15. OBJEK TAK TERLIHAT
Mumpung hatiku lagi senang aku bergegas pergi kemanapun kakiku ingin melangkah dan sepertinya aku megingkan secangkir kopi hangat untuk menenangkan ingatanku. Aku menghampiri kedai kopi ala jaman dulu. Sangat klasik dan berasa aku seperti none zaman belanda. Karena tidak ada yang menemaniku aku hanya cukup membawa buku dan handphone untuk menemani kebosananku. Kedai ini sebenarnya tidak terlalu jauh dengan toko Rosella tapi aku malaslah untuk berkunjung ketempatnya. Yang penting keadaan tokonya biasanya saja dan mudah-mudahan tidak ada keributan untuk kesekian kalinya entah apapun alasan.
Aku mencari tempat duduk dipojokan agar ku bisa sedikit tenang membaca buku dan bisa leluasa melihat keadaan di kedai ini. Sayang sekali tidak ada pojokkan yang kosong disini semuanya sudah terisi penuh. Tapi aku tersenyum kembali karena disemua pojokkan ternyata ada pojokkan yang bisa aku duduki. Kejadian yang sungguh langka akau melihat sosok itu ditempat ini, jarang sekali aku melihatnya meminum kopi, biasanya dia sok imut ditempat manapun yang ia cari susu putih selain air mineral. Untuk pertama kalinya aku melihatnya mengopi. Asyik target empuk. Aku menghampiri sosok yang sudah ku kenal berada dipojokkan.
“Hey…” ucapku dengan bahagia. “Tidak biasanya kau minum kopi”
“Siapa yang minum kopi. Aku minum susu putih” katanya.
“Apa?” aku melongok ke dalam gelasnya dan benar saja gelas dan airnya sama-sama putih.
“Ada apa denganmu Timmo?” ucapku agak aneh melihatnya.
Timmo yang tepat berada dipojokkan alias sudut kedai ini langsung pindah bertukar tempat denganku dan posisiku kini tepat dipojok seperti yang kuinginkan namun pandanganku terhalang oleh tubuh Timmo yang menghadap kearahku.
“Kau menangis?” aku sedikit terkejut melihat wajahnya yang seperti ini, bahkan tidak pernah sekalipun selama aku mengenalnya,dia menggeluarkan air mata, jika itu air liur justru tidak aneh bagiku. Kalau aku yang menangis justru tidak aneh, cengeng saja lewat. “Ada apa denganmu Timmo?”
Aku tidak henti-hentinya menanyakan hal itu pada Timmo. Timmo yang ku kenal bukanlah Timmo yang sekarang ada dihadapanku. Ia sangat lemah dan lusuh berbeda dengan Timmo yang selama ini berteman denganku. Meeki setiap kali ada masalah ia sering menghilang, Yang aku tahu selama ini Timmo tidak pernah sekalipun mendapat masalah berat seperti sekarang ini. Ia akan selalu bersembunyi sampai tidak terdengar dan jejaknya terhapus ketika masalah menimpanya. Hari ini sungguh jelas berbeda, mungkin karena aku memergokinya secara langsung, berbeda jika aku bertanya kepadanya setiap kali ada masalah pasti tidak akan dijawab, yang ada hanyalah tatapan misterius dan tingkah konyolnya.
Ia menunduk dan menangis tersedu-sedu dan membuatku terasuki oleh tangisannya. Karenanya air mataku juga tidak bisa kutahan, meski aku belum mengetahui masalahnya. Aku ikut menangis dihadapannya.
“Maafkan aku Qi. Karena aku kau menjadi seperti ini” ucapya menangis dengan sedikit senyuman melihatku.
“Kau tidak perlu minta maaf. Menangislah sepuasnya sampai kau merasa tenang” ucapku padanya.
“Jujur saja sebagai serang lelaki aku merasa malu untuk menangis apalagi dihadapan wanita dan ditempat umum” ucapnya masih tersenyum.
Benar juga. Kalau begini kejadiannya aku seperti sudah menyakiti Timmo. Aku berharap tidak orang yang menilai aneh- aneh kepadaku karena hal ini.
“Kau tidak perlu malu. Kau menangis karena kau sendiri yang merasakan rasa sakit itu” kataku.
Mendengar ucapanku Timmo menundukkan kepala dan kembali menangis. Aku tidak peduli jika seorang disekitar memperhatikan kita bak drama queen and king. Aku juga tidak bisa membendung air mata ini. Akhirnya dimeja ini dan ditempat ini kami menangis bersama-sama. Lucu memang Karena itu juga yang kupikir tapi jika Timmo sampai menangis berarti ia merasakan rasa sakit yang sulit ia tahan lagi.
Setelah merasa tenang Timmo mengangkat kepalanya dan sejenak ia menatapku dalam. Aku hanya membalas pandangannya tanpa memikirkan apapun, otakku kosong tidak bisa memikirkan apapun, yang ada hanya ingin tahu alasan Timmo sampai seperti ini, bahkan tujuan awalku kesini sudah aku lupakan sekaligus dengan olaku
“Terkadang aku tertawa memikirkan masalahku ini. Aku merasa lemah tapi terkadang hal itu membuatku kuat” ucapnya.
“Maksudmu?”
“Jujur aku merasa iri dengan keadaan orang lain. Aku melihat mereka berjalan dengan senang tanpa beban tidak seperti diriku. Langkahku sangat berat dari hari kehari. Bahkan terkadang aku sedang beristirahat beban ini masih terasa berat dipundakku” ucapnya.
“Apa yang sedang terjadi padamu?” aku semakin penasaran dengan masalahnya.
“Aku tahu iri itu salah tapi kenyatannya mereka bisa mendapatkan apapun yang mereka inginkan tanpa mereka harus susah payah sepertiku. Awalnya karena hal itu yang membuatku mantap dalam hati, “Jika orang lain bisa mengapa aku tidak” tapi kenyataannya itu sulit dilakukan. Kini aku merasa seperti orang yang kehilangan semuanya. Aku tidak sanggup berdiri dan hidup” jelasnya yang semakin membuatku berlinang air mata.
Aku tertawa kecil mendengar masalahnya, bukan karena aku mengejeknya tapi aku juga pernah mengalami masalah tersebut. Hal paling terpuruk dari semua keterpurukan sampai nasihat dan apapun itu tidak bisa kupikirkan baik-baik bahkan tidak bisa dicerna oleh otak ini. Apapun yang mereka katakan bagiku saat itu bukanlah nasihat tapi rasa iba kepadaku.
“Hahhah…” Timmo tertawa.
“Kau membuatku takut, kenapa kau sekarang tiba-tiba ketawa?”
“Lucu saja. Aku sering sekali memberikan kehidupan untuk orang lain lewat nasihatku tapi aku sendiri tidak bisa melakukan hal itu. Aku harusnya malu kepada mereka. Karena Hal itu membuatku malu untuk melakukan bunuh diri” Timmo menarik nafas.
“Kau pernah berpikiran untuk bunuh diri?” tanyaku terkejut untuk orang seperti Timmo
“Tidak. Bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah” ucapnya yang membuatku menggaruk kepala.
“Jadi kau merasa iri?” tanyaku lagi padanya.
“Anggap saja iri itu mewakili masalahku saat ini” Ucapnya.
“Aku pikir kau orang yang tidak memikirkan masalah” ucapku pelan.
“Tidak mungkin, semua orang pasti memiliki masalahnya. Masalahku ini sangatlah berat tetapi belum tentu untuk orang lain” ucapnya yang membuatku tidak mengerti.
“Tunggu! Kau sebenarnya sedang menyindirku atau menasehati dirimu sendiri” aku meminta penjelasan dari ucapan Timmo barusan yang sedikit membeset lukaku.
“Dua-duanya. Terima kasih Qirani, aku menjadi kuat kembali" ucap Timmo semangat.
Aku yang awalnya penuh derai air mata justru berakhir tragis. Aku yang prihatin akan masalahnya justru dibuat kesal karena ucapannya. meski begitu ia benar-benar terlihat kuat walau agak sedikit membuat kesal. Aku kehilangan peranku disini. Karena ulahnya aku melupakan semua tujuanku datang ketempat ini.
Aku merasa sepertinya sedang dibodohi olehnya. Aku yakin tadi menanyakan masalahnya tapi ia tidak menjawab dengan benar apa permasalahannya. Ia hanya bermain kata-kata dan menjebakku tapi mata dan hatiku yakin jika ia sedang ada masalah berat dan air matanya bukanlah gurauan. Jika sudah begini aku tidak mungkin bisa bertanya kepada timmo masalahnya. Ia sudah bangkit pasti yang ada ia akan mengelak untuk membicarakannya.
@yurriansan Iya memnag sedihhh... Aku menulis ni diatas rasa sakit hatiku π... Eaaaaa
Comment on chapter 03. HITAM DAN PUTIH