KUTU KATA
Mencium aroma buku di tengah panas matahari yang menjilat kotaku, serasa bagai sedang bersetubuh dengan majas metafora yang kemayu. Tiap diksi yang terpatri bersimpuh peluh lantaran pembacanya sedang onani dalam imajinasi. Tak penting makna apa yang tersimpan di balik rangkaian kata sang pujangga, selama mendatangkan simbol jempol dan like, sudah cukup membuat bahagia.
Amanah yang tersirat dalam setiap kalimat yang tersusun padat, jadi penggoda layaknya payudara gadis belia. Cukup berbaur dalam alur yang ada, sudah membuat libidoku meningkat. Satu per satu kubuka sampul tubuh yang telah lusuh. Kutelusuri selangkangan plot yang makin melorot, tak kuasa menahan otot.
Dialog yang mendesah menawarkan gairah, membuatku muntah. Aku hanya mampu telentang. Pasrah. Cover cabul ikut membuat kepala mengepul. Tulisan judul dibuat sebegitu indah namun tetap membungkus aroma gairah.
Kawanan kutu di otakku berhamburan, mengeja setiap kata yang nyaris kehilangan makna. Kutu kata telah menggerogoti jiwa. Dan aku masih di sini, pamer jiwa telanjang yang nyaris tanpa isi.
Kepada siapa harus kuadukan pelacuran sastra sedangkan raga sudah tak punya daya. Terakhir kali kudapati diriku tergeletak pada setumpuk kata yang menyentak jiwa. Kutu kata di kepalaku beranak pinak di antara tumpukan buku. Usang dan berdebu.
Kutu kata meloncat mencari buku-buku baru agar bisa sembunyi dari birahi yang menggebu.
Kata-kata telah kehilangan makna. Baik yang tertulis, terucap, maupun masih tersimpan di kepala. Semua raib bersama tenggelamnya senja yang membawa ribuan kutu untuk mencercap habis semua simpanan kata-kata yang dimiliki manusia.
Kini tinggal satu kata yang tersisa, Musnah!
@[dear.vira] trims sudah mampir, tunggu kunjunganku ya
Comment on chapter PRAKATAKUTU