Yogjakarta
Tengah malam. Redup lampu terbiarkan saja. Tiga gelas susu hangat sudah diminum. Beberapa buku berserakan di atas ranjang. Aku dimana? Di bawah sini. Di atas karpet hotel membalik-balikkan badan. Insomnia. Yang benar saja. Ini sudah lebih dari tiga bulan lamanya. Aku mengalami kesulitan tidur. Tolong hentikan. Setidaknya untuk malam ini. Aku ingin punya istirahat yang cukup. Besok mereka akan lebih menyeramkan dari hari sebelumnya.
Oh Yogjakarta. Kota yang aku rindukan namun tidak bisa ku nikmati indah dan nuansanya. Aku terlalu disibukkan dengan pekerjaan. Aku butuh banyak uang. Tunggulah lagi untuk aku pulang dengan perasaan senang.
Akhirnya mata ini bisa terpejam. Otak ini menuju dunia yang tidak bisa aku kontrol. Kurasa semalam aku tertidur di atas jam 03.00 WIB. Yang benar saja. Produser dan Sutradara bersekongkol mengobrak-abrik hasil karyaku. Bukankah sebelum kita berangkat ke Yogjakarta, mereka sudah setuju dengan naskah yang aku tulis. Seenaknya minta revisi ini itu. Mereka tidak baca dengan benar sejak awal. Bukan kesal lagi, aku hampir meledak jadi partikel kecil. Memangnya aku Bandung Bondowoso hanya diberi waktu hingga ayam berkokok. Hhaa..ya sudahlah aku harus memiliki senyum hari ini untuk keduanya. Senyum palsu.
“Mana naskahnya?” Sutradara mendatangiku. Mukanya masam. Kumisnya ingin sekali aku pelintir.
Si Pemeran utama wanita aku lihat uring-uringan karena naskah direvisi. Hey! Ini juga bukan mauku. Mereka ingin tulisanku lebih mendramatisir. Mereka ingin aku membuat penonton menangis tersedu-sedu. Mereka ingin cerita perselingkuhan lebih didominasi untuk cerita keluarga yang aku buat. Katanya, ini jamannya orang ketiga perusak rumah tangga. Tidak bisakah aku menulis sesuai keinginanku? Ok baiklah tidak bisa. Wanita dengan isi dompet pas-pasan sepertiku mana bisa melakukan sesuai keinginan. Hadapilah pada akhirnya uang yang berbicara.
“Oke.., sudah direvisi semua?” tanya Sutradara.
“Sudah,” kataku. Dia minta revisi tapi enggan membacanya kembali. Terserahlah.
Pemeran utama wanita ngomel-ngomel ke Sutradara di depanku. Artis pendatang baru. Gosipnya sering ada dimana-mana. Terkenal karena skandalnya dengan artis papan atas. Diundang wawancara sana sini, sekarang dapat peran utama. Yang benar saja.
“Sudahlah…hentikan mengeluh,” nada suara itu aku dengar dari arah belakang. Dia menepuk pundakku dan merangkul tubuh mungilku.
“Hey..daritadi aku diam saja,” sahutku.
“Mulutmu diam tapi tatapanmu terus memaki,” katanya.
“Omong kosong,” aku ingin meninggalkannya di sana, tapi dia terus mengikutiku.
“Sabarlah badai dan hujan itu tidak akan selamanya,” lagi-lagi memberikan petuah. Padahal usianya lima tahun di bawah aku, tapi dia selalu merasa lebih mengerti.
“Sudah sana. Jangan ikuti aku. Kamu tidak menghafal naskah baru. Aku baru merevisinya tadi malam,” aku ingin dia pergi.
“Untuk apa? Aku hanya punya satu kalimat di film ini. Sisanya aku hanya diam saja dengan wajah tampan ini di depan kamera,” dia memuji ketampanannya sendiri.
Baiklah dia memang tampan, tapi nasibnya belum setampan wajahnya. Mungkin ini sudah filmnya yang ke sepuluh. Perannya belum pernah berkembang. Jauh-jauh datang ke Yogjakarta untuk mengatakan ‘Jangan pergi Ayah’, sebelihnya dia diceritakan terbaring ditempat tidur.
“Johan,” temannya memanggil. Akhirnya dia meninggalkanku sendiri.
Aku harus menemui Pak Produser menanyakan pendapatnya untuk naskah yang telah aku revisi. Di tim ini ada satu penulis lainnya. Dia seniorku. Kerjanya? Sama dengan mereka, memerintahku. Sekarang dimana dia? Tidak. Maksudku dimana dia sejak semalam? Aku merevisi ini seorang diri.
Aku ingin sekali teriak benci pada seniorku. Dia sedang asik tertawa cekikikan dengan Pak Produser. Aku dengar produser memuji naskah yang semalaman aku kerjakan.
“Kau memang professional. Tidak salah aku mengajakmu kerjasama di film ini. Kau bisa melakukan apapun. Kau berbakat,” puji Pak Produser yang tidak tahu manusia yang dipujinya hanyalah parasit di hidupku.
Kenapa aku tidak melawan? Pernah tentunya. Tapi dia itu memang rubah berekor sembilan. Semuanya dia putar balikkan. Bukannya aku mendapat keadilan tapi sebaliknya aku yang disudutkan. Mereka bilang aku tidak berterimakasih sudah dibimbing rubah itu sebagai penulis skenario junior. Dasar rubah! Dasar penjilat!
Aku tidak kuat lagi mendengar pujian-pujian yang salah alamat. Untunglah Pak Joko datang dengan teh jahe hangat.
“Mba Dayu. Ini loh tehnya. Masih hangat. Mantap,” katanya memberikan mahakaryanya padaku. Dengan tubuh rentanya membawa lima belas gelas untuk dibagikan ke crew lain.
Manager Han memanggilku setelah turun dari mobilnya.
“Dayu..siniii. Ada seseorang yang ingin aku kenalkan,” aku menghampirinya di parkiran.
“Ini pemeran utama pria yang aku ceritakan,” Manager Han mengacungkan jempol yang dia sembunyikan di pinggangnya. Aku melihatnya. Artinya kualitas pemeran utama ini sungguhan. Ohh baiklah ada barang bagus di film ini.
Sayangnya lawan mainnya artis penuh skandal. Kemampuannya menjadi nomer sekian setelah kontroversinya.
“Saya Dayu. Assistant penulis,” kataku memperkenalkan diri padanya.
“Boleh tebak? Nama panjangnya Dayu Kirana Sucipto?” aku kaget nama lengkapku dia ucapkan.
“Iya.., benar,” responku bingung.
“Aku tebak lagi. Dayu kelas XI IPA 2 SMAN 1 Teladan Yogjakarta. Kamu tidak kenal aku?” katanya tambah membuatku terkejut.
“Maaf saya lupa. Apa kita satu SMA?” tanyaku. Bagaimana juga aku mengenali wajahnya yang menggunakan topi dan kaca mata hitam.
“Dzul. Basket. Vespa putih,” sepertinya itu petunjuk untuk membuatku teringat.
Astaga. Benarkah? Dia…. “Dzul Aditya?” aku mengkonfirmasi.
Lelaki itu mengangguk tersenyum. Senyumannya bisa membius mataku. Senyumnya indah.
Manager Han bertepuk tangan. “Baguslah kalian saling mengenal. Aku khawatir karena pergantian pemeran utama pria sangat mendadak. Ubanku sampai bertambah.”
“Pakde managernya Dzul? Artis Jerman itu bagaimana?” tanyaku pada kondisi Manager Han.
“Kamu sudah tidak update. Dia dideportasi. Panjang ceritanya. Sekarang aku manager Dzul. Ternyata kalian sudah saling mengenal. Aku minta tolong bantu dia untuk lebih memahami peran. Aku tahu kamu orang yang tepat untuk membantunya. Kamu yang paling tahu tentang tokoh itu dari pada penulis gadungan itu,” Manager Han salah satu teman baikku di Industri ini.
“Aku dikerjainya kemarin malam,” keluhku pada Manager Han.
“Suatu hari nanti kamu akan hebat. Percaya padaku,” Manager Han menyemangatiku.
“Aku titip dia ke kamu. Tolong bekerjasamalah. Aku harus ketemu Produser,” kata Manager Han meninggalkan kami berdua.
Aku mengajak Dzul duduk dekat lokasi. “Kamu sudah membaca naskahnya?” tanyaku.
“Tentu. Aku juga sudah melakukan reading dadakan, walau hanya seminggu kurang,” katanya menyakinkan.
“Baguslah. Tapi ada kendala. Naskahnya baru saja direvisi. Ini naskah yang baru,” aku memberikan pada Dzul.
“Kamu ingin membacanya dulu atau ada yang ingin kamu diskusikan denganku?” aku sebetulnya masih kikuk memulai pendalaman cerita dengannya.
“Aku ingin membahas mengenai tokoh utama pria di cerita ini. Dari pemahamanku, kerinduan terhadap keluarganya menjadi satu titik balik di hidupnya. Aku ingin lebih mengerti perasaannya saat itu,” katanya mulai membahas karakter.
Aku menjelaskan dari sudut pandang penulis tokoh utama pria dalam cerita. Aku rasa Dzul cepat menyesuaikan diri dengan karakter yang dibangunnya. Aku menyukai cara Dzul mendalami karakter ini.
Diskusi kami tentang naskah rasanya cukup. Dzul akan menemui Sutradara. Sebelum itu dia mengatakan sesuatu yang membuatku gugup, “Aku ingin makan malam bersama kamu. Tolong jangan ditolak. Ada hal yang penting yang harus aku sampaikan.”
Dzul minta nomer Hp milikku. Aku memberikannya. Katanya setelah syuting hari ini. Dia akan menelonku. Aku bingung. Aneh. Tiba-tiba saja. Kenapa dia datang mendadak seperti ini. Aktor. Sejak kapan? Aku sampai tidak menyadarinya. Lelaki itu hari ini ada di hadapanku.
Malamnya aku jadi tambah gugup. Seharusnya aku sudah mulai mengerjakan naskah yang baru. Belum ada satu dialog yang aku buat sejak tadi. Apa benar dia ingin menemuiku malam ini? karena itu aku terus memeriksa Hp. Sama sekali tidak ada telepon masuk. Sepertinya hari ini dia membohongiku lagi, seperti hari itu dia tidak datang menemuiku.
Baru saja aku hendak tidur, bel kamar hotel berbunyi. Aku coba melihat siapa yang datang.
“Dzul?” Dia tersenyum padaku. Dzul yang hari ini aku temui lebih mempesona. Hanya saja, entahlah. Aku lebih menyukai Dzul yang berpenampilan sederhana seperti dulu. Astaga, aku baru sadar menemui dia dengan piyama tidur. Aku kembali menutup pintu. Sebelumnya aku mengatakan pada Dzul untuk menungguku di lobby hotel.
Kota ini rasanya semakin ramai. Bangunan-bangunan baru di jalanan. Malioboro di malam hari. Pengamen hilir mudik bergantian cari nafkah. Siapkan recehan lebih banyak. Aku sudah makan sebelum Dzul datang. Kami hanya pesan wedang ronde menemani udara malam Yogjakarta.
“Kamu bilang, ada yang ingin disampaikan. Apa?” aku langsung saja menanyakannya tidak perlu basa basi.
Dzul memberikan mangkok wedang rondenya ke pedagangnya. Dia mengajakku ke tempat lainnya. Ada sebuah coffee shop di seberang jalan. Aku mengerti Dzul mencari tempat yang lebih nyaman untuk berbicara. Kami sudah duduk di salah satu sudut dekat jendela. Dzul menatapku. “Aku harap kita bisa kembali bersama seperti dulu Yu.”
Aku ingin marah mendengarnya. Lima tahun aku coba melupakan lelaki ini. Tahun pertama yang kulalui berat tanpanya. Aku terus bertanya kenapa dia tidak datang di hari yang kami janjikan? Kenapa dia pergi dan menghilang? Aku pernah sangat membenci Dzul, tapi pada akhirnya rasa benci itu hanya menyakiti diriku sendiri. Berdamai dengan rasa sakit hati membawaku kembali bangkit. Sekarang dia tiba-tiba ingin aku kembali bersamanya. Lelucon apa ini?
“Yu, aku ingin ngejelasin sesuatu. Di hari aku mutusin untuk tidak datang. Bukan karena aku tidak mau. Di hari ini juga perasaan aku masih sama untuk kamu. Aku masih cinta kamu Yu. Aku rindu sekali dengan kamu,” Dzul memegang tanganku erat.
Tidak nyaman. Sudah aku lupakan harapan untuk bersamanya dulu. Di mataku dia adalah Dzul yang berbeda
“Bapakmu datang menemuiku. Dia sangat marah mengetahui hubungan kita. Bapakmu tidak setuju aku denganmu Yu,” Dzul coba memberi penjelasan kejadian lima tahun lalu.
“Lalu kamu menyerah karena bapak tidak setuju?” mudah sekali baginya dia memilih pergi karena bapak yang melarang hubungan kami.
“Tidak. Hari itu bapakmu memberiku persyaratan. Dia ingin merasa nyaman memberikan anaknya ke orang yang tepat. Dia ingin aku membuktikan kesuksesanku. Setelah itu, dia baru akan menyetujuinya. Syaratnya aku harus menjauhimu terlebih dahulu,” aku kaget dengan apa yang dijelaskan Dzul. Aku juga masih tidak terima untuk sikapnya.
“Maafkan aku mengambil keputusan sendiri tanpa mendiskusikannya padamu saat itu. Aku tidak bisa berbuat nekat membawamu pergi bersamaku ke Jakarta. Itu malah jadi keputusan yang egois. Harus aku akui. Aku bahkan tidak mampu mencukupi kebutuhan diriku sendiri dulu. Aku tidak ingin menyusahkanmu karena kebodohanku. Setahun yang lalu, aku kembali ke Yogja. Aku mendatangi rumahmu, tapi kamu dan keluargamu sudah pindah ke Bandung. Aku mencari tahu alamatmu. Aku terus mencari tahu kamu ada dimana. Dua minggu yang lalu, naskah film ini datang padaku. Aku melihat namamu tertulis di sana. Benar ternyata kamu. Aku menerima peran ini karena ingin bertemu denganmu.”
Apa yang baru saja aku dengar membuatku bingung. Hatiku sakit. Aku ingin marah padanya, tapi lebih ingin marah pada diriku sendiri. Aku belum bisa memaafkannya, tapi aku ingin sekali memeluknya. Aku juga merindukanmu selama ini. Dzul masih mencintaiku. Hari ini dia datang untukku.
Aku kenal Dzul dari SMA, tapi kami baru memulai hubungan saat kuliah. Hubunganku dan Dzul semasa kuliah memang tidak berjalan lancar. Bapakku tidak menyetujui hubungan kami. Bapak meragukan latar belakang Dzul yang seorang anak penjual Bakpao keliling. Pendidikan Dzul di Jurusan Seni juga Bapak tidak suka. Selain itu, Bapak menginginkan aku menikahi lelaki Jawa tulen. Dzul keturunan Chinese muslim. Bapaknya berdarah Chinese, tapi Ibunya asli Semarang.
Bersama Dzul aku menjadi diri sendiri. Aku tertawa lepas. Ruang dihatiku terisi hangat kepeduliannya. Aku jatuh cinta dengan Dzul karena hatinya baru parasnya. Dia bukan pembual dengan janji-janji manis. Dzul dengan kejujurannya mampu menenangkan hatiku.
Bapak keras bukan hanya terhadap Dzul yang anak orang lain. Bapak lebih keras ke anaknya sendiri. Aku. Semua harus berjalan sesuai keinginannya. Aku kuliah di jurusan Arsitektur bukan karena keinginanku. Aku suka menulis, tapi Bapak tidak suka dengan minatku. Di hari ini, hubunganku dengan Bapak juga tidak baik. Aku pergi dari rumah setelah diterima menjadi penulis di salah satu rumah produksi. Sesekali aku pulang menemui Ibu, tapi Bapak tidak pernah menegurku. Aku sadar aku belum bisa membanggakan Bapak lewat keputusanku. Setelah mendengar apa yang ingin diungkapkannya, aku semakin ragu untuk membawa Dzul ke rumah.
Sejak hari itu kami semakin sering menghabiskan waktu bersama. Berada di Yogjakarta seperti mengenang apa yang pernah kami lalui dulu.
Satu hari saat break syuting, Dzul mendatangiku. Dia menanyakan jawabanku untuknya. Sepucuk surat. Aku berikan padanya. Di dalamnya ada jawaban isi hatiku. Aku sudah yakin keputusan ini tepat.
"Pintuku sudah terbuka untukmu sejak lama. Aku hanya menutupnya sesaat, tanpa menguncinya. Jika kamu kembali, temukan hatiku untukmu. Isinya masih sama. Aku masih mencintaimu. Jangan ulangi pergi tanpa pamit dan memberitahuku kapan akan kembali." –Dayu-
Syukurlah syuting berjalan lancar. Di luar ekspektasiku, Sutradara tidak mencari masalah denganku. Waktunya tersita oleh artis skandal. Beberapa hari lagi, kami semua akan kembali ke Jakarta setelah sebulan lamanya di Yogjakarta.
Dzul mengajakku mengunjungi keluarganya sebelum pulang. Sudah waktu yang tepatkah aku bertemu keluarganya? Tapi bagaimanapun aku sudah bulatkan tekat berjuang bersamanya. Di luar dugaan. Kehangatan aku terima dari keluarga ini. Orangtuanya menyambutku dengan baik. Mereka malah meninta kami untuk segera menikah.
Kendalanya ada pada Bapak. Hubunganku saja belum membaik dengannya, apalagi aku pulang dengan membawa Dzul untuk meminta restunya. Tapi Dzul terus meyakinkanku menghadapinya bersama.
Di hari terakhir syuting, aku belum menemukan keberadaan Dzul. Tidak ada di ruang make up, tidak ada di tempat biasa dia menghafal naskah, atau dalam lokasi rumah tempat syuting.
“Cari sopo toh Mba e?” tanya Pak Joko.
“Dzul pak, Lihat ndak?” tanyaku.
“Ohhh Mas Ganteng. Ada di taman belakang sama Pak Han,” aku mengikuti info Pak Joko ke taman belakang.
Mereka tidak menyadari kehadiranku. Apa yang aku lihat bukan suatu pertanda baik. Dzul dan Manager Han sedang bertengkar. Dari tempatku berdiri aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Tapi, aku punya firasat buruk soal ini. Aku punya satu dugaan penyebab mereka bertengkar.
Sore harinya saat Dzul menyelesaikan adegan terakhir. Manager Han mendatagiku. Dia sepertinya mengerti, aku mengetahui maksud kedatangannya.
“Jadi bener nih gossip yang aku denger tentang kamu dan Dzul?” tanya Manager Han.
Aku hanya mengangguk setuju.
“Aku benci diriku sendiri harus bilang ini ke kamu. Kamu nih koncoku di Industri ini. Maafin aku Yu harus egois seperti ini. Tolong dimengerti kondisinya. Aku tidak bisa menutup mata tentang apa yang sedang terjadi di artisku. Tahun ini adalah tahun yang cemerlang untuk Dzul. Dia berkembang dengan cepat. Semua produser memperebutkannya. Namanya sudah disejajarkan dengan aktor papan atas. Berita kamu dengannya baru menyebar di lokasi syuting, tidak lama lagi akan terendus media. Jujur saja belakangan ini aku menahan semua pemberitaan mengenai kamu dengan Dzul. Beberapa kontrak yang akan diberikan ke Dzul mulai dipertimbangkan untuk diberikan ke aktor lain. Yu kamu mengerti maksudku kan?” Manager Han tidak berani menatapku.
“Aku paham Pakde. Sebelum kami memutuskan kembali bersama, Konsekuensi ini akan terjadi. Aku hanya tidak memikirkannya sejauh ini. Aku lupa dampaknya bisa besar bagi karir Dzul. Aku yang egois Pakde. Aku sudah empat tahun di industri ini. Seharusnya aku sudah mulai paham.”
Cintaku sudah datang kembali. Aku pikir semuanya akan kembali membaik. Kebersamaan dengannya seperti sudah di ujung mata. Nyatanya tidak semudah itu. Bukan hanya Bapak kendalanya. Bertambah lagi.
Seminggu sebelum gala premier film, aku mengajukan surat resign. Aku mundur dari project film selanjutnya. Jadi, film yang Dzul bintangi adalah project terakhirku di rumah produksi ini.
Dibalik keputusanku untuk menyelamatkan reputasi Dzul, aku memang ingin mencari rumah produksi lain dengan harapan yang lebih baik. Kemarin aku masih bertemu Dzul untuk terakhir kalinya sebelum aku mengiriminya pesan singkat, aku ingin menjauh dulu darinya. Aku bilang aku ingin sendiri. Dzul tentunya tidak terima. Dia langsung mencoba meneleponku, tapi tidak bisa. Aku sudah mematikan Hp. Aku juga mengganti nomer.
Mungkin jalannya memang belum ada. Jalan untuk kami bersatu. Dalam hati aku memupuk harap yang besar, kelak semesta akan mengijinkan kami bersama.
..............................................
Enam Bulan Kemudian………
Kantor publishing. Aku datang ke sana membicarakn novelku yang sebentar lagi launching. Setelah resign, aku memutuskan ke Bali. Di sana aku masih menulis. Aku kembali menulis novel. Salah satu publishing tertarik menerbitkannya. Lokasi kantornya ada di Yogjakarta. Aku pikir sekalian pulang kampung ke rumah Mbah Putri.
Rumah tua semi permanen yang masih kokoh berdiri lebih kokoh dari bangunan baru di sebelahnya. Mbah Putri mengenaliku walau ingatannya tidak sebagus dulu. Aku memeluknya rindu sekali. Udara Bantul masih asri. Belakang rumah Mbah masih ada kolam ikan dan pemandangan persawahan. Delman-delman punya Mbah Putri juga masih terawat. Mobil antik peninggalan Eyang Kakung terparkir di garasi depan. Suara bebek masih bisa terdengar berenang di atas kolam ikan. Liburan terbaik yang aku punya adalah pulang ke rumah Mbah.
Aku terbangun dengan kondisi prima. Tidurku nyenyak. Udara yang ku hirup bersih. Mbah Putri datang ke kamarku membawakan teh manis hangat.
“Kok repot-repot sih Mbah. Wis biar aku saja yang buat,” kataku.
“Ada tamu. Mbah ke kamarmu sekalian mau kasih tau toh.”
Pagi-pagi sekali. Siapa yang sudah bertamu. Tamuku lagi yang datang ke rumah Mbah. Darimana tahu aku di sini.
Aku hampir menjatuhkan gelas teh yang kupegang. Sosok yang berdiri membuat lututku lemas. Dia pemandangan indah di pagi hariku. “Dzul…”
Sambil berjalan-jalan pagi, aku bicara dengan Dzul. Kehadirannya tidak terpikirkan olehku, apalagi di rumah Mbah. “Gimana kamu bisa tahu aku di sini?”
“Aku sebetulnya ingin marah sekali sama kamu. Begini toh rasanya ditinggal. Enam bulan saja rasanya aku sudah hampir gila,” keluhnya belum menjawab pertanyaanku.
“Baguslah kamu paham. Bagaimana aku lima tahun,” aku juga tidak mau kalah ikut mengeluh ke Dzul. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” aku mengingatkannya.
“Waktu kita syuting di Yogja, kamu bilang ingin sekali berlibur ke rumah Mbah di Bantul. Aku cari tahu ke teman-temanmu di Jakarta. Syukurlah ada salah satu yang mengetahui alamat rumah Mbah kamu. Aku ke sini lima bulan yang lalu. Tapi kamu tidak ada dan Mbah juga tidak tahu kamu dimana. Aku kasih nomer Hpku ke Mbah. Aku sudah menceritakan tetang kita. Syukurlah Mbah mau membantuku memberitahukan kalau kamu datang ke rumahnya suatu waktu.”
Begitu ceritanya. Pantas saja sehari setelah aku sampai dia bisa ada di sini. Aku masih diam berjalan di sampingnya tidak tahu harus membahas dari mana.
“Ada yang ingin bicara dengan kamu, tapi dia tidak bisa ikut,” Dzul memberikan Hp-nya ke aku.
Ada panggilan masuk dari Manager Han. Aku mengangkatnya. “Hallo Dayu..hallo..,” suara Manager Han terdengar.
“Iya Pakde ini aku,” sahutku.
“Syukurlah Dzul bisa menemukan kamu. Kalau tidak aku terus merasa bersalah. Dayu maafin aku yo.., maaf sekali. Aku tidak bermaksud membuat kalian terpisah. Dayu, artisku itu cinta mati sama kamu. Sandy Aulia saja tidak dipedulikannya. Dayu..kamu harus kembali percaya dengan hubungan kalian. Kami mampu membantu mengatasnya. Tidak perlu khawatir. Aku salah sudah meragukan kemampuan artisku sendiri. Aku takut hubungan pribadinya menghambat perkembangan karirnya. Aku sudah tidak bertindak manusiawi. Malu aku sama kamu. Maafin yo,” Manager Han begitu menyesali sikapnya enam bulan lalu.
“Maafin aku juga udah nyusahin Pakde. Terimakasih bantuannya,” kataku.
“Tidak. Sudah seharusnya aku membantu bukan sebaliknya.”
Perbincanganku dengan Manager Han di telepon berakhir. Dzul di sampingku menunggu responku selanjutnya. Peluk. Aku memeluknya erat. “Aku mau sama-sama kamu terus,” kataku.
“Menikah saja denganku kalau begitu,” katanya menawarkan.
“Bapakku bagaimana?” aku ingat kendala lainnya.
“Aku tidak mau menyerah. Pantang mundur. Asalkan kamu juga mendukung aku,” katanya memelukku juga dengan erat.
Aku melepaskan diri dari pelukan. Tangan aku ulurkan untuk saling berjabat. Tanda saling setuju. Dzul menerima jabatan tanganku. Badannya mendekatiku. Dia mencium keningku. Untunglah jalanan sepi setelah kami menyadarinya kami masih berada di pinggir jalan. Hanya ada dedaunan terjatuh dari tangkainya.