Desa Sochi masih sama seperti dulu. Hamparan kebun dengan bunga berwarna-warni yang menghiasi jalan masuk ke desa. Udara beraroma manis memenuhi indera penciumannya.
Tetesan air membasahi jemari lentiknya yang membelai ilalang. Sinar matahari masih tampak malu-malu untuk bersinar. Cahaya berkilauan terpantul di atas daun-daun.
Gadis itu memejamkan matanya. Kenangan masa lalu mulai merembes ke dalam jiwanya. Sebuah gerobak berderak melewatinya. Dia mengeratkan kerudungnya dan menutupi sebagian wajahnya.
Sebuah rumah tua yang beralih fungsi sebagai gudang desa berdiri di hadapannya. Gadis itu membuka kerudungnya sebatas leher.
Kayu-kayu dan barang-barang tak berguna menumpuk di sudut-sudut rumah. Ada bekas gosong di beberapa pojokan. Pondasi yang dulunya tembok telah hancur. Ingatannya kembali ke saat itu.
**
Mata heterokrom gadis berusia tujuh tahun itu menatap langit-langit yang berupa jerami. Jendela kecil terbuka di kamar berukuran kecil itu. Sebuah ketukan menyadarkannya. Dia berlari membuka pintu dan mendapati seorang bocah laki-laki yang lebih tinggi darinya berdiri di depan pintu.
"Jiyu, bagaimana lukamu?" Bocah laki-laki itu mengangkat dagu gadis kecil itu untuk melihat luka-luka yang memenuhi wajahnya. Pipinya yang terluka itu mengembang.
Gadis itu menggeleng. "Tidak apa-apa. Ini sudah hampir sembuh. Ibu memberiku obat tadi."
"Bagus. Sekarang, pergilah keluar. Kakak akan mengajakmu jalan-jalan."
"Benarkah?" Seruan gembira gadis itu memenuhi ruangan. Dia segera berlari keluar sementara kakaknya hanya tersenyum.
Gadis kecil itu berdiri di bawah pohon persik berhias cahaya matahari yang bersinar sangat terik. Dia mengangkat wajahnya dan memergoki seorang wanita tengah mengalihkan tatapannya dengan pura-pura sibuk memilah-milah akar ginseng kering dan memasukkannya ke keranjang lainnya.
Jiyu menunduk, menendang-nendang batuan kecil. Wanita itu adalah seorang prempuan yang dia panggil ibu. Namun, sepertinya fungsi panggilan hanyalah sebuah panggilan belaka. Nyatanya wanita itu tidak benar-benar berperilaku seperti seorang ibu.
Ketika Jiyu pulang dalam keadaan babak belur, perempuan itu hanya terdiam sambil berusaha keras tidak melihatnya. Ibunya tidak peduli dengan apa pun yang dilakukan bocah perempuan itu.
Walau tadi Jiyu bilang pada kakak kalau ibu yang sudah mengobati lukanya, tetapi itu hanyalah sebuah kebohongan. Dia tidak ingin membuat bocah laki-laki itu khawatir. Gadis kecil itu meracik sendiri obat dan mengobati dirinya.
Kakaknya muncul dengan senyuman lebar membuat gadis kecil itu juga ikut tersenyum. Ibunya melirik sekilas ke arah mereka. Bahkan bagi gadis berusia tujuh tahun pun, dia sadar bahwa dirinya tidak disukai.
Mereka berjalan menyusuri jalan berdebu. Musim panas baru saja tiba tetapi rasanya seperti panas berkepanjangan. Si bocah laki-laki menutupi kepala gadis itu dengan sebuah kain penutup kepala.
Kakaknya begitu melindunginya. Dia bahkan mendapatkan kain penutup kepala yang hanya dimiliki keluarga bangsawan.
Gadis itu meyakini bahwa segala kebaikan dunia berada dalam diri kakaknya. Baginya, orang yang selalu ada di sampingnya hanyalah si bocah laki-laki yang dia panggil dengan sebutan kakak.
**
"Apa kabarmu, kak?" Suaranya terbawa angin. Pohon persik di dekat pintu masuk sudah mati. Gadis itu mendongak. Sudah lama dia tidak bertemu kakaknya. "Semoga kau tetap bahagia."
Gadis itu berbalik sambil menahan air mata yang menumpuk di sudut matanya agar tidak terjatuh. Dia kembali menaikkan kerudungnya dan berjalan meninggalkan tempat itu. Ingatan hangat tentang kakaknya dibiarkan tersimpan di sana. Mungkin untuk beberapa tahun ke depan jika tempat itu masih bisa bertahan.
Gadis itu melangkah ke Barat meninggakan desa Sochi. Dia mendaki bukit menuju ke hutan. Awan gelap menggelayut di atas sana. Perasaannya menjadi tidak enak. Seperti pertanda akan ada sesuatu yang mengusiknya.
-----
Perkataan Hong semalam membuat kepala Heo hampir pecah. Matanya pedih karena terus terjaga selama sepertiga malam. Tawaran saudara tirinya itu tidak main-main. Dia bisa mendapatkan kebebasan ibunya dengan mudah setelah mendapatkan apa yang diinginkan kakaknya.
Namun, apakah benda itu benar-benar ada?
Semalaman Heo berusaha memikirkan alasan kuat yang membuktikan kalau benda berupa kalung dari seekor rubah besar itu adalah nyata. Ketika pagi menjelang, dia sudah sangat yakin dengan tekadnya. Pemuda itu bahkan tidak lagi memikirkan kemungkinan kakaknya tengah mempermainkannya.
Sebelum matahari semakin naik, pemuda itu sudah bergegas pergi. Hong mengintip dari balik gubuk bersama teman-temannya. Dia menertawakan tekad kuat saudaranya itu. Tidak menyangka kalau adiknya itu benar-benar akan pergi. Rupanya keinginan Heo sangat serius untuk membebaskan ibunya dari perbudakan.
Heo memacu kudanya melewati batas ibukota. Dia mengarahkan kudanya ke arah Barat memasuki desa Sochi. Pemuda itu tidak menurunkan kecepatannya ketika berpapasan dengan rombongan pedagang. Tujuannya hanya satu. Ke hutan.
Langkah kaki kuda berderap di tanah lembab berlapis lumut. Pohon-pohon ek berdiri acak di sepanjang jalan. Daun-daun yang rimbun menghalangi cahaya matahari. Apalagi ditambah dengan awan mendung yang beriringan di atas sana. Kegelapan semakin terasa mencekam.
Pemuda itu menghentikan laju kudanya ketika melihat sebuah pondok bobrok. Atap jerami yang koyak di sana sini dengan sebuah lubang menganga yang terlihat seperti pintu. Dia turun dari hewan meringkik itu dan menuntunnya mendekati rumah.
Bau apak menguar. Sebuah pondok yang tidak layak disebut rumah itu begitu memprihatinkan. Meja lapuk berdiri di tengah ruangan. Di belakangnya terdapat lubang kotak sebagai ventilasi. Di lantai terdapat kursi rusak yang seperti habis diinjak-injak kuda. Apalagi ditambah dengan sarang laba-laba yang menggantung memenuhi atap.
Pemuda itu keluar, tidak tahan dengan bau rumah bobrok itu. Dia mengikatkan tali kudanya ke salah satu pilar pondok yang masih utuh. Kemudian, berjalan ke bagian belakang. Mungkin saja, si rubah bersembunyi di sana.
---
Matanya langsung terbuka lebar begitu mendengar suara berderak yang aneh. Tubuhnya tegap dan bersiap dengan apa pun yang akan keluar. Dia menyandarkan tubuhnya ke batang pohon tempatnya beristirahat. Rok panjangnya menggantung di antara dahan yang didudukinya. Jiyu menunduk menatap ke suatu arah.
Seorang pria muncul dari balik pohon. Aksesori topinya berayun tertiup angin. Mata hijaunya terlihat mengawasi sekitar. Pedang juga tidak lepas dari tangannya. Jiyu mendesah. Pemuda itu masih keras kepala dan bahkan sekarang sudah menemukan tempat persembunyiannya.
"Dia begitu ingin menangkapku, ya?" gumam Jiyu kesal sembari melepas pita pengikat pakaian bagian atasnya itu. Seringaian muncul di sudut bibirnya. "Kalau begitu, akan kubuat kau jera sampai tidak berani datang lagi!"
Jiyu berdiri di dahan pohon dengan tubuh telanjang. Pakaiannya menggantung di dahan lainnya. Gadis itu melompat bersamaan dengan munculnya empat kaki berbulu.
Wajah manusianya berubah menjadi moncong rubah bertaring. Rambut hitamnya menghilang berganti dengan bulu warna oranye. Sebuah ekor panjang mengibas-ngibas dengan bebas di belakang tubuhnya.
Keempat cakar berbulu mendarat sempurna di tanah. Suara-suara kecil tertangkap gendang telinganya. Hewan itu berbalik dan melangkah ke suatu arah. Diam-diam menyelinap di antara pohon ek. Mata merahnya mengamati seorang pemuda yang bergumam-gumam sambil menebas ilalang.
Ketika pemuda itu nampak tidak waspada, dia melompat menerjang pemuda itu. Kibasan pedang menebas kumis hewan itu. Mata merahnya melotot marah. Heo yang semula ketakutan menjadi tersenyum lebar. Tidak menyangka bahwa cerita yang keluar dari mulut hong adalah nyata.
"Wah, benar-benar ada," ucapnya sembari melirik ke sebuah benda berkilat yang menggantung di leher rubah sebesar kambing itu.
Jiyu menggeram. Dia harus melukai tubuh pemuda itu untuk membuatnya jera. Mungkin sedikit koyakan di lengan bisa menghentikan niatnya. Sudut bibir rubah itu terangkat. Dia senang dengan gagasannya.
Empat kaki Jiyu melompat untuk menerjang Heo lagi. Namun, pusaran angin menghempaskannya. Tanpa berhenti di situ, angin mengelilinginya dan menyayat-nyayat tubuhnya. Jiyu bertahan sementara pemuda itu berjalan mendekat.
Angin menghilang. Jiyu menggeram. Dia bersiap menerjang lagi tetapi tangan pemuda itu langsung menyambar kalung yang menggantung di leher si rubah dan memutus talinya menggunakan pedang.
Amarah menyembur sampai ke ubun-ubunnya. Tidak terpikirkan kalau pemuda itu mengincar kalungnya. Sebelum Heo berguling menyingkir, cakar dari kaki depannya menancap di lengan pemuda itu. Pedang yang dipegangnya terjatuh diiringi teriakan kesakitan.
Cakar yang lain juga berusaha maju untuk merebut kembali kalungnya. Namun, angin kencang mementalkan tubuh hewannya ke belakang. Kaki belakangnya terkilir. Mata merahnya melotot memandangi Heo yang berlari menghilang di balik pohon ek.
---
Guntur menggelegar dengan hebatnya. Hujan deras mengguyur di luar sana. Angin dingin menusuk tulang menyusup melalui jendela yang terbuka lebar. Heo membalut luka di lengannya sambil meringis-ringis. Dia mendapatkan luka baru padahal luka di punggungnya masih belum sembuh.
Tiba-tiba sekelebat bayangan masuk melalui jendela kamarnya yang dibiarkan terbuka. Pemuda itu terjengkang dengan sesuatu menindih tubuhnya. Mata merah yang terlihat marah dengan bulu oranye yang kotor dan basah berada di atasnya.
Cakar hewan itu berada tepat di dadanya seolah bersiap mencabut jantungnya. Napasnya tercekat. Hewan di atas tubuhnya adalah si rubah.
Mata hijau pemuda itu melebar. Pupilnya bergerak-gerak. Dua cakar dari kaki depan hewan itu mendadak berubah menjadi sepasang tangan putih nan mulus dan diikuti dengan perubahan menyeluruh.
Rubah itu berubah sepenuhnya menjadi seorang perempuan cantik bermata heterokrom yang telanjang.
Sebagai laki-laki harusnya dia merasa senang karena ada seorang perempuan yang dengan sukarela menindihnya.
Namun, tatapan mata yang seakan ingin membunuh itu menciutkan nyalinya. Dia bahkan tidak berani tergoda untuk melirik bagian dada perempuan itu.
"Di mana kalungnya?" Nada suaranya terdengar marah. "Beraninya kau mencuri barang milikku!"
Mulutnya bergetar. Sepatah kata pun tidak bisa keluar. Heo mematung di tempat. Dia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa hewan bisa berubah menjadi manusia atau malah manusia berubah menjadi hewan. Pemuda itu menelan ludahnya. Di bawah cahaya lentera, wajah perempuan itu begitu menakutkan.
"Kau menjualnya?"
Pemuda itu langsung menggeleng panik. Bibirnya masih terkunci. Kemudian terdengar tawa menggelegar di balik suara hujan deras yang mengguyur. Jiyu menoleh. Rasanya dia tahu pemilik tawa itu.
"Hong?"
"Ja ... Jangan! Aku yang bersalah ... Akan kukembalikan besok. Janji. Kumohon." Akhirnya suaranya berhasil keluar.
Seketika tubuh telanjang perempuan itu kembali berubah menjadi rubah bercakar tajam. Dia tidak mau mendengar alasan apa pun. Geraman amarah terdengar. Rubah itu melompat menjebol pintu kayu dan berlari menuju sebuah kamar yang dipenuhi suara tawa.
Hong berputar-putar di tengah ruangan sembari mengangkat kalung kristal berwarna biru bening. Jiyu kembali menjebol pintu kamar dan langsung menerjang pemuda itu. Cakarnya mengoyak leher Hong sementara gigi runcingnya menggigit benda yang dicari.
Heo berdiri gemetaran di depan kamar saudaranya. Jiyu menoleh dengan tatapan galak. Hong memegangi lehernya yang mengeluarkan darah. Napasnya tersendat-sendat.
Beberapa penjaga berlarian mendekat. Mereka melemparkan angin untuk menyayat tubuh hewan itu. Si rubah menggeram. Luapan energi yang begitu hebat melindungi tubuhnya dari serangan para penjaga.
Kibasan ekornya melemparkan kembali angin yang mereka lontarkan. Heo merunduk. Beberapa orang terluka. Mata merah rubah itu masih terlihat nyalang. Kemudian, Jiyu melompat menembus jendela kamar Hong yang tertutup dan menghilang di bawah guyuran hujan.
.
.
.
Tbc
Ceritanya keren. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' ://tinlit.com/story_info/3644 jangan lupa like. makasih :)
Comment on chapter Bab 1 - Penginapan Gyesi