Keesokan harinya berita tentang pembunuhan di Harold Stanley, pengacara terhebat nomor empat di London memenuhi surat-surat kabar. Masing-masing surat kabar mengulas kasus yang mereka sebut "The Death of Harold Stanley” itu secara panjang-lebar, bahkan ada yang menyajikannya sebagai berita utama. Beberapa kasus yang ditangani Stanley telah dipindah tangan pada pengacara lain. Motif James sebagai pembunuh Stanley seakan dikarang dengan sangat baik, bahkan pembunuhan sebelum Stanley juga menganggap James pelakunya. Meski sebenarnya Agatha masih belum puas dengan hasilnya, ia tetap tidak bisa melakukan apa-apa. Akan sangat bodoh jika ia bergerak sendirian untuk memecah kasus Harold Stanley yang pastinya melibatkan para aktivis politik atau pemerintahan lainnya.
Agatha meletakkan kembali buku cerita detektif candu bertopi ke rak buku besar, lalu kaki kecilnya melangkah menuju meja kerjanya. Ia mengotak-atik beberapa dokumen yang tampak terbengkalai. Gerald yang berdiri di ambang pintu hanya menggeleng-geleng melihat kelakuan perempuan itu. Ia melangkah mendekati Agatha, memunguti beberapa kertas yang jatuh akibat gerakan Agatha yang terburu-buru, lalu membacanya.
“Kau mencatat semua kasus yang pernah kau tangani?” tanya Gerald seraya melirik Agatha dari balik kertas.
Perempuan itu mengangguk tanpa menoleh. “Ya. Kisah seorang Pelindung Big Ben harus diabadikan, bukan? Nah, coba lihat ini!” Agatha menunjukkan sebuah kertas yang warnanya sedikit menguning dengan beberapa bintik kecoklatan. Setelah Gerald menerima kertas itu, ia duduk seraya mengangkat kedua kakinya ke atas kursi.
“Maksudmu?” Gerald menatap perempuan itu tidak mengerti. Ia melambai-lambaikan kertas itu pada Agatha.
“Kau itu bodoh, ya? Apa kau sudah terlalu tua sekarang?”
Gerald mendengus kesal. “Aku bukan anak-anak yang gemar bermain petak umpet seperti ini. Cukup jelaskan padaku sekarang kenapa kau menunjukkan tulisanmu yang berantakkan ini padaku?”
“BROOK!” Agatha menjawabnya dengan suara tinggi. Ia melompat dari tempat duduknya, mengambil kertas itu dari Gerald, lalu menunjuk sebuah nama yang terlibat dalam kasus pembunuhan lima pasien rumah sakit empat tahun yang lalu. Sebuah kasus yang tak hanya menewaskan lima pasien, tapi juga menghancurkan satu rumah sakit berfasilitas baik dan dua gedung swasta.
“Maksudmu, Brook yang di sini adalah orang yang sama dengan nama yang disebut pelaku kemarin?”
“Tepat sekali!” Agatha menjentikkan jarinya, lalu berputar-putar layaknya sedang menari. “Kau pikir, sehebat apa si James itu hingga bisa menyusun rencana yang brilian? Tentu tidak! Bahkan di antara pelayan yang lain, dialah yang paling bodoh meski ia seorang koki!”
“Kau tahu dari mana?”
Agatha berhenti, lalu berdiri menghadap Gerald. “Oh, apakah Detektif Machmillan yang terkenal pada masanya tidak menyadari kejanggalan kasus kemarin?”
“CUKUP! Katakan saja apa maksudmu!”
“Kau tidak lihat? Ah, kau lihat, tapi kau tidak memperhatikannya. Tepat ketika aku masuk kemarin, aku melihat si koki itu gemetar hebat, bahkan menghindari tatapanku. Ketika aku memanggil semua pelayan ke kamar, koki itu tampak memperhatikan jendela di sekitarnya seraya menyembunyikan pergelangan tangan dengan cakaran dan bintik putih di balik punggungnya. Itu adalah alasanku curiga dari awal padanya. Jika penjahatnya pintar, maka ia akan berusaha bersikap setenang dan sedatar mungkin seolah kejahatan itu bukanlah salahnya.”
Gerald berdecak kagum, membenarkan semua hipotesis Agatha yang selama ini memang luar biasa. “Sejak kapan kau tahu bekas cakaran dan bintik putih? Bagaimana dengan bercak darah yang berada di karpet?”
“Wilfred sudah memeriksanya?”
“Apa?” Gerald mengernyit. “Memeriksa apa?”
“Darah yang ada di karpet, lalu bintik putih di jari-jari tangan kanan korban. Aku yakin, darah yang ada di karpet itu milik pelaku. Kuku korban juga tampak panjang, jadi bisa disimpulkan darah pelaku menetes ketika hendak bersembunyi ketika Eliza membuka pintu. Bintik putih itu bisa menjelaskan jenis racun yang dipakai pelaku untuk membungkam korban. Untuk itu, coba perintah Wilfred untuk memeriksanya.” Agatha menjelaskan semuanya, membuat Gerald terpukau. Tanpa sadar, ia bertepuk tangan dan membuat perempuan itu tersenyum bangga.
Gerald berdeham. “Tapi, apa yang dimaksud kalimat terakhir James?”
“Maksudmu ketika dia mengatakan ‘Brook’? Menurutmu, jika James diperintah untuk membunuh korban, apa alasannya? Setelah kuperiksa dengan teliti biografi milik James, lelaki bodoh itu adalah tipe penurut. Dia pasti diancam untuk melakukan pembunuhan. Apa yang membuat James takut dan menuruti perintah? Lalu, apa motif Brook?”
“Bagaimana dengan kasus pembunuhan serupa yang sebelumnya terjadi?”
Agatha menggedikkan kedua bahunya. “Bisa saja itu ulah ‘Brook’, tapi bisa juga ulah orang lain.”
“Jadi, Brook melakukannya seolah-olah itu adalah pembunuhan acak yang dilakukan pembunuh sebelumnya? Kalau begitu, kemungkinan besar bisa saja terjadi pembunuhan lagi?”
Agatha menggeleng. “Ada beberapa kemungkinan. Pertama, jika itu memang Brook, bisa saja ada pembunuhan berikutnya. Kedua, jika itu bukan Brook, maka tidak akan ada pembunuhan baru sejenis yang dilakukan orang lain. Cari mati namanya jika melakukan kejahatan ketika ada pelaku lain yang tertangkap. Itu akan memancing orang-orang curiga bahwa ada pelaku lain dan hal itu akan mengancam nyawanya.”
Gerald mengangguk-angguk mengerti, berusaha menyelaraskan otaknya dengan milik Agatha. “Jika itu Brook ….”
“Kita harus menemukan orang yang bernama ‘Brook’ itu dan menangkapnya. Bisa saja kasus yang sebelumnya juga terungkap. Aku seperti merasa, banyak penjahat yang dikendalikan oleh orang ini.”
Pintu kamar diketuk beberapa kali, lalu Gerald mempersilakan seorang pelayan perempuan masuk dengan membawa sehelai kartu nama.
“Ada yang ingin menemui Anda, Sir,” katanya pada Gerald.
Gerald tersenyum puas. “Suruh lelaki muda itu masuk kemari, dan kau tetaplah di sini, Agatha. Ini menyangkut tentang dirimu juga.”
Lelaki berkulit putih porselen yang mereka jumpai kemarin memasuki ruangan dengan langkah-langkah yang mantap. Wajah tampan yang menampilkan ketenangan. Lelaki berambut hitam lurus, bertubuh proporsional, dengan pakaian dengan selera yang baik dan mengandung kesederhanaan yang baik. Jas selututnya berwarna hitam mengkilap, tanpa ada hiasan apa pun, menggunakan kemeja dan celana panjang hitam. Topi bulatnya tampak baru, belum ada cacat sedikit pun. Menandakan semua itu baru dibelinya. Wajahnya tirus, kulit putih porselen yang tampak bersih. Ekspresinya tenang dan mematikan. Mata cokelat tua yang jarang ditemui pada orang-orang Inggris.
Lelaki itu duduk di tempat yang disediakan Gerald dengan tenang. Bahkan saat mata Agatha tak lepas darinya. Mereka duduk saling berhadapan, saling menilai satu sama lain.
“Tak kusangka Anda menemui kami secepat ini,” kata Gerald membuka pembicaraan. Lelaki itu tertawa basa-basi seraya memerintahkan pelayan tadi membawakan minuman.
“Saya datang menemui Anda, Tuan Machmillan,” kata lelaki itu.”
“Ah, masuklah! Masuklah! Memang ada yang ingin saya bicarakan pada Anda!” Gerald berseru seraya mempersilakan lelaki berkulit putih porselen itu untuk masuk dan duduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan meja kayu berwarna mahogani yang menjadi pemisah.
“Orang Asia?” tebak Agatha.
Lelaki itu tersenyum tipis mendengar tebakkan Agatha. “Benar sekali.”
“Itu sangat mudah ditebak mengingat banyak perbedaan yang jelas antara orang Inggris dan Asia. Kulit putih porselen, mata cokelat tua yang jarang ditemui di negara ini. Jelas sekali kalau Anda bukan orang Inggris dan baru datang kemari dari usia pakaian yang Anda pakai.” Agatha mengatakan semuanya seraya memejamkan mata dan menyatukan jari-jarinya.
“Luar biasa! Saya tersanjung mendengarnya, tapi saya pikir, Anda juga bukan orang asli Inggris,” kata Noct seraya memamerkan seringainya.
Agatha membuka mata, menatap lelaki itu dengan cermat. Terlihat dari mata tajamnya, lelaki ini tidaklah bodoh. Terlebih gaya berjalan lelaki ini menunjukkan profesinya sebelum kemari. Perempuan itu tersenyum, merasa bertemu dengan orang yang memiliki pola pikir sama sepertinya. Ia membenarkan posisi duduk dan memperhatikan tiap senti lelaki itu.
“Bagaimana Anda tahu?” tanya Agatha.
Noct mengendikkan bahunya. “Hanya perkiraan. Anda memiliki kelopak mata tunggal, lalu ada beberapa buku sastra klasik Korea di rak buku itu,” katanya seraya menunjuk barisan buku itu sambil tersenyum. “Itu merupakan karya asli, tidak ada versi terjemahannya di mana pun. Artinya, Anda bisa berbahasa Korea dengan pasih. Ah! Biar saya tebak! Buku-buku itu Anda dapat dari teman-teman lelaki bernama Gerald ini. Apa semua itu benar?”
Senyum lebar terukir di wajah Agatha. Seraya bertepuk tangan, Agatha mengangguk-angguk membenarkan semua hipotesis Noct. Di sebelah perempuan itu, Gerald tampak bingung. Keduanya bahkan tampak sama, hanya gaya berbahasa yang membedakan mereka. Ia melirik Agatha dan Noct bergantian, lalu terlintas sebuah ide dalam benaknya.
Gerald bangkit seraya menggebrak meja, lalu mendekatkan wajahnya pada Noct yang tampak terkejut. “Kalau begitu, apa Anda mau menjadi pengawalnya? Saya yakin jika itu Anda, maka tidak akan ada masalah!”
“TUNGGU!” Agatha berdiri dan menoleh pada Gerald. “Sudah kubilang, kalau aku–“
“Baiklah. Tidak masalah.” Noct memotong cepat membuat perempuan itu tersentak, menatapnya dengan penuh keheranan. Sementara Gerald tampak sumringah. Ia tertawa keras, lalu menoleh pada Agatha yang mengerucutkan bibirnya dengan kesal.
“Kupikir tidak ada alasanmu untuk menolak kali ini,” kata Gerald seraya menepuk pucuk kepala Agatha dengan lembut.
Perempuan itu mengalihkan pandangan ke arah lain. “Terserah.”
“NAH! Baguslah! Bagaimana jika kita tidak perlu terlalu formal? Hm? Nah, Noct, sekarang, perkenalkan, dia adalah Agatha Machmillan, Pelindung Big Ben,” kata Gerald bersemangat ketika memperkenalkan Agatha pada Noct.
Lelaki itu tampak sopan. Bahkan ia tak segan membungkukkan tubuhnya sedikit sebagai tanda hormat. “Suatu kehormatan bagi saya bisa mengawal Anda.”
“Panggil saja Agatha. Tidak perlu terlalu formal padaku.”
Noct tersenyum tipis. “Baiklah. Kalau begitu, kau bisa memanggilku Noct.”
Agatha mengangguk-angguk, lalu berdiri. “Kurasa ini bukan ide yang buruk, Noct.”
Gerald memandang dua orang itu bergantian. Hatinya perlahan merasa tenang. Kini, ia tidak perlu mengikuti Agatha ke mana pun perempuan itu pergi. Bagaimanapun, sekuat apa pun, dan sepintar apa pun Agatha, ia tetaplah wanita yang harus dilindungi. Mungkin, dengan hadirnya seorang Noct Winnight mampu mengembalikan kepercayaan Agatha pada orang lain. Perempuan itu terlalu mengisolasi dirinya sendiri. Mengurung jiwa dan raga dalam ruangan kecil di mansion keluarga Machmillan selama hampir lima belas tahun. Ruang lingkupnya hanya sebatas ruangan ini dan kamarnya. Bahkan, Gerald sangat yakin bahwa perempuan itu tak mengenal anak-anak Machmillan yang hidup di sisi lain mansion ini.
***
@niel54 Makasihhhh
Comment on chapter Prolog