Read More >>"> Serpihan Hati (08. KANVAS PUTIH) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Serpihan Hati
MENU
About Us  

08. KANVAS PUTIH

Aku tergeletak dalam balutan selimut dan menatap langit-langit kamarku yang polos berwarna putih sedikit ku beri hiasan stiker glow in the dark dengan tema galaxy. Memang seperti anak kecil tapi itu membuat malamku lebih indah seperti aku tertidur dibawah langit ditemani ribuan bintang. Komet bahkan planet. Meski hanyalah tiruan tapi itu cukup menyenangkan dan menenangkan.

Hari ini adalah hari pertama aku libur kerja. Aku hanya tergeletak ditempat tidur. Tidak tahu ingin melakukan apa. Urat di Otakku sedari tadi tidak bergetar untuk berpikir. Akupun malas untuk pergi keluar rumah. Aku ingin mengunjungj Rosella tapi aku masih takut, takut bukan karena bertemu dengannya melainkan ucapan sebelumnya, kerumah teman kerjaku pasti mereka sedang mempersiapkan natal, ada juga yang pulang kampung bertemu sanak saudara, ada juga yang sibuk dengan keluarga kecil. Aku disini hanya bisa menggigit jempol kakiku.

Aku hanya disini seperti mahluk tidak terlihat. Aku hanya mematung meratapi nasib yang entah akan membawaku kemana. Aku seperti tidak ada kehidupan. Terkadang aku berpikir "Apakah hidupku akan selalu seperti ini?".

Tiba-tiba terbesit di otakku untuk membuka media sosial yang sudah lama sekali aku tinggalkan. "Buka ah" aku terbangun dari tempat tidurku langsung menuju komputer yang berada disamping tempat tidurku. "Tidak usahlah". Aku memegang mouse dengan pasti tapi aku langsung mengurungkan niatku untuk membuka komputer karena yang ada aku hanya akan marah, tapi jujur saja lebih banyak kesalnya ketimbang senangnya. Padahal dulu sampai rela tidak tidur semalanan hanya untuk bermain media sosial.  Sekarang jangankan untuk membukanya, mendengarnya saja aku tidak ingin lagi membukanya. Yang ada malah sikut-sikutan. Tapi... Kapan aku terakhir membukanya ya?  Aku pun tidak ingat lagi sepertinya sudah bertahun-tahun. Zaman sekarang Aku tidak perlu nonton tv atau medos lagi hanya untuk mengetahui hal apa yang sedang nge hits. Karena teman kantorku lebih update dari tv dan media sosial lainnya. Hiksss... Hikkss...

"Aduh... Anak gadis jam segini masih tidur" ibuku datang dengan wajah yang tidak karuan.

"Ya, apa yang harus aku lakukan lagi bu. Hari inikan libur?" ucapku sembari menutup tubuhku dengan selimut.

"Lalu... Memangnya kewajibanmu hanya bekerja di kantor?" wajah ibu terlihat semakin geram.

Aku hanya diam menatap dan mendengarkan ibu berceloteh.

"Kau ini perempuan. Bagaimana nanti jika kau menikah dan kau tidak bisa melakukan apapun untuk suamimu!" ucap ibu sembari membuka gorden kamarku.

Aku masih tergeletak pasrah diranjangku tapi bola mataku terus mengikuti kemanapun langkah ibu. "Kan ada pembantu rumah tangga bu?" ucapku pelan penuh keyakinan.

"Kau ini bisanya membantah saja. Hidup itu takkan selalu mengikuti keinginanmu. Kalau kau diberikan kelebihan mungkin bisa kau memperkejakannya, tapi bagaimana kalau tidak? Ibu tidak akan selamanya bisa membantumu dan bersamamu. Memangnya yang menikah dengan suamimu itu kau atau pembantumu?"

Aduh...  Ibu kalau lagi marah ya seperti ini. Panjangnya kebangetan. Memang benar apa yang dikatakan ibu. Tapi aku tidak terpikirkan untuk menikah saat ini. "Menikah" aku kembali teringat dengan kata itu. Aku teringat dengan ucapan Timmo yang dikejar ibunya untuk menikah. Agak miris mendengarnya. "tua" itulah yang diucapkannya. Timmo dikejar oleh ibunya karena dianggap ia sudah tua. Dan ibunya akan tenang jika ia sudah ada yang menjaganya. Jika Timmo yang berada dibawahku satu tahun disebut tua.  Bagaimana denganku apalagi aku seorang wanita. Apa aku sekarang sudah termasuk kategori perawan tua? Aku tidak bisa berpikir jernih mengenai hal ini.

"Cepat bangun! Bereskan kamar lalu bantu ibu membersihkan rumah! Kalau kau tidak bisa apa-apa lebih baik suamimu menikah saja dengan pembantumu. Kau hanya akan menjadikan rumahmu itu kandang jika kau tidak bisa melakukan apapun"

"Ibu... Ibu ini bicaranya tidak baik. ucapan ibu adalah doa. Bagaimana jika hal itu terjadi padaku?" aku langsung beranjak dan merapikan tempat tidurku.

"Kau tahu itu bukanlah perkataan baik.  Berarti kau itu sudah dewasa jika kau bisa membedakannya. Tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya hidup dalam kesusahan. Tapi bagaimanapun kehidupanmu,  kebahagiaanmu atau penderitaanmu itu adalah karna kau sendiri yang melakukannya. Tidak ada yang tahu apa yang yang akan terjadi. Sebelum semuanya terjadi lebih baik kau perbaiki dari sekarang. Karena tidak ada kata terlambat untuk menjadi yang lebih baik. Yang berlalu biarkanlah berlalu tapi jangan kau lupakan, gunakan itu untuk kau berkaca dalam dirimu dan merubah masa depanmu?"

Aku langsung terdiam mendengar ucapan ibu. Aku sudah tidak bisa berkata apapun lagi. Aku menyerah jika aku sedang berdebat dengan ibuku. Hari ini ibuku seperti musuh. Sepertinya liburan kali ini aku akan terus bertengkar jika tidak menuruti perintah ibu. Padahal baru kemarin ibuku seperti kakakku.

Aku semakin lunglai rasanya membereskan selimut terasa berat sekali. Aku duduk kembali menghela nafas panjang-panjang. Otakku benar-benar tidak bisa melihat bayangan apapun untuk kulakukan.

"Mau sampai kapan kau akan di tempat tidur terus. Kalau kau ingin seperti ini caranya”

Ibuku tiba-tiba menyelipkan kembali kepalanya di pintu kamarku.

"Apa maksud ibu?"

"Mulai saat ini. Ibu tidak akan lagi membereskan, mencuci, atau apapun itu yang berhubungan denganmu termasuk makan. Ibu tidak akan masak untukmu?"

Ibuku langsung pergi dengan penuh ancaman.  Sepertinya keputusan ibu sudah mutlak. Ibuku jahat sekali. Aku seperti bukan anak kandungnya saja. Aku sedih hampir setiap hari liburku dirumah pasti dimarahi ibu. Lengkap sudah penderitaanku. Aku harus meratapi nasib cintaku dan kini meratapi ibuku yang marah. Aduhhhh...

Aku kembali berpikir mengenai ucapan ibu Timmo tentang pernikahan. Ibu Timmo selalu menyuruh anaknya untuk cepat menikah. Menurutku seorang anak laki-laki tidak perlu terburu-buru untuk menikah apalagi Timmo masih berunur 24 tahunan. Tapi aku tidak mendengar sepatahkatapun dari mulut ibu atau ayah untuk menyuruhku agar cepat menikah. Perasaanku saja atau memang ibu tidak pernah sekalipun mengatakannya. Aku yakin ibu tidak pernah menyinggung hal itu.

Sembari merapihkan kamar, aku terus mengingat-ingat hal itu. Apakah karena aku terlalu memperjuangkan cinta lamaku, aku melupakan semuanya bahkan aku jadi tidak peka terhadap sekitar. Jangan-jangan benar, aku membuat sekitarku menjadi kesal karena ulahku. Memangnya aku seperti itu. Keluar kamarpun aku masih mencoba memikirkan hal itu,  tapi tetap saja otakku tidak sampai pada hal itu.

"Pantas ibumu marah-marah. Lihat jam di dinding" ucap ayah melihat kedatanganku.

"Ayah dan ibu sama saja" ketusku.

Aku pergi keluar mengarah kolam renang yang ada dibelakang rumahku. Aku menghirup udara segar setelah banyak menghirup udara gelap dari ibu. Dikolam renang siapapun itu pasti merasa tenang. Disini banyak tanaman hias dan tumbuhan lainnya yang dirawat baik oleh ayahku. Tempat ini bisa dibilang ruangan kerja ayahku yang kedua setiap libur atau jika ayah tidak ada kerjaan. Dalam balutan kaos oblong berwarna putih dan hotpans Aku menguap sembari menggeliat melenturkan dan meregangkan badanku yang seakan mengkerut dan lebih mengkerut lagi selepas kedatangan ibuku.

Burrrrrr...  Aaaaaaaa...

Aku berteriak terkejut karena seseorang tiba-tiba mendorongku dari belakang dan akhirnya aku berlabuh di kolam renang ini.

"Ayah...!" Aku marah karena ulah ayahku yang menjebloskan ku ke kolam ini.

"Kau kan belum mandi" ucap ayahku sembari merawat tanaman dengan tenangnya. “Disuruh kerja malah melanjutkan melamun disini”

"Siapa yang melamun ayah aku hanya meregangkan tubuhku sehabis tidur" ucapku sedikit teriak pada ayah.

“Meregangkan tubuh sehabis tidur apanya! Anak gadis bangun tidur jam 11 siang”

"Ayah dan ibu itu benar-benar sama saja"

"Apa bedanya denganmu? " ucap ayahku. "Beda darimana, kau kan perpaduan ayah dan ibumu"

“Kalau begitu siatku turun dari ayah atau ibu kan, bukan salahku”

Ayah menggelengkan kepala, “Anak Zaman sekarang dikasih nasihat malah menyalahkan orang tua”

“Oke siap ayah”

Aku menyunggingkan bibir mendengar perkataan ayah yang juga sulit di tepis. Ada saja yang dia katakan untuk membalas ucapanku. Aku yang terlanjur basah melanjutkan berenang di kolam ini. Sekalian karena aku juga belum mandi. Meski begitu aku tidak tahu ini mandi pagi atau siang karna jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11.30 Wib. Berapapun jamnya, judul hari ini aku belum mandi pagi.

Aku menikmati sekali cuaca hari ini begitu cerah pas sekali untuk renang di kolam ini melepas bau badan selepas tidur dan bercanda dengan matahari yang ingin menyengat kulitku dengan panasnya namun tidak mempan karena aku diselimuti oleh balutan air. Sungguh nyaman.

Aku terhenyak sekejap aku mendongakkan kepalaku ke atas langit. Memandang awan putih yang juga sedang balik memandangku. Aku masih penasaran dengan kabar Rosella yang tidak kunjung memberi kabar padaku. Aku ingin sekali menyentuhkan jariku pada layar handphoneku namun setiap jari ini mulai menyentuh satu huruf aku mengurungkan niatku. Entah mengapa setelah kejadian itu Aku masih belum berani untuk menyapanya bahkan menemuinya.

Tidak hanya kabar dari Rosella. Gio dan Timmopun tidak kunjung memberikan pesan padaku minimal untuk memberitahu keadaan Rosella. Aku menoleh kearah ayahku yang masih sibuk dengan tanamannya dan keberadaan ayahku mengganggu pikiranku. Aku berenang menuju ayahku yang juga sedang asyik mengoyangkan pinggulnya kekiri dan kekanan yang sedang menyiram, merapikan dan memotong tanaman itu.

"Ayah...  Apa ayah tidak bosan dan capek setiap hari selalu bermain dengan tanaman itu?" tanyaku penasaran sembari mengepakkan tanganku di kolam.

"Kau yakin ingin menanyakan hal itu?" tanya balik ayah.

"Apa maksud ayah? Mengapa balik bertanya padaku?" tanyaku kesal mendengar ucapan ayah.

“Justru ayah lelah ketika ayah terdiam sembari duduk melamunkan sesuatu yang tidak ada gunanya, yang ada ayah hanya bersedih” ucap ayahku membuatku membisu.

"Ayah ada benarnya. Diam tidak akan bisa mewujudkan apapun” ucapku bersandar di dinding kolam.

“Dan kauuu…”

Bbbrrrrr... Aku memeluk tubuhku dengan eratnya. Memaksa sang ayah untuk melihat ke arahku dan percaya jika aku memang kedinginan karena ulahnya yang menceburkanku dengan sengaja hanya karena aku belum mandi dan ini juga cara satu-satunya agar ayah tidak mengatakan hal itu lebih jauh. Tidak hanya ayah, aku juga juga takut jika ibu mendengar ucapan ayahku.

"Tidak anak tidak ibu sama saja"

Aku langsung menoleh ke arah ayaku yang terus mengatakan kalimat yang ku ucapkan. Ternyata ayahku juga tidak mau kalah denganku.

"Apa maksud ayah?" aku menguatkan urat diwajahku ketika aku mendengar sesuatu yang tidak enak didengar dari mulut ayah.

"Tidak ada maksud apapun" kata ayah santai sembari memangkas tanaman.

Aku berlenggok pergi meninggalkan ayah dengan wajah dilipat ratusan kali. Aku kesal mendengar kata-kata ayah yang selalu memutarbalikkan pertanyaan dan juga jawabanku. Aku yang bertanya seperti aku sendiri yang menjawabnya meski itu dari mulut ayahku.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • qarinajussap

    @yurriansan Iya memnag sedihhh... Aku menulis ni diatas rasa sakit hatiku πŸ˜†... Eaaaaa

    Comment on chapter 03. HITAM DAN PUTIH
  • yurriansan

    Qirani, Qarina? ahh ini cerita tentang kamu kah? agaknya ini sedih2 gtu ya, aku baca. sukses ya..
    mampir juga ke storyku yang baru ya..

    Comment on chapter 03. HITAM DAN PUTIH
  • qarinajussap

    Hahhhh... Masa πŸ˜… sebelumnya aku publish di sweekkk... Mirip banget yaaaaaa πŸ˜„

    Comment on chapter 01. DIA BAGAIKAN SEBUAH SENI
  • renicaryadi

    Kak ceritanya mirip sih hahaha.
    Btw good luck ya. Bahasanya puitis banget. Quote-worthy :)))

    Comment on chapter 01. DIA BAGAIKAN SEBUAH SENI
Similar Tags
Dibawah Langit Senja
1270      752     6     
Romance
Senja memang seenaknya pergi meninggalkan langit. Tapi kadang senja lupa, bahwa masih ada malam dengan bintang dan bulannya yang bisa memberi ketenangan dan keindahan pada langit. Begitu pula kau, yang seenaknya pergi seolah bisa merubah segalanya, padahal masih ada orang lain yang bisa melakukannya lebih darimu. Hari ini, kisahku akan dimulai.