangi dengan pagar berkawat.
Menikmati secangkir kopi kental membuatku menyadari gejala munculnya kutu pikiran yang sering menyesatkan. Pikiran-pikiran kotor datang menggelontor. Pikiran-pikiran sesat dating menjerat. Pikiran-pikiran liar mendesak jiwa berlaku onar. Pikiran-pikiran nakal merubah nilai sakral menjadi sebuah mistik berbauu astral. Pikiran-pikiran mesum menjadikan diri tersenyum di kulum ketika melihat dada nan ranum.
Karena itu ingin kukosongkan pikiranku untuk menjauhi serangan kutu. Kubiarkan kopi kental merasuki jiwa, menghantarkan kehangatan yang mengalir di setiap urat nadi, memberikan esense lain yang selama ini tak kumiliki. Dalam pikiran kosong aku mampu menakar tindakan bohong. Dalam pikiran kosong tertutuplah selongsong hati yang seringkali bolong. Dalam pikiran kosong, aku menikmati suasana bengong.
Bagiku pahit adalah obat mujarab untuk mengusir banyak penyakit. Terutama penyakit yang disebabkan oleh kutu pikiran. Akibat banyaknya kutu pikiran, ide-ide kreatip yang membuatku senantiasa berpikir positip, tiba-tiba lenyap dan berganti dengan pemikiran negatip. Otak serasa sudah berubah jadi intip. Kerak gosong yang tak dapat melahirkan suatu inisiatip untuk berbuat baik.
Ketika kutu pikiran sudah menyerang, pola pikir yang biasanya selalu luhur layaknya tindakan Arjuna, serta merta bergeser 180 derajat. Sifat ksatria lenyap. Cahaya pencerahan menjelma jadi gelap. Dalam otak yang tersisa hanya tangis dan ratap. Perlahan tapi pasti, pola pikir berubah jadi sosok Butho Cakil yang bersifat jahil bin methakil. Pikiran nakal selalu usil, suka melihat hal yang batil. Suka menonton gadis yang bugil.
Kutu pikiran seperti secangkir kopi hangat yang dengan cepat merayap di sepanjang tenggorokan untuk kemudian menjamah lambung yang kadang kembung. Tanpa peduli semua orang yang menyaksikan jadi pada bingung atas ulah yang jadi gemblung. Layaknya Mbilung otak hanya bisa berdengung karena telah meninggalkan keyakinan pada Yang Maha Agung.
Dengan cepat kutu pikiran memelintir kiblat hingga orang jadi enggan sholat. Orang jadi lebih suka berbuat maksiat daripada melantunkan dua kalimat syahadat. Kutu pikiran membuat orang benar-benar jadi murtad.
Pun demikian dengan pikiranku. Ide-ide cemerlang yang sebelumnya banyak aku kembangkan jadi serangkaian kalimat motivasi, meski sekadar dalam novel fiksi, pada akhirnya harus berkarat di dasar otak. Kutu pikiran telah memakin habis semua sisi baikku sehingga aku hanya bisa menuliskan kisah yang kelabu. Kisah percintaan yang mengharu biru, kisah perjalanan yang terjal dan berliku, serta kisah satire atas kebobrokan yang tengah melanda negeriku.
Hingga habis sudah wedang kopi di dalam cangkirku, aku hanya mampu menatap kosong pada gumpalan ampas hitam di dasar cangkir. Ampas kopi yang lembut tapi legam, seakan sedang menatapku sambil melontarkan ejekan. Atau bahkan mungkin caci maki. Entahlah? Pikiranku yang sudah dikuasai kutu tak mampu lagi untuk berkelit dari tuduhan yang bersifat nylekit.
Seperti ampas kopi di dasar cangkir yang sebentar lagi akan dibuang dan tersingkir, aku sudah tak mampu lagi berpikir. Aku hanya mampu meratap semoga kutu dalam pikiranku segera lenyap. Agar aku bisa kembali menguasai alam pikiranku untuk melahirkan pemikiran yang tak lagi tabu.
Dan ketika cangkirku telah kosong, aku masih saja duduk bengong, tak jauh beda dengan orang songong.
Aku terus saja bengong hingga anjing tak lagi menggonggong!
Ceritanya keren. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' ://tinlit.com/story_info/3644 jangan lupa like. makasih :)
Comment on chapter PRAKATAKUTU