Read More >>"> Mimpi Milik Shira
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Mimpi Milik Shira
MENU
About Us  

Hujan turun satu jam yang lalu, membuat langit mendung malam ini. Tanpa gemerlap bintang dan cahaya bulan. Aku melangkahkan kaki menuju jendela kamar, duduk diam memandang langit malam.

Mataku tak sengaja melirik ke arah jam dinding, ternyata sudah cukup malam. Namun aku malas untuk sekedar beranjak kembali ke kasur. 

Tok...tok, seseorang mengetuk pintu kamarku. 

"Siapa?"

"Ini Bi Murni, Neng."

Dengan terpaksa aku beranjak dari kursi, berjalan dan membukakan pintu. 

"Ada apa Bi?"

"Punten Neng, di bawah ada David yang mau bertemu Neng Shira," ujar Bi Murni memberitahukan maksud kedatangannya. 

Aku kaget, ada apa David berkunjung malam-malam begini?

"Kalo gitu saya permisi Neng," pamit Bi Murni. 

Aku menganggukan kepala. 

Tanpa ba-bi-bu lagi, aku langsung mematut diri di depan cermin. Ada rasa senang tersendiri, saat tahu David datang. Atau jangan-jangan dia akan... 

Dengan terburu-buru aku merapikan pakaian dan rambut, setelah itu segera turun untuk menemuinya. 

Sesampainya di ruang tamu, aku tidak melihat keberadaan David di sana. Selanjutnya aku melangkah ke arah pintu utama yang terbuka lebar. 

"David?" ujarku dengan nada yang sedikit mengandung unsur kaget. 

David menolehkan kepalanya. 

"Hai, Shir!" 

Aku menghampiri David yang sedang duduk di teras rumah.

"Tumben kamu ke sini nggak kasih aku kabar dulu?" tanyaku disertai senyuman. 

Pertanyaanku sontak membuat David yang semula menunduk jadi menatap ke arahku, kepalanya menggeleng pelan, membuat aku tak mengerti apa yang dia maksudkan. 

"Mau jalan-jalan malam?" tawarnya mengalihkan topik pembicaraan. 

Aku sudah mengenal David sejak lama. Kak Eva, Kakakku-lah yang memperkenalkan-nya lima tahun lalu. Karena David memang teman Kak Eva sewaktu kuliah. Aku dan David bisa berpacaran juga, karena dia. Mengingat itu semua, aku jadi malu sendiri. 

"Shira?" Tegur David, membuat aku tersadar dari lamunan. 

"Ah, iya. Aku mau kok!" jawabku spontan.

Pasti aku malu-maluin banget, ketahuan lagi ngelamun.

David menganggukan kepalanya. Ia bangkit dari duduknya dan menarik tanganku agar mengikutinya. Aku pikir, David datang bersama kedua orangtuanya untuk mengajak bertunangan. Aku hanya bisa tersenyum kecut saat dengan bodohnya malah berpikiran seperti itu. 

Sekarang keanehan David begitu terasa. Sedari tadi ia hanya mengajakku jalan tak tentu arah. Hanya mengikuti jalan kompleks perumahan saja. Ia juga tidak cerewet seperti biasanya. Hanya berjalan di sampingku dan diam tanpa berkata apa-apa. 

Aku memberhentikan langkah, membuat David juga ikut-ikutan berhenti. 

"Ada apa?" tanyanya seraya menatap ke arahku. 

Aku mendengus, seharusnya aku yang bertanya seperti itu padanya. Ingin rasanya aku bertanya demikian, namun semua itu aku urungkan. 

"Sebenernya kita mau kemana?" tanyaku pada akhirnya. 

David terdiam mendengar pertanyaanku. Membuat aku gemas sendiri akan sikapnya yang misterius. 

David terduduk di trotoar jalan, ia kembali menundukan kepalanya. Aku mengerti, mungkin dia sedang banyak pekerjaan di Kantornya. 

Aku berjongkok agar sejajar dengannya. Berusaha memberikan pengaruh baik untuknya.

"Kamu sebenarnya kenapa?"

Aku ingin memberikan usapan, agar David berpikir bahwa ia tidak sendirian. Namun belum sampai tanganku menempel, David sudah terlebih dahulu menepisnya. Membuat aku tercengang. 

"Apa-apaan sih?!" hentaknya.

"Harusnya aku yang tanya gitu, kamu kenapa?"  

Bukannya menjawab David malah berdiri dan berjalan menjauh. Aku mengejar langkah David. Menarik tangannya agar dia tidak menjauh lagi. 

"Kamu kenapa sebenernya?" 

"Gue mau putus!" ujarnya yang terdengar seperti perintah, bukan tawaran. 

"Kamu--"

"Iya! Gue bosen sama lo, gue nggak suka sama lo yang ribet. Mulai sekarang, jangan pernah hubungin gue lagi!" setelah berkata-kata, David pergi meninggalkan aku sendirian. 

Air mataku terus turun, seiring dengan aku yang mengingat perkataan David tadi. Semua memang benar, aku yang ribet karena selalu menanyakan kondisinya hampir setiap saat. 

Sekarang aku tidak bisa apa-apa. Aku hanya mengamati David yang berjalan semakin jauh. Untuk sekedar mengejarnya pun aku tidak bisa. Semua yang dikatakan David sangat menyakitkan bagiku. Kami menjalani hubungan hampir 3 tahun. Bagi orang yang sudah menikah memang tidak ada apa-apanya. Tapi lain halnya dengan aku yang hanya menjalani hubungan biasa.

Sekarang bagaimana aku pulang? 

Tidak ada satu orangpun di sini, membuat aku menghentikan tangis, dan berganti dengan rasa takut. 

Dari arah belakang, aku merasakan adanya kehidupan lain. Aku menolehkan kepala disertai rasa takut yang merasuki pikiran. 

"Aaaaa!"

"Shira, lo kenapa?"

"Aaaaaa!"

"SHIRA!"

Aku merasakan ada seseorang yang menggucang tubuhku. Membuat aku terperanjat bangun. 

"David mutusin gue," ujarku. 

"David mutusin lo?"  aku hanya menganggukan kepala. 

"Kapan?" tanya Kak Eva. 

"Tadi, di-dia ninggalin gue," aku terisak. 

"Shira, jangan ngaco deh! Lo cuma mimpi." 

"Ta-tapi, itu kaya nyata Kak!" 

Kak Eva mendorong keningku, membuat aku terjengkang, "makanya anak perawan jangan tidur pas maghrib, pamali! Udah, mendingan sekarang lo dandan yang rapi! Ada yang mau ketemu." 

Setelah itu, Kak Eva keluar dari kamarku. Aku melihat ke arah jam dinding, pukul 19.00 WIB, berarti aku hanya mimpi? Aku menghembuskan nafas lega, untunglah semua itu tidak nyata. Dengan segera aku bangkit dari kasur, dan pergi mandi. 

Setelah selesai, aku buru-buru turun. Sampailah di anak tangga terakhir, aku melihat David dan beberapa orang mengobrol bersama dengan Papa.

"Nah, itu Shira," ujar Papa saat dia melihatku, membuat orang ikut-ikutan menengok ke arahku. 

Mataku membulat sempurna, saat David datang bersama dengan keluarganya. David hanya tersenyum melihat ke arahku. 

Aku melihat ke arah Kak Eva yang ternyata sedang menahan tawanya. 

Awas saja! 

Aku menghampiri keluarga David untuk sekedar bersalaman dan bertanya kabar kepada Ayah dan Ibunya, setelah itu aku duduk diantara Papa dan Mama. 

"Berhubung sudah lengkap, saya mulai saja. Jadi kedatangan kami ke sini, ingin meminang Shira untuk David," ujar Ayah David seraya berkata serius kepada Papa. 

Ucapannya membuat aku menahan nafas sejenak. 

"Saya sangat senang karena David sudah ingin berkomitmen tinggi bersama Shira. Untuk keputusannya, saya kembalikan lagi pada Shira," ujar Papa. 

David menoleh ke arahku, ia mengeluarkan sebuah cincin dari sakunya. 

Jantungku terasa akan terlepas dari tempatnya. Sungguh, aku pikir David datang bersama keluarganya hanya untuk mengajak bertunangan, tapi ini lebih dari itu.

"Iya, aku mau," jawabku, tidak ingin membuang kesempatan yang ada. 

David tersenyum lebar, ia segera memasangkan cincin di jari manisku, setelah itu ia malah memelukku erat di depan semua orang. Aku hanya mampu menyembunyikan wajah tersipu malu dalam dekapan David. 

Terimakasih Tuhan. David adalah salah satu orang yang Engkau kirim untuk bersama aku. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 1 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dear.vira

    CERITANYA BAGUS BANGET, KUNJUNGI CERITAKU YUK https://tinlit.com/read-story/1436/2575, BANTU LIKE DAN CMMENT NYA YAA.. :)

Similar Tags