Tiga hari menjelang kepulanganku ke kampung halaman, aku mulai mempersiapkan segalanya. Pakaian mulai kukeluarkan dari dalam lemari untuk kumasukkan pada tas yang akan kubawa pulang nanti. Della masih menemaniku di kamar.
“Lo beneran, Ta?”
“Iya.”
“Gak bisa nunggu sebulan lagi, gitu?”
“Enggak, Del,” ucapku dengan yakin,”Lo bukannya berangkat kerja sana, nanti telat.”
“Iya, bentar lagi.”
“Udah jam berapa ini?” tanyaku memastikan.
“Iya, gue berangkat.” Della memelukku.
Aku hanya mengusap-usap bahunya.
“Gue berangkat, ya.”
“Iya, hati-hati.”
Aku kembali merapikan pakaianku. Beberapa baju mulai kumasukkan ke dalam tas. Kulihat jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Aku mengingat lagi bagaimana raut wajah Della sebelum berangkat kerja. Dia terlihat enggan berangkat kerja, seperti yang diungkapkannya kemarin malam. Namun, aku selalu mengingatkannya untuk tetap masuk kerja. Della sangat ingin menghabiskan waktu lebih banyak lagi bersamaku, sebelum aku meninggalkan kota ini. Karena aku akan berangkat Sabtu pagi, otomatis tak banyak waktu yang Della punya untuk bersamaku pada hari-hari kerjanya kini. Di sela waktu aku melipat baju-bajuku, tiba-tiba saja ponselku berdering. Kulihat panggilan dari nomor tak kukenal.
“Halo?” tanyaku memulai percakapan.
“Halo, Gita?”
“Iya. Ini siapa, ya?”
“Ini Zyan, Ta. Gue tau nomor lo dari CV lo kemarin.”
“Oh, iya. Kenapa?”
“Sore nanti, bisa ketemuan gak? Ada yang mau gue omongin.”
“Emangnya, lo gak kerja, hari ini?”
“Kerja. Nanti, pulang kerja gue jemput lo, ya?”
Aku terdiam sejenak. Aku memikirkan, bagaimana nantinya jika Della melihatnya. Jadi kuputuskan jalan lainnya.
“Emang, mau ketemuan dimana? Ketemuan langsung di tempatnya aja.”
“Hmmm… Yaudah, deh. Nanti, gue kasih tau alamat tempatnya, gak jauh dari kantor, sih.”
“Oh, oke.”
“Yaudah, ya. Bye.”
Sambungan telepon telah terputus. Aku bertanya-tanya dalam hati, hal apa yang akan dibicarakan oleh Zyan.
“Hah, sudahlah,” gumamku.
Aku kembali melanjutkan merapikan pakaianku tanpa memikirkan Zyan. Kemudian, ponselku kembali bergetar. Ternyata, pesan dari Zyan. Seperti janji sebelumnya, Zyan mengirimkan alamat tempat pertemuan nanti. Sebuah kafe yang tak begitu jauh dari kantornya, menjadi tempat yang dituju. Aku meletakkan kembali ponsel ke tempat tidur, lalu menyelesaikan persiapanku hingga pukul sebelas siang.
Kira-kira pukul dua belas siang, ponselku berbunyi. Kulihat, masih nomor yang sama. Zyan kembali meneleponku.
“Ada apa lagi?”
“Tau kan, tempatnya?”
“Iya, tau.”
“Jangan sampe gak dateng, ya.”
“Emang, mau ngomongin apa sih, kalo boleh gue tau? Kenapa gak lewat telepon aja?” tanyaku penasaran.
“Pokoknya penting, deh.”
“Yaudah, iya,” ucapku pasrah.
“Oke, bye.”
“Bye.” Kini aku memutuskan sambungan telepon duluan.
Aku menuju ke teras depan, duduk merenung sendirian. Merenung, memikirkan apa yang akan kulakukan jika aku telah meninggalkan kota ini, nanti. Memikirkan tentang perpisahan, dari segala hal yang terjadi di kota ini. Tentang Della, lalu kini, Zyan. Bahkan aku tak sampai hati, berani untuk menanyakan mengenai kejelasanku bekerja di perusahaan itu. Karena waktukupun, sudah sangat dekat untuk pergi dari kota ini. Jadi, aku harus mengikhlaskan segalanya, segala beban pikiran yang tersisa.
Aku kembali kedalam rumah, menyiapkan diri untuk pertemuanku nanti sore, setelah jam pulang kerja Zyan. Aku mengeluarkan satu kemeja berwarna biru, satu jeans hitam, dari dalam lemari, yang telah kupisahkan sebelumnya untuk kukenakan saat menemui Zyan. Barang-barangku yang lainnya telah rapi ku packing untuk pulang kampung.
Baru pukul tiga sore, tapi aku memutuskan untuk merapikan diri dan keluar rumah. Aku memutuskan untuk pergi ke taman kota terlebih dahulu. Aku mengunci pintu dan meletakkan kunci itu di dalam vas bunga, di meja teras depan. Tak lupa, kukirimkan pesan pada Della, bahwa aku pergi keluar sebentar dan tentunya tentang letak kunci itu. Aku tak memberitahukan secara detail padanya, kemana aku pergi.
Sesampainya di taman, aku mencari tempat duduk yang nyaman. Di bawah pohon Akasia, kupilih kursi taman untuk kutempati. Ada 4 kursi bulat lengkap dengan meja kecilnya dan aku duduk di salah satu kursi itu. Kumainkan ponselku, hingga terlintas sebuah pemikiran.
“Lebih baik, bertemu di tempat ini,” pikirku.
Aku kemudian mengirimkan pesan pada Zyan, agar menemuiku di taman setelah dia pulang kerja nanti. Kulirik lagi arlojiku, baru pukul empat sore. Akhirnya, aku pergi menuju tempat penjual makanan dan minuman yang ada di taman. Aku membeli satu botol teh dalam kemasan, lalu memesan satu porsi burger. Aku sadar, aku belum makan dari siang hari tadi. Aku duduk menunggu pesananku di kursi yang telah disediakan oleh penjual burger di sini.
“Sendirian aja, Mbak,” celetuk si penjual burger.
“Iya, lagi nunggu temen.”
“Oh…”
“Libur kerja, Mbak?”
“Saya belum kerja, Mas.” Aku tersipu malu.
“Oh, Iya sih, cari kerja itu emang gak gampang.”
Aku hanya tersenyum.
“Saya aja, jadi buka usaha burger keliling kayak gini, gara-gara habis masa kontrak kerja dan belum dapet kerjaan lagi setelahnya.”
“Masnya masih beruntung, punya keterampilan buat buka usaha, kalo saya mah enggak. Modal apalagi, gak punya.”
“Saya juga modal seadanya, Mbak. Uang sisa tabungan semasa saya masih bekerja,” jelasnya.
Kini dia menyerahkan burger pesananku.
“Makasih.” Aku menerima burger itu dan membayarnya.
“Semoga cepet dapet kerja ya, Mbak,” katanya sambil tersenyum.
“Amin. Permisi ya, Mas.” Aku pergi menuju ketempat dudukku semula.
Aku duduk sambil menikmati makanan dan minuman yang telah kubeli. Kadang, kulihat ponselku untuk mengecek pesan masuk. Namun, tak ada balasan dari Della maupun Zyan, hingga waktu hampir menunjukkan pukul setengah lima sore. Burgerku telah habis, namun belum ada tanda-tanda balasan pesan dari Zyan, apalagi kedatangannya.
“Apa dia membaca pesanku? Apa dia tau jika aku mengganti tempat pertemuan ini?” tanyaku dalam hati.
Aku masih tetap setia menunggu, meski cuaca sedikit mendung di sini. Kepalaku, kurebahkan di atas meja, sambil kumainkan ponselku, kuputar-putar ke segala arah. Sesekali, aku menegakkan tubuhku kembali dan terus berulang begitu secara bergantian. Tanpa kusadari, seseorang telah datang menemaniku. Dia kini duduk di seberang kursiku.
“Maaf, nunggu lama, ya?”
“Eh, enggak, kok.” Aku lantas menegakkan posisi dudukku.
“Mau pesen makanan atau minuman dulu?”
“Buat lo aja. Kebetulan, gue udah makan.”
“Bentar, ya.”
“Iya.”
Aku melihat dia pergi menuju ke penjual minuman yang tadi kudatangi. Tak sampai lima menit, dia telah kembali dengan membawa dua botol cappuccino dalam kemasan. Dia menyodorkan satu botol kearahku.
“Gue udah minum juga, kok, tadi.”
“Udah, gak apa-apa, ambil aja.”
“Yaudah. Makasih, ya.”
Dia hanya mengangguk, lalu mulai meneguk minuman itu.
“Mau ngomongin apa?” tanyaku tanpa basa-basi.
Dia kemudian menmbuka tas kerjanya, mengeluarkan sebuah map yang berisi lembaran-lembaran kertas. Aku tak bisa menebak lembaran kertas apa yang dibawanya.
“Jujur, waktu tes kemarin, sebenernya, pada soal-soal Bahasa Inggris, lo gak lolos,” ucapnya dengan nada lembut.
Hatiku mencelos. Tubuhku seakan lemas mendengarnya. Harapanku benar-benar pupus untuk bekerja di sana, untuk mendapatkan sebuah pekerjaan.
“Oh, gak apa-apa,” kataku yang berusaha terlihat baik-baik saja.
Zyan menatapku lekat, hingga aku harus mengalihkan pandanganku kearah lain. Mungkin, dia bisa melihat mataku yang berkaca-kaca, karena aku merasakan mataku mulai berat, seperti menahan air mata.
“Jangan sedih.” Dia menggenggam kedua tanganku.
“Enggak, kok.” Aku berusaha tersenyum untuk meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja,”ya, mungkin bukan rezeki gue buat kerja di sana, buat kerja di Jakarta juga.”
Aku menguatkan diri untuk kembali menatap Zyan.
“Terus, rencana lo selanjutnya apa?”
“Belum tau. Yang jelas, akhir pekan nanti, gue bakal balik ke kampung halaman gue.”
“Minggu ini?” Dia terlihat kaget.
“Iya.”
“Kenapa secepat itu?”
“Gue udah lebih dari satu tahun di Jakarta dan sampai sekarangpun belum dapet kerjaan. Jadi, gue mutusin buat balik ke kampung.”
“Lo gak mau berjuang lagi? Gak mau berusaha lebih lagi?”
“Gue udah berusaha selama ini, Yan. Mungkin, emang sampai di sini batas akhirnya gue berjuang.”
“Enggak, Ta, ini belum berakhir.”
“Maksud lo?” tanyaku heran.
“Gini,” Zyan lebih mendekatkan posisi duduknya kearahku,”Gue minta satu kesempatan lagi sama atasan gue, buat nyeleksi lo dan dia ngajuin tes lisan buat lo. Langsung ketemu sama dia.”
“Tes lisan Bahasa Inggris?”
“Ya, salah satunya. Umumnya, sih, lebih kayak kemampuan komunikasi lo. Karena yang dibutuhin kan, untuk posisi resepsionis.”
“Gue tes tertulis aja udah gak lolos, gimana tes lisannya?” Aku tersenyum ragu.
“Ini kesempatan terakhir lo, Ta. Lo harus berusaha lagi, semaksimal mungkin.”
“Gue sih, realistis aja, Yan, sama kemampuan gue yang terbatas, sama pendidikan akhir gue yang gak maksimal.”
“Gue bakal bantuin semampu gue, Ta. Asalkan lo juga bener-bener mau berjuang lagi, enggak pesimis dan nyerah kayak gini.”
“Makasih, kalo lo mau bantuin gue, Yan. Tapi, gue gak mau ngecewain lo, gak mau ngecewain orang-orang yang udah baik sama gue di sini.”
“Makanya, kalo lo gak mau ngecewain gue, lo harus terima kesempatan ini.”
“Tapi, Yan….”
“Gini,” Dia menyerahkan lembaran-lembaran kertas kepadaku,”Gue udah buatin lo beberapa materi yang mendekati sama pembahasan yang nanti bakal lo temuin pas tes lisan.”
Aku membaca lembaran-lembaran materi yang tertera di kertas itu.
“Ada beberapa materi Bahasa Inggris juga. Nanti, gue bakal bantu ajarin lo, semampu gue. Sampe hari tes lo tiba.”
Kini, aku yang menatap lekat Zyan, dengan beragam pertanyaan yang terlintas dibenakku pula. Mengenai semua hal yang dikatakannya dan dilakukannya.
“Gue cuma bisa ngajarin lo pas weekend aja. Selebihnya, lo belajar sendiri. Tapi, gue janji, gue akan berusaha maksimal juga buat bantuin ngajarin lo. Kita cuma punya waktu sebulan kedepan dan mungkin, gak sampe sepuluh kali pertemuan gue bisa ngajarin lo. Hanya beberapa kali selama weekend dalam satu bulan, Ta,” jelasnya.
“Yan, gak usah. Ini nanti, cuma ngerepotin lo aja. Tanpa jaminan pasti gue bisa melaluinya atau enggak.”
“Selama kita mau berusaha, kita gak akan pernah nyesel berjuang, Ta. Lo yakin, mau lewatin kesempatan ini?”
“Kenapa lo mau repot-repot ngelakuin ini semua, Yan?”
“Gak repot, Ta. Lagian, apa salah, gue mau bantuin temen gue sendiri?”
“Apa ini gak berlebihan, Yan?” Aku memasukkan lembaran-lembaran kertas itu ke mapnya lagi.
“Enggak, Ta.”
Aku diam tak berkata apa-apa.
“Udah, kertas-kertas itu lo bawa pulang. Lo coba baca-baca dulu. Nanti pas weekend, baru kita bahas sama-sama, mana yang sekiranya ada yang gak lo pahami.”
Aku menghela napas panjang, “Oke.”
“Nah, gitu dong. Yang semangat juga, tapinya.” Zyan tersenyum lebar.
“Makasih, ya, lo udah mau bantuin gue.”
“Mau gua anter pulang?” Zyan melihat jam tangannya.
“Boleh.”
Kamipun berjalan meninggalkan taman menuju ke mobil Zyan.
“Gak nyangka deh, bisa ketemu lo lagi,” kataku memulai percakapan,”dan sekarang lo udah sukses, sedangkan gue masih sibuk cari kerja.”
“Kalo gue sukses, gue punya perusahaan sendiri, Ta.” Zyan mulai mengemudikan mobilnya.
“Seenggaknya, lo lebih baik dari gue, Yan.”
“Ya, gak gitu juga, lah.”
Aku kini menatap keluar kaca mobil, menatap jalan yang mulai diterangi lampu-lampu karena hari mulai beranjak gelap.
“Tambah cantik aja lo, Ta, sekarang.”
Aku menoleh kearah Zyan, menatapnya dalam-dalam lalu tertawa,”bisa aja, lo.”
“Serius.”
“Makasih. Tapi gue sih, enggak ngerasa gitu.”
“Ya, terserah lo, deh.” Zyan tersenyum.
Mobil mulai berbelok arah ke kanan, ke sebelah Barat menuju kearah kosanku.
“Lo tau jalan kearah kosan gue?” tanyaku heran.
“Iya, gue pake aplikasi Maps, terus gue kan, liat alamat kosan lo, dari CV lo juga.”
“Oh.”
“Nanti, berenti di depan gang aja, ya.” Aku menunjuk sebuah gang dengan gapura yang dihiasi kesenian khas Jakarta.
“Kenapa?”
“Mobil gak bisa masuk sampe ke dalem.”
“Oh, gitu, yaudah.”
Mobil berhenti tepat di gang yang kumaksud.
“Makasih banyak, ya, Yan, buat semuanya.”
“Iya.”
Aku turun dari mobilnya. Tak lama kemudian, Zyan kembali melanjutkan perjalananya. Mobilnyapun berlalu pergi dari hadapanku. Aku kini menyusuri jalan menuju kosanku. Suasana begitu sepi, namun tak menggentarkan langkahku melewati area ini.
Pintu gerbang kubuka secara perlahan. Dari kejauhan, telah kulihat Della duduk di teras depan.
“Lo kemana, sih, Ta?” Della berdiri menghampiriku.
“Kan, gue udah WA lo, kasih tau.”
“Iya, tapi sore setelah gue balik kerja, gue teleponin lo, gak bisa.”
“Iya, sorry, Hp gue mati.”
“Yaudah, syukur lo udah balik dan gak kenapa-napa.”
“Iya, makasih udah khawatirin gue.”
Kami berdua masuk kedalam kosan lalu duduk di ruang tamu.
“Emangnya lo darimana, sih?”
Aku terdiam.
“Ta?”
“Abis ketemu Zyan.” Aku akhirnya menjawab jujur.
“Ngapain?”
“Dia minta ketemuan sama gue, ngebahas masalah tes kemarin.”
“Di kantor? Kok, gue gak liat lo berdua sama dia ya, tadi.”
“Bukan di kantor.”
“Pantes.” Wajah Della terlihat masam.
Aku mengerti perasaan Della, yang menyukai Zyan. Mungkin, dia cemburu akan hal ini. Entahlah.
“Terus, gimana? Diterima?” Della bertanya tanpa menatapku.
“Dia bilang, tes Bahasa Inggris gue gak lolos.”
“Udah, gitu doang?” Della kembali menatapku,”dasar, iceman.”
“Katanya, gue masih punya kesempatan sekali lagi, kesempatan terakhir. Terus, dia kasih materi ini, buat gue belajar sebelum tes itu.” Aku memperlihatkan lembaran-lembaran kertas itu.
Della mengeluarkannya dari map yang kubawa. Lalu, kertas itu dilihatnya secara berulang-ulang.
Aku tak menjelaskan secara detail kepadanya, tentang Zyan yang akan membantu mengajariku juga. Aku mencoba menjaga perasaan Della. Aku takut menyakiti hatinya jika benar dia merasa cemburu akan hal itu.
“Tuh orang, emang bener-bener, ya.” Della menggerutu kesal.
“Kenapa, Del?”
“Iya, mentang-mentang dia lulusan dari fakultas Sastra Inggris, sampe tespun, Bahasa Inggris harus seperfect ini?”
“Mungkin, prosedur perusahaan kali, Del.”
“Lo kayaknya belain dia mulu, deh.” Della tertawa sinis.
“Bukan belain. Kan, dia juga kerja di perusahaan itu. Mungkin, dia hanya menjalankan tugasnya,” jelasku.
“Iya, kerja di calon perusahaannya sendiri.”
“Calon perusahaan sendiri?” tanyaku heran,”maksudnya?
“Asal lo tau ya, Ta, “ Della menyerahkan kembali kertas-kertas itu kepadaku,”Zyan itu dijodohin sama anak perempuan yang punya perusahaan. Gue juga baru tau, sih. Calon tunangannya Zyan itu, anak dari owner perusahaan di sana. Jadi, secara gak langsung, kalo mereka bener-bener nikah, perusahaan itu juga milik Zyan, dong?”
“Calon tunangan? Jadi, Zyan telah memiliki kekasih hati? Bahkan, untuk hubungan kearah yang lebih serius lagi?” batinku.
Aku begitu terkejut mendengar hal itu.
“Mungkin, cinta pertamaku tak akan menjadi cinta terakhirku,” batinku lagi.
“Itulah kenapa, gue gak mau berharap lebih juga sama perasaan gue ke Zyan, Ta.”
Aku kembali terkejut untuk yang kedua kalinya.
“Jadi, Della benar-benar jatuh cinta dengan Zyan?” tanyaku dalam hati.
“Yaudah, Ta, gue mau istirahat di kamar, ya.” Della berlalu pergi dari ruang tamu.
“Iya,” balasku cepat.
“Jangan lupa belajar, tuh.” Della lalu menutup pintu kamarnya.
Aku kini merapikan lembaran-lembaran kertas itu dan memasukkannya kembali kedalam map. Aku segera masuk ke kamarku. Tas dan map kuletakkan di atas tempat tidur, lalu tubuh ini tak lupa kurebahkan di sampingnya, untuk melepas lelah. Mataku belum bisa terpejam, walau kantuk mulai menghinggapiku. Aku masih memikirkan perkataan Della barusan. “Sebenarnya, apa yang kucari nanti? Pekerjaan?” tanyaku dalam hati,”atau… cinta?”
Aku memiringkan tubuhku, menatap ponselku, lalu membuka galeri fotoku. Kulihat lagi foto-foto kenangan masa SMA yang masih kusimpan sebagian di memori ponsel ini. Beberapa foto dengan teman-temanku di sekolah, dari kelas satu hingga kelas tiga SMA. Tak ketinggalan, beberapa foto kenang-kenangan antara aku dan Zyan. Karena kebetulan juga, Aku dan Zyan berada di kelas yang sama selama tiga tahun. Kami cukup dekat, namun hungan kami tak lebih dari seorang teman. Namun, hati ini tak pernah cukup mengerti untuk hal itu. Hati ini terasa menginginkan lebih.
Zyan, walau bukan pacar pertamaku, namun kurasa, dialah yang menjadi cinta pertamaku. Karena berawal dari dirinyalah, aku mulai merasakan getar cinta itu, merasakan cinta yang begitu dalam, walau dia tidak bisa menjadi milikku. Entah bagaiman awal mulanya aku bisa jatuh hati padanya. Yang jelas, cinta pertama itu akan tetap tersemat untuknya, jauh di dalam relung hati dan pikiranku.
Sekarang, di saat harusnya aku merasa senang, karena aku telah kembali bertemu dengan cinta pertamaku, seperti harapan dan mimpiku, namun kenyataannya tak semanis itu. Aku harus dihadapkan pada hal yang mungkin akan menyakitkan buat diriku sendiri. Della, teman terbaikku, yang sudah kuanggap seperti sahabat dan saudara perempuanku sendiri, ternyata menaruh hati juga padanya. Lalu, perihal calon tunangannya itu, bahkan aku tidak pernah tau sama sekali. Bahkan, untuk membayangkan jika Zyan telah menambatkan hatinya pada orang lain saja, rasanya aku tak mau. Apalagi untuk menuju ke jenjang pernikahan, antara dirinya dengan wanita lain selain diriku?
Aku tak tau bagaimana seharusnya perasaanku kini. Mungkin, sepatutnya aku bahagia bisa bertemu dengan cinta pertamaku lagi. Di lain sisi, aku merasa waktu pertemuan ini tidak tepat bagiku. Aku merasa, cinta pertamaku lebih baik dariku. Aku merasa belum siap untuk bertemu lagi dengannya di saat seperti ini. Aku masih sibuk mencari pekerjaan, di saat dia telah jauh lebih baik di depanku. Belum lagi, kenyataan lain yang harus kujalani saat telah dipertemukan kembali dengannya. Terasa begitu pahit, tak mengenakkan hati. Di saat takdir telah berjalan seperti ini, telah menuntun pertemuan sejauh ini, telah menciptakan hal-hal yang terjadi semuanya kini, aku harus bagaimana?
Perihal Zyan, perihal cinta pertamaku dan keadaanku kini, lantas, apa yang akan kugapai? Apa yang harus kulakukan setelah pertemuan ini?
“Apakah aku mencari pekerjaan, atau cinta?” batinku kembali.
Aku menutup galeri foto itu dan memutuskan untuk beranjak tidur dengan segera. Sejenak melupakan hal-hal yang membebani hati dan pikiranku.
***
Beberapa hari setelah pertemuanku dan Zyan di taman, aku mulai mempelajari materi yang diberikan Zyan kepadaku. Aku belajar sendiri, seperti yang disarankannya. Lusa, adalah pertemuan pertamaku dengan Zyan untuk membahas materi ini yang tidak kupahami saat belajar sendiri. Kegiatan lainku di kosan, tak berubah seperti biasanya, begitupun dengan Della. Dia masih ramah kepadaku, setelah sebelumnya kukira dia akan cemburu atau marah perihal pertemuanku dengan Zyan.
Kulihat lembar pertama materi yang dibuatkan oleh Zyan. Ternyata, tenses Bahasa Inggris. Ada pula beberapa soal di halaman berikutnya. Aku coba menjawab sedikit demi sedikit sesuai batas yang bisa kukerjakan. Selama itu, tak ada pesan ataupun kabar lainnya dari Zyan hingga hari Minggu tiba. Dia memintaku untuk bertemu di taman seperti sebelumnya dan tentu saja aku menuruti permintaannya.
Hari itu, aku berangkat pukul sembilan pagi dari kosanku. Kebetulan, Della tidak ada di rumah. Dia menginap di rumah tantenya yang berada di Jakarta Selatan sejak Jumat sore. Kunci kosanpun kubawa dalam tasku saat itu. Tiba-tiba saja ponselku berdering.
“Halo, Ta?” sapa Zyan.
“Iya, ada apa?”
“Lo udah sampe di taman?”
“Belum. Gue masih di kosan, baru mau jalan ke sana.”
“Oh, bagus deh.”
“Kenapa? Gak jadi?” tanyaku penasaran.
“Bukan, jalan kearah taman kota ditutup, ada penutupan sementara. Jadi, gue harus puter arah. Gimana kalo ganti tempat aja, Ta?”
“Terus, jadinya dimana?”
“Kalo di kosan lo bisa, gak?”
Aku terdiam, berpikir sejenak. Kulihat rintik hujan mulai turun di pagi ini. Aku kembali duduk di teras depan kosan.
“Ta?” Suara Zyan terdengar ditinggikan,”udah mulai hujan, nih, gue juga gak bawa mobil.”
“Yaudah, lo ke kosan aja.” kataku memutuskan.
“Oke, gue ke sana, ya. Gue bawa motor, kok, jadi bisa masuk ke gang kosan lo.”
“Iya.”
Aku akhirnya mengambil kunci pintu kosan dan membukanya lagi. Aku melepas sepatu ketsku dan duduk di ruang tamu menunggu Zyan. Lembaran kertas materi kuletakkan di atas meja. Sementara di luar sana, hujan semakin turun dengan derasnya. Aku menyandarkan tubuhku di sofa.
Waktu telah berlalu hampir setengah jam dan Zyan belum datang.
“Kalo gak bisa, gak usah maksain, Yan. Hujannya juga deres banget.”
Pesan kukirimkan kepada Zyan.
Belum ada satu menit berselang, kudengar bunyi klakson motor dari luar pagar. Aku segera menuju pintu. Kulihat Zyan telah berada di sana dengan mengenakan jas hujan. Aku segera mengambil payung untuk membuka pintu pagar. Aku berlari kecil menuju ke halaman depan. Pintu pagar kubuka dan motor zyanpun memasuki halaman. Aku berdiri di sampingnya, saat dia turun dari motornya.
“Hujan deres gini, kenapa maksain dateng, sih?” Aku menatapnya lekat.
“Tanggung.” Dia tersenyum sambil membuka Helm dan jas hujannya.
“Pindah ke teras aja, deh.” Aku kemudian mamayunginya yang masih tetap berdiri di halaman, membuka jas hujannya.
Dia menuruti perkataanku. Kami kemudian menuju ke kursi di teras depan. Kuletakkan payungku di sudut teras. Kulihat Zyan yang rambutnya sedikit kuyup walau telah mengenakan helm dan jas hujan. Dia masih berusaha membuka jas hujannya yang tadi belum selesai dilakukannya.
“Gue ambilin handuk kering, ya. Tunggu aja di ruang tamu.” Aku berlalu pergi ke dalam kosan.
Zyan kemudian membuka sepatunya untuk masuk kedalam menyusulku.
Aku masuk ke dalam kamar mencari handuk bersih yang kukeluarkan dari dalam lemari pakaianku. Tak lama setelahnya, aku kembali menemui Zyan di ruang tamu.
“Ini, pake buat ngeringin rambut lo yang basah.” Aku menyerahkan handuk itu kepada Zyan.
“Makasih.” Dia menerima handuk pemberianku.
“Gue bikin teh anget dulu, ya.” Aku pergi menuju ke dapur.
“Gak usah repot-repot.”
“Enggaaak,” teriakku dari kejauhan.
Aku mulai menyiapkan secangkir teh dan menyajikan beberapa potongan kue lapis. Dari dapur, bisa kulihat Zyan yang tengah menggosok-gosokkan handuk ke kepalanya, mengeringkan rambutnya yang lepek. Kacamatanyapun di lepasnya karena sedikit berembun akibat hujan. Tak sampai lima menit, aku kembali ke ruang tamu.
“Diminum dulu tehnya, biar badan lo lebih anget.” Aku menyodorkan secangkir teh pada Zyan.
“Iya, makasih.” Zyan mulai menyeruput teh buatanku.
“Kuenya dimakan juga,” kataku sambil duduk di sebelahnya.
Dia hanya mengacungkan ibu jarinya saat masih menyeruput teh.
“Kalo belum kenyang, nanti gue buatin makanan.”
“Emang, lo bisa masak?” Dia tertawa meledek sambil menaruh cangkir teh.
“Ya, bisalah, walau gak jago.”
“Lo sendirian, di sini?” Zyan menatap ke sekitar.
“Kan, ada lo. Jadi berdua,” kilahku.
“Ya, maksudnya tinggal di sini sendirian?”
“Enggak, sama satu temen gue, Della namanya.” Aku tertawa menatapnya.
“Kok, ketawa?” Zyan menatapku sinis.
“Gue rasa, lo juga udah tau, kalo Della tinggal di sini sama gue. Kan, Della kerja satu kantor sama lo.”
“Enggak. Serius, gue gak tau.”
“Yakin?”
“Sumpah, Ta,” Zyan menatapku dalam,”Gue cuma kira, lo temenan karena tinggal berdekatan. Eh, ternyata satu kosan.”
Aku hanya tersenyum dan memalingkan pandanganku dari Zyan.
“Terus, sekarang, Della kemana?”
“Dia lagi di rumah tanteya, dari hari jumat lalu.”
“Oh.” Zyan mulai mengenakan kembali kacamatanya setelah dilapnya, lalu mengambil lembaran materi yang kutaruh di atas meja,”Jadi, mana yang gak lo paham dari materi ini?”
“Coba lo cek dulu, deh.” Aku menunjukkannya jawaban-jawabanku,”banyak yang salah atau enggak, terus baru masuk ke pembahasan.”
“Oh, oke.” Zyan mulai mengecek hasil pekerjaanku.
Aku masih duduk di sebelahnya, menatapnya tanpa berkedip.
“Oh, Tuhan…Dia, cinta pertamaku yang selama ini kutunggu kehadirannya, telah kembali Kau pertemukan. Sekarang, Zyan berada di dekatku, sama seperti beberapa hari sebelumnya saat Aku dan Dia kembali dipertemukan. Namun, Dia masih sama seperti dulu, sama seperti beberapa tahun silam, masih tetap temanku,” kataku dalam hati.
Zyan masih sibuk mengecek jawabanku. Lembar demi lembar kertas diperhatikannya dengan teliti dan amat hati-hati. Sedangkan aku, masih menatapnya lekat dengan diselingi senyum kecil. Kuperhatikan wajahnya dengan seksama. Tak ada hal yang banyak berubah darinya. Gaya dan warna rambutnya, kacamata berframe-hitamnya, serta rona warna kulit putihnya. Hanya saja, dia terlihat lebih chubby daripada masa sekolah dulu.
“Gak ada yang salah,” Zyan menoleh kearahku.
“Masa?” tanyaku kaget yang sedari tadi memperhatikannya.
“Iya, padahal materi ini sama kaya tes tertulis kemarin, lho.”
“Kok, bisa?”
“Harusnya, gue yang tanya kayak gitu.” Zyan tersenyum,”kok bisa, lo kemarin salah banyak, padahal soalnya yang diubah, tapi materinya sama kayak yang ini.”
“Mungkin, kemarin gugup, kali.” kilahku.
“Aneh, lo.” Zyan tertawa menimpali,“yaudah, jadinya mana yang gak ngerti?”
“Paling, tenses sih. Ya, permasalahan mendasar lainnya jugalah.”
“Tenses bukan cuma dihafalin, tapi usaha sedikit demi sedikit buat dingertiin, dibedain satu sama lain penggunaannya dalam kalimat.”
“Eh, Yan, udah siang, nih.” Aku melirik arlojiku.
“Terus kenapa? Lo nyuruh gue balik? Masih hujan deres tuh, di luar.”
“Bukan. sensi banget sih, lo.” Aku memberengut.”Lo gak laper?” gue buatin nasi goreng, ya, atau mau mie instan aja?”
“Baru juga bahas materi sebentar, udah makan aja…”
“Ya, daripada nanti lo laper, gak konsen ngajarin gue.”
“Lo kali, yang laper, ya?”
“Enggak, sih. Cuma, ini kan, udah masuk jam makan siang, nanti telat makan pada sakit, lagi.”
“Yaudah, terserah lo, deh.”
“Bentar, ya.” Aku kembali menuju dapur.
“Mie instant aja, Ta. Biar gak banyak waktu yang kebuang sia-sia. Kita kan, gak bisa sering ketemu ngebahas materi kayak gini.”
“Siap, Bos,” kataku dari kejauhan.
Seperti yang diminta Zyan, aku segera membuatkan mie instan agar tak banyak waktu yang terbuang. Kamipun tak perlu lama untuk menghabiskannya setelah itu.
Hingga pukul 3 sore, Zyan masih mengajariku materi-materi untuk tes. Sore ini, hujan telah reda. Beberapa hal kami bahas kali ini. Zyanpun memintaku untuk berlatih berbicara Bahasa Inggris langsung. Mulai dari sekedar memperkenalkan diri hingga tanya jawab sederhana mengeni hal sehari-hari dan hal yang akan kutemui pada pekerjaanku kelak. Semuanya dalam Bahasa Inggris dan tentu saja, masih dalam pengawasannya.
Dia begitu telaten mengajariku, begitu sabar membimbingku dan begitu lembut memperbaiki setiap kesalahanku. Aku seperti sedang menjalani les privat Bahasa Inggris di rumah. Tentu, dengan seseorang yang amat spesial buatku, seperti Zyan.
“Hari ini, mungkin segini dulu kali, ya.” Zyan merapikan lembaran materi yang telah tergeletak tak karuan di atas meja
“Oke, Pak Guru.” Aku tersenyum dan membantunya merapikan lembaran kertas.
“Setelah ini, lo harus memperbanyak vocab lo. Pertemuan berikutnya, bakal gue tes itu.”
“Oke.”
“Yang semangat, ya.”
“Iya.”
Aku mengantar Zyan hingga ke halaman, hingga dia menaiki motornya menuju keluar pagar.
“Gue pamit. Makasih ya, buat jamuan makannya juga.” Zyan mengenakan helmnya.
“Ada juga gue yang ngucapin makasih, atas pengajaran lo hari ini.”
“Iya, sama-sama, deh,” Zyan terseyum,“See you, soon.”
“See you, too.”
Dia berlalu pergi mengendarai motornya sore ini. Lalu, tak lama berselang, sebuah motor lain datang menghampiri kearahku. Seorang perempuan turun dari belakang. Ternyata Della.
“Siapa tadi?” Della membayar uang kepada pengendara ojek online.
“Siapa?”
“Tadi, orang yang pake motor dari kosan ini.” Della masuk kedalam kosan mendahuluiku.
“Zyan,” ucapku singkat.
“Zyan?” Della menatapku sinis,”ngapain dia ke sini? Kok, tau kosan ini?”
“Dia abis ngajarin gue Bahasa Inggris.”
“Oh.” Della lalu masuk ke dalam kamarnya.
Aku merapikan barang-barangku lalu masuk ke dalam kamar. Aku masih memikirkan sikap Della yang seketika berubah menjadi sedikit sinis ketika menyangkut Zyan. Aku akhirnya pergi menuju ke kamar Della.
“Del, ini gue.” Aku mengetuk pintu kamar Della.
“Iya, masuk aja, gak dikunci.”
“Lo marah, ya, sama gue?” Aku duduk di pinggir tempat tidur Della.
“Marah kenapa?”
“Muka lo jutek banget kalo gue bahas tentang Zyan,” Aku menatapnya dalam-dalam,”Gue cuma temenan sama dia, Del. Lagipula, dia dateng cuma buat bantuin ngajarin gue, kok, Gak lebih.”
“Ngapain juga gue marah sama lo? Lo pikir, gue cemburu sama lo?” Della duduk mendekat kearahku,”ya, enggaklah.”
“Terus, kenapa? Sikap lo beda, kalo gue ngebahas dia, apalagi deket sama dia? Kalo bukan marah atau cemburu?”
“Ta, gue cuma gak mau aja, kalo lo sampe jatuh hati sama dia. Dia itu udah punya calon tunangan lho, calon istri. Gue gak mau kalo lo sampe sakit hati juga dimainin sama dia.”
“Dia cuma bantuin gue, Del. Ini masalah kerjaan, bukan tentang cinta.” Aku sejenak memikirkan kalimat yang baru saja kukatakan.
“Kerja? Cinta?” batinku.
“Ya, gue harap sih, gitu.”
“Del, kalo lo emang keberatan gue diajarin sama Zyan, gue deket sama dia, gue bakal balik ke kampung dan batalin tawaran kesempatan kerja dari dia, kok. Demi temen gue, demi lo.”
“Bukan kayak gitu juga, Ta, maksud gue.” Della memegang tanganku,”sumpah, gue gak ada maksud buat marah sama lo akan hal itu. Gue cuma khawatirin lo aja. Gue sangat dukung lo kok, masalah kerjaan. Kan, lo tau itu dari awal.”
“Gue tuh, ngerasa gak enak sama lo, karna gue tau lo suka sama Zyan, kan?”
“Ya ampun, Ta.” Della tertawa terbahak-bahak.
“Malah ketawa, sih?”
“Lo lucu abisnya.” Della kini berusaha menahan tawanya,”Gue tuh, cuma kagum sesaat sama dia, Ta, bukannya jatuh cinta beneran.”
“Jujur ajalah sama gue,” kataku kesal.
“Sumpah demi Tuhan, Ta, gue gak jatuh cinta sama dia. Males banget, gue suka sama si iceman.”
“Terus, waktu itu yang pernah lo bilang ke gue, kalo lo naksir dia?”
“Ya, itumah awal-awal, Ta. Jujur, semenjak gue tau kalo dia udah punya calon, apalagi calonnya itu anak bos, gue mundur.”
“Kan, itu baru calon, belum pasti jadi, Del.”
“Jangan-jangan, lo yang ada perasaan lagi, sama dia?”
“Kok, jadi malah balik nuduh gue?”
“Ya, abisnya, lo bahas Zyan terus.”
“Gue kan, bahas dia, gara-gara sikap lo juga,” tukasku.
“Gue gak ada perasaan lebih jauh kok, Ta.” Della merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur,”lagian, gue juga udah punya pacar.”
“Sejak kapan?” tanyaku penasaran,”kok, lo gak pernah cerita sama gue?”
“Belum ada satu bulan, sih.” Della tersenyum menatapku,”belum sempet buat cerita.”
“Satu kantor juga?”
“Enggak. Dia anak dari temennya tante gue.”
“Dijodohin?”
“Enggak, sih. Kebetulan, emang dulu satu kampus sama gue waktu kuliah. Sekarang baru ketemu lagi.”
“Oh, gitu. Yaudah, jadinya lo gak marah kan, kalo gue ketemu sama Zyan, diajarin sama dia?”
“Ya enggaklah, Ta.”
“Beneran, nih?”
“Beneran. Eh, lo gak jadi balik ke kampung, kan, berarti?”
Aku menggeleng.
“Baguslah, tuntasin perjuangan lo di sini.”
“Gue berusaha semampu gue, Del, pada kesempatan terakhir nanti.”
“Yaudah, semoga kali ini berhasil, gak kayak kesempatan pertama waktu itu.”
“Semoga.”
“Amin. Udah gih, sana. Balik ke kamar lo, gue mau istirahat.”
“Iya-iya, maaf.” Aku memberengut,”Gue diusir?”
“Yaelah, baperan banget, lo. Gue capek banget, mau buru-buru tidur soalnya.”
“Iya.”
“Jangan marah.” Della tersenyum menatapku.
“Enggak.” Aku kemudian keluar dari kamar Della, kembali ke kamarku dan beranjak tidur.
***
Hari-hari berikutnya, ketika pertemuan aku dan Zyan kembali terlaksana untuk kesekian kalinya, Aku bisa merasakan kemajuan pesat. Zyanpun mengungkapkan hal yang sama. Segala macam hal telah dibahas dalam rangka persiapanku untuk tes lisan di perusahaan yang sama.
“Gak terasa ya, udah besok lo jalanin tes.” Zyan menutup lembaran materi terakhir.
“Iya, jadi tambah khawatir.”
“Gak usah terlalu dipikirin secara berlebihan, rileks aja.”
Aku menghela napas panjang.
Hari Minggu ini, kami berada di taman kota. Cuaca cukup cerah pada pukul sepuluh pagi ini. Waktu tak banyak kami habiskan untuk membahas materi tes seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya.
“Besok, kalo bisa, lo dateng lebih awal ke kantor. Ya, kurang lebih sih, sama kayak waktu lo pas pertama kali tes interview.”
“Iya.”
Zyan menyeruput cappuccino hangat yang dipesannya beberapa menit lalu.
“Yan,” ucapku lirih.
Zyan menatapku.”Kenapa?”
“Kalo seandainya gue gak lolos nanti, maaf, ya, udah buat lo kecewa.”
“Apapun yang terjadi, gue tetep bangga sama lo, Ta,” Zyan menggenggam tanganku.
Aku terperangah menatap matanya, yang tak pernah beralih melihatku.
“Lo udah mau berusaha belajar sejauh ini. Lo juga udah nunjukkin perkembangan yang bagus dan yang paling penting, gue gak liat lo ngeluh serta pantang menyerah selama pembahasan bareng gue. Itu udah lebih dari cukup, Ta, udah buat gue seneng. Gue ngerasa, gue sedikit bermanfaat untuk temen gue sendiri,” jelasnya.
“Makasih banyak, ya, Yan.” Aku kini balik memegang tangannya,”makasih buat waktu lo, buat kebaikan lo. Pokoknya, buat semuanya.”
“Iya. Jujur, gue belum merasa tugas gue ini selesai kalo belum liat lo lolos tes besok.”
“Tugas?”
“Iya, tugas gue buat ngajarin lo, bantuin lo.”
“Itu bukan tugas, Yan.” Aku tersenyum dan mengalihkan pandanganku dari Zyan.
“Gue, sih, anggap itu tugas.” Zyan tertawa kecil.
Aku kini yang kemudian menyeruput cappuccinoku.
“Ta.”
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Lo masih inget, gak, perkataan gue dulu sebelum perpisahaan sekolah?”
“Yang mana?” tanyaku sambil berusaha mengingat-ingat kejadian dulu.
“Yang waktu itu kita duduk berdua di taman sekolah, pas sore, saat senja menjelang.”
Aku terdiam sesaat.”Kita semua gak akan pernah tau tentang masa depan, masa yang akan datang dan waktu selanjutnya.”
“Hanya waktu dan takdir yang bisa mempertemukan kita kembali.” Aku dan Zyan berkata bersamaan.
Kami saling beradu pandang lalu tertawa.
“Isn’t a dream, right?” Zyan menatapku.
“It’s like a dream.” Aku berpaling darinya.
“Ya, kayak mimpi. Kita dipertemukan lagi satu sama lain sekarang, setelah bertahun-tahun tanpa kabar apapun.”
Aku mengangguk-anggukkan kepalaku.
“Dulu, usia kita masih remaja, sekarang udah dewasa.”
Aku hanya tersenyum sambil memainkan kedua kakiku. Kuperhatikan kakiku yang kuayun-ayunkan sendiri.
“Udah punya calon, Ta?”
Aku sontak menatap Zyan.”Calon apa?”
“Calon suami.” Zyan membuang pandangannya dariku.
“Belum.” Aku menggeleng,”mungkin lo yang udah punya.”
“Bukan dari hati, Ta.”
“Maksudnya?”
“Eh, udah jam segini, gue anter pulang, ya. Lo kan, harus istirahat yang cukup buat tes besok pagi.”
“Hmmm, oke.”
Aku menatapnya penuh tanya tanpa berkata-kata. Aku tak membahas lebih jauh masalah pribadi Zyan. Begitu juga perihal sikapnya yang seketika mengalihkan pembicaraanku tanpa menjawab pertanyaan dariku. Aku berjalan di belakang mengikutinya menuju ke mobil. Kulirik arlojiku yang baru menunjukkan pukul dua siang. Kami akhirnya meniggalkan taman kota tanpa menunggu kehadiran senja yang menawan kala sore hari, di hari yang cerah seperti kali ini.
“Inget, besok jangan gugup. Percaya diri dan lakuin seperti yang kita bahas selama ini.”
Aku menoleh kearah Zyan lalu mengangguk mengiyakan perkataannya.
Tak ada pembicaraan lagi selama perjalanan menuju ke kosanku. Aku menatap ke luar kaca, menyandarkan kepalaku pada jendela mobil Zyan, hingga mungkin aku akhirnya terlelap tidur. Aku tak menyadari berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk tidur, di dalam mobil Zyan.
“Hey, bangun.”
Kurasakan usapan lembut yang mendarat di pipiku. Beberapa kali, hingga aku akhirnya terbangun dari tidurku. Kubuka mataku secara perlahan, lalu menoleh kesampingku. Zyan terus tersenyum menatapku.
“Capek, ya?” Zyan masih melontarkan senyumannya kearahku,”maaf, ya, dibangunin. Udah sampe di gang kosan lo, nih.”
Aku menegakkan tubuhku, lalu megusap kedua pelupuk mataku.
“Maaf, gue ketiduran.”
“Iya, gak apa-apa.” Zyan membuka seatbeltnya.”mau gue anter sampe kosan?”
“Gak usah, Yan,” sergahku.
“Takutnya nanti lo masih ngantuk. Terus, jatoh di jalan, lagi.” Dia tertawa meledek.
“Enggaklah.” Aku kini membuka seatbeltku,”Makasih, ya, buat hari ini dan buat semuanya.”
Dia hanya mengangguk.
Aku kemudian membuka pintu mobilnya untuk segera keluar.
“Hati-hati.”
“Iya, lo juga hati-hati, bye.” Aku keluar dan segera menutup pintu mobil Zyan.
Mobil berlalu pergi dan aku mulai berjalan menyusuri jalan menuju ke kosanku. Kadang, aku masih sedikit terhuyung akibat rasa kantukku yang belum juga sirna. Lalu, sesampainya di kosan, aku langsung menuju ke kamar untuk melanjutkan tidurku. Siang itu, tak kulihat Della di kosan, namun aku tidak terlalu memusingkannya, karena rasa kantukku yang teramat dalam membuatku ingin segera merebahkan tubuhku di kasur yang empuk.
Aku baru terbangun dari tidurku pukul lima sore. Aku memutuskan untuk mandi dan segera menyiapkan perlengkapanku untuk tes besok.
“Ta.”
Ketukan pintu kamarku terdengar bersamaan dengan suara Della dari luar.
“Masuk, gak dikunci.”
Tak lama kemudian Della masuk ke dalam kamarku. Kulihat dia menyelempangkan tas kecil dan menenteng sebuah map.
“Udah disiapin buat besok?” tanyanya saat mendekatiku.
“Ini lagi siap-siap, Del.”
“Ta, maaf ya, besok gak bisa nemenin lo. Gak bisa berangkat ke kantor bareng.”
“Iya, gak apa-apa.”
“Gue cuma bisa do’ain lo, semoga pada kesempatan terakhir besok, lo bisa lolos tes dan keterima kerja di sana.”
“Iya, amin.”
“Nanti, jam delapan gue berangkat, Ta.”
“Mau kemana, Del?”
“Ke luar kota, tugas dari kantor.”
“Malem ini?”
“Iya, Ta.”
Aku hanya menghela napas panjang.
“Yang semangat, ya, besok. Jangan sampe telat juga.”
“Iya, Del.”
“Oiya, gue pamit dari sekarang. Gue mau ke kantor, soalnya kumpul di sana dulu.”
“Dijemput dari kantor?”
“Enggak, dari sini gue naik ojek online sampe ke kantor. Nanti di sana, baru pake mobil kantor ke luar kotanya.”
Klakson motor terdengar berbunyi berkali-kali dari luar kosan.
“Mungkin itu ojeknya udah sampe. Gue berangkat, ya.”
“Hati-hati, Del.” Aku kemudian ikut mengantar Della hingga keluar.
Della melambaikan tangan ketika telah menaiki ojek online pesanannya.
Aku kembali ke dalam kamar dan meneruskan persiapanku. Alarm kuatur pukul 5 pagi. Setelah selesai merapikan perlengkapan yang akan kubawa besok, aku memutuskan tidur lebih awal untuk menyimpan lebih banyak tenaga lagi.
Pagi harinya, alarm berbunyi sesuai waktunya. Aku lekas bangun dan mempersiapkan diriku. Aku masih sempat untuk membereskan kosan dan menyiapkan sarapan pagiku terlebih dulu sebelum berangkat ke kantor. Tepat pukul enam pagi, klaskson motor kembali terdengar tak hentinya dari luar kosan.
“Siapa, ya?” Aku mengintip dari balik jendela ruang tamu.
Belum sempat aku mengenalinya, ponselku berdering.
“Halo?”
“Ta, gue di depan pager, nih,” ucapnya lugas.
Aku bergegas menuju keluar,”Zyan, ada apa, pagi-pagi gini?”
Zyan memarkirkan motornya di halaman kosan. Dia turun dari motor dan melepas helmnya.”Belum siap-siap?”
“Udah siap semuanya, sih. Tinggal sarapan aja, belum.”
“Yaudah sana, sarapan. Gue di sini jemput lo buat bareng berangkat ke kantor.”
“Ya ampun, gue kira ada apa, pagi-pagi gini lo dateng ke sini. Masuk dulu, Yan.”
Zyan mengikuti masuk kedalam kosan.
“Sarapan bareng, yuk.” Ajakku menuju ke meja makan.
“Boleh, deh. Kebetulan, gue belum makan tadi pas di rumah.”
Kami duduk berhadapan. Aku menyodorkannya sepiring nasi goreng buatanku, lengkap dengan telur dadar dan kerupuk.
“Lo ngapain repot-repot dateng jemput sih, Yan?”
“Gak repot, kok. Justru gue yang ngerepotin lo, numpang sarapan di sini.”
“Malah gue seneng, ada yang nemenin sarapan.” Aku tertawa,”soalnya Della lagi keluar kota.”
“Oh, gitu.”
Kami kemudian menyantap nasi goreng hingga habis.
“Jam tujuh, kita berangkat, ya.”
Aku melirik jam yang baru menunjukkan pukul enam lebih dua puluh lima menit.”Oke.”
Aku membereskan sisa sarapan, lalu mengambil tas dan mapku dari dalam kamar. Sementara Zyan menungguku di kursi yang ada di teras depan. Tak sampai lima menit, aku menyusul Zyan ke teras depan. Aku mengunci pintu, lalu duduk bersebelahan dengan kursi Zyan.
“Untuk yang terakhir kalinya, coba lo ulang materi buat presentasi nanti, masih ada waktu juga, nih.”
Aku menuruti perkataan Zyan, lalu memperkenalkan diriku menggunakan Bahasa Inggris. Tak luput pula, tanya jawab yang dilontarkan kembali antara aku dan Zyan sebagai latihan terakhir sebelum berangkat.
“Udah bagus, nanti jangan gugup, ya.”
“Semoga.”
“Yaudah. Berangkat, yuk.”
Aku berjalan menuju ke motor Zyan. Satu helm telah dikenakannya, lalu Zyan memberikan satu helm lainnya kepadaku.
“Ya ampun...”
“Kenapa?” tanyaku kaget.
Zyan memperhatikanku dari atas kepala hingga ke bawah.
“Kok, lo ngeliatin gue sampe kayak gitu?” Aku menatapnya sinis.
“Gue gak kepikiran, kalo lo pake rok. Harusnya gue bawa mobil, tadi.”
“Ya, udah terlanjur juga, kan?”
“Gini aja, deh. Mending, lo ganti pake celana bahan. Nanti, di toilet kantor, lo ganti lagi pake rok. Soalnya, gue takut lo gak nyaman nanti pas naik motor pake rok.”
“Yaudah, deh,” kataku pasrah menurutinya.
Aku kembali kedalam kosan untuk mengganti rokku dengan celana panjang. Aku berpikir positif, bahwa Zyan begitu baik memperhatikan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi padaku, masalah kenyamanan misalnya. Aku kembali keluar dengan cepat ketika kulihat Zyan telah bertengger di atas motornya di luar pagar.
“Lama, ya?” tanyaku ragu.
“Enggak, kok.”
Aku mengunci pintu pagar lalu menaiki motor Zyan menuju ke kantor. Aku masih merasa canggung berboncengan dengan Zyan. Maklum, ini pertama kalinya aku berboncengan satu motor dengannya. Selepas masa SMA dan lama tak bertemu ketika itu, aku merasa asing kembali dengannya, walau kini kami telah beberapa kali bersama. Aku mencengkeram Sweater Zyan, seraya berpegangan erat.
“Peluk juga, gak apa-apa.” Teriak Zyan sambil mengendarai motornya.
“Enggak,ah. Nanti ada yang marah.” Aku balas berteriak dari belakang motor, di tengah suasana ramai dan bisingnya suara kendaraan lain.
Tak ada tanggapan lagi dari Zyan hingga kami tiba di kantor.
“Enggak malu, ke kantor tanpa mobil?” ledekku saat turun dari motornya.
“Kenapa harus malu?”
“Baguslah.” Aku tertawa sambil menyerahkan helm kepadanya.
Dari dulu, Zyan ternyata tidak berubah. Meski dia dari keluarga berada dan sekarangpun pekerjaannya lumayan menjanjikan, tapi dia tetaplah rendah hati. Dia tetaplah menjadi Zyan yang dulu kukenal dengan kesederhanaannya. Aku terus memperhatikannya merapikan diri setelah turun dari motornya.
“Heh, bengong aja.” Dia melambai-lambaikan tangannya ke depan wajahku,”ayo, masuk.”
“I-iya.”
Kami berjalan meninggalkan tempat parkir lalu masuk ke dalam gedung.
“Gue ke toilet dulu, ya.”
“Nanti aja, di lantai atas juga ada toilet. Sekalian istirahat di ruang tunggu atas.”
Aku mengikutinya melewati lobi kantor menuju ke lantai 4. Kami kemudian memasuki lift.
“Gak sampe setengah jam lagi, tes lo dimulai.” Zyan melirik arlojinya.
“Iya, gue tau.”
“Cuma ngingetin aja, biar lo tambah deg-degan.”
“Jahat.” Aku mencubit lengannya.
Zyan tertawa puas.
Tiingg. Pintu lift terbuka ketika kami telah tiba di lantai 4.
“Gue tunggu di sana, ya.” Zyan menunjuk ke arah kursi di ruang tunggu.
“Iya. Toiletnya sebelah mana?”
“Dari sini, lurus. Terus belok kiri, nanti di ujung lorong, ke sebelah kiri lagi, di situ toiletnya.”
“Oke.”
“Perlu dianter?”
“Gak usah, makasih.”
“Takutnya nyasar doang, atau takut juga karena sendirian. Masih sepi soalnya, belum pada dateng karyawan lainnya. Kita kepagian.”
Aku langsung menarik tangan Zyan.”Yaudah, ayo anterin.”
Zyan tertawa terbahak-bahak.
Aku tidak mempedulikannya di saat seperti ini.
“Dari dulu, rasa takutnya belum ilang juga ternyata.”
Aku masih memegang erat tangan Zyan.”Gue gak mau kejadian dulu terulang lagi.”
“kejadian apa?” Zyan bertanya dengan santai.
“Kejadian waktu lo ninggalin gue di lorong sekolah pas sore sebelum pulang sekolah. Pas udah sepi, lagi hujan deres, petir dan angin kenceng pula.” Aku menatap tajam kearah Zyan,”dan lo gak dateng nepatin janji lo, buat nganterin gue balik. Lo justru udah balik duluan. Gue nunggu sendirian sampe penjaga sekolah gak sengaja nemuin gue dan berbaik hati nganterin gue pulang pake motornya.”
“Astaga, masih inget aja kejadian bertahun-tahun silam.”
“Inget banget, dengan jelas,” kataku ketus.
“Gue diminta buat anterin Bram, tetangga gue, anak sepuluh-empat. Dia cidera abis ekskul, terus gue bawa dia ke klinik terdekat dari sekolah. Setelah itu, gue balik lagi ke Sekolah, Ta. Gue inget sama janji gue buat nganterin lo. Pas sampe sana, Sekolah udah dikunci.”
“Lo gak tau kan, betapa gelisah dan takutnya seorang cewek sendirian menunggu kepastian yang tak kunjung datang?” Aku tersenyum menyindir.
“Iya, maaf, Ta. Itu kan, kejadian udah lama banget.”
“Iya, gak usah dipikirin juga. Lo kan, dulu juga udah pernah jelasin itu. Gue sebel aja, diketawain sama lo, tadi.” Aku berhenti dan berbalik menatap Zyan lagi.”Lo tunggu depan, ya.”
“Ya kali, gue ikut masuk juga ke toilet cewek, Ta.”
Aku masuk ke dalam toilet dan segera mengganti celana panjangku dengan rok. Tak lupa, aku kembali merapikan kemeja putih panjangku, serta merapikan rambut dan make-up ku.
“Cepet banget?” Zyan terperangah menatapku saat keluar dari toilet
“Emangnya gue mau ngapain, lama-lama di toilet?”
“Biasanya kan, cewek-cewek lama banget kalo udah di toilet.”
“Pengalaman nungguin cewek, nih, kayaknya.” Aku berjalan mendahului Zyan sambil tertawa.
“Emang kenyataannya kayak gitu, kan?”
“Enggak juga.”
Kemudian kami kembali lagi ke ruang tunggu dan duduk di sana.
“Masih jam delapan kurang,” gumam Zyan.
Aku memperhatikannya yang kini membuka sweaternya.
”Lo tunggu di sini aja, sampe jam delapan. Paling nanti, lebih beberapa menit aja nunggu si bos.”
“Oke.”
“Gue kasih tau info penting buat lo. Nanti itu, speakingnya, cuma percakapan simple aja, kok. Bahasa Inggris sederhana. Perkenalan lo juga biasa aja, kaya pelajaran dulu waktu sekolah aja. Yang terpenting, gimana cara penyampaian lo. Cara lo berbicara, komunikasi sama orang lain. Lo harus tegas, lugas, percaya diri tapi gak over. Jangan gugup, apalagi gagap. Harus tetep fokus. Itu kuncinya,” jelasnya panjang lebar,”kalo lo bisa nguasain hal kunci itu, gue yakin, keberuntungan nyata bakal lo dapet kali ini.”
“Terus, pembahasan materi panjang lebar yang selama ini lo ajarin ke gue, gimana?” Aku menatap Zyan penuh tanya.
Zyan hanya tersenyum.”Gue ke ruangan gue dulu, ya. Good luck.”
Zyan pergi meninggalkanku. Aku tidak mengerti sikap Zyan sejauh ini, tentang pengajarannya dan…
“Ahh, kenapa dia harus bersikap misterius begitu? Penuh teka-teki yang tak kumengerti?” gerutuku kesal.
Aku kembali menunggu sendirian di sini, seperti pada waktu interview yang lalu. Karyawan lainnya mulai banyak yang berdatangan karena mendekati jam masuk kerja. Sambil menunggu waktu tes, aku kembali melatih berbicaraku, dalam Bahasa Inggris tentunya. Dengan nada bicara rendah, suara yang kupelankan, aku terus berlatih seperti sebelumnya, hingga seorang wanita datang menghampiriku. Seorang wanita yang sama pada saat mengantarku ke ruang tes dulu.
“Mbak Gita?”
“Iya,” jawabku segera.
“Sudah ditunggu di ruang tes, Mbak. Silahkan.”
“Oh, iya.”
Aku kemudian berjalan menuju ke ruang tes dengan diantar oleh wanita itu. Aku masuk ke dalam ruangan yang dituju. Kulihat seorang lelaki paruh baya yang mengenakan jas berwarna cream, kemeja putih, serta celana dan dasi yang memiliki warna senada.
“Dia pasti bosnya,” batinku.
Di sebelahnya, Zyan duduk mendampingi.
Jantungku semakin berdegup kencang. Aku memasuki ruangan lebih dalam. Aku sedikit menyunggingkan senyuman kearah mereka, seraya mengurangi keteganganku juga. Namun, sikap dingin mereka berdua, membuat kecemasanku tak berkurang. Ditambah lagi, Zyan yang nyaris tak memperlihatkan wajah ramahnya. Jauh berbanding terbalik dengan sikapnya beberapa menit lalu. Aku berusaha menenangkan diriku sendiri. Aku menaruh tas dan mapku di ujung meja, lalu berdiri ke tengah ruangan untuk memulai perkenalanku. Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan.
“Bismillahirrahmanirrahim,” ucapku lirih.
Aku mengambil napas secara perlahan kembali sebelum mulai berbicara. Zyan menatapku tajam tanpa senyuman. Aku berusaha tidak menatap matanya terlalu lama karena aku takut hal itu justru akan membuatku gugup. Jadi, kuputuskan, hanya menatap lelaki paruh baya itu.
“Hi, I’m Hansen. I’m the owner of this company. So, please introduce yourself.” Dia tersenyum memulai pembicaraan.
“Good morning, Mr. Hansen and Mr. Zyan.” Aku bergantian menatap mereka.”I’m Gita Ayralia. I’m 24 years old. I was born on January 14th 1995, in Bandung but now, I live in Jakarta. It’s my pleasure to come here and I want to say thank you for your attention and the second chance that given by you to me. I was worked at one of traveling agency in Jakarta as an executive marketing staff before. Now, I feel grateful for being here and of course if I could join to work in this company, later. Thank you.”
Mr. Hansen tersenyum, sementara Zyan hanya memainkan pulpennya, sama sekali tanpa senyum ramah. Zyan lebih banyak diam tentunya.
“Would you join in this company, or would you accept this job as a receptionist?”
“Absolutely yes, sir.”
“Have you ever had the same experience before? About this job, of course.”
“Unfortunately no, sir.”
“So, why should I give this job for you? Why should I choose you?”
“Because I’m a hardworker. So, I will learn everything to increase my ability. As a receptionist, for example,” kataku degan mantap.
”Okay.” Mr. Hansen menyunggingkan sebuah senyuman.
Aku melihat Mr. Hansen berbincang dengan Zyan dengan suara seperti berbisik, karena sama sekali tak bisa kudengar dari tempatku berada. Aku masih berdiri menunggu di hadapan mereka.
Tak lama kemudian, Mr. Hansen berlalu pergi sambil menerima sebuah panggilan telepon. Dia berbincang melalui ponselnya. Aku beralih menatap Zyan. Tatapan mataku seakan mengisyaratkan pertanyaan,”Lalu, bagaimana?”
Zyan berdiri menghampiriku dan memberikanku sebuah amplop putih panjang,”Dibuka, dibaca.”
Aku menerima amplop itu lalu membukanya dan mulai membaca-SELAMAT BERGABUNG DI PERUSAHAAN KAMI- kalimat yang kubaca membuat perasaanku bercampur aduk.
“Gue diterima kerja di sini?” tanyaku dengan nada bergetar karena tak percaya.
Zyan hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
“Ini, serius?”
“Masa iya bercanda, Ta?” Zyan tertawa kecil,”apa perlu gue panggilin Mr. Hansen lagi, biar dia yang bicara langsung sama lo? Biar lo percaya selain gue yang kasih tau?”
Aku menggeleng sambil tersenyum. Mataku terasa basah oleh buliran kebahagiaan ini sampai-sampai aku memeluk Zyan secara spontan.
Kurasakan Zyan mengusap lembut helaian rambutku.”Selamat, ya.”
“Makasih ya, Yan, atas semuanya.” Air mataku kini tak dapat kutahan lagi untuk jatuh membasahi pipiku.
“Iya. Udah, ya, nanti gak enak kalo diliat sama karyawan lain.”
Aku segera melepaskan pelukanku.”Maaf, ya. Gue spontan aja.”
“Iya, gue ngerti.” Zyan kembali tersenyum.”Sekarang, kita ke ruangan gue, ya.”
Aku berjalan mengikutinya.
“Silahkan duduk.” Pinta Zyan setelah sampai di dalam ruang kerjanya.
Kami kembali duduk berhadapan. Aku mengelap air mataku yang masih tersisa. Zyan terlihat mengeluarkan lembaran kertas dari sebuah File lalu menyerahkannya kepadaku.
“Di baca dulu, ini surat kontrak kerja lo. Kalo ada yang belum paham, bisa langsung ditanyain ke gue. Terus, terakhir tanda tangan di bagian paling bawah.” Zyan menunjukkan bagian yang harus kutanda tangani.
Aku mengangguk lalu mulai membaca bagian demi bagian isi dari surat kontrak kerja ini. Tak sampai lima menit, akhirnya aku tiba pada bagian terakhir. Kemudian aku membubuhkan tanda tanganku.
“Sudah.” Aku menatap Zyan.
“Lembar ini rangkap,” Zyan mengambil lembaran surat kontrak dariku,”satu buat lo, satu buat disimpen di sini.”
Aku mengambil lembaran yang diberikan Zyan, yang telah dipisahkan olehnya.
“Disimpen baik-baik, ya.”
Aku hanya menganggukkan kepalaku.
“Besok, lo udah mulai masuk kerja. Jam kerjanya normal kayak jam kerja pada kantor lainnya. Lo masih dalam tahap training dulu selama tiga bulan.” Zyan menatapku lekat,”tapi, tenang aja, lo tetep dapet salary, kok.”
“Oke.”
“Hari ini, gue rasa cukup segini aja. Lo boleh pulang.”
“Oh, ok.” Aku merapikan perlengkapanku lalu segera bergegas pergi.
“Ta, gue lupa.” Zyan berjalan mengejarku ketika aku tiba di depan lift.
“Kenapa?”
“Gue mau nunjukkin sedikit kerjaan lo, di lobi bawah. Jadi, besok lo udah tau apa yang harus dikerjain. Ya, sedikit gambaran kerja aja, sih.”
“Siap, bos!” ucapku semangat sambil tersenyum.
Aku dan Zyan lalu menaiki lift bersama menuju ke lobi kantor.
“Pagi, Pak,” sapa seorang wanita kepada Zyan saat kami tiba di lobi kantor.
Zyan hanya menyunggingkan senyuman. Sementara aku mengekor di belakangnya.
Zyan mengeluarkan beberapa berkas dari file yang ada di balik meja resepsionis. Dia juga menyalakan komputer yang ada bersebelahan dengan file.
“Ini, beberapa data yang bisa jadi acuan lo kerja nanti. Lo juga harus ngedata setiap kunjungan ke kantor ini. Tamu-tamu yang dateng. Terus, ini ada beberapa nomor telepon dan fax juga harus lo urusin, ya. Belajarnya berjalan ajalah. Dalam arti, nanti sambil lo mulai kerja, belajar sedikit demi sedikit. Kalo ada yang belum paham, bisa ditanyain nanti, bertahap dan berproseslah, gitu,” jelas Zyan panjang lebar.
“Iya.”
“Oke, sekarang lo boleh pulang, kok. Besok pagi baru mulai kerja normal.”
“Yaudah, gue pamit ya, Yan.”
Zyan berdiri mendekat.
“Sekali lagi, makasih buat semuanya.”
“Iya.” Zyan tersenyum,”hati-hati.”
Aku tersenyum lalu melenggang pergi meninggalkan Zyan. Aku kembali menaiki angkutan umum untuk pulang ke kosan. Ketika itu, jam baru menunjukkan pukul sebelas siang. Sepanjang jalan utama Ibukota sedikit lebih lengang daripada pagi atau sore hari. Saat jam berangkat dan pulang kerja pastinya jauh lebih padat daripada sekarang ini. Oleh karena itu, waktu tempuhku juga tak terlalu lama dan bisa sampai lebih cepat.
Di kosan, aku masih sendirian karena Della bertugas di luar kota selama satu minggu. Hari-hariku akan terasa semakin sepi tanpa kehadirannya di sini. Sesampainya di ruang tamu, aku langsung menyandarkan tubuhku di sofa. Tas kerjaku kutaruh di meja. Bayangan setiap peristiwa yang terjadi di hidupku beberapa hari terakhir terus menari-nari di benakku.
Aku tidak menyangka akan bertemu dengan Zyan, cinta pertamaku saat masih di SMA dulu. Lalu sekarang, aku akan bekerja satu kantor dengannya. Aku benar-benar bahagia saat ini.
“Ini benar-benar seperti mimpi. Semoga semua perjuanganku selama ini akan membuahkan hasil yang membahagiakan, bukan hanya sesaat, namun menetap selamanya dalam kurun waktu ke depan nanti. Bukan hanya sekedar hal yang kuimpikan, namun menjelma menjadi kenyataan yang abadi. Keluar dari bayang-bayang pikiranku, melesat nyata dari sebuah angan-angan sebelumnya.” Aku menghela napas dalam-dalam.
Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung merapikan diri dan menyiapkan perlengkapan untuk kerja esok hari. Aku begitu semangat. Semangat menata hidupku, mimpiku yang lainnya dan semangat meneruskan perjuanganku lagi. Berjuang untuk bekerja, mendapatkan penghasilan, lalu mulai kuliah. Namun, perihal cinta, akankah kuperjuangkan dan kuwujudkan menjadi nyata juga? Cintaku, cinta pertama itu sudah ada di depan mata. Bisakah menjadi satu, menjadi cinta terakhirku.
“Zyan….”
Aku tersenyum sendiri sambil menyiapkan perlengkapan kerjaku. Aku berusaha fokus menjalani hal yang lebih realistis kudapatkan terlebih dulu dalam waktu dekat. Ah, pokoknya semangatku meluap hari ini.
***
judulnya unik banget kak. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' jangan lupa like. makasih :)
Comment on chapter Dia