Read More >>"> Serpihan Hati (06. CORETAN KUAS (2)) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Serpihan Hati
MENU
About Us  

06. CORETAN KUAS (2)

Selama ini Rosella memang tidak pernah sekalipun cerita tentang keluarganya. Setiap kali aku bertanya dia selalu mengatakan semua itu tidak penting untuk dibahas. Bukan tanpa alasan aku menanyakan hal itu dan bukan karena aku ingin tahu banyak tentang masalah keluarganya, tapi entah mengapa setiap kali aku membahas tentang kakaknya seakan-akan amarahnya langsung memuncak. Berbeda sekali ketika ia sedang bercanda atau berbincang dengan kakakku, mereka terlihat sangat dekat sekali, bahkan aku adiknya tidak sedekat itu. Aku cemburu, sudah pasti iya. Seingatku kakakku tidak pernah melakukan hal yang ia lakukan pada Rosella.

Kebetulan aku dan Rosella mempunyai seorang kakak lelaki dan keduanya juga telah menikah. Kakak Rosella sudah dianugrahi seorang anak perempuan yang lucu sedangkan kakakku dianugrahi seorang anak lelaki, bahkan umur mereka tidak jauh berbeda. Kakakku mendapatkan tugas diluar kota yang kebetulan tidak terlalu jauh dari rumah kakak iparku jadi mereka tinggal bersama dirumah orang tua kakak iparku. Sedangkan Rosella, kabar yang selalu kudengar darinya ia selalu saja bertengkar dengan kakaknya. Seumur hidupku mengenal Rosella masalah terbesar dan terberat sepertinya ketika ia berurusan dengan sang kakak. Entah apa yang membuatnya selalu bertengkar dengan kakaknya. Aku merasakan takut, sedih dan luka melihat pertengkaran Rosella dengan sang kakak. Aku tidak ingin diam tapi akupun tidak bisa berbuat apapun.

Amarah Rosella semakin memuncak dan tidak bisa dibendung lagi. Kata–katanya keluar begitu tidak enak didengar. Aku ingin melerai mereka dengan meminta bantuan Timmo dan Gio agar tidak terus berlarut dan berlanjut. Timmo dan Gio meminta pada sang kakak untuk pergi dari toko untuk mengendalikan keadaan, sedangkan aku terus menenangkan Rosella yang penuh dengan kemarahan.

“Dasar kau! Kakak macam apa kau? Aku lebih baik tidak memiliki saudara sepertimu!" Rosella terus berteriak-teriak.

“Sudah Rosella hentikan” aku terus menenangkannya meski aku juga tidak bisa membendung air mataku yang keluar dari pelupuk mataku. “Rosella tolong hentikan, bagaimanapun dia adalah kakakmu”

Rosella terdiam sejenak lalu memandang wajahku.

Ia tersenyum padaku.”Apa kau bilang tadi? Kau tahu apa tentang diriku. Kau itu tidak tahu apa-apa, lebih baik kau diam dan urus urusanmu sendiri. Bangun Qirani, bangun. Kau tidak sadar, aku rasa kau juga memiliki masalahmu sendiri, dan kau tahu? Kau itu wanita bodoh yang pernah ku temui. Untuk apa kau pertahankan pikiranmu tentang dia lebih baik kau lupakan dia. Untuk apa kau terus memikirkannya sedangkan dia juga tidak pernah memikirkanmu. Apa Kau akan terus seperti ini sampai kau tua atau sampai kau mati”

Ucapan Rosella benar-benar menghenyakkan hatiku, mataku melotot dan tubuhku seakan membatu. Aku benar-benar tidak percaya mendengar hal itu dari mulut Rosella. Aku sangat mengerti apa yang dikatakan oleh Rosella. Otakku seakan-akan cepat merespon ucapan Rosella yang menyakitiku, tapi aku tidak bisa berpikir untuk menjawabnya meski hanya satu kata.

“Rosella apa yang kau katakan? Ada apa denganmu?” Gio langsung menghampiriku dan menyadarkan diriku yang hanya diam sembari menangis.

“Ada apa denganmu?” Rosella langsung menyalip ucapan Gio. “Kau menanyakan pada diriku atau pada dirimu?”

“Rosella, cukup hentikan!” Gio membentak Rosella sembari memelukku. Aku masih diam dalam sakit hati mendengar ucapan sahabatku.

“Kau yang cukup” Rosella balik membentak Gio. “Kau harusnya berhenti untuk berpura-pura bahagia. Kau pikir kau akan bahagia dengan hanya melihat kekasihmu tertawa bahagia dengan pria lain”.

Gio hanya diam sembari menatap Rosella yang benar-benar sudah keterlaluan.

Rosella geleng-geleng kepala. “itu semua bohong. Aku yakin kau pun sakit hati ketika melihat wanita yang kau sukai tertawa bahagia dengan pria lain. Kau tidak akan seperti ini jika kau memang benar-benar sudah melepaskannya”

Ucapan Rosella semakin menjadi-jadi, tidak hanya aku yang menjadi cacian Rosella. Terlihat dengan jelas wajah Gio yang merah dan garis urat yang muncul dari wajahnya. Gio memelukku semakin erat, ia mencoba menahan emosi dari ucapan Rosella

“Sudahlah lebih baik kita pergi dari sini” ujar Timmo yang menghampiri kami berdua.

Gio menuntunku untuk keluar darti toko Rosella. Timmo sengaja membiarkan Rosella seorang diri bukan karena tega untuk meninggalkannya. Melainkan membiarkan Rosella menenangkan dirinya sendiri. Dalam keadaan kacau seperti ini, lebih baik meninggalkan Rosella seorang diri. Rosella tidak akan pernah bisa menerima ucapan apapun,yang ada ia hanya berteriak.

“Kenapa Timmo? Kenapa kau bersembunyi? Kenapa kau selalu bersembunyi dari kenyataan?”

Ucapan Rosella membuat langkah kaki Timmo berhenti. Tanpa berbalik kearah Rosella Timmo hanya diam tidak mengatakan sepatah katapun. Wajahnya terlihat tenang mendengarkan kata-kata yang keluar dari mulut Rosella.

“Kau selalu sibuk bekerja bukankah itu hanya untuk pelarian dari semua masalahmu?”

“Rosellaaa…” teriak Gio.

“Cukup Gio” Timmo mengangkatkan tanganya. “Kita pergi dari sini”

“Kalian semua hanya bisa melarikan diri!”

“Kau benar, semua yang kau katakan itu benar. Aku memang melarikan diri tetapi bukan karena aku tidak bisa menghadapinya tapi karena aku belum bisa menghadapinya. Memangnya dengan kau berteriak seperti ini, masalahmu akan hilang begitu saja” ucap Timmo tetap dalam keadaan tenang. “sepertinya yang kau ucapkan, semua orang memiliki masalahnya sendiri, lebih baik kau hadapi masalahmu daripada kau harus repot dengan urusan orang lain”

Itulah Timmo yang kukenal selama ini. Ia sangat bersabar menghadapi segalanya yang membuat terkendali. Kami bertiga langsung masuk kembali kedalam mobil. Timmo hanya duduk diam, ia tidak terlihat marah. Ia bisa membungkus amarah itu dengan sangat baik dan rapi. Berbeda sekali dengan Gio, aura diwajahnya semakin jelas terlihat, kepalan tangannya sangat erat menggenggam setir.

“Huhhh…” Gio mencoba mengatur nafas dan mengendalikan pikirannya. “Jadi kita akan pergi kemana?”

“Apa kau ingin pulang Qirani?” Tanya Timmo.

Aku diam sejenak. “Tidak aku tidak ingin pulang, lebih baik kita pergi saja. Aku ingin main kemanapun kalian pergi”

“Apa kau yakin? Kemanapun kami pergi” ucap Timmo nenolehkan wajahnya ke belakang dengan menaik turunkan kedua alisnya. Sifatnya kembali seperti timmo biasanya, kejadian itu seolah tidak terjadi apapun.

Sama halnya dengan Timmo aku menaikkan sebelah alisku. Sepertinya Timmo ingin menantangku.

"Oke... Siapa takut?" ucapku mendekatkan wajahku ke Timmo dengan mata melotot.

Timmo tersenyum. "Sebaiknya kau jangan terlalu dekat. Aku tidak bohong. Tadinya aku hanya bercanda. Kalau begini nanti aku bisa hilang kendali"

"Hah... Apa maksudmu?" Ucapku heran.

"Tenang saja Qirani kau tidak perlu takut. Aku punya kertas pengendalian untuk aku tempel didahinya" sahut Gio tersenyum.

"Memangnya aku vampir" kecut Timmo.

"Jadi kita akan kemana?" Tanya Gio.

"Tidak usah bertanyapun kau juga tahu. Sudahlah cepat aku lapar" ucap Timmo santai.

“Tapi bagaimana dengan rosella” keluhku pada mereka.

“Entahlah dia selalu hilang kendali setiap kali kakaknya datang, kita yang hanya bermaksud membantu jadi kena semprot olehnya” ungkap timmo.

Aku hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Timmo. Dalam sekejap aku bisa tertawa kembali dan itu berkat mereka berdua. Maksudku untuk tidak pulang kerumah karena aku menghindari dari lamunan yang hanya akan menyiksaku. Oleh karena itu aku ikut kemanapun mereka pergi. Ku yakin maksud Gio untuk bertanya, karena aku juga tahu Gio juga ingin menenangkan dirinya. Mendengar lapar,  sepertinya perutku sudah tidak ingin memasukkan apapun kedalam mulutku tapi kopi atau kue masih bisa sich. Mungkin karena aku sudah kenyang diberi asupan oleh Rosella. Sedangkan Timmo benar-benar realistis. Masalah apapun yang ia hadapi ia masih saja bersikap seperti tidak terjadi apapun, bahkan ia seperti melupakan masalah tersebut dan memaafkan orang itu.

"Kenapa kau diam? Cepat jalankan mobilnya?" teriak Timmo.

"Aku tidak nafsu makan" ucap Gio lemas.

"Kau Qi" tanya Timmo.

Aku hanya diam.

"Oke kalau begitu kita makan" serius Timmo. "Masalah apapun yang kalian hadapi, kalian tidak harus memaksa tubuh untuk mendapatkan haknya. Lapar tidak lapar kalian harus makan. Bukankah kalian juga belum makan malam. Makanlah walau hanya sedikit. Orang senang sekali menyakiti dirinya sendiri. Jika sudah terkapar, mereka baru berpikir apa yang telah dilakukannya".

"Baiklah kalau begitu. Kita pergi makan" Gio menstarter mobilnya. "Tapi makan dimana?"

"Aduhhh... Kau ini makan dimana saja. Telor dadar juga jadi" kesal Timmo.

"kita pergi ke rumah makan "LESEHAN EMAK URANG" katanya disana makanan sundanya dijamin enak sekali apalagi sambalnya, bukankah kau suka itu Gio? Dan yang terkenal disana juga semur jengkolnya enak" ucapku melirik Timmo.

"Wahhhh... Benarkah itu Qi?" mulutnya mengangga dengan mata yang Berkaca-kaca. "Ayo kalau begitu".

Timmo sangat bersemangat sekali ketika makanan favoritnya menjadi menu favorit di menu makanan. Timmo semakin meronta seperti anak kecil yang meminta permen kepada Gio agar cepat menjalankan mobilnya. Gio juga tidak mau kalah dengan Timmo. Seperti halnya Timmo, Gio dengan sengaja menjalankan mobilnya dengan sangat lambat seperti siput. Melihat Gio dan Timmo terkadang seperti adik kakak yang selalu ada saja pertengkaran, seperti melihat permainan dalam game yang sebenarnya. Mereka berdua selalu menyiapkan senjata dan tameng untuk saling menyerang dan melindungi. Aku tertawa kecil melihat tingkah mereka karena pemandangan ini sudah biasa, tapi sayang sekali disaat seperti ini biasanya aku dan Rosella ikut bertarung dengan mereka jika tidak ada topic masalah wanita dan hot gosip yang sedang dibahas oleh kami.

Sekarang aku hanya bisa melihat dengan samar-samar Rosella yang sedang menangis dari balik tirai penutup kaca toko itu. Hatiku menangis dan hatiku sakit, sakit bukan karena hanya ucapan Rosella melainkan rasa sakitku ini karena aku tidak bisa menenangkan Rosella disaat ia membutuhkanku. Rosella selalu saja bisa memahamiku dalam keadaan apapun. Ia selalu tahu apa yang ada dipikiranku bahkan ketika aku marah besar. Namun aku tidak bisa melakukan apapun untuknya. Saat ini aku hanya bisa membiarkannya seorang diri.

Aku, Timmo dan Gio terpaksa untuk meninggalkan Rosella dalam keadaan seperti ini. Aku membiarkan Timmo dan Gio menikmati candaan mereka berdua. Aku yang sedang tidak mood untuk bercanda hanya menatap keluar pemandangan malam dari luar kaca jendela yang sungguh menenangkan hati. Dunia malam adalah dunia yang paling aku sukai, aku sangat senang menikmati malam hari. Tidak hanya pemandangan diatas langit yang bertabur bintang tetapi juga dibawah langit begitu indah dan menakjubkan bertabur cahaya lampu yang memenuhi pinggiran jalan.

Sejak kecil aku paling suka tiduran diatas atap rumah nenekku sebelum aku pindah ke kota. Pemandangan langit diatas sana sangat indah, begitu banyak hamparan bintang yang aku lihat setiap harinya. Semakin beranjak remaja dan dewasa, aku berpikir tentang malam yang aku sukai. Malam bagiku sebuah kebohongan besar yang menakjubkan. Padahal hanyalah sebuah kegelapan yang aku lihat, ditemani oleh cahaya yang tersebar setitik demi setitik dan berkelap kelip dari kendaraan, gedung bertingkat, perumahan dan lampu yang berjejer rapi disetiap pinggiran dan sudut kota, tapi jika siang hari tiba jaminan keindahan seperti ini tidak akan didapat. Tidak hanya itu cahaya dari bola besar yang selalu bertengger diatas langit itu cukup menenangkan hati bila memandangnya. Oleh karena itu,  Malam begitu menakjubkan.

Ketika siang hari tiba, mataku benar-benar terbelalak karena aku baru mengetahui tempat-tempat yang dibawah rembulan itu. Sangat berbeda bahkan aku tidak percaya. “itukah pemandangan indah yang aku lihat malam itu?”. Siang hari memberikan kejujuran tapi tidak banyak orang yang menginginkannya. Malam hari penuh kebohongan tapi banyak yang mengharapkannya. Siang dan malam telah membuat dunia ini berubah hanya dalam hitungan jam. Aku hanya bisa tertawa tidak mengerti dengan pernyataan yang aku buat sendiri. Ingin mempercayai tapi rasanya ingin menolak tapi itulah kenyataanya.

Seperti halya yang diucapkan oleh Rosella kepadaku. Aku memang seperti wanita bodoh yang selalu menunggu dan menunggu, menangis dan menangis. Ingin berubah tapi tidak tahu harus berbuat apa. Ingin bahagia tapi sulit untuk melangkah. Ingin sukses tapi tidak ingin bergerak. Aku bukanlah seperti orang yang pasrah akan kehidupanku tetapi sebenarnya aku adalah orang yang menyerah pada hidupku sekian lama ini.

“Sepertinya aku sudah habis dua piring kalau tidak menungggu orang yang sedang melamun” ucap Timmo membukakan pintu untukku.

“Sepertinya kau perlu obeng. Kalau sudah menancap akan sulit untuk mencabutnya” tambah Gio.

“Benar juga… okelah kalau begitu” ucap Timmo mulai berpikir yang aneh-aneh.

“Kecoaaaaa terbanggg…” teriak Timmo dengan sengaja.

Aku yang mendengar teriakan Timmo langsung terjungkal dan menelungkup. Ucapan Timmo membuatku gagal focus menghilangkan semua lamunanku dalam sekejap tanpa basi-basi. Aku paling benci sama yang namanya kecoa, setiap mendengar kehadirannya membuatku terasa ingin memukul orang yang berada dekat denganku, karena aku tidak berani memukul kecoa.

“Pakai taktik tahun 1937 ternyata masih mempan. Ha… ha… ha…” Timmo tertawa puas.

“Kau ini dasar kalian. Tidak lucu. Padahal kalian saja takut kecoa terbang!” aku kesal dan segera turun dari mobil dengan wajah yang berkali-kali lipat ditekuk.

“Lagu lama… harusnya kau pakai cara baru” ucap Gio mengikuti dari belakang.

“Apa… pakai kaos kaki maksudmu. Ah itu tahun 2000an” Timmo menyusul Gio.

“Bukan itu, itu... dengan cara yang lain” ucap Gio dengan senyuman jahatnya.

“Apa maksud kalian berdua?” kataku seraya membuat langkah kaki mereka mengerem seketika. "Lihat nanti akan aku gunakan cata tahun 3071"

“Tidak… Qi, hanya bercanda. Anggap saja angin lewat” balas Timmo. “Tapi ngomong-ngomong angin lewatnya berbau sesuatu?” Timmo mengendus-ngendus bau sesuatu yang sebelumnya tidak ada.

Sembari menyilangkan kedua tanganku aku menunjuk Gio dengan daguku yang sedang lari terbirit-birit mencari tempat untuk memfokuskan sesuatu kepada timmo.

Timmo cemberut karena menyesal ia telah menghirup sesuatu dan aku tidak memperdulikan Gio. Kami berdua langsung masuk dan mencari tempat duduk yang pas sembari melihat pemandangan kota tapi sepertinya akan sulit untuk ditemukan. Jangankan tempat yang bagus, mataku berkeliling tidak ada kursi  yang kosong.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • qarinajussap

    @yurriansan Iya memnag sedihhh... Aku menulis ni diatas rasa sakit hatiku πŸ˜†... Eaaaaa

    Comment on chapter 03. HITAM DAN PUTIH
  • yurriansan

    Qirani, Qarina? ahh ini cerita tentang kamu kah? agaknya ini sedih2 gtu ya, aku baca. sukses ya..
    mampir juga ke storyku yang baru ya..

    Comment on chapter 03. HITAM DAN PUTIH
  • qarinajussap

    Hahhhh... Masa πŸ˜… sebelumnya aku publish di sweekkk... Mirip banget yaaaaaa πŸ˜„

    Comment on chapter 01. DIA BAGAIKAN SEBUAH SENI
  • renicaryadi

    Kak ceritanya mirip sih hahaha.
    Btw good luck ya. Bahasanya puitis banget. Quote-worthy :)))

    Comment on chapter 01. DIA BAGAIKAN SEBUAH SENI
Similar Tags
Dibawah Langit Senja
1270      752     6     
Romance
Senja memang seenaknya pergi meninggalkan langit. Tapi kadang senja lupa, bahwa masih ada malam dengan bintang dan bulannya yang bisa memberi ketenangan dan keindahan pada langit. Begitu pula kau, yang seenaknya pergi seolah bisa merubah segalanya, padahal masih ada orang lain yang bisa melakukannya lebih darimu. Hari ini, kisahku akan dimulai.